• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT

RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

KENANGAN T.H. PURBA 097032050/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(2)

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT

RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KENANGAN T.H PURBA 097032050/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

Nama Mahasiswa : Kenangan T.H Purba Nomor Induk Mahasiswa : 097032050/IKM

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes) (drh. Rasmaliah, M.Kes Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 27 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes Anggota : 1. drh. Rasmaliah, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PERSEPSI PENCETUS DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES

DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATEN TAPANULI TENGAH

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(6)

ABSTRAK

Pemilik anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan belum adanya informasi tentang hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di Kecamatan Sarudik, yang memiliki anjing yaitu sebanyak 376 KK, yang tinggal di 4 (empat) kelurahan dan 1 (satu) desa. Sampel sebanyak 210 orang, diambil dengan metode klaster dan dibantu program C-Survey. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies adalah pengetahuan pemilik anjing dan faktor pencetus (ancaman dan kematian) dan variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies.

Perlu peningkatan penyuluhan tentang pencegahan penyakit rabies secara berkesinambungan dan terpadu melalui program Promkes (Promosi Kesehatan) oleh kader kesehatan di Posyandu, petugas dari puskesmas dan dukungan dari pemerintah kecamatan dan desa. Pemilik anjing dan Dinas Peternakan Kabupaten Tapanuli Tengah supaya melaksanakan vaksinasi anjing peliharaan, mengikat anjing, membuat penutup moncong dan mengeliminasi anjing tak bertuan, membuat peraturan daerah tentang kepemilikan anjing yang sah, syarat kepemilikan dan sanksi yang jelas karena akibat gigitan anjing yang terinfeksi rabies dapat mengakibatkan kematian.

(7)

ABSTRACT

Dog owner’s in the Sarudik Subdistrict have a culture not to make cages for their dogs, so that their dogs will not roam freely in and out of the house. This situation is caused due to lack of knowledge and lack of information about the relationship between knowledge, perception about precipitating factors and the prevention of rabies.

This study aimed to analyze the relationship between knowledge, perception about factors precipitating factors and the prevention of rabies. This study is a survey research using cross-sectional approach. The population in this study was all head of house hold in Sarudik Subdistrict, which has dog as many as 376 head of house hold, lived in 4 (four) villages (Kelurahan) and 1 (one) village (Desa). Sample of 210 head of house hold, was taken with the cluster method and is assisted C-Survey program. Data were obtained by questionnaire interviews, analyzed by multiple logistic regression at α = 5%.

The results showed that the factors related to the prevention of rabies were the dog owner's knowledge and perception about precipitating factors (namely perception about threat and death) and the variable of knowledge is the most dominant variable related to prevention of rabies.

Need to increase integreated and continuous education about rabies prevention through Health Promotion Program by health cadres in integrated service post (Posyandu), health center personels and support from the subdistrict and village governments. Dog owner’s and Tapanuli Tengah District Veterinary Office should do vaccination to their dogs, tie the dogs, fix the dog’s muzzle and eliminate the no-man's dog, make local regulations about official dog ownership, ownership requirements, and clear sanctions because rabies from dog bites can lead to death.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Pengetahuan

Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah”

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat

dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak.

Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara

5. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis

selesai.

6. drh. Rasmaliah, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu

untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

7. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan drh. Hiswani, M.Kes, sebagai komisi

penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan

demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Camat Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah dan jajarannya yang

telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin

sampai selesai penelitian ini.

9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua orang tua saya Ayahanda Harapan Dame Purba dan Ibunda Henny

(10)

11. Istri tercinta Hera Valentina dan kedua anak saya Yohana Debyola C. Purba dan

Mirella Stephanie Purba, yang membuat saya terdorong untuk belajar dan belajar.

12. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa FKM Universitas Sumatera Utara, yang

saling menopang dan memberi pendapat keilmuan dalam belajar.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,

semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2013

Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Kenangan Tulus Halashon Purba, lahir pada tanggal 06 Februari 1976 di

PO. Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah, anak kedua dari empat bersaudara dari

pasangan Ayahanda Harapan Dame Purba dan Ibunda Henni Nainggolan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SD Inpres No 155708

PO. Manduamas, selesai Tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri

Manduamas, selesai tahun 1990, Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist -1

Medan, selesai Tahun 1993, Akademi Keperawatan Imelda Medan, selesai Tahun

1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai Tahun

2004.

Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Keperawatan Imelda

Medan tahun 1998, staf pengajar di Akademi Kebidanan Imelda Medan tahun 2002,

Staf RSU Imelda Pekerja Indonesia 1998-2011, Staf Puskesmas Manduamas

Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011, Staf Puskesmas Saragih Kabupaten Tapanuli

Tengah tahun 2012 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 dan

(12)

DAFTAR ISI

21.5 Gejala dan Tanda Rabies Pada Manusia………... 19

2.1.6 Gejala dan Tanda Rabies Pada Anjing………... 21

(13)

2.3.2 Kebijakan dan Strategi………...………... 34

2.3.3 Kegiatan ……….…………... 34

2.3.4 Monitoring dan Evaluasi………...……… 35

2.3.5 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies...……..…….. 35

2.3.6 Anemnesis……... ………..……..……. 35

2.3.7 Pemeriksaan Fisiik..………...…... 35

2.3.8 Lain-Lain……… ………... 35

2.4 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies……... 37

2.4.1 Penanganan Luka Gigitan………. 38

2.4.2 Pencegahan pada Hewan ………... 40

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pencegahan Rabies……….... 40

2.5.1 Pengetahuan……….. 41

2.5.2 Persepsi ………..……….. 43

2.5.3 Sikap………. 47

2.5.4 Perilaku………. 49

2.5.5 Teori Perilaku Sehat Health Belief Model (HBM)……… 50

(14)

BAB 4. HASIL PENELITIAN………...……… 71 Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 91

5.3 Hubungan Persepsi Kondisi terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………... 92

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Variabel, Definisi Operasional, Cara, Alat, Hasil Ukur dan

Skala……….. 63

3.2 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan, Kondisi, Cedera/Luka,

Ancaman Dan Perkembangan Penyakit... 67

3.3 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Pengetahuan, Kondisi, Cedera/Luka,

Ancaman Dan Perkembangan Penyakit... 69

4.1 Distribusi Penduduk di Kecamatan Sarudik Kabupaten

Tapanuli Tengah Menurut Kelurahan……… 72

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 72

4.3 Distribusi Frekuensi Pencegahan Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 73

4.4 Distribusi Frekuensi Kategori Pencegahan Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 74

4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pemilik Anjing

diKecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………….. 74

4.6 Distribusi Frekuensi Kategori Pengetahuan Pemilik Anjing

(16)

4.7 Distribusi Frekuensi Perkembangan Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 77

4.8 Distribusi Frekuensi Kondisi di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah………..……… 77

4.9 Distribusi Frekuensi Kategori Kondisi Lingkungan di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 78

4.10 Distribusi Frekuensi Cedera/Luka di Kecamatan

SarudikKabupaten Tapanuli Tengah……….. 78

4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Cedera/Luka di Kecamatan

Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 79

4.12 Distribusi Frekuensi Ancaman di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 80

4.13 Distribusi Frekuensi Kategori Ancaman di Kecamatan

Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 81

4.14 Distribusi Frekuensi Kematian Akibat Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 81

4.15 Hubungan Pengetahuan dan Faktor Pencetus (Perkembangan

Penyakit, Kondisi, Cedera, Ancaman dan Kematian) dengan Pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 82

4.16 Hubungan Pengetahuan dan Faktor Pencetus (Ancaman

dan Kematian) terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Virus Rabies Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b)… 18

2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan……… 27

2.3 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies…... 37

2.4 Landasan Teori……….. 56

2.5 Keraangka Konsep Penelitian……… 57

3.1 Besar Sampel Hasil Print Screen C Survey………... 60

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian……….. 104

2 Master Validitas dan Relibilitas Data……… 109

3 Uji Validitas dan Reliabilitas………. 110

4 Master Data Penelitian………... 115

5 Hasil Uji Statistik Efi Info………. 132

6 Hasil Uji Statistik STATA………. 151

6 Surat Ijin Peenelitian dari FKM USU……… 153

(19)

ABSTRAK

Pemilik anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan belum adanya informasi tentang hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di Kecamatan Sarudik, yang memiliki anjing yaitu sebanyak 376 KK, yang tinggal di 4 (empat) kelurahan dan 1 (satu) desa. Sampel sebanyak 210 orang, diambil dengan metode klaster dan dibantu program C-Survey. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies adalah pengetahuan pemilik anjing dan faktor pencetus (ancaman dan kematian) dan variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies.

Perlu peningkatan penyuluhan tentang pencegahan penyakit rabies secara berkesinambungan dan terpadu melalui program Promkes (Promosi Kesehatan) oleh kader kesehatan di Posyandu, petugas dari puskesmas dan dukungan dari pemerintah kecamatan dan desa. Pemilik anjing dan Dinas Peternakan Kabupaten Tapanuli Tengah supaya melaksanakan vaksinasi anjing peliharaan, mengikat anjing, membuat penutup moncong dan mengeliminasi anjing tak bertuan, membuat peraturan daerah tentang kepemilikan anjing yang sah, syarat kepemilikan dan sanksi yang jelas karena akibat gigitan anjing yang terinfeksi rabies dapat mengakibatkan kematian.

(20)

ABSTRACT

Dog owner’s in the Sarudik Subdistrict have a culture not to make cages for their dogs, so that their dogs will not roam freely in and out of the house. This situation is caused due to lack of knowledge and lack of information about the relationship between knowledge, perception about precipitating factors and the prevention of rabies.

This study aimed to analyze the relationship between knowledge, perception about factors precipitating factors and the prevention of rabies. This study is a survey research using cross-sectional approach. The population in this study was all head of house hold in Sarudik Subdistrict, which has dog as many as 376 head of house hold, lived in 4 (four) villages (Kelurahan) and 1 (one) village (Desa). Sample of 210 head of house hold, was taken with the cluster method and is assisted C-Survey program. Data were obtained by questionnaire interviews, analyzed by multiple logistic regression at α = 5%.

The results showed that the factors related to the prevention of rabies were the dog owner's knowledge and perception about precipitating factors (namely perception about threat and death) and the variable of knowledge is the most dominant variable related to prevention of rabies.

Need to increase integreated and continuous education about rabies prevention through Health Promotion Program by health cadres in integrated service post (Posyandu), health center personels and support from the subdistrict and village governments. Dog owner’s and Tapanuli Tengah District Veterinary Office should do vaccination to their dogs, tie the dogs, fix the dog’s muzzle and eliminate the no-man's dog, make local regulations about official dog ownership, ownership requirements, and clear sanctions because rabies from dog bites can lead to death.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan

dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

zoonotik. Agen penyebab penyakit ini menginfeksi jaringan saraf, sehingga

menyebabkan tejadinya peradangan pada otak atau ensefaalitis, sehingga berakibat

fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal

oleh masyarakat dan diketahui telah tersebar secara luas diberbagai belahan dunia,

bahkan penyebarannya dari waktu ke waktu selalu betambah luas (Akoso, 2011).

Penularan penyakit zoonosis selain karena kontak langsung dengan hewan,

juga disebabkan oleh faktor ekologi, yakni perubahan cuaca, iklim, dan lingkungan.

Perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial, dan ekonomi serta

perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kesehatan manusia. Untuk

menangani penyakit zoonosis, diperlukan pengembangan disiplin ilmu ecohealth

dengan cara mempersatukan berbagai kalangan, mulai dari dokter, dokter hewan, ahli

konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, hingga ahli perencanaan, untuk

secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem

secara negatif berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Penanggulangannya

tidak hanya dari aspek kesehatan manusia saja, tapi faktor dari hewan dan

(22)

Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat, penurunan angka

kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan pada manusia (human Rabies).

Dalam kaitannya dengan yang hal tersebut, pemberantasan Rabies seharusnya dapat

dimaknai sebagai salah satu langkah pencapaian Millenium Development Goals

(MDG’s) yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan

penularan penyakit bersumber hewan (animal origin diseases). Negara-negara

berkembang termasuk Indonesia belum mampu memberantas rabies karena rendahnya

prioritas terhadap penyakit ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan

(

Penyakit Rabies sering diabaikan atau disebut

Sofyannoor, 2011).

Neglected Zoonosis Diseases

(NZDs). NZDs pada umumnya dirasakan oleh masyarakat pedesaan, hal ini

disebabkan masyarakat pedesaan, masih bergantung pada hasil ternak dan juga

masyarakat pedesaan belum mempunyai akses yang baik terhadap kesehatan, baik

untuk kesehatan manusia ataupun ternak. Dalam melihat dampak secara sosial hal yang

sering dihitung adalah efek langsung suatu penyakit terhadap produktifitas sesorang. Di

Indonesia, sebagai contoh kerugian-kerugain yang diakibatkan oleh NZDs ini juga

signifikan. Dimulai oleh kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia sampai

dengan berkurangnya produktifitas ternak (

Belum diketahui secara pasti kapan rabies mulai dikenal oleh umat manusia

didunia sebagai penyakit menular serta membahayakan kesehatan manusia dan

(23)

ditemukannya pustaka untuk penyakit-penyakit pada anjing pada tahun 1885 sebelum

Masehi (SM), yaitu sejak zaman pre-mozaik di Kota Eshmuna yang dikenal sebagai

zaman raja Hammurabi dari Babylonia Kuno. Pada saat itu telah ditemukan adanya

suatu peraturan khusus tentang kewajiban bagi seorang pemilik anjing untuk

memelihara dan merawatnya dengan baik secara bertanggung jawab (Akoso, 2011).

Rabies masuk ke Indonesia pertamakali dilaporkan terjadi pada jaman

penjajahan Belanda. Schorl pada tahun 1884, melaporkan penyakit rabies menyerang

seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan kasus rabies pada seekor kerbau di

daerah Bekasi dilaporkan Esser pada tahun 1889. Kemudian kasus rabies pada anjing

di Tangerang dilaporkan oleh Penning pada tahun 1890. Kasus rabies pada manusia

dilaporkan oleh E.de Haan, menyerang seorang anak di desa Palimanan, Cirebon

pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies di Indonesia dimulai

pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera

Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969;

Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan

Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975;

Kalimantan Tengah tahun 1978 dan Kalimantan Selatan tahun 1981 (Lampiran

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 344.b/kpts/PD.670.370/

L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis Persyaratan Dan Tindakan

(24)

Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Daerah bebas rabies di Asia secara terbatas antara lain Hongkong, Singapura,

Jepang, Brunai Darussalam dan Bahrain. Beberapa negara maju, seperti Amerika

Serikat dan Kanada, berhasil mengendalikan penyakit rabies dengan menekan kasus

secara optimal pada hewan budi daya atau anjing piaraan, tetapi masih mengalami

kesulitan dan belum berhasil untuk membebaskan secara tuntas kasus rabies pada

satwa liar (Akoso, 2011).

Pada tahun 2006 populasi anjing di Jepang berjumlah 13 juta anjing

peliharaan, jumlah ini melebihi jumlah anak di bawah usia 12 tahun yang berjumlah

12 juta jiwa. Di Tokyo (2005) populasi anjing berjumlah 410.000. Perempuan dan

pasangan keluaga yang tidak memiliki anak semakin sering menyanyangi anjing,

bahkan keluarga dengan jumlah anak sedikit atau tidak mimiliki anak, beralih ke

anjing untuk mengisi kekosongan (Facts and Details.com, 2010).

Jepang telah bebas rabies selama 50 tahun, kasus terakhir dari rabies pada

manusia dan hewan yang dilaporkan pada tahun 1954 dan 1957, kecuali untuk 3

kasus rabies pada manusia pada tahun 1970 dan 2006. Penghapusan rabies di Jepang

disebabkan tidak hanya isolasi geografis tetapi juga pencegahan dan tindakan

pengendalian yang efektif, seperti pendaftaran dan vaksinasi anjing domestik,

diperlukan karantina hewan impor yang rentan menularkan rabies, dan rencana secara

nasional berdasarkan penelitian ilmiah. Penanggulangan terhadap rabies telah

(25)

domestik melalui suatu speraturan dan diubah menjadi undang-undang pencegahan

rabies yang telah diberlakukan sejak April 2007. Sistem peraturan terbaru tersebut

menjadi model yang efektif untuk mencegah, mengendalikan dan penghapusan

Saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan

Kalimantan Tenggara. Penyakit ini juga kerap menimbulkan kejadian luar biasa

(KLB). Tahun 2005 KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan

Barat, akhir tahun 2007, KLB terjadi di Banten. November 2008, KLB terjadi di

Kabupaten Badung Bali. KLB di Pulau Nias, Sumatera Utara 2010 (Kemenkes RI,

2010).

penyakit rabies di seluruh dunia (CDC, 2011).

Kegagalan pengendalian rabies di berbagai negara, terutama dinegara

berkembang, disebabkan karena vaksinasi rabies terhadap anjing tidak mencapai

jumlah yang cukup, sehingga siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak

(free ranging dogs) tidak dapat diputus. Kesulitan untuk melakukan vaksinasi anjing

geladak dengan cara penyuntikan menghadapi kendala, karena anjing geladak

tersebut sulit ditangkap (Soeharsono, 2011).

(26)

penderitanya, diestimasi kematian manusia di dunia akibat rabies mencapai 55.000

orang tiap tahunnya. Dimana jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus kematian

akibat gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010

sebanyak 20 jiwa (0,027 %). Salah satunya kematian penderita termasuk Kepala

Dinas Kesehatan Nias Utara. Tempat kedua adalah Kabupaten Samosir dengan

jumlah kematian sebanyak 3 jiwa (0,006 %).

sebanyak

50.000 kematian per tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China rata-rata

2.500 kematian per tahun, Vietnam 9.000 kematian per tahun, Filipina 200 – 300

kematian per tahun dan Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143

kematian per tahun, Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008 di Kabupaten

Badung meninggal 4 orang (Kemenkes RI, 2011).

Selama 3 tahun terakhir (2006 – 2008) tercatat sebanyak 18.945 kasus gigitan

hewan penular rabies, diantaranya 13.175 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan

122 orang positif rabies (angka kematian 100%), Di Bali, sejak kasus ini menyebar

tahun 2008 di Kabupaten Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418 kasus

GPHR (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali yang menjadi pusat perhatian dunia, serangan rabies dalam tiga tahun

terakhir sejak April 2008 sampai dengan akhir Agustus 2010 sebanyak 34.900 kasus

gigitan binatang yang mengandung rabies, Sumatera Utara sampai dengan Juli 2010

(27)

(Kemenkes RI, 2011)

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus akibat

gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010 mencapai

3.693 gigitan, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara, Kota Gunung Sitoli

merupakan daerah terbanyak kasus rabies, yakni mencapai 737 gigitan dan tempat

kedua adalah Kabupaten Samosir dengan 469 kasus gigitan (Kemenkes RI, 2011).

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa

yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Analisis

ekonomi akibat rabies rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1998-2007

mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk

biaya pengobatan pasca gigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya

vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar (Wera, 2010).

Menurut OIE (2009), biaya perawatan pasca gigitan pada manusia adalah

sekitar dua puluh sampai seratus kali lebih mahal daripada vaksinasi anjing. Saat ini

hanya 10% dari sumber daya keuangan yang digunakan di seluruh dunia untuk

mengobati manusia setelah digigit anjing. Keperluan untuk pengobatan akibat terkena

gigitan juga pasti berkurang. Hal ini akan sangat membantu penghematan finansial:

biaya rata-rata pengobatan akibat terkena gigitan di Asia adalah sebesar USD 49 atau

setara dengan IDR 490.000 per pasien

Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan mampu menuntaskan

(28)

kasus rabies. Pemerintah sudah menyiapkan 2 juta vaksin rabies per tahun. Target

Pemerintah 2015 tidak ada lagi ditemukan kasus rabies (Pujiatmoko, 2011).

Lemahnya aspek perundangan merupakan kendala utama dalam upaya mengendalikan dan memberantas penyakit hewan menular terutama yang berpotensi menular ke manusia. Itu suatu kesimpulan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) setelah melakukan evaluasi teknis terhadap sejumlah negara yang terjangkit flu burung atau avian influenza (AI) sejak tahun 2003 lalu. Kondisi ini kebanyakan terjadi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Bahkan beberapa negara berkembang sampai saat ini belum memiliki perundangan yang mengatur kesehatan hewan. Selain itu, masih ada negara-negara yang perundangannya warisan negara penjajah di masa lampau, termasuk Indonesia. Perundangan yang dimiliki Indonesia sejak zaman Belanda yang mengatur tentang penyakit hewan menular, yaitu Staatbalds Nomor 432 tahun 1912. Perundangan dibuat setelah Indonesia merdeka

adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang peternakan dan kesehatan hewan dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Naipospos, 2012).

Pada tahun 2006 wilayah di Indonesia yang dinyatakan daerah bebas rabies

yaitu Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT)

kecuali Pulau Flores dan Lembata, Irian Jaya Barat dan Papua, pulau-pulau di sekitar

Sumatera serta Pulau Jawa. Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies oleh Pemerintah

secara bertahap, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No

892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I.

(29)

Pertanian No. 566/Kpts/ PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat

dinyatakan bebas rabies, sehingga dengan demikian Pulau Jawa dinyatakan bebas

rabies (Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor :

344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis

Persyaratan Dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan

Penular Rabies (Anjing, Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans

Epidemiologi Kesehatan, yang menyatakan bahwa sasaran penyelenggaraan sistem

surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan

program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional

dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta

sasaran spesifik lokal atau daerah. Salah satu sasaran penyelenggaran sistem

surveilans epidemiologi kesehatan adalah Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular,

yang merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan

faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular, diantaranya

adalah penyakit-penyakit zoonosis.

Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 566 KPTS/PD 640/10/2004,

tanggal 26 Oktober 2004 yang menyatakan Jakarta bebas rabies, telah dilakukan

upaya mempertahankan Jakarta sebagai kota bebas rabies, diantaranya pelaksanaan

(30)

Januari hingga September 2010, sekitar 956 ekor hewan penular rabies telah

divaksinasi.

Sejak dinyatakan KLB rabies, lalu lintas anjing dari dan ke pulau Nias ke

daerah lain di Sumatera Utara dihentikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur

Sumatera Utara No 39 tahun 2010 tentang penutupan sementara pemasukan dan

pengeluaran anjing, kucing, kera dari kepulauan Nias. Populasi anjing di Sumatera

Utara sebanyak 290.000 ekor. Nias dengan populasi 61.756 ekor dan sudah

dieliminasi sebanyak 28.243 ekor. Seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Utara

sudah terserang kasus rabies. Nias hingga saat ini diketahui masih endemis dan sudah

diberikan pelatihan tentang rabies dan Nias juga dinyatakan masih KLB.

Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk bebas rabies adalah

dengan pelaksanaan urusan peternakan dilaksanakan melalui pembangunan Pusat

Kesehatan Hewan (Puskeswan) di Kelurahan Sibuluan Nauli Kecamatan Pandan,

pelayanan inseminasi buatan pada ternak sapi, pengembangan ternak ayam broiler,

penyediaan pakan dan obat-obatan ternak, pencegahan penyakit menular ternak serta

pengadaan vaksin rabies serta pelaksanaan vaksinasi rabies (Pemerintahan Daerah

Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011).

Upaya pencegahan rabies sebenarnya telah banyak dilakukan seperti

dicanangkannya Hari Rabies Sedunia yang prakarsai oleh Aliance for Rabies Control

dan untuk pertama kali pada diperingati pada 28 September 2006. Di Indonesia,

(31)

Kabupaten Tabanan, Bali. Pemerintah Indonesia mencanangkan bebas rabies pada

tahun 2020. Pada tanggal 18 Maret 2012 Dinas Kesehatan Sumatera Utara

mencanangkan program Pulau Sumatera Bebas Rabies 2015 (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali, sejak tahun 2008 – 2010 diantaranya telah dikirimkan VAR sekitar

11.000 kuur, serum anti rabies (SAR) sekitar 20.000 vial, pembentukan 43 Rabies

Center di seluruh Bali serta mensukseskan bulan vaksinasi anjing. Kasus GHPR di

Provinsi Sumatera Utara dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Desember

2009 telah ditemukan sebanyak 1.839 orang dan yang mendapatkan VAR sebanyak

1.240 orang (67,43%). Di Nias, pemerintah bersama WHO mengirimkan vaksin anti

rabies (VAR) 150 kuur, melakukan pelacakan kasus, membentuk tim koordinasi di

semua kabupaten, membentuk Rabies Center di RSUD dan Puskesmas serta

mengeliminasi dan vaksinasi anjing. Sampai dengan bulan April 2010 diperoleh

informasi bahwa kasus GHPR di Pulau Nias yang tercatat di 5 Kabupaten/Kota ada

248 kasus dengan pemberian VAR kepada 100 kasus (40,32%) (Kemenkes RI, 2011).

Penyakit anjing gila dapat dikelola dengan baik apabila mengikuti

aturan-aturan yang telah digariskan pemerintah melalui dinas terkait. Kurangnya

pemahaman masyarakat khususnya pemilik binatang anjing peliharaan tentang

pertolongan pertama apabila digigit anjing, dapat menimbulkan kerugian materil dan

sering berujung dengan maut. Polemik sosial yang bermacam ragam tentang

pemberantasan penyakit menular membuat Bangsa Indonesia sampai saat ini masih

(32)

Welfare Asosiation, 2004).

Hasil pengamatan awal di Kecamatan Sarudik pada tahun 2011 dijumpai

banyak anjing berkeliaran secara bebas di pemukiman padat penduduk. Pemilik

anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing

peliharaannya, karena sudah merupakan kebiasaan dari dulu bahwa anjing tidak

memiliki kandang dan kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa anjing dapat

membahayakan masyarakat. Pengamatan juga dilakukan pada perumahan penduduk,

termasuk yang memelihara anjing tidak memiliki pagar sehingga anjing terbiasa

berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing

yang mempunyai penutup moncong. Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Tapanuli Tengah (2011), pada tahun 2010 terdapat 6 (enam) kecamatan

dinyatakan sebagai KLB Rabies yaitu Kecamatan Sitahuis, Kecamatan Sorkam,

Kecamatan Kolang, Kecamatan Sarudik, Kecamatan Pandan dan Kecamatan Tukka.

Dari 6 (enam) kecamatan tersebut jumlah penderita akibat digigit anjing yang diduga

rabies sebanyak 123 orang dan yang mengalami kematian sebanyak 4 (empat) orang.

Di Kecamatan Sarudik sebagai tempat penelitian terdapat 4 (empat) orang digigit

anjing yang diduga rabies dan satu orang yang meninggal dunia.

Keadaan ini dipengaruhi banyak anjing yang berkeliaran dan tidak jelas

riwayat vaksinasinya. Anjing yang berkeliaran itu berisiko menggigit anjing, kucing,

monyet dan manusia. Selain itu dipengaruhi juga oleh kurangnya pengetahuan

(33)

masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit rabies, perilaku

masyarakat yang diharapkan adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan anjing

peliharaan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman rabies,

serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan survei awal di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

terhadap 10 orang pada bulan Agustus 2011 diketahui bahwa terdapat 4 orang (40%)

yang mengatakan kurangnya pengetahuan masyarakat melakukan pencegahan

penyakit rabies disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk

mencegah penyakit rabies dari anjing peliharaan dan anjing liar yang bebas

berkeliaran di masyarakat. Faktor pencetus yang ditemukan adalah berkembangnya

penyakit rabies, kondisi masyarakat banyak memelihara anjing, adanya cedera/luka

cakaran yang tidak dilaporkan, adanya rasa tidak nyaman pengunjung pada wilayah

itu, dan terjadinya kematian akibat rabies.

Berdasarkan uraian di atas perlu diteliti hubungan pengetahuan pemilik anjing

dan faktor pencetus terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah

rendahnya upaya pencegahan masyarakat terhadap penyakit rabies di Kecamatan

(34)

pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan

pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan penyakit rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.4 Hipotesis Penelitian

Faktor pengetahuan pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus

(perkembangan penyakit, kondisi, cedera, ancaman dan kematian) berhubungan

dengan pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli

Tengah.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Menjadi masukan model perbaikan untuk pencegahan penyakit rabies pada

Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.5.2 Menjadi bahan bacaan/referensi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Tengah dalam menyusun rencana strategis dan kebijakan serta tindakan

intervensi khususnya dalam program pemberantasan penyakit rabies,

khususnya di Kecamatan Sarudik dan di daerah endemis, sehingga dapat

(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke

manusia) yang disebabkan oleh virus rhabdovirus. Rabies dapat menular kepada

manusia melalui kontak dekat dengan air liur yang terinfeksi melalui gigitan atau

cakaran. Penyebab utama rabies kepada manusia adalah gigitan anjing penderita

rabies. Sebagian besar kematian terjadi tanpa profilaksis pasca pajanan

Rabies adalah suatu penyakit encephalomyelitis viral akut dan fatal; serangan

biasanya dimulai dengan perasaan ketakutan, sakit kepala, demam, malaise,

perubahan perasaan sensoris, pada bekas gigitan binatang. Gejala yang sering muncul

adalah eksitabilitas dan aerophobia. Penyakit ini berlanjut ke arah terjadinya paresis

atau paralisis, kejang otot-otot menelan menjurus kepada perasaan takut terhadap air

(hydrophobia), diikuti dengan delirium dan kejang. Tanpa intervensi medis, biasanya

berlangsung 2-6 hari dan kadang-kadang lebih, kematian biasanya karena paralisis

pernafasan (Chin, 2000).

(WHO, 2004).

2.1.1 Tipe Rabies Pada Anjing

Penyakit rabies atau yang dikenal masyarakat disebut penyakit anjing gila

merupakan penyakit zoonosis menyerang susunan syaraf pusat, sangat berbahaya bagi

(36)

Rabies ini telah tersebar di seluruh dunia dan tidak mengenal strata negara baik

negara berkembang maupun negara maju (Disnak

Menurut D

Propinsi Jawa Barat 2011).

inas Peternakan Propinsi Jawa Barat (2011) ada

a. Rabies Ganas

2 (dua) tipe rabies, yaitu :

Tipe rabies ganas adalah bahwa anjing t

b. Rabies Tenang

idak mau lagi menuruti perintah tuannya,

air liur keluar berlebihan, hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa

saja yang ditemui, dan ekor dilekungkan ke bawah perut diantara dua paha dan

kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau

paling lama 12 hari setelah penggigitan.

Tipe rabies tenang adalah anjing memilih b

2.1.2 Reservoir Rabies

ersembunyi di tempat gelap dan sejuk,

kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan tidak

mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan dan kematian

terjadi dalam waktu singkat

Walaupun semua spesies mamalia rentan terhadap infeksi virus rabies, hanya

beberapa spesies penting sebagai reservoir untuk penyakit ini. Di Amerika Serikat,

beberapa varian virus rabies yang berbeda telah diidentifikasi pada mamalia darat,

termasuk rakun, sigung, rubah, dan coyote. Selain itu beberapa spesies kelelawar

(37)

Menurut Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat (2011) a

a. Penggigitan Karena Ada Provokasi

da 2 pola penggigitan

oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :

Penggigitan terjadi karena adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Anjing

yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat,

sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit, apalagi kalau

diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam, dari mulai

memukul, menyeret ekor, sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal

tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain

orang membawa makanan lewat di depan anjing yang sedang lapar dapat memicu

terjadinya penggigitan. Penggigitan yang disebabkan oleh provokasi apalagi

dilakukan dengan sengaja, tidak menjadi persoalan serius dalam kejadian Rabies di

lapangan. Walaupun tetap harus diwaspadai melalui kegiatan observasi, apalagi

diketahui anjing tersebut belum divaksin.

b. Penggigitan Tanpa Provokasi

Dalam hal ini, anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya

gangguan dalam bentuk apapun. Anjing yang menggigit secara tiba-tiba biasanya

sudah menjadi wandering-dog atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa

tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut

biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan

(38)

banyak menimbulkan persoalan dalam kejadian rabies di lapangan. Apalagi kalau

menggigit lebih dari satu orang, berdasarkan pengamatan pasti positif rabies.

2.1.3 Penyebab Rabies (Etiologi)

Penyebab rabies adalah virus rabies yang termasuk famili Rhabdovirus.

Bentuk virus menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan

pada permukaannya terlihat bentuk-bentuk paku dengan panjang 9 nm. Virus ini

tersusun dari protein, lemak, RNA, dan karbohidrat. Sifat virus adalah peka terhadap

panas namun dapat mati bila berada pada suhu 50°C selama 15 menit. Ada dua

macam antigen, yaitu antigen glikoprotein dan antigen nukleoprotein. Virus ini akan

mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet serta mudah dilarutkan dengan detergen

(Widoyono, 2005)

Klasifikasi : Order : Mononegavirales Famili : Rhabdoviridae Genus : Lyssavirus

Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)

Gambar. 2.1Virus Rabies : Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b)

(39)

2.1.4 Patogenesis Rabies

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus

tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak mencapai

ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa

inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya

3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum

mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar

luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel

sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam

neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf

volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan

jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti

kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000)

2.1.5 Gejala dan Tanda Rabies Pada Manusia

Infeksi rabies pada manusia umumnya terjadi sebagai akibat gigitan hewan

penular rabies sehingga terjadi pendedahan air liur yang berasal dari hewan rabies

tersebut, terutama oleh anjing. Penularan rabies juga dimungkinkan karena air liur

hewan rabies yang kontak dengan kulit atau selaput lendir yang tergores, terluka dan

tidak tergantung pada besarnya luka (Akoso, 2011).

2.1.5.1 Prodromal

(40)

adalah persaan gelisah dan demam. Secara umum pesien diliputi persaan tidak enak,

sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah, dan rasa

sakit. Gejala awal mirip dengan influensa yakni dari hidung keluar ingus atau gejala

infeksi pernafasan atas, sakit tenggorokan dan batuk. Pasien mungkin nafsu

makannya menurun, muntah, rasa sakit perut. Penderita yang menyadari beberapa

minggu sebelumnya telah terdedah atau digigit oleh hewan penular rabies, secara

alami menjadi sangat khawatir, gelisah, tercekam dan merasa ada gangguan

kesehatan. Perubahan lebih lanjut dapat muncul gejala mual, sakit perut hebat,

perototan terasa sakit, atau terjadi komplikasi infeksi saluran pernafasan bagian atas.

Paresthesia juga biasa dialami oleh penderita dengan rabies bentuk paralitik dan

encepalitik. Gejala non lokal atau sistemik termasuk diantaranya adalah demam,

mudah capek, gejala gangguan gastrointestinal, rasa sakit muskuluskletal yang

menyerupai influensa atau infeksi saluran pernafasan atas.

2.1.5.2Furious Rabies

Tahap awal akan muncul gejala hidrofobia, tampilan neurologik dalam rabies

ensfalitik adalah hipereaktivitas, dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan

berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara

keras. Penderita umumnya selalu merintih sebelum kesadarannya hilang. Biasa

dijumpai gejala demam tinggi, penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman

dan tidak ketidak beraturan. Kebingungan akan semakin hebat dan berkembang

(41)

Timbul gejala stimulasi saraf otonom termasuk peningkatan salifasi, air liur yang

berbuih, mengeluarkan banyak keringat, lakrimasi, abnormalitas pupil dan piloereksi.

Demam tubuh semakin meningkat sehingga suhu dapat mencapai 400

2.1.5.3Paralitik

C secara

menetap. Dalam keadaan demikian penderita merasa kepala pusing. Situasi akan

akhirnya berkembang dengan timbulnya gangguan kesadaran dan kemudian koma.

Gejala umumnya dimulai dengan demam dan sakit kepala. Segera kemudian

timbul rasa panas seperti tertusuk jarum, mati rasa, keram otot, dan hilang perasaan.

Kaki tubuh, lengan tangan, otot pernafasan, dan otot penelan menjadi terkena.

Sembelit, tidak bisa mengosongkan kandung kemih, demam tinggi dan keringat

banyak. Pada walnya penderita tampak sadar kemudian mengigau, tidak sadarkan diri

dan koma. Beberapa kasus orang mengalami kaku leher yang memberi kesan

meningitis dan air liur menetes karena tidak mampu menelan.

2.1.6 Gejala dan Tanda Rabies Pada Anjing

Dalam kehidupan di masyarakat, orang memanfaatkan anjing dan bangsa

anjing untuk dipelihara dalam berbagai kepentingan, terutama sebagai hewan

kesayangan atau hewan pekerja. Kedekatan antara manusia dan anjing telah

berlangsung lama sejak zaman kuno hingga sekarang dan akan terus berlangsung

untuk berbagai tujuan dan kepentingan (Akoso, 2011).

2.1.6.1 Tahap Prodromal

(42)

antara 2-3 hari. Pada anjing rabies, tahapan ini akan terlihat adanya perubahan

temperamen yang masih ringan. Perilakunya sudah mulai berubah seolah-olah tidak

mengenal, menghindar dari pemilik, dan mulai acuh terhadap perintah tuannya.

Anjing akan menjadi sangat perasa, mudah terkejut, dan cepat berontak bila

dipropokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu

badan. Pupil mata mengalami dilatasi dan refleks kornea menjadi lamban terhadap

rangsangan. Pada anjing yang biasa kurang memperoleh perhatian dari pemiliknya

terutama yang dipelihara lepas, gejala yang terjadi pada tahap prodromal seringkali

berlangsung tanpa kecurigaan. Biasanya, tahap berikutnya, yaitu eksitasi baru

diketahui ketika perubahan perilaku tampak sangat jelas.

2.1.6.2Tahap Eksitasi

Biasanya tahap ini berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal bahkan

bisa berlangsung selama 3-7 hari. Tahapan ini dalam manifestasi klinisnya sangat

mudah dikenali, apalagi oleh pemiliknya. Pada tahap ini, anjing berperilaku cepat

merasa terganggu, emosional, dan cepat bereaksi agresip terhadap apa saja yang

dirasanya mengaganggu. Dalam keadaan tidak ada propokasi anjing menjadi murung,

terkesan lelah dan selalu tampak ketakutan. Pada awal tahap ini, anjing cenderung

suka menghindar bila bertemu atau berpapasan dengan orang, dan suka bersembunyi

ditempat gelap, misalnya dikolong meja, dibawah ranjang, di bawah kursi dan

lain-lain. Anjing mengalami fotopobia atau takut melihat sinar sehingga apabila ada

(43)

melolong, mengerang atau bahkan menyerang dengan ganas.

2.1.6.3Tahap Paralisis

Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat sehingga gejalanya sulit

untuk dikenali, atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian.

Tahapan ini lebih dikenal dengan bentuk rabies dungu, dengan ciri rahang

menggantung karena kelumpuhan otot pengunyah sehingga anjing tersebut tidak lagi

mampu makan atau minum. Kelumpuhan juga terjadi pada otot tenggorokan sehingga

keluarnya air liur tidak terkendali dan terus menetes. Suaranya sering terdengan

seperti tersedak yang menyebabkan pemilik atau dokter hewan yang memeriksa

kadang-kadang memperikirakan kemungkinan adanya duri atau benda asing yang

menyangkut di kerongkongan.

2.1.7 Masa Inkubasi

Rabies adalah penyakit yang menyerang saraf mamalia, hampir selalu fatal

setelah gejala klinis berkembang. Manusia berisiko terinfeksi ketika mereka digigit

oleh hewan yang terinfeksi. Luka pada jaringan tubuh manusia terkena air liur hewan

yang terinfeksi sehingga sampai ke sistem saraf pusat (SSP). Masa inkubasi adalah

waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit

2.1.7.1Masa Inkubasi Pada Manusia

(CFSPH, 2009).

Pada manusia, masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa tahun. Sebagian

besar kasus menjadi jelas setelah 1 sampai 3 bulan. Dalam sebuah penelitian, sekitar

(44)

2.1.7.2 Masa Inkubasi Pada Hewan

Masa inkubasi bervariasi, tergantung jumlah virus yang masuk kedalam tubuh,

jika gigitan lebih dekat ke kepala, maka kekebalan dan sifat luka host akan

mengalami masa inkubasi yang lebih pendek. Pada anjing dan kucing, masa inkubasi

adalah 10 hari - 6 bulan, kebanyakan kasus menjadi jelas antara 2 minggu dan 3

bulan. Pada sapi, masa inkubasi dari 25 hari sampai lebih dari 5 bulan. Kelelawar

2.1.8 Diagnosa Rabies

dilaporkan juga sudah tertular rabies.

Untuk kepastian diagnosis dilakukan pemeriksaan spesimen secara

laboratorium. Untuk menjamin akurasi hasil diagnosa rabies, hanya laboratorium

tertentu yang diakui pemerintah sebagai laboratorium yang berkompeten

melaksanakan uji (Akoso, 2011).

2.1.8.1 Diagnosa pada Manusia

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat

menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis

kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada

kasus dengan perjalanan yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan

mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal

dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil

(45)

berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. Pemeriksaan Flourescent

Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen

cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi

tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum

neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai

hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat.

Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6-10 setelah onset klinis pada

penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik respon imun ini, pada kasus

yang divaksinasi dapat membantu diagnosis. Walaupun secara klinis gejalanya

patognomonik namun negri bodies dengan pemeriksaan mikroskopis (seller) dapat

negatif pada 10-20 % kasus, terutama pada kasuskasus yang sempat divaksinasi dan

penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu (Depkes RI, 2000).

2.1.8.2 Diagnosis pada Hewan

Pada hewan, virus rabies biasanya diidentifikasi dengan Reverse Transcription

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) atau imunofluoresensi melalui sampel otak.

Virus ini juga dapat ditemukan pada jaringan lain seperti kelenjar ludah, kulit (taktil

folikel rambut wajah) dan pada kornea. Immunofluorescence dapat mengidentifikasi

98-100% kasus yang disebabkan oleh semua genotipe virus rabies dan rabies terkait,

dan yang paling efektif pada sampel segar. Tes-tes lain untuk mendeteksi virus ini

termasuk tes immunosorbent imunohistokimia dan enzyme-linked (ELISA). RT-PCR

(46)

besar sampel harus diuji dalam wabah atau survei epidemiologi. Histologi untuk

mendeteksi bahan agregat virus pada neuron adalah tidak spesifik, dan ini tidak

dianjurkan jika teknik yang lebih spesifik yang tersedia. Serologi kadang-kadang

digunakan untuk menguji serokonversi pada hewan peliharaan sebelum perjalanan

internasional atau satwa liar dalam kampanye vaksinasi. Tes serologi meliputi tes

netralisasi virus dan ELISA

2.1.9 Cara Penularan

(CFSPH, 2009).

Ar liur binatang yang sakit mengandung virus yang dapat ditularkan melalui gigitan

atau cakaran (dan sangat jarang sekali melalui luka baru di kulit atau melalui selaput lendir yang utuh). Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur dari orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan terjadi di suatu gua dimana terdapat banyak kelelawar yang hinggap dan pernah juga terjadi di laboratorium, namun kejadiannya sangat jarang. Di Amerika Latin, penularan melalui kelelawar yang terinfeksi kepada binatang

domestik sering terjadi. Di Amerika Serikat kelelawar pemakan serangga jarang

menularkan rabies kepada binatang di darat baik kepada binatang domestik maupun

binatang liar (Chin, 2000).

2.1.10 Pola Penyebaran

(47)

tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan cirri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami dan yang sering terjadi pola peenyebaran Rabies. Pada umumnya manusia merupakan dead end atau terminal akhir dari korban gigitan. Anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif Rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) Rabies (Civas, 2011).

Gambar 2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan

Sumber : Civas (2011)

2.1.11 Epidemiologi Rabies

a. Berdasarkan Orang

Rabies pada orang ditemukan setiap tahun diberbagai daerah endemik di

Indonesia, sebagaimana juga ditemukan kasus pada hewan. Jumlah orang digigit

dan meninggal karena rabies sebanding dengan jumlah kasus pada hewan di

tiap-tiap daerah. Dalam lima tahun terakhir (2000-2004), jumlah orang meninggal

Anjing Liar Anjing Peliharaan

(48)

dunia di Sumatera Barat karena rabies sebanyak 51 orang, Sulawesi Utara 37

orang, Sulawesi Selatan 59 orang, Sulawesi Tenggara 64 orang, dan Flores 91

orang. Ditinjau dari segi umur orang yang digigit HPR di Sumatera Barat paling

banyak berumur 17-55 tahun (27,78 %), diiukuti umur 6-12 tahun (17,30 %),

begitu pula di Provinsi Riau paling banyak berumur 17-55 tahun (20,62 %),

diikuti umur 6-12 tahun (14,20 %). Sedangkan Provinsi Jambi orang paling

banyak digigit HPR pada kelompok umur 17-55 tahun (26,01 %), berikutnya

kelompok umur balita sebanyak (19,22 %). Apabila ditinjau dari segi jenis

kelamin, baik di Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau

kebanyakan orang yang digigit adalah jenis kelamin laki-laki (Akoso, 2011).

b. Berdasarkan Tempat

Di berbagai belahan dunia sangat susah untuk mengestimasikan jumlah kasus

kematian yang disebabkan oleh Rabies. Hal in terkait dengan sistem surveillans

dan tidak adanya laboratorium yang cukup memadai di berbagai belahan

dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun meninggal dunia

karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO,

2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil

dibawah 15 tahun (WHO, 2008). Penyebaran utama penyakit Rabies ini adalah

gigitan dari anjing yang terkena Rabies. Kematian umumnya disebabkan tidak

adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment)

(49)

c. Berdasarkan Waktu

Rabies di Indonesia ditemukan pada tahun 1884 di Jawa Barat; 1953 di Jawa

Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat; kemudian tahun 1956 di Sumatra Utara.

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatra Selatan tahun 1959;

Lampung 1969; Aceh tahun 1970; Jambi, DI Yogyakarta tahun 1971; DKI

Jakarta, Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun

1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah tahun 1978; Kalimantan Selatan

tahun 1981 dan Flores tahun 1997. Kalimantan Barat tahun 2005; Pulau Bali

tahun 2008; dan Pulau Nias, Pulau Maluku tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011).

2.2 Pencegahan

Indonesia, sebagai negara yang endemik rabies dengan anjing sebagai penular

utama, eliminasi anjing merupakan tindakan penting sekiranya dapat diterima secara

struktur sosial dan dalam capaian pengaturn finansial dari pemerintah. Dinegara yang

penularannya melibatkan satwa liar, pengendalian secara tuntas memang mengalami

banyak kendala, namun gigitan oleh anjing tetap juga merupakan bahwa tejadinya

rabies ke orang. Pengendalian populasi anjing merupakan faktor penting dalam usaha

memberantas rabies dan pengamanan terhadap kesehatan masyarakat. Program

pengendalian rabies harus didasarkan atas pengetahuan epidemiologi penyakit dan

pemahaman daur kehidupan hewan penular rabies (HPR) didaerah tertentu. (Akoso,

(50)

Pencegahan rabies terdiri 3 (tiga) yaitu pencegahan primer (prinsip dasar),

pencegahan sekunder (pengendalian) dan pencegahan tertier (pemberantasan).

2.2.1 Pencegahan Primer (Prinsip Dasar)

Menurut CIVAS (2011) kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan

alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebarannya

ke hewan domestik dan satwa liar. Hal ini dapat dicapai dengan menjalankan

gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :

a. Karantina dan pengawasan lalu-lintas terhadap hewan penular penyakit.

Arus lalu-lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian Rabies

di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (bisa desa, kecamatan,

kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan dengan daerah tertular/wabah

dianggap sebagai Daerah Rawan. Hewan kesayangan yang dipelihara harus tetap

tinggal di dalam rumah sampai keadaan darurat dinyatakan berlalu, dan lalu-lintas

anjing dan kucing ke wilayah lain hanya diizinkan oleh pejabat yang berwenang.

Keadaan darurat harus dinyatakan tetap berlaku, sampai paling tidak selama masa

inkubasi 6 bulan menurut ketentuan World Organization for Animal Health

(OIE)/Organisasi Kesehatan Hewan Dunia setelah berakhirnya program vaksinasi

di daerah rawan (DR) atau kasus Rabies terakhir.

b. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber

virus Rabies yang paling berbahaya.

(51)

atau tersangka Rabies. Tindakan observasi selama 10 - 14 hari harus diterapkan.

Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan pasca observasi dapat dilaksanakan

berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi

anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Hewan seperti sapi, kerbau,

domba, kambing dan kuda bukan ancaman bagi penyebaran Rabies (walaupun

pada manusia masih tetap menjadi risiko). Apabila ada bukti yang meyakinkan

(laboratoris) bahwa di suatu tempat terjadi wabah Rabies, maka langkah tindakan

yang sistematis untuk menanggulangi wabah tersebut harus segera dijalankan,

melalui tahaan-tahapankesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIAT VETINDO).

Diantaranya penutupan suatu wilayah terhadap keluar masuknya Hewan Penular

Rabies (HPR). Vaksinasi menjadi program utama dalam pengendalian rabies

selain tindakan seperti investigasi kasus penggigitan, observasi HPR penggigit,

eleminasi HPR positif rabies dan yang liar serta ditelantarkan. Semua anjing dan

HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah bersangkutan dinyatakan

sebagai hewan tertular Rabies yang sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang

masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat

pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap

anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan

dan menyebarkan Rabies. Hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies

bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular.

(52)

satu minggu atau paling lama dua minggu. Meskipun demikian inkubasi penyakit

tersebut dapat sampai berbulan-bulan. Oleh karena itu tindakan karantina untuk

memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita

Rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang

harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas Rabies.

Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun

anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi

dikeluarkan.

c. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi

hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.

Hanya di daerah-daerah yang terjadi kasus atau wabah yang menjadi pusat (fokus)

kegiatan vaksinasi, ditambah daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung

dengan daerah kasus. Sedangkan di luar dari daerah tersebut (tertular dan

terancam) kegiatan lebih ditekankan pada pengawasan lalu-lintas hewan rentan

Rabies secara ketat dan pembentukan Sabuk Kebal melalui kegiatan vaksinasi di

sepanjang perbatasan dengan daerah terancam

d. Penelusuran dan surveillans untuk menentukan sumber penularan dan arah

pembebasan dari penyakit.

e. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk

memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas

(53)

2.2.2 Pencegahan Sekunder (Pengendalian)

Di masa lalu Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dilakukan melalui

kegiatan vaksinasi dan eliminasi, dengan cara membagi rata jumlah vaksin dan

strychnine ke semua wilayah tingkat dua. Pola semacam ini telah berlangsung lama

dan sekarangpun mungkin masih banyak diterapkan di beberapa wilayah/daerah

Rabies di Indonesia. Sistem membagi rata alokasi vaksin dan strychnine ke semua

daerah berdasarkan kajian yang cukup lama dianggap tidak dapat menyelesaikan

masalah Rabies secara tuntas. Hal ini disebabkan sasaran/target program menjadi

tidak fokus, tidak spesifik, tidak berdaya guna dan tidak berhasil guna yang pada

akhirnya kasus tetap muncul.

Pada saat ini Pengendalian dan Pembenrantasan Rabies harus dilaksanakan

melalui Local Area Specific Problem Solving (LAS) penanganan Rabies melalui

pendekatan spesifik wilayah (lokal) (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2011).

2.2.3 Pencegahan Tertier (Pemberantasan)

Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus

ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala

atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini

dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban.

Sedangkan kalau anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi

(54)

observasi selama 10 - 14 hari harus dilaksanakan. Sebaliknya kalau anjing tersebut

belum divaksin maka anjing harus dibunuh, selanjutnya kepala atau otaknya dikirim

ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat,

2011).

2.3Program Pemberantasan

Penanggulangan rabies yang menyangkut hewan menjadi tanggung jawab

Departemen Pertanian cq.Direktotat Jendral Peternakan,sedangkan yang menyangkut

manusia menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan. Program ini di susun

dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai petunjuk, khususnya untuk dokter

dan paramedis yang mengelola gigitan hewan serta merawat penderita rabies. Setiap

kasus gigitan hewan harus ditangani segera karena waktu merupakan faktor yang

sangat penting dalam penyelamatan jiwa manusia dari kematian akibat penyakit

rabies (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Tujuan

Mempertahankan daerah yang bebas rabies.

2.3.2 Kebijakan dan strategi

Kebijakan dan strategi miliputi lintas program dan lintas sektor (dinas

peternakan dan pemerintah daerah) dan peran serta masyarakat (PSM).

2.3.3 Kegiatan

Gambar

Gambar. 2.1Virus Rabies : Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b)
Gambar 2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan
Gambar 2.3 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies
Gambar 2.4 Landasan Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

propinsi di Indonesia dimana dilaporkan kasus rabies pada manusia ( lyssa ) dari Provinsi NAD sebanyak 2 kasus, Propinsi Sumatera Utara sebanyak 5 kasus, Propinsi.. Sumatera Barat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor predisposing (sikap, pengetahuan), dan enabling (sumber informasi), serta reinforcing (anjuran tokoh masyarakat,