• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARXISME, TEORI KRITIS DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Dalam dokumen Buku Panduan Sas_full Version (Halaman 125-132)

REINVENTING SISTEM KAPITALISME GLOBAL:

J. MARXISME, TEORI KRITIS DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Dalam studi ilmu-ilmu Sosial membahas perspektif Marxisme dan Teori Kritis secara bersamaan, berarti menganalisis sebuah bangun pemikiran (school of thoughts) yang memiliki kecenderungan sama; baik akar filsafatnya, karakter pemikirannya, dan proyek masa depan yang bersifat emansipatoris. Dalam kategori Femia, Teori Kritis ditempatkan sebagai ‘kelanjutan’ dari Marxisme [orthodoks], bukan hanya karena para pemikir teori kritis banyak menggunakan kritik Marx terhadap kapitalisme (konsep keterasingan dan fethisisme) melainkan tetap juga memiliki kepentingan (sama dengan Marxisme melalui revolusi proletariat) untuk mengemansipasi struktur sosial yang timpang tersebut.161 Sementara itu, Fakih menempatkan kedua perspektif tersebut kedalam apa yang disebut ‘teori ilmu sosial kritik.’162

Tulisan ini akan mencoba mengurai dasar-dasar pemikiran Marxisme, bagaimana perkembangannya yang ‘melahirkan’ Teori Kritis, dan bagaimana keduanya menganalisis Studi Hubungan Internasional, berikut persamaan dan perbedaannya. Menempatkan Teori Kritis sebagai ‘kelanjutan’ dari Marxisme, bagi penulis adalah penting, selain karena kedua perspektif tersebut memiliki keterhubungan, dalam konteks Hubungan Internasional-pun, Istilah ‘Teori Kritis’ juga digunakan oleh para ilmuwan Hubungan Internasional untuk menjelaskan sejumlah perspektif yang didalamnya termasuk; Marxisme, Teori Kritis Mazhab Frankfurt, dan Teori Kritis yang dekat dengan pemikiran-pemikiran Gramsci [Neo-Gramscian].163

161

Joseph V. Femia, 2001, Marxisme dan Komunisme, dalam Ideologi Politik Kontemporer, editor Eatwell & Anthony Wright (terj), Yogyakarta: Penerbit Jendela. Disadur dari http://www.timurmatahari.com

162

Mansour Fakih, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 163

Martin Griffiths, 2001, Lima Puluh Pemikir Studi hubungan Internasional, terj. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sterling-Folker, Jennifer, 2006. Making Sense of Internatioanl Relations Theory, London: Lynne Rienner Publishers

[1] Marxisme

Perspektif ini merujuk pada pemikiran-pemikaran Karl Marx (1818-1883). Marx banyak menganalisis mengenai perubahan-perubahan struktur ekonomi-politik di abad kesembilan belas, transformasi dari corak produksi feodalisme menuju kapitalisme. Berbeda dengan para pemikir sebelumnya (Adam Smith dan David Ricardo)–kedua tokoh tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Marx–yang menganggap bahwa hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis bersifat dinamis dan saling-menguntungkan, Marx justru menganggap bahwa hubungan produksi tersebut bersifat timpang dan eksploitatif.164 Kapitalisme (sebagaimana Feodalisme) merupakan gerak dialektik yang menyejarah dari hubungan produksi dan menempatkan masyarakat kedalam dua bentuk kelas sosial yang bersifat antagonistik, yakni kelas Burjois (pemilik modal) dan kelas Buruh (Pekerja).

Teori surplus value ini adalah kontribusi penting Marx untuk melihat ekploitasi dan pencurian terhadap buruh yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Intinya adalah, adanya perbedaan antara kemampuan bekerja yang dibeli oleh majikan dengan pembelanjaan actual dari energi manusia dan keahlian, yang dimiliki oleh buruh ketika bekerja. Pada akhirnya, teori ini berpandangan bahwa dalam sistem kapitalis pemilik modal selalu mengupah buruh dengan harga yang kurang dari nilai yang diciptakan kemampuan tersebut digunakan dan komoditi diproduksi. Posisi buruh yang lemah dalam struktur kapitalis ketika berhadap-hadapan dengan pemilik modal, membuat situasi eksploitasi semakin besar.

Kapitalisme pada akhirnya akan mengakibatkan konsentrasi modal yang besar ditangan para kapitalis dan menyebabkan meluasnya kemiskinan dan pengangguran. Eksploitasi yang kejam terhadap kelas pekerja akan menimbulkan perlawanan dan solidaritas sesama kelas pekerja. Dalam kondisi yang penuh kontradiksi ini, kelas pekerja akan mengorganisir dirinya untuk mengambil-alih kepemilikan alat-alat produksi dari tangan pemilik modal, dan yang pada akhirnya mengubah seluruh relasi dan struktur produksi secara fundamental melalui sebuah revolusi sosial.

Pada titik ini, Marx adalah orang pertama yang menerapkan ’dialektika-materialisme-historis’ untuk menganalisis fase-fase perkembangan masyarakat. Berbeda dengan idealisme Hegel, Marx memandang bahwa fase perkembangan masyarakat dipenuhi oleh kontradiksi antara kekuatan-kekuatan produksi. Kontradiksi tersebut melahirkan krisis, memicu terjadinya revolusi dan pada akhrinya membentuk sebuah formasi baru dalam tahap perkembangan masyarakat.

Bagi Marx, hubungan produksi juga merupakan landasan bagi masyarakat, tempat ditegakannya supra-struktur hukum dan politik, dan menghubungankan bentuk-bentuk kesadaran tertentu. Sistem hukum, lembaga politik dan kebijakan hanyalah mengabdi pada hubungan kelas yang ada. Kesadaran umum masyarakat – ide, nilai – dibentuk oleh hakekat produksi.165 Dengan kata lain, setiap fase sejarah selalu mencerminkan hubungan-hubungan produksi dan pertarungan kelas (terbagi menjadi dua dan bersifat antagonistik), bahwa kondisi material tersebutlah yang akan menghasilkan kesadaran.

Dititik ini, Marx sangat ‘mengagungkan’ determinisme ekonomi sebagai penggerak perubahan dalam struktur sosial-politik masyarakat. Dengan kata lain, dari sudut pandang materialisme historis, sejarah direduksi hanya sebagai manifestasi dari mode produksi. Sejarah bisa dianalisis sebagai proses objektif evolusi, tidak memiliki hubungan dengan kita dan apa yang kita perbuat, dan tunduk pada hukum-hukum yang tak terelakan.166 Perubahan pada level mode of production (basis struktur) adalah determinan utama yang mempengaruhi perubahan pada level supra-struktur (ideologi, politik, sosial, kebudayaan, hukum). Konsekuensinya, fase

164

Mochtar Mas’oed, 1998, Merkantilisme dan Strukturalisme: Gagasan anti-liberal, dalam Perspektif

Ekonomi-Politik dalam Studi Hubungan Internasional, Bahan Matrikulasi, Program Pasca Sarjana Konsentrasi Studi

Hubungan Internasional, UGM. 165

Joseph V. Femia, 2001, Op. Cit., hlm. 144. 166

Muhadi Sugiono, 1999, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 23.

menuju masyarakat komunisme sebagai ’akhir sejarah’ (meminjam ’roh absolut’ Hegel) adalah kemutlakan sejarah – sebuah Darwinisme Sosial.

Pada perkembangannya, pemikiran-pemikiran Marx tersebut berkembang menjadi suatu pandangan-dunia yang sitematis dan komprehensif yang menginspirasi banyak orang, baru muncul ketika Marx wafat–Marxisme.167 Empat orang yang berperan besar untuk menjadikannya marxisme adalah Engles, Kautsky, Plekanov dan Lenin. Ketiga tokoh awal lebih banyak memfokuskan dirinya untuk mengembangkan Materialisme-Dialektika-Historis-nya Marx menjadi semacam doktrin ’sains sosial’. Determinisme ekonomi dikembangkan dengan mendasarkan pada hukum-hukum mutlak gerak materi pada alam. Akibatnya, Marxisme ’berubah’ menjadi sangat ’ilmiah’ dan berkarakter positivisme. Hal ini juga lah yang akhirnya menguatkan presepsi para Marxist orthodoks mengenai kemutlakan komunisme– ideologi gerakan buruh dibawah panji Sovyet–dan melahirkan beragam kritik dari ’dalam’, terutama para ’Marxist Barat’; Gramsci dan para teoritisi Mazhab Frankfurt.

Disaat yang sama, Lenin (tokoh revolusi Rusia, 1917) mengembangkan sebuah teori yang sangat menarik mengenai Imperialisme – sebuah teori yang juga sangat berpengaruh dalam studi ilmu hubungan internasional. Dengan merujuk pada fenomena Perang Dunia I, Lenin memandang bahwa imperialisme berhubungan perkembangan internal kapitalisme serta hubungan antara negara maju dengan negara terbelakang. Fase kapitalisme internasional ini ditandai dengan (1) tumbuhnya monopoli, (2) bertambahnya kontrol lembaga-lembaga keuangan atas industri, (3) mengalirnya modal ke negara terbelakang untuk mengeksploitasi buruh murah dan terbelakang, (4) kontrol politik (neo-kolonial) yang langsung atau tidak langsung terhadap negara-negara yang kurang berkembang oleh kekuatan-kekuatan kapitalis.

Dengan kata lain, imperialisme sesungguhnya didorong oleh perkembangan dan krisis inhern kapitalisme. Eksploitasi terhadap negara-negara jajahan adalah cara untuk untuk menghasilkan laba tinggi dan memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara-negara tersebut, tenaga buruh yang murah, dan dengan begitu mampu menghidari krisis internal kapitalisme akibat merosotnya tingkat keuntungan dan over-produsksi. Kemerosotan ekonomi dan pertumbuhan monopoli merupakan dua kata kunci yang mendorong terjadinya imperialisme.

Dengan demikian, teori imperialisme sesungguhnya hanya memindahkan pertarungan kelas yang bersifat domestik menjadi internasional–teori semacam inilah yang pada perkembangannya banyak mempengaruhi para sarjana Hubungan Internasional, semisal Wallerstein dengan ’Teori Sistem Dunia’ dan para penganut teori Dependensia. Lebih lanjut, persaingan negara-negara kapitalis untuk merebut tanah jajahan memicu ketegangan internasional dan perang. Bagi Lenin, perang tersebut adalah indikasi bagi kemunduran (kehancuran) kapitalisme internasional–sebuah pandangan yang implisit merujuk pada kehancuran kapitalisme akibat perkembangan sejarah.

[2] Menuju ’Teori Kritis’

Perkembangan Marxisme [orthodoks] yang terlampau ekonomistik dan mereduksi manusia hanya sebagai ’objek’ dari struktur produksi yang ada, mendorong Gramsci (seorang Marxis Italia) untuk ’menambahkan’ unsur subjektif dalam pendekatan Marxisme. Bagi, Gramsci sains sosial yang dikembangkan oleh Marxisme orthodoks, mendistorsi peran-peran manusia sebagai ’agen’, dimana fluktuasi ideologi dan politik hanya merupakan ekspresi dari basis struktur (ekonomi).168

Lebih lanjut, Gramsci berpendapat bahwa bertahannya kapitalisme dari krisis internalnya, bukan semata-mata karena mampu memperbaiki hubungan-hubungan produksinya menjadi fleksibel melainkan karena mampu membangun konsensus mengenai universalisasi ide-ide kapitalisme dengan kelompok subordinat. Artinya, manipulasi melalui mekanisme sosialisasi seperti media massa mengenai keunggulan spritul dan kultural kelas penguasa

167

Joseph V. Femia, 2001, Op. Cit., hlm. 148. 168

menjadikan kelas subordinat secara tak sadar menerima ketertindasan tersebut. ’Perang ide’ merupakan gambaran Gramsci mengenai kondisi ini.169

Dalam konteks ini, Gramsci kemudian mengembangkan apa yang disebutnya sebagai ’hegemoni’; seluruh kompleks aktivitas pratiks dan teoritis dimana kelas berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominasinya, tetapi juga berusaha memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai. Artinya, sebuah hubungan hegemonik akan terjadi apabila kelompok berkuasa mendapat legitimasi dari kelompok subordinat atas subordinasinya. Legitimasi tersebut tidak ditatantang karena baik ideologi, nilai, kultur diinternalisasikan sedemikian rupa sebagai ’milik’ kelompok tertindas.

Pada perkembangannya, terminologi teori kritis lebih banyak dihubungkan dengan pandangan Frankfurt School (Mazhab Frankfurt), seperti, Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benyamin, Herbert Marcus, Erich Fromm dan Jurgen Habermas. Implisit dari karekter pemikiran mereka ialah upaya untuk membangun emansipasi manusia terhadap modernitas dan kemajuan kapitalisme yang ’menghancurkan’ potensi kemanusiaan.

Karakter emansipatoris teori kritis tercermin melalui beberapa syarat, yaitu; a) bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya; b) berpikir secara historis, berpijak pada masyarakatnya dalam kondisi yang ‘historis’; c) tidak memisahkan teori dari praktek, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif.170 Dengan demikian, teori kritis lebih bersifat reflektif (yaitu, ’membongkar’ segala bentuk tatanan sosial yang dominatif, timpang, tidak adil dan tidak setara) ketimbang mengutamakan objektifitas ilmu pengetahuan. Pada titik ini, teori kritis sebenarnya beroposisi dengan pandangan kaum behavioralisme yang menekankan pada positivisme ilmu pengetahuan, bebas nilai, objektivitas dan pembedaan tegas antara subjek (peneliti) dan objek (yang diteliti), sehingga oleh beberapa ilmuwan teori kritis dikategorisasikan kedalam postbehavioralism.

Kemunculan teori kritis adalah ’reaksi’ dan kritik terhadap positivisme ilmu pengetahuan yang sangat dijunjung oleh kaum behavioralism. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kehadiran teori kritis bukanlah sesuatu yang muncul dari ruang hampa melainkan hasil dialektika dari pelbagai pemikiran tradisi kritis sebelumnya – sebuah perpaduan apik dari pemikiran Kant, Hegel, Marx dan Psikoanalisis Freud; Kant memahami kritik sebagai upaya untuk mengenal keterbatasan rasio dalam setiap klaim pengetahuan; Hegel memahami kritik sebagai refleksi diri atas berbagai rintangan, tekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari rasio dalam sejarah; Marx memahami kritik sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan usaha-usaha alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, sementara Freud memahami Kritik sebagai pembebasan individu dari irrasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi sadar.

Horkheimer menyebutnya Teori Kritis (sebagai pembeda atas Teori Tradisional – Behavioralisme), yang setidaknya memiliki empat karakter, yaitu; pertama, teori kritis bersifat historis, artinya diperkembangkan oleh berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak diatasnya; kedua, teori kritis disusun atas kesadaran akan keterlibatan para pemikirnya; ketiga, teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual; dan keempat, teori kritis itu merupakan teori yang bersifat praktis.171

[3] Marxisme dan teori Kritis dalam Studi Hubungan Internasional

Dalam studi Hubungan Internasional, kedua perspektif ini memiliki kecenderungan yang sama, yakni sikap kritisnya terhadap kapitalisme internasional, yang eksploitatif dan timpang. Bahkan tak jarang digunakan secara ’bersamaan’ untuk menganalisis dominasi sistem kapitalis dunia, sumber-sumber ketidakadilan struktural yang terdapat dalam sistem

169

Joseph V. Femia, 2001, Op. Cit. 170

Doni Gaharal Adian, 2005, Percik Pemikiran Kontemporer; Sebuah Pengantar Komprehensif, Bandung: Jalasutra.

171

Fransisco Budi Hardiman, 2004, Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Ilmu Pengetahuan Bersama

internasional, merefleksikan secara kritis kondisi-kondisi historis yang mendasari ketidakadilan tersebut, kekuatan-kekuatan material dan ideologis yang mempertahankannya, dan berupaya untuk menciptakan kekuatan-kekuatan potensial yang memungkinkan terjadinya transformasi radikal struktur internasional yang lebih adil.172

Selain itu, baik Marxisme maupun Teori Kritis memiliki kecenderungan untuk membangun konstruksi baru tatanan internasional yang memungkinkan tercapainya emansipasi universal. Jika perspektif Marxisme melalui Imanuel Wallerstein lebih menekankan pada upaya untuk menciptakan tata ekonomi dunia yang berkeadilan ekonomi dan politik, melalui gerakan sosial nasional menuju skala global, upaya untuk mencapai emansipasi universal tersebut bagi kelompok Teori Kritis, dapat dilakukan dengan membongkar diskurus dominan yang menguasai sistem internasional sekaligus mensubordinasi kelas sosial tertentu untuk mewujudkan seluruh kapasitas potensialnya.

Perbedaan pokok diantara keduanya ialah, jika Marxisme lebih menekankan pada analisis ekonomi (perdagangan internasional) untuk membongkar berbagai ketimpangan dalam sistem kapitalis dunia, dan ’mengabaikan’ peran ide/subjek (manusia), Teori Kritis lebih memfokuskan dirinya pada ’agen’, yakni berupaya untuk menjelaskan bagaimana peran agen (ide/diskurusus) dan hubungan-hubungan intersubjektif (melibatkan individu, kelas sosial tertentu) yang berupaya untuk ’melanggengkan’ kekuasaan politik tertentu – dititik ini, penulis melihat bahwa Teori Kritis dalam studi Hubungan Internasional berada dalam konteks untuk ’menggenapi’ beberapa hal yang tak mampu dijangkau oleh Marxisme.

Teori ’Modern World System’ oleh Wallerstein, seringkali direpresentasikan sebagai salah satu pendekatan Marxisme dalam memahami ekonomi-politik internasional. Menurut Wallerstein, ekonomi dunia merupakan satu-satunya sarana pengorganisasian dalam sistem internasional. Sistem dunia modern itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut; suatu mekanisme pembagian kerja tunggal dimana masing-masing negara saling tergantung pada pertukaran ekonomi; penjualan produk dan barang untuk memperoleh keuntungan; dan yang terakhir adalah, pembagian dunia kedalam tiga wilayah fungsional atau unit-sosio ekonomi, yang sesuai dengan peran yang dimainkan oleh negara dari masing-masing wilayah tersebut didalam ekonomi internasional.173 Ketiga wilayah tersebut terdiri dari core, semi-peri-phery dan

periphery. Yang kaya dari wilayah core (Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang) digerakan atas

penderitaan wilayah periphery (Dunia Ketiga).174 Sementara wilayah semi-periphery adalah perantara dari dua kutub wilayah tersebut.

Secara umum Wallerstein, memandang bahwa politik kekuasaan dan perbedaan yang ada di dunia ini ditentukan oleh struktur ekonomi dunia yang bercorak kapitalistik. Negara-negara inti berupaya sedemikian rupa untuk untuk memaksimalisasi keuntungan ekonominya atas eksploitasi terhadap negara-negara pinggiran. Dengan demikian, politik global sesungguhnya ditentukan oleh kepentingan para kapitalis internasional untuk memonopoli pasar dan sengaja menciptakan ketergantungan bagi negara-negara pinggiran. Teori ini juga menekankan pada konsep ’unequal exchange’ (pertukaran tak seimbang) antara pusat dan pinggiran yang memungkinkan negara-negara pusat untuk menyerap nilai-lebih dari negara pinggiran karena adanya ’perbedaan dalam upah.’175

Kritik terhadap struktur ekonomi global juga datang dari kelompok Dependensia (Gunder Frank, Codoso, Dos Santos) secara umum kelompok ini mempermasalahkan ketergantungan ekonomi negara-negara Amerika Latin terhadap struktur ekonomi ’eksternal’, yang menyebabkan underdevelopment di kawasan tersebut. Ketergantungan tersebut disebabkan oleh integrasi penuh negara-negara Amerika Latin kepada sistem kapitalis global. Sistem perdagangan yang tak seimbang antara center dan periphery merupakan salah satu objek

172

Martin Griffiths , 2001, Op. Cit., hlm. 147. 173

Mochtar Mas’oed , 1998, Op. Cit. 174

Robert Jackson & Sorensen, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 175

Bonnie Setiawan, 1999, Peralihan Kapitalisme ke Dunia Ketiga: Teori-teori Radikal Klasik sampai

analisis dari kelompok ini untuk membongkar strktur kapitalisme internasional yang bersifat eksploitatif–kondisi dimana hegemoni AS menjadi sangat dominan dalam struktur ekonomi-politik di kawasan ini.

Secara umum, kedua pemikiran ini mengadopsi pendekatan Marxisme terutama mengenai struktur imperial dalam tatanan internasional yang dikembangkan oleh Lenin. Kendati demikian, pemikiran tersebut tidak serta merta merefleksikan perspektif Marxisme secara penuh, mengingat pendekatan mereka yang lebih memfokuskan pada ketimpangan dalam struktur perdagangan intenasional sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan para kapitalis internasional, ketimbang mempermasalahkan ’mode of production’. Konteks ini jugalah yang kemudian banyak dikritik oleh para pemikir Marxist lainnya, yaitu kelompok ’produksionis’ yang lebih menekankan pada mode produksi sebagai cara untuk menganalisis peralihan kapitalisme ke negara-negara dunia ketiga.176

Disisi lain, Perspektif Marxisme yang berpandangan bahwa negara merupakan refleksi dari pertarungan kelas, dan menjadi ’alat’ bagi kelas pemilik modal (berkuasa) untuk menjaga kemapanan kekuasaannya, dengan sekaligus mensubordinasi pekerja (kelas tertindas) lewat aparatus negara. Maka dalam konteks Hubungan Internasional, Perspektif Marxisme juga memandang struktur internasional juga merupakan representasi dari kontradiksi kelas dalam batasan yang lebih luas. Kelas dominannya ialah kapitalisme internasional, yang beroperasi dengan memanfaatkan institusi internasional (lembaga keuangan dan perdagangan), pasar bebas, dan perkembangan teknologi. Dalam konsepsi Marxisme, globalisasi hanyalah bentuk lanjut dari perkembangan kapitalisme, yang pada masa lalu orang menyebutnya kolonialisme. Negara (baik core-periphery) bertugas untuk mengamankan kepentingan para kapitalis ini, begitu juga sistem internasional pun harus dikonstruksi sedemikian rupa untuk melanggengkan kepentingan kapitalisme internasional.

Sementara itu, seperti juga yang digambarkan sebelumnya, Teori Kritis dalam Hubungan Internasional dipengaruhi oleh dua bentuk pemikiran, yaitu Gramscian dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt.177 Secara umum mereka menentang pandangan kaum realis dan liberalis yang sangat percaya bahwa struktur hubungan internasional (termasuk negara) merupakan sesuatu yang ’taken for granted’. Menurut mereka, realitas hubungan internasional merupakan cerminan dari hubungan antara kekuatan-kekuatan sosial (material, ideologi, institusi) yang berada didalamnya. Olehnya, struktur internasional dipandang sebagai konstruksi kekuatan-kekuatan tersebut untuk mempertahankan kepentingannya.

Artinya, tidak ada politik internasional dan ekonomi global yang berjalan dengan hukum yang kekal. Segala sesuatu, termasuk hubungan internasional adalah historis sifatnya, sehingga dunia sosial merupakan konstruksi waktu dan tempat; sistem internasional merupakan konstruksi khusus dari negara-negara yang paling kuat. Sejak politik dunia dikonstruksi daripada ditemukan, tidak ada perbedaan mendasar antara subjek (analis) dan objek (fokus analisis).178 Karena bersifat emansipatoris, teoritisi kritis dalam hubungan internasional berupaya mengkondisikan adanya kemungkinan transformasi global, yang bertujuan untuk menghilangkan berbagai bentuk penindasan dalam hubungan internasional sehingga tercapai kebebasan universal dan kesetaraan

Berbeda dengan Marxisme yang lebih mengedepankan relasi ekonomi semata, Teori Kritis lebih banyak berhubungan dengan peran ide dan gagasan dalam membentuk formasi politik, ekonomi, sosial, budaya yang mengukuhkan dominasi kelompok tertentu dalam struktur internasional. Bangun pengetahuan dan gagasan yang oleh kalangan Marxis tidak banyak dianalisis dan dianggap sekedar refleksi dari hubungan-hubungan produksi, oleh Teori Kritis dianggap bersifat ’otonom’ dan turut mempengaruhi perkembangan kapitalisme (fleksibilitas kapitalisme dan berhasil melewati krisis internalnya); pemberhalaan terhadap konsumen (consumen fetishism) dalam fase kapitalisme lanjut melalui reproduksi wacana

176 Ibid. 177

Jennifer Sterling-Folker , 2006. Op. Cit. 178

konsumerisme, telah mendistorsi ide dan ’menghilangkan’ kemungkinan terwujudnya revolusi sosial.

Sebagaimana pandangan dasar teori kritis mengenai karakter teori (pengetahuan) yang bersifat politis, para teoritikus kritis Hubungan Internasional memandang bahwa pengetahuan bukan dan tidak dapat netral secara moral maupun secara politik atau ideologi. Pengetahuan dengan demikian membuka suatu kecenderungan–sadar atau tidak–selalu merupakan (berisi) kepentingan, nilai-nilai kelompok-kelompok, golongan-golongan, kelas-kelas, bangsa-bangsa tertentu dan seterusnya. Dengan kata lain, tak ada satupun teori Hubungan Internasional yang bisa dikatakan bebas nilai–semuanya memiliki kepentingan.

Robert Cox menunjukan pandangan tersebut dengan menyebutkan bahwa ” teori selalu bagi seseorang dan untuk tujuan tertentu”.179 Dengan meminjam pembedaan teori (antara teori tradisional dan kritis) menurut Horkheimer, Cox kemudian membedakan teori hubungan internasional menjadi; pengetahuan penyelesaian masalah (problem-solving knowledge) dan pengetahuan emansipatoris (emancipatory knowledege). Bagi Cox ’pengetahuan penyelesaian masalah’ bersifat konservatif, memandang struktur hugungan internasional bersifat given, dan hanya untuk mengetahui (menjelaskan) tatanan dunia yang ada saat ini.

Sebaliknya, pengetahuan emansipatoris memandang klaim pengetahuan seperti ini sesungguhnya menyiratkan berbagai kepentingan dari kekuatan sosial dalam struktur internasional. Sehingga klaim realist mengenai dunia yang anarki maupun liberalis mengenai ’desentralisasi sistem politik internasional’ berada dalam konteks historis dan politis. Artinya, keduanya tak lebih dari refleksi kepentingan berbagai aktor untuk ’menguasai’ struktur politik internasional–status quo internasional. Dengan kata lain, teori kritis tidak bersifat netral; politis dan etis, untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur internasional yang ’menindas’.

Cox adalah orang yang menerapkan pendekatan Gramscian dalam studi Hubungan Internasional. Dengan mengembangkan konsep hegemoni Gramsci pada level internasional, Cox berpandangan bahwa tatanan dunia bersifat hegemonik (dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan hegemon). Sistem hegemonik ini dikonstruksikan sedemikian rupa oleh ’blok historis’ tertentu (berupa negara, kelas sosial, institusi) untuk menjaga dominasinya dalam struktur internasional. Untuk menjamin dominasi tersebut, sebuah konsep universal mengenai tatanan dunia dikembangkan oleh negara hegemonik, sebuah tatanan yang dikonstruksi mampu berhubungan dengan kepentingan kebanyakan negara di dunia ini.

Lebih lanjut, hegemoni dalam hubungan internasional tidak hanya menyangkut tatanan antar negara, melainkan juga berhubungan dengan tatanan ekonomi dunia, dimana adanya penetrasi mode produksi dominan ke seluruh dunia dan mensubordinasi mode produksi lainnya. Hubungan internasional lebih merupakan refleksi dari hubungan antara kelas-kelas sosial dari berbagaimacam negara. Secara umum, tatanan dunia yang hegemonik, melahirkan berbagaimacam norma universal, institusi dan mekanisme, yang pada akhirnya menjadi aturan

Dalam dokumen Buku Panduan Sas_full Version (Halaman 125-132)