BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
21.5 Gejala dan Tanda Rabies Pada Manusia
2.1.7 Masa Inkubasi
Rabies adalah penyakit yang menyerang saraf mamalia, hampir selalu fatal
setelah gejala klinis berkembang. Manusia berisiko terinfeksi ketika mereka digigit
oleh hewan yang terinfeksi. Luka pada jaringan tubuh manusia terkena air liur hewan
yang terinfeksi sehingga sampai ke sistem saraf pusat (SSP). Masa inkubasi adalah
waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit
2.1.7.1Masa Inkubasi Pada Manusia
(CFSPH, 2009).
Pada manusia, masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa tahun. Sebagian
besar kasus menjadi jelas setelah 1 sampai 3 bulan. Dalam sebuah penelitian, sekitar
2.1.7.2 Masa Inkubasi Pada Hewan
Masa inkubasi bervariasi, tergantung jumlah virus yang masuk kedalam tubuh,
jika gigitan lebih dekat ke kepala, maka kekebalan dan sifat luka host akan
mengalami masa inkubasi yang lebih pendek. Pada anjing dan kucing, masa inkubasi
adalah 10 hari - 6 bulan, kebanyakan kasus menjadi jelas antara 2 minggu dan 3
bulan. Pada sapi, masa inkubasi dari 25 hari sampai lebih dari 5 bulan. Kelelawar
2.1.8 Diagnosa Rabies
dilaporkan juga sudah tertular rabies.
Untuk kepastian diagnosis dilakukan pemeriksaan spesimen secara
laboratorium. Untuk menjamin akurasi hasil diagnosa rabies, hanya laboratorium
tertentu yang diakui pemerintah sebagai laboratorium yang berkompeten
melaksanakan uji (Akoso, 2011).
2.1.8.1 Diagnosa pada Manusia
Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat
menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis
kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada
kasus dengan perjalanan yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan
mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal
dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil
berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. Pemeriksaan Flourescent
Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen
cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi
tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum
neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat.
Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6-10 setelah onset klinis pada
penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik respon imun ini, pada kasus
yang divaksinasi dapat membantu diagnosis. Walaupun secara klinis gejalanya
patognomonik namun negri bodies dengan pemeriksaan mikroskopis (seller) dapat
negatif pada 10-20 % kasus, terutama pada kasuskasus yang sempat divaksinasi dan
penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu (Depkes RI, 2000).
2.1.8.2 Diagnosis pada Hewan
Pada hewan, virus rabies biasanya diidentifikasi dengan Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) atau imunofluoresensi melalui sampel otak. Virus ini juga dapat ditemukan pada jaringan lain seperti kelenjar ludah, kulit (taktil
folikel rambut wajah) dan pada kornea. Immunofluorescence dapat mengidentifikasi
98-100% kasus yang disebabkan oleh semua genotipe virus rabies dan rabies terkait,
dan yang paling efektif pada sampel segar. Tes-tes lain untuk mendeteksi virus ini
termasuk tes immunosorbent imunohistokimia dan enzyme-linked (ELISA). RT-PCR
besar sampel harus diuji dalam wabah atau survei epidemiologi. Histologi untuk
mendeteksi bahan agregat virus pada neuron adalah tidak spesifik, dan ini tidak
dianjurkan jika teknik yang lebih spesifik yang tersedia. Serologi kadang-kadang
digunakan untuk menguji serokonversi pada hewan peliharaan sebelum perjalanan
internasional atau satwa liar dalam kampanye vaksinasi. Tes serologi meliputi tes
netralisasi virus dan ELISA
2.1.9 Cara Penularan
(CFSPH, 2009).
Ar liur binatang yang sakit mengandung virus yang dapat ditularkan melalui gigitan
atau cakaran (dan sangat jarang sekali melalui luka baru di kulit atau melalui selaput lendir yang utuh). Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur dari orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan terjadi di suatu gua dimana terdapat banyak kelelawar yang hinggap dan pernah juga terjadi di laboratorium, namun kejadiannya sangat jarang. Di Amerika Latin, penularan melalui kelelawar yang terinfeksi kepada binatang domestik sering terjadi. Di Amerika Serikat kelelawar pemakan serangga jarang menularkan rabies kepada binatang di darat baik kepada binatang domestik maupun
binatang liar (Chin, 2000).
2.1.10 Pola Penyebaran
tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan cirri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami dan yang sering terjadi pola peenyebaran Rabies. Pada umumnya manusia merupakan dead end atau terminal akhir dari korban gigitan. Anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif Rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) Rabies (Civas, 2011).
Gambar 2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan
Sumber : Civas (2011)
2.1.11 Epidemiologi Rabies
a. Berdasarkan Orang
Rabies pada orang ditemukan setiap tahun diberbagai daerah endemik di
Indonesia, sebagaimana juga ditemukan kasus pada hewan. Jumlah orang digigit
dan meninggal karena rabies sebanding dengan jumlah kasus pada hewan di tiap-
tiap daerah. Dalam lima tahun terakhir (2000-2004), jumlah orang meninggal
Anjing Liar Anjing Peliharaan
dunia di Sumatera Barat karena rabies sebanyak 51 orang, Sulawesi Utara 37
orang, Sulawesi Selatan 59 orang, Sulawesi Tenggara 64 orang, dan Flores 91
orang. Ditinjau dari segi umur orang yang digigit HPR di Sumatera Barat paling
banyak berumur 17-55 tahun (27,78 %), diiukuti umur 6-12 tahun (17,30 %),
begitu pula di Provinsi Riau paling banyak berumur 17-55 tahun (20,62 %),
diikuti umur 6-12 tahun (14,20 %). Sedangkan Provinsi Jambi orang paling
banyak digigit HPR pada kelompok umur 17-55 tahun (26,01 %), berikutnya
kelompok umur balita sebanyak (19,22 %). Apabila ditinjau dari segi jenis
kelamin, baik di Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau
kebanyakan orang yang digigit adalah jenis kelamin laki-laki (Akoso, 2011).
b. Berdasarkan Tempat
Di berbagai belahan dunia sangat susah untuk mengestimasikan jumlah kasus
kematian yang disebabkan oleh Rabies. Hal in terkait dengan sistem surveillans
dan tidak adanya laboratorium yang cukup memadai di berbagai belahan
dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun meninggal dunia
karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO,
2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil
dibawah 15 tahun (WHO, 2008). Penyebaran utama penyakit Rabies ini adalah
gigitan dari anjing yang terkena Rabies. Kematian umumnya disebabkan tidak
adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment)
c. Berdasarkan Waktu
Rabies di Indonesia ditemukan pada tahun 1884 di Jawa Barat; 1953 di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat; kemudian tahun 1956 di Sumatra Utara.
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatra Selatan tahun 1959;
Lampung 1969; Aceh tahun 1970; Jambi, DI Yogyakarta tahun 1971; DKI
Jakarta, Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun
1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah tahun 1978; Kalimantan Selatan
tahun 1981 dan Flores tahun 1997. Kalimantan Barat tahun 2005; Pulau Bali
tahun 2008; dan Pulau Nias, Pulau Maluku tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011).
2.2 Pencegahan
Indonesia, sebagai negara yang endemik rabies dengan anjing sebagai penular
utama, eliminasi anjing merupakan tindakan penting sekiranya dapat diterima secara
struktur sosial dan dalam capaian pengaturn finansial dari pemerintah. Dinegara yang
penularannya melibatkan satwa liar, pengendalian secara tuntas memang mengalami
banyak kendala, namun gigitan oleh anjing tetap juga merupakan bahwa tejadinya
rabies ke orang. Pengendalian populasi anjing merupakan faktor penting dalam usaha
memberantas rabies dan pengamanan terhadap kesehatan masyarakat. Program
pengendalian rabies harus didasarkan atas pengetahuan epidemiologi penyakit dan
pemahaman daur kehidupan hewan penular rabies (HPR) didaerah tertentu. (Akoso,
Pencegahan rabies terdiri 3 (tiga) yaitu pencegahan primer (prinsip dasar),
pencegahan sekunder (pengendalian) dan pencegahan tertier (pemberantasan).