• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi manusia dalam kepercayaan mistik memang cukup unik. Otonomi di sini tidak berkaitan dengan orientasi pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai alam dan membebaskan diri dari setiap bentuk ikatan, melainkan berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang bersifat mistis. Kebebasan manusia untuk melepaskan diri dari setiap bentuk ikatan yang bersifat profan, agar dapat kembali bersatu dengan Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup manusia. Kebebasan manusia dalam ajaran kejawèn dimulai dari upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu-nafsu. Upaya tersebut untuk mengambil jarak (distansi) dengan nafsu amarah, lauwamah, dan sufiyah untuk dapat menguasai diri dan membebaskannya dari penghambatan nafsu.

Menghadapi kekuatan dari langit dalam penghayatan kejiwaan yang mistis harus bersikap pasif. Menghentikan segala perbuatan dan kemauan sendiri dan mengikuti saja atau mengambang (mengapung) dalam samudera ilahi. Penghayatan memuncak dengan hilangnya kesadaran terhadap eksistensi dirinya terhisap dalam samudera ilahi. Dalam ungkapan keja-wèn disebutkan manungsa lir sarah anèng lautan, tidak punya sembah puji; sembah puji milik dan dari Tuhan. Dalam tasawuf diungkapkan melihat dengan Tuhan, mencium, merasa, dan berbuat dengan Tuhan atau karena Tuhan.

Dalam Wirid Hidayat Jati ungkapan itu diubah menjadi

“Tuhan yang berbicara, mendengar, melihat, dan merasakan segala rasa dengan meminjam tubuh manusia.” Artinya, dzat Tuhan berada atau immanent dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia yang sempurna adalah yang telah menyatu dengan Tuhan, sehingga gerak geriknya laksana bayang-bayang Tuhan yang berada di depan cermin. Sebagai bayang-bayang berarti pada hakikatnya manusia tidak punya gerak sendiri, sebab gerakannya semata-mata berasal dari gerak Tuhan di muka cermin. Di sini manusia laksana wayang di atas panggung, dalanglah yang menggerakkannya.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti, oleh Syekh Siti Jenar digambarkan dengan ungkapan warangka manjing curiga. Intinya, roh ada di alam mitsal yaitu materi yang berada dalam rangka yang bermakna kekosongan yang manunggal dengan Allah. Seperti orang sembahyang (berdoa) yang telah menyatu dengan Tuhan yang disembah, tidak mencari wujud bagaikan warangka (rangka). Hilanglah tembaga ketika sukma mencapai tingkat kemuliaan memancarkan cahaya benderang bagaikan kencana. Ronggowarsito menyebut manunggaling kawula lan Gusti dengan istilah pamoring kawula Gusti (Mulkhan, 2004:176; Mahmudi, 2005:169).

Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti mencerminkan transendensi dan imanensi. Bagi orang Jawa, Tuhan menciptakan manusia dan bersemayam dalam diri manusia.

Manusia yang menyadari ketiadaannya, menyingkir, memberi tempat kepada Tuhan. Keadaan yang menggambarkan keadaan ekstasis itu diungkapkan: bagaikan lenyapnya bintang-bintang di kolong langit bila disinari oleh matahari. Tapi, hal ini jangan disalahtafsirkan. Lenyapnya bintang-bintang tidak ber-arti bahwa mereka menjadi matahari. Orang Jawa tidak

mengenal filsafat yang abstrak, yang dipelajari demi ilmu itu sendiri. Filsafat hanya berarti sejauh dapat merupakan pedoman bagi kehidupan religiusitasnya sendiri. Untuk praktik kehidup-an itu kemampukehidup-an melihat Tuhkehidup-an dalam segalkehidup-anya teramat penting (Zoetmulder, 1990:107).

Dalam Suluk Syeh Melaya disebutkan, apabila telah tahu manunggalnya hamba dengan Tuhan, bersama sukma segala yang dimaksud akan datang. Tempatnya ada padamu. Bagaikan wayang badanmu itu. Segala gerak-gerikmu dari dalang. Sebagai jagad raya adalah bentangan kelir (layar), bergerak bila digerakkan. Segala gerak, berkedip, dan melihat dari sang dalang (Dwiyanto, 2006:66).

Konsep manunggaling kawula lan Gusti, secara teologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan, secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan lingkungan (Purwadi, 2005:124).

Penjelasan itu menggambarkan nilai-nilai humanisme kejawèn, bahwa di dalam manunggaling kawula lan Gusti tercakup dimensi-dimensi kemanusiaan, ketuhanan, dan lingkungan. Keseimbangan dalam relasi teologis, sosiologis, dan ekologis itu akan menentukan tingkat kebahagiaan hidup manusia. Harmo-nis dalam relasi manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, serta manusia dan lingkungannya.

Manunggaling kawula lan Gusti merupakan penggambar-an kedekatpenggambar-an mpenggambar-anusia dengpenggambar-an Tuhpenggambar-an; hasil ypenggambar-ang diraih orpenggambar-ang yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga hidupnya selalu menjalankan perintah Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti bukan berarti menyatunya fisik manusia dengan Tuhan, me-lainkan menyatunya cipta, rasa, dan karsa manusia dengan

kehendak Tuhan. Acuan mengenai hal ini, tercermin dalam bait-bait dhandhanggula (macapat):

Yèn weruh pamoring kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, dé warna neng sira nggoné, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit, mangku panggung kang jagad, liré badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahé kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap.

Kawisésa amisésa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa rupané, wus anéng ing sireku, umpamané paésan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca.

Terjemahan tembang tersebut adalah, bahwa kalau tahu

pamoring kawula Gusti, serta sukma yang dituju ada, oleh warna padamu tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagad, seperti badan itu, bergerak jika digerakkan, per-gerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak, dan berkata.

Sama menguasai dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada dirimu, umpama

paésan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah, yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.

Dalam perspektif kaum sufi, penghayatan makrifat lak-sana seseorang di depan cermin yang melihat wajah Tuhan, sama dengan ketika ia melihat dirinya sendiri, yakni menjadi

arif ”and realises that knowledge, knower, and know are One.”

Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan diketahui (Tuhan) adalah sama atau satu. Husein bin Mansyur Al-Hallaj

mengatakan, ”Ana al Haqq” (”Aku adalah kenyataan tertinggi/ Kebenaran/Tuhan”). Dari pernyataan itu kemudian muncul

segolongan kaum sufi yang menganut paham union mystic atau dalam Islam-kejawèn lebih dikenal dengan konsep manunggal-ing kawula lan Gusti. Paham tersebut dianut oleh Abu Yazid al-Busthami, al Hallaj, Fariduddin al-’Athar, Ibnu al-Farabi, Abdul

Karim al-Jili, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran dalam serat-serat suluk yang menjadi acuan bagi ilmu kejawèn (Simuh, 1999:27).

Konsep manunggaling kawula lan Gusti dalam nuansa religius-spiritual dapat digolongkan ke dalam tiga tipe (Purwadi dalam Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, 2002, seperti dikutip Wawan Susetya, 2007:107-108), sebagai berikut:

1. Tipe etis: perwujudan makna manunggaling kawula lan Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskita dan susila. Harmonitas antara suara batin dan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi darma baktidalam kehidupan sosial;

2. Tipe kosmologis: terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batin, yaitu peleburan diri

ke dalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi

individualitas. Tindakan untuk membe-baskan dari belenggu alam empiris materiil, menuju kondisi eksistensial transenden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali ke asal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yakni Dzat kosmos yang ilahi-adikodrati.

3. Tipe teologis: hampir sama dengan tipe kosmo-logis, tetapi menggunakan banyak istilah yang berasal dari kitab suci.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti terdapat pula dalam nasihat-nasihat Sri Kresna kepada Arjuna di Padang Kurusetra menjelang perang Bharatayuda, seperti disebut dalam Bhagavad Gita (Supardi, 1961:32). Pada Bab 21 sampai 24 Bhagavad Gita itu Kresna menasihati Arjuna sebagai berikut:

Sing sapa manasé wis ora makarti, sanadyan kagepok déning alaming kalahiran, lan kang sapa wus antuk pamarem ing dalem Dat, lan sawusé bisa dadi siji lan Brahma, sarana patrap panunggal, iya iku kang antuk kamulyan langgeng.

Kasenengan kang anané saka gepokan lan kalahiran, iku tuking kasangsaran, awit ana wiwitané lan wekasané – hèh Panduputra – iku dudu kasenengané para wicaksana.

Sing sapa kongsi bisa lumawan pamasésane pepénginan, lan kamurkan, prelu kanggo kamardikaning badan, – sujanma kang mangkono wus adil, yaiku kang diarani kamulyan.

Sing sapa andarbèni kamulyaning batin, lan anduwèni kasenenganing batin, - sing sapa wus antuk pepadhang-ing batin, yaiku kang wus dadi siji (nunggal) banjur tumamèng nirwananing Brahma.

Terjemahan bebas nasihat Kresna tersebut adalah: Barangsiapa sudah terbebas dari hawa nafsu, meskipun masih berhubungan dengan masalah duniawi, dan barangsiapa sudah merasakan senang bersama dan me-nyatu dengan Tuhan, ya itulah manusia yang menerima kemuliaan abadi.

Kesenangan lahir adalah awal kesengsaraan, karena ada awal dan ada akhir, dan itu bukanlah kesenangan yang bijaksana. Barangsiapa bisa melawan nafsu dan keingin-an, dan kemurkaan untuk kemerdekaan badkeingin-an, akan mendapatkan kemuliaan. Barangsiapa memiliki kemu-liaan dan kesenangan batin, dan sudah mendapatkan terang batin, dialah yang sudah menyatu dan dilin-dungi Tuhan.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti juga terdapat dalam cerita Bima mencari air suci, tirta prawita sari, yaitu air kehidupan. Proses pencarian air suci itu, yang digambarkan dilakukan oleh Bima di dalam samudera, adalah proses penca-rian manusia untuk mencapai tahap menyatu dengan Yang Maha Satu, tahap manusia manunggal kalayan Gusti. Ketika

Bima masuk ke lubang telinga kiri Dewa Ruci, itulah tahap manusia mencapai manunggaling kawula lan Gusti.

Makna dari cerita Dewaruci itu adalah, untuk mencapai manunggaling kawula lan Gusti manusia harus melalui proses panjang dan berat. Intinya, proses itu adalah proses untuk menghilangkan ketergantungan pada hal-hal yang bersifat duniawi-materialistik menuju keheningan sejati di dalam Tuhan.

Sepuluh watak yang harus dimiliki, dalam konteks cerita Dewaruci (Bratawijaya, 1997:62), adalah: kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk hidup sepenuh hati; tidak boleh berhasrat jahat; senantiasa bersikap ramah; tidak boleh membunuh apa pun; tidak boleh ingkar janji; tidak boleh mencela atau menceritakan keburukan orang lain; tidak boleh menghujat Hyang Widhi; tidak boleh mengumpat siapa pun; senantiasa berani karena benar; dan tidak boleh menentang kebijakan pemerintah.

Manusia akan mampu manunggal jika telah mampu meleburkan diri ke dalam kebaikan, kejujuran, dan peran-peran kemanusiaan untuk melaksanakan perintah Tuhan (Roqib, 2007:167).

Inti konsep manunggaling kawula lan Gusti yaitu, manu-sia memiliki otonomi untuk menentukan hidupnya sendiri, untuk berkembang dan membangun alam semesta, tetapi ke-bebasan itu berada dalam bingkai kekuasaan Tuhan. Keke-bebasan

tersebut diperoleh justru karena manusia “menyatu” dengan

Tuhan, sehingga Tuhan berkarya di dalam diri manusia. Hal ini dapat terwujud karena pada hakikatnya manusia adalah pangejawantahan Tuhan (Di dalam agama Kristen disebutkan

Manunggaling kawula lan Gusti tidak berarti meleburnya manusia menjadi sama dengan zat Tuhan (Mangoenprasodjo, 2003:19), seperti tercermin dari ungkapan sebagai berikut:

Manungsa iku saka dating Pangéran; mula uga darbé sipating pangéran. Éwa semana manungsa iku bisa ka-dunungan dating Pangéran, nanging aja darbé pangira yèn manungsa mau bisa diarani Pangéran (Manusia berasal dari Tuhan; karena itu juga mempunyai sifat Tuhan. Sekalipun dapat mamunyai zat Tuhan, namun jangan beranggapan bahwa dengan demikian ia dapat disebut Tuhan).

Laku

Untuk dapat memahami sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, orang Jawa mengenal istilah laku. Laku lebih berupa olah rasa, dipahami sebagai ”praktik prihatin” atau melakukan syarat-syarat tindakan untuk menca-pai suatu cita-cita (kesaktian, kekayaan, ketenteraman hidup, dan sebagainya).

Pentingnya laku bagi manusia Jawa tergambarkan dalam Serat Wedhatamana (Mangkunagoro IV 1994:40):

Ngélmu iku

kelakoné kanthi laku lekasé lawan kas tegesé kas nyantosani

setya budaya pangekesé dur angkara.

Secara harafiah, ungkapan itu berarti: Ilmu itu terlaksana kalau dijalankan dengan upaya batin, dimulai dengan kemauan, kemauan adalah penguat, budi setia penghancur angkara murka. Makna ngélmu berbeda dari ilmu. Ilmu adalah hasil dari otak manusia yang lebih didasarkan pada pembuktian-pembuktian ilmiah, adapun ngélmu mencakup hal-hal yang rasional mau-pun irasional, tidak harus diterima melalui akal, tapi juga rasa.

Ngélmu sebagai kawruh (gnosis), yaitu bentuk spiritual yang tidak hanya mengandalkan intelektual, tetapi intuitif. Ilmu didasari akal, ngélmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh (Stange, 2009).

Hal itu tidak berarti bahwa ngélmu tanpa akal dan tidak ada yang rasional. Ngélmu pun ada yang melukiskan akal yang jelas dan transparan. Telah disadari oleh masyarakat Jawa, bahwa ngélmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia (esoteric) untuk pegangan hidup, didasari laku. Jalan ini, dalam tasafuw sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawèn. Paradigma ngélmu sering dirumuskan dalam pengetahuan jarwadhosok(kérata basa atau othak-athik mathuk), yaitu angèl olehé ketemu (Endraswara, 2003:26).

Upaya batin dilakukan melalui penghayatan rasa yang bersifat suprarasional dan/atau intuitif. Endraswara menyebut-kan, dalam hal-hal tertentu, ngélmu justru diperoleh melalui indera keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri ngélmu antara lain:

1. Bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; 2. Untuk nggayuh kasampurnaning dumadi (mencapai

kesempurnaan manusia);

3. Menuju kelepasan, yaitu celakcoloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud (menyatu dengan Yang Maha Kuasa);

4. Berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi lambang, kiasan utuh;

5. Diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah; 6. Ngélmu kelakoné kanthi laku (setelah dijalankan);

7. Berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan sendiri (subjektif), didapat melalui tapa brata (mengu-rangi kesenangan duniawi);

8. Dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening (pikiran bening), dan héling (ingat Tuhan).

Meskipun kata laku sering diterjemahkan sebagai per-buatan atau perilaku, namun tidak berarti sebagai tindakan sosial, yang berdampak luas pada masyarakat atau pada orang lain. Dalam konteks ini, laku bersifat pribadi, dalam bentuk-bentuk perilaku untuk mengurangi (atau menghilangkan) kehendak yang bersifat duniawi. Beberapa praktik laku misalnya berendam di sungai (biasanya pertemuan aliran beberapa sungai), puasa, mengurangi tidur (tetap terjaga sampai di atas pukul 00.00), pantang makanan-makanan tertentu, bertapa, dan sejenisnya.

Pada umumnya laku berupa makin dikuranginya angkara murka, suatu keadaan semèdi yang membawa orang kepada keadaan: heneng, hening, hawas, héling (diam, jernih, awas, ingat) sebagai unsur-unsur persepsi kesadaran yang paling murni, yang digambarkan sebagai urubing dilah (nyala lampu) yang menthèr, yang tenang tetapi berisi getaran yang berfre-kuensi tinggi, sebagai gambaran energi yang hakiki. Satu-satu-nya senjata yang dibawa dalam segala macam laku adalah waspada dan kesadaran pribadi (Purwadi, 2005:33).

Lewat tapa (bertapa) misalnya, kekuatan badan diperlemah sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama manusia berubah. Orang akan menjadi lebih sadar akan relativitas ekistensinya. Tapa tidak hanya mengurangi nafsu-nafsu tertentu dengan tidak kenal ampun, melainkan dengan penyederhanaan menyeluruh, mengurangi segala aktivitas badan. Aja wareg, nanging aja luwé, aja kakèhan melèk, nanging aja kakèhan turu, mangkono sapituruté kang sarwo

sedheng, aja kongsi keladuk utawa mung umbara-umbaran baé. Makna ungkapan itu adalah: Jangan kenyang, tapi juga jangan lapar, jangan kebanyakan melek, tapi jangan kebanyakan tidur, yang penting adalah lakukan yang sedang-sedang saja. (Astiyanto, 2006:101-130).

Kesimpulan

Kejawèn merupakan implementasi kebudayaan Jawa. Ibarat kebudayaan Jawa itu samudera, maka kejawèn adalah gelombangnya. Dalam praktik, kejawèn dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok kebatinan, karena inti kejawèn adalah kebatinan, suatu gerakan yang menyelaraskan hubungan antarmanusia, manusia dengan alam lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Tujuannya adalah ketenteraman batin, kearifan individual.

Para anggota kelompok-kelompok kebatinan tersebut adalah orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai golongan abangan. Meskipun mereka mungkin mengaku sebagai priyayi, namun sikap dan pandangan hidupnya lebih tepat dika-tegorikan sebagai abangan. Meskipun mengaku menganut agama tertentu, mereka tidak merasa terikat secara ketat oleh aturan-aturan agama.

Dalam perkembangan, kejawèn selalu terpinggirkan di negerinya sendiri, tidak pernah diakui sebagai agama, bahkan sering dianggap ancaman bagi agama-agama (Hindu, Buddha, Islam, Kristen/Katolik, Konghucu), yang justru berasal dari luar Indonesia.

Kemunculan dan perkembangan kejawèn dipahami sebagai reaksi terhadap agama-agama dan reaksi terhadap modernitas. Gerakan ini memandang agama-agama besar cen-derung terjebak pada formalisme, dogmatisme, dan kebekuan

hirarkis. Reaksi-reaksi itu diperkuat oleh berbagai kesenjangan di antara ajaran dan tingkah laku, kotbah dan karya nyata, dogma dan moral. Sebagai reaksi terhadap modernitas, kejawèn berusaha mempertahankan budaya Jawa dari pengaruh budaya dari luar. Terjadi proses akulturasi antara Jawa dan agama-agama, didukung sifat sinkretis kejawèn.

Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir kejawèn, tidak terlepas dari pandangan tentang kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya. Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa terhadap kehidupan manusia, merupakan intisari kejawèn.

Terdapat tiga inti ajaran humanisme kejawèn, yaitu: sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan), dan laku (olah batin untuk mencapai ketenteraman jiwa).

Pemahaman orang Jawa tentang kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dari mistik kejawèn. Karena mistik kejawèn tidak dilandasi dengan teologi melainkan teosofi, maka ngélmu menjadi penting.5

Konsep relasi manusia dengan Tuhan membedakan humanisme kejawèn dari humanisme Barat yang tidak mengakui kekuatan di luar manusia, bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) atau tidak peduli Tuhan itu ada atau tidak ada (nonteis). Secara garis besar perbedaan antara

5 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada

semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak

humanisme Barat dan humanisme kejawèn digambarkan dalam tabel (lihat Lampiran 3).

Humanisme kejawèn memahami, bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta dan alam semesta merupakan bagian dari manusia. Pemahaman itu tercermin dari relasi keseim-bangan antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhé (makrokosmos).

Jadi, kebudayaan Jawa, kejawèn, dan humanisme kejawèn merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan Jawa melahirkan kejawèn, kejawèn membentuk humanisme kejawèn yang dilandasi oleh tiga ajaran utama: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, dan laku. Tiga ajaran utama tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, karena saling mengait dalam proses mencapai ketenteram-an batin, kearifketenteram-an individual.

Dokumen terkait