• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mannâ’ al-Qaththân mendefinisikan syariat dengan :

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM

B. Esensi Syariat Islam

2. Mannâ’ al-Qaththân mendefinisikan syariat dengan :

Artinya: Aturan-aturan yang diperuntukkan bagi orang-orang mukalaf baik dalam perbuatan, perkatan, dan i’tiqadnya.65

2. Mannâ’ al-Qaththân mendefinisikan syariat dengan :

ةعيشَّلا

هي

َعشر ام

ُللها ه

َنم هدابعل

ِدئاقعلا

و

ِتادابعلا

و

َ

لا

ْخ

ِقلا

و

ْلا

ُم

ِتلاماع

و

ُن

ُظ

ِم

ِةايلحا

.

Artinya : Segala ketentuan yang Allah jadikan sebagi aturan bagi hambanya baik yang menyangkut ibadah, aqidah, akhlak maupun muamalah dan aturan hidup.66

3 Yȗsuf Mȗsâ mendefinisikan Syariat sebagai :

Keseluruhan hukum agama yang oleh Allah dijadikan sebagai aturan bagi umat Islam melalui Alquran maupun Sunnah Rasulullah dari perkatan, perbuatan atau ketetapan .67Pengertian syariat di sini mencakup

64

Ahmed Hasan, The Early Developmentof Islamic Jurisprudence, hlm, 7.

65

Lihat Abȗ Ishâq al-Syâthibiy, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syari’ah, Juz. 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah), tt, hlm, 61

66

Mannâ’ al-Qaththân, Al-Tasyrî’ wa al-Fiqh fî al- Islâm, hlm.14.

67 Muhammad Yȗsuf Mȗsâ, Al-Madkhal li Dirâsat al -Fiqh al-Islâmy, (Bairȗt: Dâr Fikr

bidang teologi, moral (akhlaq) dan hukum-hukum praktis yang biasa disebut dengan fiqh.68 Dalam pengertian ini, syariat identik dengan dîn atau millah (agama).

Dari ketiga definisi di atas, memang terlihat sangat umum, menggambarkan cakupan syariat yang meliputi teologi (aqidah) moral (akhlaq) dan hukum-hukum praktis yang biasa disebut dengan fiqh. Dalam pengertian ini syari’ah identik dengan dîn atau millah (agama). Kemudian definisi yang lebih khusus adalah yang dikemukakan oleh Mahmȗd Syaltȗt. Dalam hal ini, menurutnya, Syari’at adalah :

ةعيشَّلا

تيلا مكاحلا و ِم ُظُّنلل ٌمْسا :

رل و ،اهاوصأ شر وأ ،للها اهعشر

يْملسلما ف

ريإ

مهَسُفنأ اوذُخْأَلي ،اها

سالناب مهتاقلاع و ،للهاب مهتاقلاع فِ اهب

.

Artinya : Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan umat manusia lainnya,orang muslim dengan non muslim, dengan alam, maupun dalam menata kehidupan ini. 69

Syaltȗt tidak memasukkan aspek aqidah pada pembahasan dan kajian syariat, karean menurutnya aqidah adalah merupakan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya syariat. Dan di sini ia juga memberikan pengertian syariat dengan cakupan yang lebih luas, yaitu tidak hanya aturan-aturan yang berada dalam Alquran dan Sunnah, tetapi sudah merambah pada hasil pemahaman terhadap kedunya. Syari’ah yang dalam bahasa Inggris

68

Ibid

69

Mahmûd Syaltût, al- Islâm Aqîdah wa Syarî’ah, Cet. 3 (Bairȗt: Dâr al-Qalam, 1966), hlm, 12.

diistilahkan dengan Islamic Low telah mengalami perubahan makna dan orientasi dari makna dasarnya. Syari’ah yang dalam istilah Alquran dan dalam kamus bahasa Arab berarti jalan (sabîl) metode (manhaj) cara (tharîq) dan sejenisnya telah diuraikan di atas, bukan mengandung pengertian hukum dalam aturan-aturan hukum (legal rulers)70.

Dalam pandangan al-‘Asymâwi, syariat adalah ruh yang melaksanakan kandungan kaidah, penerapan, dan tafsir. Bukan kaidah, penerapan atau tafsir atas syariat itu sendiri. Syariat adalah ruh pembaharuan dalam menciptakan kaidah baru, pemberlakuan terhadap masalah baru dan tafsir kekinian. 71 Menurut al-‘Asymâwiy, kecenderungan syariat dipahami sebagai hukum perundang-undangan disebabkan karena “syariah” dalam nalar umat Islam telah mengalami perubahan makna berkali-kali, mulai pengertian syariah merujuk pada makna aslinya yakni manhaj Allâh, sabîl Allâh, tharîq Allâh, dan seterusnya. Kemudina meluas hingga mencapai makna “kaidah-kaidah perundang-undangan (tasyrî’iyyah) yang ada dalam Alquran, meluas lagi sampai pada kaidah perundang-undangan (tasyrî’iyyah) yang tertera pada hadist-hadist Nabi, lalu mengalami pergeseran hingga mencakup pengertian syurûh (komentar-komentar), tafsir, ijtihad, pendapat, fatwa, dan segenap hukum hasil-hasil penyimpulan dan penerapan kaidah-kaidah tersebut, yakni fiqh. Sejak dulu hingga saat ini, kata syari’ah dalam penggunaan yang populer

70

Busthanul Arifin, Silabus Kuliah Hukum Islam, 2003, hlm, 3. Lihat pula, Muhammad Sa’îd al-‘Asymâwiy, al-Islâm al- Siyâsiy, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), hlm, 186

71

Muhammad Sa’îd al-‘Asymâwiy, Ushûl al- Syarî’ah, Terjemah, Nalar Kritis Syari’ah, hlm,211, dan edisi Arabnya. Muhammad Sa’îd al-‘Asymâwiy, Ushûl al-Syarî’ah, (Kairo: Maktabah Madbuli al-Shagir, 1996), hlm, 178-179.

mengacu pada arti terminologinya yaitu fiqh Islam atau tatanan historis Islam.72

Evolusi Syari’ah dari makna aslinya juga diakui oleh Asghar Ali Engineer. Asgar Ali dengan menyitir pendapat Cantwell Smith, mengatakan bahwa pada awal abad Islam, syariat lebih bersifat moral ketimbang hukum. Ahkâm (hukum positif) dalam priode awal Islam ini merupakan sebuah perintah Ilahi yang menjadi kewajiban secara moral yang bersifat pribadi dimana nantinya setiap orang akan ditanya pertanggung jawabannya pada hari akhir. Ungkapan ini kehilangan sifat personalnya dan akhirnya kehilangan sifat transendentalnya, akhirnya identik dengan hukum positif (ahkâm al-syar’iyah). Lebih lanjut Asghar Ali menyebutkan, dalam karya-karya seperti Al-Fiqh al- Akbar (abad 2 H), kitab al-Tamhîd al-Bâqillâniy (abad 4 H ) kitab ushȗl al-Dîn karya al-Baghdâdiy (abad 5) dan Ihyâ’ al-Ulum al-Dîn karya al- Ghazâliy ( abad ke 5 H ) dan Al-Nasafiy serta al-Syharastâniy abad ke 6 hampir tidak ditemukan konsep syari’ah. Istilah syari’ah banyak digunakan khususnya dalam pengertian hukum, hanya setelah tahun kedelapan bahkan ke sembilan hijriyyah.73

Pada wilayah ini, makna syariat telah tereduksi kedalam makna fiqh, peneliti sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Asgar Ali bahwa syariat tidak bersifat ilahiyyah dan tetap dapat berubah, karena syariat tidaklah tercipta

72 Al-‘Asymâwiy, Ushûl al Syarâ’ah, h, 186. Lihat juga, ‘Asymâwiy, Syarî’ah

al-Islâmiyah wa al- Qânûn al- Mishriyyah, (Kairo: Maktabah Madbuli al- Shagir, 1996), hlm, 8.

73

Asghar Ali Enginer, Perempuan dalam Syari’ah; Prespektif Feminis dalam

secara langsung. Syariat berkembang melalui proses yang sulit dan berliku dari evolusi selama berabad-abad sehingga syariat tidak pernah setatis bahkan setelah syariat mendapatkan bentuknya yang jelas, para ahli hukum harus tetap mengakui prinsip ijtihad yaitu interpretasi yang kreatif dan aplikatif dari fiqh Islam ( yurisprudensi) dalam situasi yang baru.

Syariat telah mengalami reduksi pemaknaan dan pemahaman dari konsepsi awalnya. Syariat yang pada dasarnya kebenarannya bersifat absolut (mutlak) maka dengan adanya reduksi makna, kebenarannya menjadi nisbiy (relatif). Syariat yang pada dasarnya adalah satu unit dan universal, menjadi beragam / diversity. Syariat yang pada awalnya bersifat otoritatif menjadi berwatak liberal. Syariat yang pada dasarnya statis, setabil / tidak berubah, mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu / dinamis. Syariat yang tadinya berwatak ideal menjadi berwatak realistis.

Dengan demikian mengingat perkembangan cakupan pengertian syariat yang begitu luas sampai merambah pada wilayah hasil interpretasi (tafsiran dan pendapat para ulama), dikatakan penerapan syariat Islam, yang dimaksud adalah penerapan syariat yang maknanya telah berkembang sedemikian luasnya. makna yang dipakai dalam penelitian ini adalah hukum Islam bukan syari’at Islam.