• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Kongestif .1 Definisi

2.1.3 Manifestasi Klinik

Gejala gagal jantung kongestif dapat dihubungkan dengan pengurangan curah jantung atau kongesti vena sistemik dan atau pulmonalis:

a. Kelelahan, kelemahan

Gejala ini merupakan manifestasi pengurangan curah jantung dengan akibat pengangkutan oksigen yang tidak adekuat ke otot rangka.

b. Dispnea

Peningkatan pengisian ventrikel kiri menyebabkan transudasi cairan kedalam paru sehingga meningkatkan kerja pernapasan. Dispnea bisa juga disebabkan akibat pengurangan darah ke otot pernapasan.

d. Ortopnea

Ortopnea menunjukkan kesulitan bernafas yang timbul setelah dalam beberapa menit mengambil posisi berbaring.

e. Batuk

Batuk sering menyertai gejala dispnea, ortopnea. Batuk bisa juga disebabkan oleh edema batang bronkhus atau tekanan pada batang bronkus oleh atrium kiri yang terdistensi.

e. Dispnea nokturnal paroksismal

Pasien CHF bisa mendadak bangun dari tidur dengan sensasi kesulitan bernafas beberapa jam setelah mengambil posisi berbaring. Sesak ini khas timbul pada pasien edema perifer dan karena peningkatan kongesti paru.

6. Nokturia

Retensi garam dan air yang timbul dalam CHF menyebabkan pengurangan produksi urin selama jam bangun. Tetapi nokturia bisa menyertai mobilisasi cairan edema yang timbul dalam posisi berbaring.

2.1.4 Diagnosis

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP), hepatomegali dan edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain fotothorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Mariyono dan Santoso, 2007).

2.1.5 Penatalaksanaan

Tujuan terapi untuk gagal jantung kongestif adalah meningkatkan curah jantung. Prinsip manajemen terapi juga meliputi pengurangan beban kerja jantung, meningkatkan kinerja memompa jantung (kontraktilitas), dan juga mengontrol penggunaan garam (Andreoli, et. all., 1997).

Pemilihan obat yang tersedia untuk pengobatan gagal jantung kongestif bersifat terbatas dan terfokus terutama untuk mengontrol gejala-gejala yang terjadi. Obat sekarang telah dikembangkan baik untuk memperbaiki gejala, dan yang terpenting, memperpanjang kelangsungan hidup.

a. β-blocker

Beta-blocker adalah obat yang menghalangi aksi hormon ini dengan menduduki reseptor beta dari jaringan tubuh. Karena diasumsikan bahwa menduduki reseptor beta dapat menekan fungsi jantung, beta-blocker secara tradisional tidak

digunakan pada orang dengan gagal jantung kongestif. Penggunaan beta-blocker untuk memperlabat progresi klinis disfungsi sistolik. Kerjanya yaitu memblok pengaruh aktivitas simptetik yang berlebihan Hormon-hormon tertentu, seperti epinefrin (adrenalin), norepinefrin, dan hormon serupa lainnya, bertindak pada reseptor beta pada berbagai jaringan tubuh dan menghasilkan efek stimulatif. Efek hormon ini pada reseptor beta di jantung adalah kontraksi yang lebih kuat dari otot jantung. (Kulick, 2011).

Penelitian telah menunjukkan manfaat klinis dari beta-blocker dalam meningkatkan fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada individu dengan gagal jantung kongestif yang sedang menggunakan ACE inhibitors. Keberhasilan dalam menggunakan beta-blocker pada gagal jantung kongestif adalah dengan memulai dari dosis rendah dan kemudian meningkatkan dosis secara lambat (Kulick, 2011). Efek samping yang mungkin termasuk retensi cairan, hipotensi, dan kelelahan serta pusing. Beta-blocker umumnya harus tidak digunakan pada orang dengan penyakit yang signifikan tertentu pada saluran napas (misalnya, asma, emfisema). Contoh golongan obat ini adalah bisoprolol, metoprolol, dan carvedilol (Kulick, 2011).

b. Diuretik

Diuretik loop merupakan obat pilihan utama untuk menurunkan edema paru akut pada CHF, karena kerja cepat maka obat ini berguna untuk situasi darurat. Diuretik loop diberikan secara oral dan parenteral. Diuretik ini mempunyai efek samping yang paling umum adalah hipokalemia, sehingga sering dikombinasi dengan diuretik hemat kalium, misalnya spironolakton (Mycek, 2001).

c. Glikosida jantung

Glikosida jantung menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih kuat. Dengan kata lain, glikosida jantung adalah obat yang memperkuat kontraktilitas otot jantung (efek inotropik positif), terutama digunakan pada gagal jantung (dekompensasi) untuk memperbaiki fungsi pompanya. Potensi efek samping termasuk: mual, muntah, gangguan irama jantung, disfungsi ginjal, dan kelainan elektrolit. Efek-efek samping umumnya timbul akibat dari toksisitas dalam darah dan dapat dimonitor dengan tes darah. Dosis glikosida jantung juga perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (Gunawan, 2007).

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)

ACE inhibitor telah digunakan untuk pengobatan hipertensi selama lebih dari 20 tahun. Golongan obat ini juga telah dipelajari secara ekstensif dalam pengobatan gagal jantung kongestif. Obat-obat ini menghambat pembentukan angiotensin II, suatu hormon dengan efek yang berpotensi mempengaruhi jantung dan sirkulasi pada pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan pada beberapa ribu pasien, obat ini telah menunjukkan peningkatan perbaikan gejala-gejala penyakit pada pasien, pencegahan kerusakan klinis, dan memperpanjang hidup. Selain itu, obat ini digunakan untuk mencegah perkembangan gagal jantung dan serangan jantung (Kulick, 2011).

Efek samping dari obat ini termasuk batuk kering yang mengganggu, hipotensi, memburuknya fungsi ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit, dan jarang terjadi reaksi alergi. Ketika digunakan dengan hati-hati dengan pemantauan yang tepat, bagaimanapun, mayoritas individu dengan gagal jantung kongestif

dapat mentolerir obat-obat ini tanpa masalah yang signifikan. Contoh inhibitor ACE meliputi kaptopril, enalapril, lisinopril, benazepril dan ramipril (Kulick, 2011).

e. Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)

Individu yang tidak mampu mentolerir dampak ACE inhibitors, dapat digunakan sebuah kelompok alternatif obat, yang disebut angiotensin receptor blockers (ARBs). Obat ini bekerja pada jalur sirkulasi yang sama dengan inhibitor ACE, tetapi kerjanya menduduki reseptor angiotensin II secara langsung Efek samping dari obat ini mirip dengan seperti penggunaan ACE inhibitors, meskipun batuk kering jarang dijumpai. Contoh golongan ini obat meliputi: losartan, candesartan, telmisartan, valsartan, irbesartan, dan olmesartan (Kulick, 2011).

f. Vasodilator

Vasodilator sudah lama digunakan dalam pengobatan gagal jantung. Obat golongan ini merileksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Penggunaan secara kombinasi telah terbukti dapat mengurangi angka kematian pada pasien gagal jantung. Hidralazin merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan afterload dan isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga menurunkan preload jantung (Brunton and Parker, 2008).

Dokumen terkait