ANALISIS FAKTOR PREDISPOSING, ENABLING DAN REINFORCING TERHADAP TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT RABIES MELALUI GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI KECAMATAN TARUTUNG
KABUPATEN TAPANULI UTARA
T E S I S
Oleh
PARUHUM TIRUON RITONGA 097032164/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISIS FAKTOR PREDISPOSING, ENABLING DAN REINFORCING TERHADAP TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT RABIES MELALUI GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI KECAMATAN TARUTUNG
KABUPATEN TAPANULI UTARA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
PARUHUM TIRUON RITONGA 097032164/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR PREDISPOSING,
ENABLING DAN REINFORCING TERHADAP TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES MELALUI GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI UTARA
Nama Mahasiswa : Paruhum Tiruon Ritonga Nomor Induk Mahasiswa : 097032164
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D) (
Ketua Anggota drh. Hiswani, M.Kes)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 16 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes
PERNYATAAN
ANALISIS FAKTOR PREDISPOSING, ENABLING DAN REINFORCING TERHADAP TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT RABIES MELALUI GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI KECAMATAN TARUTUNG
KABUPATEN TAPANULI UTARA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 16 April 2013
Paruhum Tiruon Ritonga
ABSTRAK
Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan Lyssa cenderung meningkat di Indonesia. Selama tahun 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan kasus GHPR sebesar 42,1% dan Lyssa meningkat sebesar 5,3%. Propinsi Sumatera Utara mencatat kasus GHPR sepanjang tahun 2011, sebanyak 4.262 kasus, Lyssa sebanyak 0,73% dan status positip sebanyak 0,45%. Kecamatan Tarutung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara yang mengalami peningkatan kasus GHPR. Kasus GHPR selama tahun 2010-2011, meningkat sebesar 4,1% sedangkan kasus Lyssa tidak mengalami peningkatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), dan enabling (sumber informasi), serta reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dan dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung. Jenis penelitian adalah rapid survey dengan rancangan cross sectional. Populasi adalah seluruh pemilik anjing di Kecamatan Tarutung berjumlah 392 kepala keluarga dan sampel sebanyak 210 orang. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis secara univariat, bivariate dan multivariate dengan regresi logistik berganda pada pengujian α=0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor predisposing (sikap, pengetahuan), dan enabling (sumber informasi), serta reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan petugas kesehatan) berpengaruh signifikan terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung.
Disarankan kepada; 1) Pemerintah dan Dinas Kesehatan serta Dinas Peternakan perlu meningkatkan penyuluhan mengenai bahaya penyakit rabies secara terus menerus dengan melibatkan pemilik anjing dalam upaya menurunkan kasus rabies, 2) Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan mengupayakan peningkatan pengetahuan dan sikap pemilik anjing melaui penyebarluasan informasi tentang rabies berupa poster, media lokal dan radio lokal, dan 3) Dinas Peternakan meningkatkan peran proaktif melakukan vaksinasi anjing secara periodik.
ABSTRACT
The case of rabies-spreading animal bite and Lyssa tends to increase in Indonesia. Tarutung subdistrict is one of the subdistricts in Tapanuli Utara District experiencing the increase of rabies-spreading animal bite cases. From 2010 and 2011, the case of rabies-spreading animal bite increased for 4.1% and the case of Lyssa did not experience any increase.
The purpose of this rapid survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of predisposing, enabling, and reinforcing factors on the action taken of dog owners in preventing the incident of rabies throughrabies-spreading animal bites in Tarutung Subdistrict. The population of this stuidy was all of 392 dog owners (heads of families) and 210 of them were selected to be the samples for this study.
The result of this study showed that, statistically, the predisposing, enabling, and reinforcing factors had a significant influence on the action taken of dog owners in preventing the incident of rabies throughrabies-spreading animal bites in Tarutung Subdistrict.
It is suggested that the Government through District Health Service and District Animal Husbandry Service need to continuously improve the extension on the danger of rabies by involving the dog owners in an attempt to minimize the cases of rabies, Service do their best to improve the attitude and knowledge of dog owners through the socialization of information about rabies in the forms of poster, local media and local radios, and Service improve its proactive role to do a priodical dog vaccination.
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Analisis Faktor Predisposing, Enabling dan Reinforcing terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan drh.
perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H, dan Teguh Supriyadi, SKM, M.P.H selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. Bupati Kabupaten Tapanuli Utara yang telah berkenan memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
7. Direktur Akademi Kebidanan Tarutung beserta seluruh staf yang telah memberikan dukungan selama melanjutkan studi pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Ayahanda Alm. P.Ritonga dan Ibunda Alm S.br Sinaga atas segala jasanya, sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, April 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Paruhum Tiruon Ritonga, lahir di Sirihit-rihit pada tanggal 23 September 1970 , anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan alm P Ritonga, dan Ibunda
alm S.br Sinaga.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar Negeri
Sipangan Bolon, Parapat pada tahun 1983, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Parapat, Parapat pada tahun 1986, pendidikan menengah atas di SMA Negeri Tarutung, Tapanuli Utara pada tahun 1989, pendidikan Ahli Madya
Keperawatan Depkes RI Medan pada Tahun 1993, Pendidikan Sarjana di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
pada Tahun 2003.
Mulai bekerja sebagai Staff Pengajar di Akademi Kebidanan Tarutung Tahun 1999 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
2.3 Pembagian Status Daerah dan Kriterianya ... 23
2.3.1 Status Daerah ... 23
2.3.2 Batas Daerah ... 24
2.3.3 Epidemiologi Rabies ... 25
2.4 Program Pembebasan Rabies ... 25
2.4.1 Landasan Kerjasama ... 26
2.4.2 Prinsip Dasar Sektor Peternakan ... 26
2.4.3 Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan ... 32
2.5 Perilaku ... 34
2.5.1 Determinan Perilaku... 34
2.5.3 Perubahan Perilaku... 39
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 50
3.5.1 Variabel Bebas ... 50
3.5.2 Variabel Terikat ... 51
3.6 Metode Pengukuran ... 54
3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 54
3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 54
3.7 Metode Analisis Data ... 54
4.1.3 Sarana dan Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan ... 58
4.2 Analisa Univariat ... 60
4.2.1 Identitas Responden ... 60
4.2.2 Faktor Predisposing ... 61
4.2.3 Faktor Enabling ... 68
4.2.4 Faktor Reinforcing ... 70
4.2.5 Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 73
4.3 Analisis Bivariat ... 74
4.3.1 Hubungan Faktor Predisposing dengan Tindakan ... 74
4.3.2 Hubungan Faktor Enabling dengan Tindakan ... 76
4.3.3 Hubungan Faktor Reinforcing dengan Tindakan ... 77
4.4.1 Menilai Kelayakan Model Regresi... 79
4.4.2 Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit) ... 80
4.4.3 Pengujian Hipotesis ... 81
BAB 5. PEMBAHASAN ... 84
5.1 Pengaruh Faktor Predisposing terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 84
5.1.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 84
5.1.2 Pengaruh Sikap terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 88
5.2 Pengaruh Faktor Enabling terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 91
5.3 Pengaruh Faktor Reinforcing terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 93
5.3.1 Pengaruh Anjuran Tokoh Masyarakat terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 93
5.3.2 Pengaruh Dukungan Tenaga Kesehatan terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 94
5.4 Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies ... 97
5.5 Keterbatasan Penelitian ... 99
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101
6.1 Kesimpulan ... 101
6.2 Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 104
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kecamatan Tarutung ... 58
4.2 Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Tapanuli Utara .. 59
4.3 Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Tapanuli Utara ... 59
4.4 Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan di Kecamatan Tarutung ... 59
4.5 Distribusi Identitas Responden ... 60
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 62
4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan ... 64
4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap ... 66
4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap ... 68
4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi ... 69
4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sumber Informasi ... 69
4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Anjuran Tokoh Masyarakat ... 71
4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Anjuran Tokoh Masyarakat . 71 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Tenaga Kesehatan ... 72
4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Tenaga Kesehatan ... 73
4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR ... 74
4.18 Hubungan Sikap dengan Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan
Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)... 76
4.19 Hubungan Sumber Informasi dengan Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) ... 77
4.20 Hubungan Anjuran Tokoh Masyarakat dengan Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) ... 78
4.21 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) ... 79
4.22 Hasil Pengujian Kelayakan Model Regresi... 79
4.23 Uji Omnibus (overall test) ... 80
4.24 -2 Log Likehood Awal ... 80
4.25 -2 Log Likehood Akhir ... 81
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan ... 20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 107
2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 112
3 Uji Univariat dan Bivariat ... 116
4 Uji Multivariat ... 132
5 Surat izin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 133
ABSTRAK
Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan Lyssa cenderung meningkat di Indonesia. Selama tahun 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan kasus GHPR sebesar 42,1% dan Lyssa meningkat sebesar 5,3%. Propinsi Sumatera Utara mencatat kasus GHPR sepanjang tahun 2011, sebanyak 4.262 kasus, Lyssa sebanyak 0,73% dan status positip sebanyak 0,45%. Kecamatan Tarutung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara yang mengalami peningkatan kasus GHPR. Kasus GHPR selama tahun 2010-2011, meningkat sebesar 4,1% sedangkan kasus Lyssa tidak mengalami peningkatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), dan enabling (sumber informasi), serta reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dan dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung. Jenis penelitian adalah rapid survey dengan rancangan cross sectional. Populasi adalah seluruh pemilik anjing di Kecamatan Tarutung berjumlah 392 kepala keluarga dan sampel sebanyak 210 orang. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis secara univariat, bivariate dan multivariate dengan regresi logistik berganda pada pengujian α=0.05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor predisposing (sikap, pengetahuan), dan enabling (sumber informasi), serta reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan petugas kesehatan) berpengaruh signifikan terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung.
Disarankan kepada; 1) Pemerintah dan Dinas Kesehatan serta Dinas Peternakan perlu meningkatkan penyuluhan mengenai bahaya penyakit rabies secara terus menerus dengan melibatkan pemilik anjing dalam upaya menurunkan kasus rabies, 2) Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan mengupayakan peningkatan pengetahuan dan sikap pemilik anjing melaui penyebarluasan informasi tentang rabies berupa poster, media lokal dan radio lokal, dan 3) Dinas Peternakan meningkatkan peran proaktif melakukan vaksinasi anjing secara periodik.
ABSTRACT
The case of rabies-spreading animal bite and Lyssa tends to increase in Indonesia. Tarutung subdistrict is one of the subdistricts in Tapanuli Utara District experiencing the increase of rabies-spreading animal bite cases. From 2010 and 2011, the case of rabies-spreading animal bite increased for 4.1% and the case of Lyssa did not experience any increase.
The purpose of this rapid survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of predisposing, enabling, and reinforcing factors on the action taken of dog owners in preventing the incident of rabies throughrabies-spreading animal bites in Tarutung Subdistrict. The population of this stuidy was all of 392 dog owners (heads of families) and 210 of them were selected to be the samples for this study.
The result of this study showed that, statistically, the predisposing, enabling, and reinforcing factors had a significant influence on the action taken of dog owners in preventing the incident of rabies throughrabies-spreading animal bites in Tarutung Subdistrict.
It is suggested that the Government through District Health Service and District Animal Husbandry Service need to continuously improve the extension on the danger of rabies by involving the dog owners in an attempt to minimize the cases of rabies, Service do their best to improve the attitude and knowledge of dog owners through the socialization of information about rabies in the forms of poster, local media and local radios, and Service improve its proactive role to do a priodical dog vaccination.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional di Indonesia mempunyai beban ganda karena penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
yang memerlukan perhatian besar, disamping itu terjadinya peningkatan penyakit tidak menular. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di
seluruh dunia termasuk Indonesia adalah rabies (Depkes RI, 2003).
Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan tercantum dalam program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 adalah mencegah terjadinya
dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, menurunnya angka kesakitan, angka kematian dan angka kecacatan,
untuk itu telah disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan yang mencakup program pemberantasan penyakit menular (P2M) (Depkes RI, 2002).
Pelaksanaan program P2M meliputi berbagai kegiatan yang salah satunya
adalah program pemberantasan penyakit gigitan hewan, yang ditujukan pada kelompok masyarakat dalam bentuk upaya penanggulangan rabies. Pemilihan
morbiditas dan mortalitas penyakit rabies pada masyarakat di Indonesia (Depkes RI, 2002).
Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi pada hewan yang bersifat akut dan dapat ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada
hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian dengan (CFR 100%), sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orang yang terkena gigitan serta kekuatiran
bagi masyarakat (Departemen Pertanian RI, 2006).
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada
manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit
hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2008).
Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia “neglected disease” karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum
muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian per tahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak
dijumpai di Asia (56%) dan Afrika (44%). Diperkirakan 30% – 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun (WHO,
2006).
manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia,
Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua)
yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007 ).
Menurut laporan Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Indonesia dari
tahun 2001 sampai tahun 2005 terus mengalami kenaikan, dilaporkan pada tahun 2001 terdapat 11.942 kasus gigitan dengan 68 kasus rabies pada manusia (5,7 per 1000 kasus gigitan), tahun 2002 dilaporkan 13.805 kasus gigitan dengan 84 kasus
rabies pada manusia (6,1 per 1000 kasus gigitan), tahun 2003 terdapat 14.875 kasus gigitan dan 84 kasus rabies pada manusia (5,6 per 1000 kasus gigitan), tahun 2004
terdapat 14.996 kasus gigitan dan 109 kasus rabies pada manusia (7,3 per 1000 kasus gigitan), dan tahun 2005 sebanyak 16.619 kasus gigitan dengan 147 kasus rabies pada manusia (8,8 per 1000 kasus gigitan). Pada tahun 2006, Departemen Kesehatan
(2007b) melaporkan kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 13.929 kasus dengan 106 kasus rabies pada manusia (7,6 per 1000 kasus gigitan). Kasus gigitan
kasus menjadi 78.574 kasus. Jumlah kematian (lyssa) meningkat sebesar 5,3%, yaitu dari 195 kasus menjadi 206 kasus.
Pada tahun 2004 Propinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara masih merupakan daerah bebas rabies, tetapi pada awal tahun 2005 terjadi KLB rabies
dikedua propinsi tersebut (Depkes RI, 2006). Pada tahun 2005, rabies tersebar di 17 propinsi di Indonesia dimana dilaporkan kasus rabies pada manusia (lyssa) dari Provinsi NAD sebanyak 2 kasus, Propinsi Sumatera Utara sebanyak 5 kasus, Propinsi
Sumatera Barat 14 kasus, Propinsi Riau sebanyak 2 kasus, Propinsi Jambi sebanyak 3 kasus, Propinsi Bengkulu 6 kasus Propinsi Lampung sebanyak 9 kasus, Propinsi
Kalimantan Barat 1 kasus, Propinsi Kalimantan Selatan 2 kasus, Propinsi Kalimantan Timur 3 kasus, Propinsi Sulawesi Utara sebanyak 30 kasus, Propinsi Gorontalo 3 kasus, Propinsi Sulawesi Selatan 18 kasus, Propinsi Sulawesi Tenggara 10 kasus,
Propinsi Nusa Tenggara Timur 21 kasus, Propinsi Maluku sebanyak 15 kasus dan Propinsi Maluku Utara sebanyak 3 kasus (Depkes R.I, 2007). Menurut Menteri
Pertanian Anton Apriyantono, jumlah kasus kematian manusia periode 1997 s/d 2005 di NTT akibat rabies sebanyak 135 orang, dengan kasus gigitan anjing mencapai 1.200 orang (Amalo, 2005).
Pemerintah Indonesia secara intensif tetap melakukan program pembebasan rabies secara bertahap. Program ini dimulai pada Pelita V (1989-1993) di Pulau Jawa
menjadi Program Nasional dan diharapkan pada akhir tahun 2012 kasus rabies dapat terkendali sampai nol kasus (Departemen Pertanian R.I, 2006).
Kasus GHPR di Propinsis Sumatera Utara tergolong tinggi yakni, pada tahun 2011 sebanyak 4.262 kasus, Lyssa (kasus kematian Rabies) sebanyak 31 (0,73%) dan
status positip sebanyak 19 (0,45%) kasus. Dan pada akhir Agustus 2012, sebanyak 2.314 kasus GHPR dan Lyssa sebanyak 4 kasus (0,57%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012).
Propinsi Sumatera Utara sangat rawan dengan serangan penyakit rabies, hal ini disebabkan hewan penular rabies (HPR) pada jenis anjing diperkirakan ada
berjumlah 190.042 ekor yang menyebar pada 33 kabupaten/kota. Tingginya populasi anjing di Propinsi Sumatera Utara disebabkan umumnya penduduk gemar memelihara anjing karena dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan kesayangan,
penjaga rumah, kebun/ladang dan ternak. Secara geografis, Propinsi Sumatera Utara letaknya berbatasan dengan beberapa propinsi lainnya secara langsung, sehingga
penyebaran penyakit rabies dapat terjadi dalam waktu singkat (Dinas Peternakan Prop. Sumut, 2007).
Beberapa etnis di Propinsi Sumatera Utara memiliki kebiasaan memelihara
anjing. Suku batak yang akrab dengan anjing bahkan ada sebagian yang memakan daging anjing, besar kemungkinan mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya.
Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah endemis rabies dan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara setiap tahun ada
laporan kasus rabies baik pada hewan maupun manusia. Pada tahun 2009 dilaporkan jumlah kasus gigitan anjing adalah 2.634 kasus, 2.040 kasus (77,44%) diantaranya
mendapatkan vaksin anti rabies (VAR) dan 7 kasus lyssa dan spesimen hewan positif 7 ekor. Pada tahun 2010 jumlah kasus gigitan anjing yang dilaporkan ada sebanyak 4.169 kasus, 3.072 kasus (73,68%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies
(VAR), sedangkan jumlah kasus lyssa sebanyak 36 kasus dan spesimen hewan positif 33 ekor. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2011) mencatat kasus gigitan
anjing di Propinsi sumatera Utara sepanjang tahun 2010 mencapai 3.935 kasus, 2.774 kasus (70%) mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), lyssa sebanyak 31 kasus dan spesimen hewan positif 19 ekor.
Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, Pada tahun 2009 terdapat jumlah kasus gigitan anjing 132 kasus, 94 kasus
(71,21%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, sedangkan jumlah kasus lyssa 1 orang. Tahun 2010 terdapat 260 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 192 kasus (73,84%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, jumlah kasus lyssa sebanyak 1
orang dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 33 ekor. Tahun 2011 terdapat 327 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 236 kasus (72,17%)
dengan akhir tahun 2012, terdapat 225 kasus GHPR dan kasus Lyssa sebanyak 1 orang
Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, dari 15 kecamatan yang ada, Kecamatan Tarutung merupakan kecamatan yang masih sering
dijumpai kasus gigitan anjing dan adanya kasus kematian akibat rabies pada manusia. Pada tahun 2009 di Kecamatan Tarutung dilaporkan kasus gigitan anjing tersangka rabies 64 kasus, 55 kasus (85,93%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies. Pada
tahun 2010 dilaporkan kasus gigitan anjing 93 kasus baru, 73 kasus (78%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, dan kasus lyssa sebanyak 1 orang. Pada
tahun 2011 dilaporkan kasus gigitan anjing 97 kasus baru, 80 kasus (82%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus Lyssa sebanyak 1 orang.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima orang pemilik anjing tersangka
rabies yang menyebabkan kasus rabies pada manusia di Kecamatan Tarutung, diketahui bahwa kelima ekor anjing peliharaan tersebut tidak pernah mendapat
vaksinasi anti rabies dan dibiarkan bebas berkeliaran. Satu kasus rabies pada manusia di gigit oleh anjing yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya.
Menurut hasil penelitian Maroef, dkk (1994) di Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Karawang serta DKI Jakarta, diketahui perilaku masyarakat di desa memelihara anjingnya lebih banyak melepas anjing peliharaannya secara bebas (65,5%),
pemilik hewan terutama pemilik anjing berperan dalam upaya pencegahan rabies karena salah satu kendala yang dihadapi untuk penanggulangan rabies adalah
kurangnya kesadaran masyarakat, baik di pedesaan maupun kota besar untuk memelihara hewan sesuai dengan peraturan yang telah ada.
Menurut hasil penelitian Ganefa (2001) di Kota Administratip (Kotip) Cimahi, Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat, dikemukakan bahwa ketidakpatuhan pemilik anjing memberikan vaksinasi rabies pada anjingnya ada
hubungannya dengan pendidikan, pengetahuan, sikap, sarana vaksinasi rabies, anjuran petugas, anjuran tokoh formal, dan keterpaparan terhadap media penyuluhan,
serta tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin dan pekerjaan pemilik anjing. Dari penelitian yang dilakukan Simanjuntak (1991) di kota Bangkok diperoleh hasil yang menyatakan tidak ada hubungan antara, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan
pemilik anjing dengan tindakannya dalam pemberian vaksinasi rabies. Menurut hasil penelitian Gunawardhani (2002) di Kotamadya Jakarta Selatan ada hubungan antara
penghasilan, pendidikan, akses terhadap informasi, pengetahuan dan sikap pemilik anjing dengan perilakunya dan tidak ada hubungan antara pekerjaan pemilik anjing dengan perilakunya dalam upaya pengendalian penyakit rabies.
Berdasarkan hasil penelitian Sudardjat (2003) di Indonesia, anjing jalanan yang bebas berkeliaran merupakan penular utama rabies kepada manusia . Lebih dari
anjing disebabkan oleh gigitan anjing liar. Anjing liar yang terdapat di Indonesia berpotensi sebagai reservoir rabies.
Hasil pengamatan peneliti di Kecamatan Tarutung dijumpai banyak anjing berkeliaran secara bebas. Pemilik anjing di Kecamatan Tarutung memiliki budaya
tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya. Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Pebruari tahun 2012, pada umumnya penduduk yang memelihara anjing rumahnya tidak memiliki pagar, sehingga anjing terbiasa
berkeliaran bebas keluar dan masuk ke rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing yang mempunyai penutup moncong (berangus). Menurut Kepala Bidang
Peternakan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara tidak dilakukan eliminasi terhadap anjing yang tidak berpemilik dan tidak dilakukan perdaftaran anjing oleh pemiliknya kepada Ketua RT
maupun Lurah setempat.
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli
Utara, pada tahun 2011, jumlah populasi anjing di Kecamatan Tarutung sebanyak 1.552 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara). Penduduk di Kecamatan Tarutung yang mayoritas adalah suku Batak memiliki kegemaran untuk
memelihara anjing, sehingga besar kemungkinan untuk mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya atau gigitan dari anjing yang diliarkan dan dibiarkan bebas
Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara pelaksanaan sosialisasi rabies di Kecamatan Tarutung dilakukan bersamaan dengan
penyuluhan program di bidang pertanian. Sosialisasi mengenai rabies pernah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui media cetak berupa leaflet dan media elektronik melalui siaran radio lokal pada tahun 2011. Poster dan leaflet yang memuat
informasi tentang rabies juga dibagikan ke Puskesmas untuk disosialisasikan kepada masyarakat.
Pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Tarutung dilakukan oleh petugas vaksinasi (vaksinator). Pelaksanaan vaksinasi massal dilakukan setahun
sekali, jadwal pelaksanaan vaksinasi massal di desa dikoordinasikan oleh petugas peternakan dengan Kepala Desa/Lurah setempat dan melakukan kunjungan ke rumah pemilik anjing. Bagi anjing yang telah divaksinasi diberikan tanda vaksinasi berupa
surat keterangan vaksinasi rabies kepada pemiliknya. Menurut informasi yang di dapat dari Petugas vaksinasi (vaksinator) masyarakat kurang respon terhadap
pelaksanaan vaksinasi.
Berdasarkan kondisi di Kecamatan Tarutung tersebut dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat di atas, maka penulis merasa
tertarik dan ingin mengkaji lebih mendalam tentang faktor predisposing (sikap, pengetahuan), faktor enabling sumber informasi serta faktor reinforcing meliputi
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh
masyarakat, dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan
petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.
1.4. Hipotesa Penelitian
Ada pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi), dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, petugas kesehatan) terhadap
1.5. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dan pelaksana kegiatan yang mendukung program pembebasan rabies di Kabupaten Tapanuli Utara.
2. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang manajemen kesehatan khususnya kesehatan komunitas/epidemiologi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Rabies
Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga dicatat pada salah satu prasasti yang dibuat pada zaman kekuasaan raja Hammurabi
(2300 SM). Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut (bersifat zoonosis) pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan
melalui gigitan hewan penular terutama anjing, kucing dan kera. Penyakit ini selalu
diakhiri dengan kematian pada hewan dan manusia bila telah menunjukkan gejala klinis (Depkes, 2000).
Rabies merupakan zoonosis yang penting karena anjing selalu dekat kepada manusia sebagai hewan peliharaan. Penyakit ini hampir selalu menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi yang besar (Soejoedono, 2004).
2.1.1. Penyebab Rabies
Penyebab rabies adalah virus famili Rhabdoviridae yang termasuk dalam
golongan ordo Mononegavirales, genus Lyssavirus (Greek lyssa : rabies). Lyssavirus terbagi atas beberapa serotype yang terdiri dari 1. Rabies virus (RABV); 2.Lagos bat virus (LBV); 3. Mokola virus (MOKV); 4. Duvenhage virus (DUVV); 5. European
bat lyssavirus 1 (EBLV-1); 6. European bat lyssavirus 2 (EBLV-2); dan 7.Australian
Di bawah mikroskop elektron, virus rabies ini berbentuk seperti peluru, dengan ukuran panjang sekitar 180 x 10-7 nm dan lebar 65 x 10-7 nm. Pada lapisan
permukaan virus ini terdapat envelope yang tersusun atas 50% lemak dan 50% protein tergolong RNA. Virus ini sensitif dengan pelarut lemak (larutan sabun, eter,
kloroform, aseton), etanol 45-70% dan preparat iodine (Meslin, 1994).
Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, dan pada hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian (Fenner,1995).
2.1.2. Reservoir Rabies
Berbagai Canidae domestic dan liar seperti anjing serigala, coyotes, rubah, skunks, raccoon, mongoose dan mamalia penggigit lainnya. Populasi vampire yang
terinfeksi, kelelawar frugivorous (pemakan buah) dan insectivorous (pemakan serangga) di temukan di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa. Di Amerika Selatan,
vampire (Desmodus rotundus murinus) merupakan pembawa virus rabies yang dapat
menyerang ternak sapi atau kuda, bahkan kadang-kadang manusia. Di Eropa, rubah (fox) menjadi sumber penular rabies pada ternak. Di negara berkembang, anjing
merupakan reservoir utama (Chin, 2000).
2.1.3. Cara Penularan Rabies
Air liur hewan positif rabies yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran. Sekitar 70% anjing yang tertular rabies mengandung
pernah dilaporkan terjadi. Penularan rabies melalui transplantasi organ (kornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa
sebelumnya kemungkinan dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi (Chin, 2000)
2.1.4. Masa Inkubasi Rabies
Masa inkubasi sangat tergantung dari tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak
Masa inkubasi rabies bervariasi sekitar 10 hari sampai 6 bulan. Biasanya berlangsung antara 3-8 minggu. Masa inkubasi akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat
dengan kepala. Gigitan di daerah kepala mempunyai masa inkubasi sekitar 30–48 hari, sedangkan gigitan di daerah tangan 40-59 hari (Shnurrenberger, 1991). Masa inkubasi lebih pendek pada anak-anak, karena anak-anak umumnya terkena gigitan di
daerah kepala dan leher (Bell,1995).
2.1.5. Patogenesis
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebarluas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus
menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, dan ginjal (Depkes, 2007a).
2.1.6. Gejala Rabies
1. Hewan
Dikenal 2 (dua) bentuk rabies pada hewan terutama anjing, yakni dumb rabies
(bentuk tenang) dan furious rabies (bentuk ganas/beringas). Hewan yang terjangkit rabies menunjukkan gejala umum dengan adanya kelainan pada tingkah laku. Anjing
yang biasanya galak dapat tampak kehilangan sifat galak, sedangkan anjing yang semula sangat jinak cenderung bersembunyi (menyendiri) dan menjadi galak.
Pada tipe rabies ganas, hewan tidak menuruti lagi perintah pemilik dan terlihat air liur yang keluar berlebihan. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekornya dilengkungkan ke bawah perut diantara dua paha.
Terjadi kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Bentuk ganas/beringas lebih
banyak dijumpai pada anjing, kucing dan kuda dibanding sapi dan spesies hewan laboratorium (Fenner,1995).
Pada tipe rabies tenang, hewan bersembunyi ditempat gelap dan sejuk.
Kejang=kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat. Kelumpuhan terjadi sehingga tidak mampu menelan. Mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.
1. Manusia
Untuk mengetahui tanda-tanda rabies pada manusia, yang pertama harus
diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular rabies (HPR) lainnya. Berdasarkan diagnosa klinik gejala klinis rabies terbagi
menjadi 4 stadium (Depkes, 2007), yaitu : a. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri di tenggorokan
selama beberapa hari. b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatis jadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi dan takikardi. Tindak-tanduk penderita menjadi maniakal. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung
d. Stadium Paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang,
yang memperlihatkan gejala paralysis otot-otot pernafasan.
2.1.7. Kejadian Rabies di Lapangan
Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan ditentukan atau dipengaruhi oleh
hal:
1. Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :
a. Penggigitan karena ada provokasi :
Penggigitan yang terjadi di sini didahului oleh adanya gangguan baik langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang baru beranak, biasanya naluri untuk
melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit kalau diganggu. Bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan mengganggu anjing yang sedang
tidur. Hal tersebut akan merangsang anjing untuk menggigit. Penggigitan-penggigitan yang disebabkan oleh adanya provokasi apalagi dilakukan dengan sengaja, tidak
b. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya
gangguan dalam bentuk apapun. Di lapangan, anjing yang menggigit secara tiba-tiba biasanya sudah menjadi “wandering-dog” atau “anjing luntang-lantung” yang
berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
2. Pola Penyebaran
Penularan rabies di lapangan berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak
dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat cepat dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah
endemis.
Pada umumnya manusia merupakan “dead end” atau terminal akhir dari
korban gigitan. Baik anjing liar maupun anjing peliharaan setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing peliharaan dapat saling menggigit satu sama lain. Jika salah satu diantara yang
Gambar 2.1. Pola Penyebaran Rabies di Lapangan
Sumber : Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Penyakit Hewan Menular, Departemen Pertanian, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan 2006. p, 7.
2.1.8. Diagnosa
Rabies pada hewan dapat didiagnosa melalui tanda-tanda klinis pada hewan
yang terjadi di lapangan dan melalui pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan spesimen.
1. Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi b. Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi
c. Jumlah penderita yang digigit.
Anjing yang menggigit lebih dari satu orang dan penggigitannya tanpa diawali dengan provokasi (gangguan, stimulasi) anjing tersebut cenderung menderita rabies.
dilakukan. Apabila dalam masa observasi anjing tersebut mati maka dugaan ke arah rabies semakin besar.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing yang menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa
observasi yang kemudian spesimen otaknya diperiksa di laboratorium hasilnya adalah positif rabies. Berdasarkan indikasi seperti tersebut di atas dapat ditentukan sebagai berikut : a) Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies
25%. b) Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 50%. c) Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 70%.
d) Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 100%. Ketepatan diagnosa di lapangan ditentukan pula oleh status wilayah. Penggigitan yang terjadi di daerah wabah walaupun hanya terhadap 1 orang,
kecenderungan positif rabies dapat menjadi 100%. 2. Diagnosa Laboratorium
Cara yang paling sederhana untuk menentukan rabies secara laboratorium adalah dengan menemukan Negeri bodies (typical inclusion bodies) pada preparat ulas jaringan otak (hypocampus) yang telah diwarnai dengan pewarnaan Sellers.
Kadang-kadang Negeri bodies tidak terdeteksi, karena itu perlu dilakukan inokulasi jaringan otak pada tikus putih. Bila tikus tersebut mati maka jaringan otaknya
diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam glycerol. FAT juga bisa mendeteksi virus rabies yang berasal dari preparat kelenjar
ludah (salivary glands).
Diagnosis laboratorium dari rabies pada hewan penting dilakukan di
laboratorium tertentu oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, karena dalam banyak kasus, ini melibatkan keputusan pengobatan pada manusia (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006). Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam sepuluh hari
dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas (Depkes,
2007).
Penetapan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies jika memenuhi salah satu kriteria (Depkes 2004) :
- Peningkatan jumlah kasus gigitan hewan tersangka rabies menurut periode waktu (mingguan/harian) di suatu kecamatan, desa/kelurahan dibandingkan dengan
periode sebelumnya.
- Terdapat satu kasus klinis rabies pada manusia
2.2. Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang telah lama ada di Indonesia dan
telah menyebar ke berbagai propinsi. Kejadian rabies pertama kali dilaporkan terjadi pada seekor kerbau oleh J.W. Esser (1884), kemudian dilaporkan oleh Penning yang
dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 (Depkes, 2007). Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat (1948),
Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh (1970), Jambi
dan Yogyakarta (1971).
Soeharso (2003) menuliskan pada tahun 1972 ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu dan Kalimantan Timur (1974),
Riau (1975) dan Kalimantan Tengah (1978). Penyakit rabies kembali meluas ke Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983 dan pada akhir tahun 1997, wabah
rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006).
2.3. Pembagian Status Daerah dan Kriterianya 2.3.1. Status Daerah
2.3.1.1.Daerah Bebas, kriterianya :
a. Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.
b. Daerah yang pernah tertular rabies tetapi dalam 2 (dua) tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus
import).
Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi daerah tertular telah ditetapkan
- Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah (berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 892 /Kpts/TN. 560/9/97)
- Propinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta (berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 566/KPTS/PD.640/2004)
2.3.1.2. Daerah Tertular, kriterianya:
Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis, epidemiologis dan
dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import).
2.3.1.3. Daerah Tersangka, kriterianya :
a. Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
b. Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.
2.3.2. Batas Daerah
Yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan batasan daerah adalah: a. Pulau
b. Propinsi/Kabupaten/Kota yang mempunyai sarana pengawasan lalu-lintas hewan
2.3.3. Epidemiologi Rabies
1. Berdasarkan Orang
Dari hasil penelitian pada hewan peliharaan seperti anjing, kucing, dan kera, didaptkan data bahwa 12.581 gigitan hewan tersangka rabies, sebanyak 1112
hewan positif rabies, 120 orang meninggal, dengan kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, dan Riau, tanpa memandang jenis kelamin dan usia.
2. Berdasarkan Tempat
Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan frekuensi kasus dan spesifikasi
vektor penular yng berbeda-beda. Di Amerika Serikat ada beberapa kota yang bebas rabies (New York dan Philadelphia), tetapi sebagian besar negara bagian melaporkan kasus rabies pada binatang.
3. Berdasarkan Waktu
Pda tahun 1975 dilaporkan terjadi 25 kasus rabies pada anjing di Amerika Utara.
Rabies ditemukan di Indonesia pada tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi, sementara rabies pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1894 oleh E.V. de Haan. Di jawa Tengah sejak tahun 1995 tidak terdapat lagi kasus rabies
(Widoyono, 2005).
2.4. Program Pembebasan Rabies
Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat
dampak perekonomian khususnya bagi pengembangan daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan
dan pemberantasan perlu dilakukan seintensif mungkin menuju pada program pembebasan. Kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk
perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006).
2.4.1. Landasan Kerjasama
Program pembebasan rabies merupakan Kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Direktorat
Jenderal Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Pembinaan Umum dan Otonomi Daerah ) dan Departemen Kesehatan (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman) dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Nomor : 279A/Men.Kes/SK/VIII/ 1978, Nomor : 522/Kpts/Um/8/78 dan Nomor : 143 Tahun 1978 yang dikeluarkan tanggal
15 Agustus 1978.
Program ini dimulai pada Pelita V (1989 - 1993) di Pulau Jawa dan Kalimantan dan kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua pulau tertular yaitu
Pulau Sumatera dan Sulawesi.
2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan
Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE)
Prop.Sumut, 2006). Pembebasan rabies dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :
1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular penyakit.
2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber
virus rabies yang paling berbahaya.
3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.
4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit
5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk
memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.
2.4.2.1. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab
Secara alamiah metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi
agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat
serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan tempat-tempat pembuangan sampah yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi
atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.
maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisa Epidemiologi Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya
korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit,
jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies.
Di daerah-daerah/pulau-pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit
rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies (HPR) dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan pengawasan
lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten.
2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas
Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya
yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/ berbatasan
dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai daerah rawan.
2.4.2.3. Tindakan terhadap Hewan Tertular
berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut.
Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran
eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam
menularkan dan menyebarkan rabies.
2.4.2.4. Tindakan terhadap Hewan Kontak
Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling
lama dua minggu (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006).
Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke propinsi lain
(Soedarsono, 2003).
Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan
rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.
2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular
Begitu kejadian kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus
dilakukan untuk menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuanketentuan yang berlaku secara nasional.
Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan HPR
peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan
menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan.
2.4.2.6. Tindakan terhadap Anjing yang Menggigit
Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala
atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban.
menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah:
- Isolasi dan observasi selama 14 hari
- Jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak
berpemilik maka dimusnahkan.
- Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies.
Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila menggigit/mencakar adalah :
- Isolasi dan observasi selama 14 hari.
- Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan.
- Jika dalam masa observasi anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke
laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies.
Tindakan terhadap hewan yang tidak berpemilik apabila menggigit/mencakar
adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006).
Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan pembebasan rabies menurut
Departemen Peternakan R.I (2006), salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa
ketentuan, yaitu :
1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.
3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang
panjangnya tidak lebih dari 2 m.
5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.
6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali dan moncongnya di berangus.
7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib
melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun
2.4.3. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan
2.4.3.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan Penular Rabies
Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dengan sabun atau detergen selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik (alkohol 70%, betadine, jodium).
Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali pencucian
luka seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi yang tidak terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. Bila
tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik ( Depkes, 2007 ).
2.4.3.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies
Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) harus
didasarkan jawaban atas pertanyaan terhadap penderita yang meliputi : bagaimana bentuk paparan (kontak/jilatan/gigitan), lokasi kejadian (di daerah bebas / tertular / terancam), apakah di dahului tindakan provokatif/tidak), apakah hewan yang
menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit (hilang / lari / dibunuh), hewan yang menggigit mati (tetapi masih diragukan menderita rabies),
penderita pernah mendapat vaksin anti rabies (kapan) dan hewan yang menggigit pernah mendapat VAR (kapan).
Dilakukan identifikasi luka gigitan apakah luka dengan resiko tinggi ; jilatan /
luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan, kaki , genitalia, luka yang lebar/ dalam dan banyak (multiple) . Terhadap luka
resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Pada luka resiko rendah yaitu jilatan pada kulit luka, lecet akibat garukan atau luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki, hanya diberikan VAR saja.
Apabila terjadi kontak (dengan air liur hewan tersangka rabies / hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak,
2.5. Perilaku
Perilaku manusia menurut Sarwono (2004) merupakan hasil daripada segala
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku ini melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Teori ini disebut Stimulus
Organisme Respons.
2.5.1. Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Meski stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku (Notoatmodjo, 2007). Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
Berdasarkan pembagian domain perilaku kesehatan, Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) membagi perilaku menjadi 3 domain yang dilakukan
untuk kepentingan tujuan pendidikan yang terdiri dari : (1) pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge), (2) sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan ( attitude), (3) praktek atau
tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang
berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Akhirnya rangsangan itu, yakni objek yang
telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau
objek tadi.
Beberapa teori determinan perilaku, yaitu : 1. Teori Lawrence Green.
Menurut model perubahan perilaku dari Lawrence Green dan M. Kreuter (2005), faktor-faktor penentu atau mempengaruhi perubahan perilaku dibagi atas tiga kategori
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau
mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat. Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya
adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial. b. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.
c. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti
lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan dan perundang-undangan yang memperkuat .
Dari teori L.Green diketahui bahwa salah satu cara untuk mengubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi yaitu mengubah pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan
pendidikan kesehatan.
2. Teori Model Kepercayaan Kesehatan Rosenstock .
Menurut teori model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) oleh
suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa.
Model kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama, yaitu : persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility).
Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua ialah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan
dialaminya dari penyakit itu. Unsur yang ketiga adalah pandangan individu terhadap besarnya ancaman suatu penyakit yang dapat menyerangnya (perceived threats).
Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Unsur selanjutnya yang diambil individu untuk mengurangi rasa terancam terhadap suatu penyakit adalah pandangan individu tersebut tentang
besarnya manfaat dan besarnya hambatan dari suatu alternaltif yang diajukan oleh petugas kesehatan (perceived benefits and barriers).
Memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut diperlukan satu unsur lagi, yaitu faktor pencetus (cues to action) yang dapat timbul dari dalam individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain,
kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terkena oleh penyakit yang sama).
2.5.2. Perilaku Kesehatan
sebagainya (Notoatmodjo 2003). Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :
2.5.2.1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance)
Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak
sakit dan upaya penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek :
a. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan
bilamana telah sembuh dari penyakit
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat
sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
c. Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang
bahkan dapat mendatangkan penyakit.
2.5.2.2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan, (health sekiing behavior)
Perilaku yang menyangkut tindakan seseorang saat sakit/kecelakaan, mulai
dari mengobati diri sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri.
2.5.2.3. Perilaku Kesehatan Lingkungan
Bagaimana seseorang merespons lingkungan baik fisik, sosial, budaya dan
2.5.3. Perubahan Perilaku
1. Bentuk Perubahan Perilaku
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO
dalam Notoatmodjo (2007), perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga: a. Perubahan alamiah (Natural change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat
di dalamnya juga akan mengalami perubahan. b. Perubahan terencana (Planned change)
Perubahan ini terjadi karena direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya,
seseorang perokok berat yang pada suatu saat terserang batuk yang sangat mengganggu, ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan
akhirnya berhenti merokok sama sekali.
c. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang