BAB V MARJINALISASI DALAM PUTTING OUT SYSTEM
5.3 Marjinalisasi Perempuan dalam Putting Out System
Ideologi gender berhubungan dengan kondisi pekerja perempuan dalam POS. Kondisi kerja pekerja perempuan merupakan perlakuan POS kepada pekerja perempuan yang meliputi pengupahan, jaminan keluarga, dan jaminan kerja. Tabel 12 menunjukkan kondisi pekerja perempuan dalam POS.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Kondisi Kerja Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (skor 15-22) 50 100
Tinggi (skor 23-30) 0 0
Total 50 100
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa semua responden (100 persen) memiliki kondisi kerja yang rendah. Pekerja perempuan yang bekerja pada POS memiliki kondisi kerja yang kurang rendah dikarenakan upah yang mereka peroleh rendah serta mereka tidak mendapatkan jaminan keluarga dan jaminan kerja yang seharusnya diterima oleh pekerja pada umumnya. Menurut Scott (1986) dalam Saptari dan Holzner (1997), kondisi kerja perempuan dalam POS yang rendah tersebut mengakibatkan terjadinya marginalisation as concentration on the
margins of the labour market. Terjadinya marjinalisasi tersebut karena perempuan
tergeser ke pinggiran pasar tenaga kerja yaitu hanya dapat bekerja dengan POS dimana perempuan sebagai pekerja formal namun dianggal sebagai pekerja informal. Perempuan tersebut dianggap melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan khusus dan memperoleh upah yang rendah. Kondisi kerja pekerja perempuan dalam POS akan dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikut.
5.2.1 Pengupahan
Dalam hal pengupahan, POS dianggap belum memenuhi syarat Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor tahun 2011, yaitu sebesar Rp 1.172.060,00 per bulan. POS memberikan upah setiap dua minggu sekali. Upah yang diberikan berkisar antara Rp 3.000,00 per potong sampai Rp 5.000,00 per potong dikalikan dengan jumlah hasil yang dikerjakan oleh pekerja perempuan. Upah terendah yang diperoleh perempuan dari hasil bekerja dengan POS adalah sebesar Rp 30.000,00 per bulan dan upah tertinggi sebesar Rp 500.000,00 per bulan. Data Tabel 11 menunjukkan pengupahan para pekerja perempuan dari hasil bekerja di POS.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengupahan di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Pengupahan Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (skor 1) 50 100
Tinggi (skor 2) 0 0
Total 50 100
Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa semua responden (100 persen) yang bekerja dengan POS memiliki upah yang rendah. Tinggi rendahnya upah ditentukan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) wilayah kajian penelitian, yaitu Kabupaten Bogor, sebesar Rp 1.172.060,00 per bulan. Upah dapat dikatakan tinggi apabila upah yang diterima oleh pekerja perempuan di POS di atas UMR, dan upah dapat dikatakan rendah apabila upah yang diterima oleh pekerja perempuan di POS di bawah UMR.
Pada Tabel 13, persentase jumlah responden mengenai pengupahan, sebanyak 100 persen pekerja perempuan mendapatkan upah yang rendah (lebih kecil dari UMR) dan tidak ada (0 persen) pekerja perempuan yang mendapatkan upah yang tinggi atau di atas UMR. Rendahnya upah yang diterima oleh pekerja perempuan tersebut menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi yang termarjinalkan dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada lagi pekerjaan yang memberikan kesempatan pada mereka untuk bekerja, namun hal ini tidaklah menjadi suatu masalah yang besar bagi pekerja perempuan, karena mereka berfikir kalau upah yang mereka dapatkan bukanlah suatu nafkah utama untuk keluarga, melainkan hanya sebagai nafkah tambahan untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hal ini didukung dengan pernyataan I (23 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS:
”...kerja di sini sih gajinya emang kecil yah, tapi mau kerja dimana lagi dong yah, ga boleh jauh-jauh sama suami, lagian kan ini cuman gaji tambahan doang...”
Data di atas selain menggambarkan sistem pengupahan yang rendah dalam POS, juga menggambarkan bahwa rendahnya kondisi kerja yang disebabkan masih dianutnya ideologi tidak sadar gender.
5.2.2 Jaminan Keluarga
Jaminan keluarga merupakan salah satu indikator dalam melihat tinggi atau rendahnya kondisi kerja seorang pekerja. POS memberikan jaminan keluarga seperti Tunjangan hari Raya (THR), pemberian sembako (sembilan bahan pokok) bulanan, dan pinjaman atau hutang. Jaminan keluarga tersebut diberikan oleh POS sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan keluarga pekerjanya, akan tetapi jaminan keluarga lain seperti santunan menikah, santunan anggota keluarga sakit, santunan pendidikan anak, santunan keluarga meninggal dunia, biaya pengobatan rawat jalan bila sakit, dan biaya pengobatan rawat inap bila sakit tidak dipenuhi oleh POS seperti yang seharusnya diterima oleh pekerja formal, padahal mereka pun bekerja pada sektor formal. Pada Tabel 12 dapat dilihat jumlah dan persentase jaminan keluarga yang diperoleh oleh responden seperti yang biasa diterima oleh pekerja di sektor formal.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Bentuk Jaminan Keluarga di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Jaminan Keluarga
Tidak Diperoleh (skor 1)
Diperoleh (skor 2)
Jumlah Persen Jumlah Persen
Memperoleh THR 0 0 50 100
Memperoleh pinjaman/hutang 0 0 50 100
Memperoleh sembako bulanan 0 0 50 100
Memperoleh santunan menikah 50 100 0 0
Memperoleh santunan anggota
keluarga sakit 50 100
0 0 Memperoleh santunan pendidikan
anak 50 100
0 0 Memperoleh santunan keluarga
meninggal dunia 50 100
0 0 Biaya pengobatan rawat jalan bila
sakit 50 100
0 0 Biaya pengobatan rawat inap bila
sakit
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa semua responden tidak mendapatkan jaminan keluarga yang tinggi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 12 dari sembilan jaminan keluarga yang ada, hanya tiga jenis jaminan yang diterima oleh responden padahal jaminan-jaminan tersebut merupakan jaminan keluarga yang seharusnya didapatkan oleh seorang pekerja pada umumnya.
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa jaminan keluarga yang diperoleh responden dari bekerja pada POS hanya berupa THR, pinjaman atau hutang, dan sembako bulanan saja. THR yang diperoleh responden pun hanya sebesar Rp 50.000,00 dan sembako bulanan yang diperoleh hanya berupa mie instan, kopi, gula dan garam saja. Pada Tabel 13 ditunjukkan jumlah dan presentase responden berdasarkan jaminan keluarga yang diperoleh.
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Jaminan Keluarga Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (skor 9-13) 50 100
Tinggi (skor 14-18) 0 0
Total 50 100
Dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa tidak ada perempuan yang bekerja pada POS (0 persen) yang mendapatkan jaminan keluarga yang tinggi. Semua responden sebanyak 50 pekerja (100 persen) mendapatkan jaminan keluarga yang rendah. Meskipun ada beberapa jaminan keluarga yang mereka peroleh, namun tidak sampai setengah jaminan keluarga yang ada diberikan POS kepada pekerja perempuan, yaitu dari sembilan jaminan keluarga yang ada hanya tiga yang diberikan POS kepada pekerja perempuan. Hal ini didukung dengan pernyataan L (26 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS:
”...ya ga dapet jaminan lah, paling cuma THR lima puluh ribu, utang sama sembako mie, kopi, gula sama garam aja. Orang kerjaannya kaya ginian doang ya ga dapet yang lainnya...”
5.2.3 Jaminan Kerja
Selain pengupahan dan jaminan keluarga, indikator lain untuk melihat tinggi atau rendahnya kondisi kerja perempuan adalah jaminan kerja. Pekerja berhak untuk menerima jaminan kerja berupa libur/cuti jika sakit, hak beribadah, asuransi keselamatan kerja, dan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja, serta fasilitas kerja dan keselamatan kerja seperti pelindung jari. Pada Tabel 14 dapat dilihat jumlah dan presentase jaminan kerja yang diperoleh responden.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Bentuk Jaminan Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Jaminan Kerja
Tidak Diperoleh
(skor 1) Diperoleh (skor 2)
Jumlah Persen Jumlah Persen Memperoleh libur/cuti jika sakit 0 0 50 100
Memperoleh hak beribadah 0 0 50 100
Memperoleh asuransi keselamatan
kerja 50 100 0 0
Memperoleh kompensasi apabila
cacat akibat kecelakaan kerja 50 100 0 0
Memperoleh fasilitas kerja dan
keselamatan kerja (pelindung jari) 50 100 0 0
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa semua responden tidak mendapatkan jaminan kerja yang baik. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa jaminan kerja yang diperoleh pekerja perempuan dari bekerja pada POS hanya berupa libur atau cuti bila sakit dan hak untuk beribadah saja. Jaminan tersebut diberikan oleh POS kepada pekerja perempuan karena memang sistem kerja yang diterapkan membebaskan pekerjanya untuk bekerja atau tidak bekerja. Jam bekerja pun dibebaskan karena upah yang dibayarkan majikan tergantung dari hasil para pekerjanya jadi tidak masalah untuk majikan apabila ada pekerjanya yang tidak bekerja. Pada Tabel 15 ditunjukkan jumlah dan persentase responden berdasarkan jaminan kerja yang diperoleh.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja di Desa Jabon Mekar Bogor, Tahun 2011
Jaminan Kerja Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (skor 5-7) 50 100
Tinggi (skor 8-10) 0 0
Total 50 100
Dapat dilihat pada Tabel 15 bahwa tidak ada (0 persen) responden yang mendapatkan jaminan kerja yang tinggi atau baik. Semua responden (50 persen) mendapatkan jaminan kerja yang rendah atau kurang baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 16, dari lima jaminan yang ada, pekerja perempuan pada POS hanya mendapatkan dua jaminan kerja saja, dimana seharusnya semua jaminan kerja yang ada tersebut diberikan kepada para pekerja perempuan sebagai wujud pertanggung jawaban majikan kepada para pekerjanya. Diberikan atau tidak diberikannya kedua jaminan kerja itu pun tidak akan merugikan perusahaan karena tidak ada kaitannya dengan pemberian upah pekerja. Hal ini didukung dengan pernyataan R (38 tahun) selaku pekerja perempuan dalam POS:
“…jaminan kerja yang dikasih cuma libur sakit sama buat solat doang. Itu sih terserah kita aja soalnya gajinya diitung per potong baju…”