• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Penolakan Penerapan Hukum Islam (Sekuler)

HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

C. Implementasi Hukum Islam dengan Hukum Nasional dalam Sistem Nasional Nasional

2. Respon Penolakan Penerapan Hukum Islam (Sekuler)

Sekularistik secara etimologis berasal dari akar kata sekuler (secular) yang berarti duniawi.215 Kemudian secularize berarti memindahkan kepada urusan-urusan kegiatan-kegiatan keduniawian. Sementara John L. Esposito dengan menyitir pendapat Berkeh menuturkan:

“Bahwa secularisme bermakna yang bukan agama. Kata ini berasal dari dunia latin saeculum yang pada mulanya berarti masa atau generasi dalam arti waktu temporel. Kata ini kemudian menjadi bermakna segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, yang dibedakan dengan hal sepiritual yang ditunjukkan untuk mencapai surga. Kata Prancis “laicite, juga berarti secularisme, tetapi makna aslinya menunjuk pada pengertian “ masyarakat biasa” mereka yang bukan kelompok pendeta.” 216

Menurut Abercrambie sebegaimana yang dikutip oleh M. Dawam Raharjo, secularisasi yaitu sebagai “proses” dimana pemikiran praktik dan institusi keagamaan telah kehilangan arti

214

Fahmi Amhar,dalam dialog “Melongok Syariat Islam dalam Telaah Perbandingan, dalam ,Burhanuddin, Syariat Islam, Pandangan Islam liberal, hlm, 204

215

John M Ecohols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris - Indonesia , hlm, 509

216

John. L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol 4, New York Oxford, Oxford University Press, 1995, h, 20. Dalam kontek sejarah sekularisme atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah Eropa. Hal ini berarti pemisahan secara bertahap “ hampir semua aspek kehidupan dan pemikiran dari perkumpulan-perkumpulan keagamaan dan tujuan -tujuan kependetaan,” suatu proses yang berkembang di Inggris pada abad ke enambelas dengan peralihan kekuasaan politik dari arena keagamaan kenegaraan dan dalam kasus-kasus hukum dari kehakiman yang religius ke secular.( Sommerville, 1992, h, 112-117). Para sejarahwan mencatat bahwa secularisasi pra Industri mendapat dukungan dari protestan yang mereka definisikan sebagai “ menyekularkan agama”, yaitu suatu yang menyetujui pemisahan agama dari fungsi-fungsi kenegaraan dalam rangka memurnikannya dengan cara memindahkannya dari

wilayah korupsi duniawi. Hingga abad ke sembilan belas kata “secular” tidak untuk mendiskripsikan proses ini. Lihat ,Ibid

pentingnya.217Sementara Fairchild mendefinisikan bahwa secularisasi adalah:

“Suatu proses dimana struktur sosial yang tadinya tertutup dan suci telah ditransformasikan menjadi suatu bentuk kontrol dan interaksi yang bukan suci dan terjangkau. Dalam konteks ini sekularisasi bisa bersifat segmental atau sebagian, misalnya. Kehidupan politik suatu bangsa bisa mengalami sekularisasi tanpa menimbulkan pengaruh terhadap kepercayaan indifidual atau sektarian dan kesetiaan kepada lembaga keagamaan tertentu.”218

Kemudian Nurcholish mencoba menjelaskan tentang perbedaanmendasar antara secularisasi dan sekularisme. Menurutnya :

“Secularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yakni proses penduniawian. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pengertian pokok tentang sekularisasi adalah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Sementara secularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian, ia membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama didunia ini. Nurcholish menegaskan bahwa sekalipun kita mengharuskan adanya secularisasi tetapi dengan tegas kita menolak secularisme.”

Dengan demikian sekularistik adalah yang bersifat keduniawian, dalam arti melihat urusan-urusan kegiatan-kegiatan itu hanya bersifatdunawiyah semata (bukan keagamaan). Kemudian menurut Munawir Sadzali sekularisme- dalam pengertian politik praktis –adalah penolakan pada campurtangan negara atau pemerintah di dalam kehidupan keagamaan rakyat dan pada waktu yang sama

217

Nicholas Abersrambie, et al. The Penguin Dictionary of Sosiology, Penguin Books, 1986, h, 188, sebagaimana dikutip oleh M. Dwam Raharjo, Dalam, Islam dan Modernisasi :

Catatan atas Paham Seculariasasi Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan, Mizan, Bandung,1987, h, 25

218

HP. Fairchild and 100 Authorities, Dictionary of Sosiology and Related Sciences, Little field, Adams dan co Inc, 1966, h, 268, sebagaimana dikutip oleh, M.Dawam Raharjo, Ibid.

penolakan terhadap campurtangan tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga keagamaan di dalam kehidupan kenegaraan atau politik.219

Talal Asad dalam tulisannya “Pemikiran Tentang Sekularisme di Mesir” berpendapat bahwa :

“Sebuah negara yang sekuler adalah sebuah bangunan modern yang didasarkan pada pembedaan antara hukum publik dan hukum privat, pada suatu tatan politik yang mengharuskan “agama” untuk dimasukkan kedalam bidang privat oleh aturan hukum, pada ideologi individualisme,moral dan penurunan kebermaknaan dari subjek pengetahuan (Manusia), pada penghormatan jasad fisik, serta pada kepekaan rasa pribadi, yang kesemuanya muncul di Eopa Barat bersamaan dengan terbentuknya negara modern.220

Sebelum mengelaborasi lebih lanjut pandangan-pandangan kelompok sekularis, sedikit perlu kami singgung di sini posisi dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyyah. Kajian Islam di Indonesia sebenarnya tidak akan sempurna tanpa mengkaji kedua organisasi tersebut, karena keduanya merupakan mainstream Islam di Indonesia. Hanya saja dalam kajian ini, penulis kesulitan memposisikan kedua organisasi tersebut. Hal ini disebabkan pertama, dalam mensikapi pro kontra penerapan syariat Islam di Indonesia organisasi tersebut tidak

219

Munawir Sadzali, Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan Negara

Sekuler, Ringkasan Ceramah Menteri Agama pada Pekan Orientasi Manggala Bp 7, 12 Juni 1990,

di Bogor, Pada, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, UI, Press, Jakarta, 1993, Cet I, h, 82

220

Talal Asad, Pemikiran Tentang Sekularisme dan Hukum di Mesir, Pada Dinamika

Kontemporer dalam Masyarakat Islam, Editing , Die Vander Meji, INIS, Leiden Jakarta, 2003

mengeluarkan keputusan secara resmi melalui mekanisme organisasi masing-masing. Kedua, terfragmentasikannya pandangan tokoh-tokoh sentral di kedua organisasi tersebut dalam mensikapi penerapan syariat Islam di Indonesia. Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa NU dan Muhammadiyyah adalah dua organisasi di Indonesia -yang dianggap sebagai mainstream Islam Indonesia- Secara organisatoris kedua keduanya tidak terlibat secara langsung dalam kancah hiruk pikuknya prokontra penerapan syariat Islam di Indonesia, namun para anggota organisasi tersebut secara indifidu terlibat aktif dalam kancah polemik pro dan kontra tersebut. Sebut saja misalnya Ahmad Syafi’i Maarif (ketua PP. Muhammadiyyah) dan Hasyim Muzadi (Ketau umum PB. NU), namun demikian perlu ditegaskan kembali di sini, meskipun mereka sering melontarkan ide dan gagasannya seputar penerapan syariat Islam di Indonesia modern, namun mereka lebih mengatas namakan pribadi. Itu berarti tidak bisa disamakan anatara visi institusi dengan visi pribadi masing-masing tokoh besar tersebut.

Kembali pada persoalan. Sampai di sini terlihat jelas visi yang di kedepankan kaum formalis sangat lah berlawanan dengan apa yang dipertahankan oleh kaum sekularis. Beranjak dari pemahaman sekularistik sebagimana di atas maka pendukung kelompok ini antara lain adalah : Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, A. Syafii Maarif, Islam Liberal.