• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Faktor faktor yang Memengaruhi Ibu dalam Pemberian Imunisasi Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Faktor faktor yang Memengaruhi Ibu dalam Pemberian Imunisasi Dasar"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor – faktor yang Memengaruhi Ibu dalam Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap

Green dalam buku Notoatmodjo (2003) menganalisis perilaku manusia dari tingkatan kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causer) dan faktor dari luar perilaku (non behavior causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

1. Faktor – faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai – nilai dan sebagainya.

2. Faktor – faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas – fasilitas atau sarana – sarana kesehatan misalnya Puskesmas, obat – obatan, alat – alat kontrasepsi, jamban, jarak ke sarana pelayanan kesehatan dan sebagainya.

3. Faktor – faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, dukungan keluarga dan tokoh masyarakat yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, jarak ke sarana pelayanan kesehatan, sikap dan perilaku petugas kesehatan serta dukungan

(2)

keluarga terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

2.1.1. Faktor – faktor Predisposisi (Predisposing factors)

Menurut Green (1980), faktor – faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai – nilai dan persepsi, berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Dalam pengertian umum dapat disimpulkan faktor predisposisi sebagai pilihan pribadi yang memicu seorang individu atau kelompok ke pengalaman pendidikan. Dalam hal apapun pilihan ini dapat mendukung atau menghambat perilaku kesehatan. Berbagai faktor demografi seperti status sosio-ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga juga penting sebagai faktor predisposisi meskipun mereka berada di luar pengaruh langsung program pendidikan kesehatan.

2.1.1.1. Faktor Demografi

Faktor demografi adalah faktor – faktor yang terdapat dalam struktur penduduk dan perkembangannya seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan lain sebagainya. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai faktor – faktor demografi yang berkaitan dengan penelitian ini :

1. Umur

Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Umur merupakan salah satu variabel penting dalam bidang penelitian komunitas. Umur dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit secara langsung atau tidak langsung bersama dengan variabel lain sehingga

(3)

menyebabkan perbedaan di antara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau sekelompok masyarakat (Chandra, 2008).

2. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003).

Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005).

Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah sekumpulan kedudukan (posisi) yang memiliki persamaan kawajiban atau tugas – tugas pokoknya.

2.1.1.2. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

(4)

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2007) :

a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap

subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

(5)

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2007):

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(6)

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

2.1.1.3. Sikap (Attitude)

Menurut Notoadmodjo (2005), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap juga merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan juga merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Menurut Garungan (dalam Ahmadi, 2009), sikap merupakan pendapat maupun pandangan seseorang tentang suatu objek yang mendahului tindakannya.

(7)

Sikap tidak mungkin terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat atau mengalami sendiri suatu objek.

2.1.1.4. Berbagai Tingkatan Sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving). Diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding). Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan atau menyelesaikan tugas yang diberikan indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsibility). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Menurut Ahmadi (2009), sikap dibedakan menjadi:

1. Sikap positif yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma - norma yang berlaku dimana individu itu berada.

2. Sikap negatif yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma - norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga

(8)

mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompok atau dengan kelompok lainnya.

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Pertimbangan dan reaksi pada anak, dewasa dan yang sudah lanjut usia tidak ada. Perangsang itu pada umumnya tidak diberi perangsang spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsangan – perangsangan itu.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman. Manusia didalam menerima pengalaman – pengalaman secara aktif. Artinya semua yang berasal dari dunia luar tidak semua dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap merupakan pernyataan pribadi (Ahmadi, 2009).

Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan atau sikap perasaan tertentu, tetapi sikap terbentuk sepanjang perkembangan. Peranan sikap dalam kehidupan manusia sangat besar. Bila sudah terbentuk pada diri manusia, maka sikap itu akan turut menentukan cara tingkah lakunya terhadap objek –objek sikapnya. Adanya sikap akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap objeknya (Notoatmodjo, 2005).

(9)

Sikap mempunyai beberapa karakteristik yaitu: 1. Selalu ada objeknya

2. Biasanya bersifat evaluative 3. Relatif mantap

4. Dapat dirubah

Menurut Travers, Gagne, dan Cronbach (1977, dalam Ahmadi, 2009) , bahwa sikap melibatkan 3 komponen yang saling berhubungan yaitu:

1. Komponen cognitive : berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang

didasarkan pada informasi, yang berhubungan dengan objek.

2. Komponen affective : menunjukkan pada dimensi emosional dari sikap, yaitu

emosi yang berhubungan dengan objek. Objek di sini dirasakan sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan.

3. Komponen behavior atau conative : melibatkan salah satu predisposisi untuk

bertindak terhadap objek.

Ketiga komponen ini akan membentuk sikap yang utuh (Total Attitude), dalam penentuan berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negatif terhadap orang lain, objek atau situasi. Sikap tidak sama dengan perilaku dan kadang – kadang sikap tersebut baru diketahui setelah seseorang itu berperilaku. Tetapi sikap selalu tercermin dari perilaku seseorang (Ahmadi, 2009).

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek secara tidak

(10)

langsung dilakukan dengan pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Ahmadi, 2009).

2.1.1.5. Perubahan Sikap

Theory of Reasoned Action (TRA) atau Teori Aksi Beralasan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1975 untuk melihat hubungan keyakinan, sikap, niat dan perilaku. Fishbein (1975), mengembangkan TRA ini dengan sebuah usaha untuk melihat perubahan hubungan sikap dan perilaku. Teori ini secara tidak langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa niat. Niat – niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap – sikap terhadap suatu perilaku, seperti apakah ia merasa suatu perilaku itu penting. Teori ini juga menegaskan sifat normatif yang mungkin dimiliki orang-orang; mereka berpikir tentang apa yang akan dilakukan orang lain (terutama orang-orang yang berpengaruh di dalam kelompok) pada suatu situasi yang sama (Graeff, 1996).

Teori tindakan beralasan menurut Fisbein (1975) mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada 3 hal yaitu :

1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu.

2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma – norma subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat.

3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma – norma subjektif membentuk suatu intense atau niat untuk berperilaku tertentu.

(11)

Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Dalam teori perilaku terencana keyakinan – keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma – norma subjektif dan pada kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intense yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Azwar, 2007).

Adapun faktor – faktor yang menyebabkan perubahan sikap terdiri dari 2 faktor yaitu:

1. Faktor intern: yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selective atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh – pengaruh yang datang dari luar. Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia terutama yang menjadi minat perhatiannya.

2. Faktor ekstern: yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok (Ahmadi, 2009).

2.1.2. Faktor – faktor Pendukung (Enabling factors)

Green (1980) mengatakan bahwa faktor – faktor pendukung adalah kemampuan/keahlian dan semua sumber – sumber yang diperlukan untuk menciptakan atau memunculkan perilaku kesehatan. Sumber – sumber yang dimaksud antara lain ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan prasarana atau fasilitas – fasilitas, personalia, sekolah – sekolah, klinik kesehatan maupun sumber – sumber sejenis. Faktor – faktor pendukung juga berkaitan dengan aksesibilitas

(12)

berbagai sumber daya. Biaya, jarak, sarana transportasi yang ada dan waktu pemakaian sarana kesehatan juga merupakan bagian dari faktor – faktor pendukung. 2.1.2.1. Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku pemberian imunisasi pada bayi. Ibu yang mau memberikan imunisasi pada bayi tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemberian imunisasi melainkan ibu tersebut dengan mudah dapat memperoleh tempat pemberian imunisasi pada bayinya.

2.1.2.2. Jarak ke Sarana Pelayanan Kesehatan

Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang di tempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan lainnya. Seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di tempat pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena orang tersebut tidak tahu atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anak, tetapi barang kali juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan tempat mengimunisasi anaknya (Notoatmodjo, 2003).

2.1.3. Faktor – faktor Pendorong (Reinforcing factors)

Menurut Green (1980) faktor pendorong atau penguat adalah mereka yang mendukung untuk menentukan tindakan kesehatan. Faktor pendorong tentu saja bervariasi tergantung pada tujuan dan jenis program. Dalam program pendidikan kesehatan, sebagai contoh, penguatan dapat diberikan oleh rekan kerja, supervisor, pimpinan serikat buruh dan keluarga. Faktor – faktor pendorong meliputi faktor sikap

(13)

dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

2.1.3.1. Dukungan Petugas Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005).

Dukungan petugas kesehatan (petugas imunisasi) merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas imunisasi) memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui. Petugas kesehatan akan mendukung perilaku ibu untuk melakukan upaya kesehatan (mengimunisasikan anaknya) melalui keterampilan komunikasi dan ada kecenderungan bahwa upaya-upaya petugas kesehatan memperkuat ibu dengan memberikan pujian, dorongan dan diskusi atau dengan menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya (Graeff, 1996).

Petugas kesehatan yang berperan memberikan dukungan informatif kepada ibu tentang imunisasi dianjur kan mengikuti tata cara pemberian sebagai berikut.

a. Memeberitahu secara rinci risiko imunisasi dan risiko apabila tidak diimunisasi.

b. Memeriksa kembali persiapan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapakan.

c. Membaca dengan teliti informasi prosuk vaksin yang akan diberikan dan dapatkan persetujuan orangtua.

(14)

d. Meninjau kembali apakah ada kontra indikasi.

e. Memeriksa identitas klien dan berikan antipiretik bila perlu.

f. Memeriksa jenis dan keadaan vaksin serta yakinkan penyimpanannya baik.

g. Menyakinkan vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan bila perlu tawarkan juga vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal. h. Memberikan vaksin dengan teknik yang benar.

i. Setelah pemberian vaksin, menjelaskan apa yang harus dialakukan apabila ada reaksi ikutan, membuat laporan imunisasi kepada instansi terkait, memeriksa status imunisasi keluarga dan bila perlu menawarkan vaksinasi untuk mengekar ketinggalan (Muslihatun, 2010).

2.1.3.2. Dukungan Keluarga

Menurut Sarwono (2003) dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, mertua, maupun saudara lainnya.

Duval (1972, dalam Ali, 2006), menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental dan emosional serta sosial individu yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum.

(15)

Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Keluarga inti ( nuclear family ) adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. b. Keluarga besar ( extended family ) adalah keluarga inti ditambah anggota

keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi) (Suprajitno, 2004).

Sarafino (1994, dalam Suprajitno, 2004) mengklasifikasikan dukungan ke dalam empat bentuk yang terdiri dari:

1. Dukungan emosional, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami kondisi emosional. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tentram, aman damai yang ditujukan dengan sikap tenang dan berbahagia. Sumber dukungan ini paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup atau anggota keluarga, teman dekat, dan sanak saudara yang akrab dan memiliki hubungan harmonis.

2. Dukungan penilaian, yaitu perasaan subjek bahwa dirinya diakui oleh lingkungan mampu berguna bagi orang lain dan dihargai usaha-usahanya. Sumber dukungan ini dapat bersumber dari keluarga, masyarakat atau instansi (lembaga) tempat penderita pernah bekerja.

3. Dukungan instrumental, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan sekitarnya memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti alat-alat atau uang yang dapat meringankan penderitanya. Dukungan seperti ini umumnya berasal dari keluarga.

(16)

4. Dukungan Informatif, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang harus diketahuinya. Dukungan informatif ini dapat diperoleh dari dokter, perawat dan juga tenaga kesehatan lainnya. 2.2. Tindakan (Practice)

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut tindakan (practice) (Notoatmodjo, 2003).

Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti rangsangan itu bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi ini disebut perilaku, bentuk perilaku dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan teoritis, tingkah laku dapat dibedakan atas sikap, di dalam sikap diartikan sebagai suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap agar menjadi tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi fasilitas yang memungkinkan (Ahmadi, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2005), empat tingkatan tindakan yaitu :

1. Persepsi (Perception), mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil.

2. Respon terpimpin (Guided Response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

(17)

4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), faktor – faktor yang merupakan penyebab perilaku menurut Green dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu fator predisposisi (predisposing factors) seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai, berkenaan dengan motivasi seseorang bertindak. Faktor pemungkin atau faktor pendukung (enabling factors) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Terakhir faktor penguat atau faktor pendorong (reinforcing factors) seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain – lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan serta dukungan keluarga terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

2.3. Imunisasi

2.3.1. Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Menurut BKKBN yang dikutip Hanum Marimbi (2010) Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau sudah dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut di harapkan tubuh dapat

(18)

menghasilkan anti bodi yang pada akhirnya digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh.

Menurut Hidayat dalam Muslihatun (2010), imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin BCG, DPT, campak dan melalui mulut, seperti vaksin polio.

Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan pada semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dari penyakit – penyakit yang berbahaya. Lima jenis imunisasi dasar yang di wajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomyelitis, campak dan hepatitis B (Maryunani, 2010).

2.3.2. Tujuan Imunisasi

Adapun tujuan dalam pemberian imunisasi, antara lain :

1. Melindungi dan mencegah penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak.

2. Diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbilitas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu.

3. Untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya.

(19)

4. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar (Maryunani, 2010). 2.3.3. Pembagian Imunisasi

Imunisasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibody sendiri contohnya imunisasi polio, campak.

2. Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif adalah zat anti yang didapat dari luar tubuh misalnya dengan bahan atau serum yang mengandung zat anti dari ibu selama dalam kandungan. Pemberian zat (immunoglobulin) yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Maryunani, 2010).

Pembagian imunisasi berdasarkan kelengkapannya dibagi atas dua bagian yaitu :

1. Lengkap

Imunisasi lengkap adalah imunisasi yang mencakup di dalamnya BCG, DPT-1, DPT-2, DPT-3, Polio-1, Polio-2, Polio-3, Campak, Hepatitis B-1, Hepatitis B-2, Hepatitis B-3. Pada balita yang berusia 1 tahun dapat dikatakan sudah lengkap imunisasinya, karena sesuai dengan jadwal program imunisasi usia balita 1 tahun seterusnya sudah lengkap imunisasi yang diberikan.

(20)

2. Tidak Lengkap

Imunisasi tidak lengkap adalah imunisasi yang diperoleh kurang satu dari yang lengkap. Jika balita yang berusia 1 tahun tidak mendapatkan salah satu dari jenis imunisasi yang lengkap, maka dapat dikatakan imunisasi yang di berikan tidak lengkap (Depkes RI, 2009).

2.3.4. Jenis – jenis Imunisasi Dasar

Ada lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan oleh pemerintah antara lain : 1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis dan frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 kali, tidak perlu di ulang sebab vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang di hasilkan tinggi terus (Nanny, 2010).

a). Usia Pemberian

Pemberian imunisasi di anjurkan sedini mungkin atau secepatnya, tetapi pada umumnya dibawah 2 bulan. Jika diberikan setelah 2 bulan, disarankan dilakukan tes mantoux (tuberculin) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah bayi sudah terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum (Muslihatun, 2010).

b). Tanda Keberhasilan Imunisasi

Timbul indurasi (benjolan) kecil dan eritema (merah) didaerah bekas suntikan setelah 1 atau 2 minggu kemudian, yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi ulkus (luka), luka akan sembuh sendiri dan meninggalkan tanda parut.

(21)

c). Efek Samping Imunisasi

Umumnya tidak ada efek samping, namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher di bagian bawah, biasanya akan sembuh sendiri.

d). Kontra – indikasi Imunisasi

Imunisasi BCG tidak dapat diberikan kepada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan uji Mantoux positif.

2. Imunisasi DPT

Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap beberapa penyakit yaitu : difteri, pertusis, tetanus imunisasi dengan memberikan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan merangsang pembentukan zat anti (toxoid) (Nanny, 2010).

a). Pemberian Imunisasi

Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering dilakukan) yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, namun bisa juga ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun diberikan imunisasi TT. Sedangkan cara pemberian imunisasi melalui suntikan intra muscular (i.m) (Muslihatun, 2010). b). Efek Samping Imunisasi

Biasanya hanya gejala – gejala ringan seperti sedikit demam, rewel, selama 1-2 hari, kemerahan pembengkakan agak nyeri atau pegal – pegal pada tempat suntikan yang akan hilang sendiri dalam beberapa hari, atau bila masih demam dapat diberikan obat penurunan panas bayi.

(22)

c). Kontra – indikasi Imunisasi

Imunisasi DPT tidak dapat diberikan pada anak – anak yang mempunyai atau kelainan saraf bersifat keturunan atau bukan, seperti epilepsy, menderita kelainan saraf yang betul – betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak, anak – anak yang sedang demam yang mudah mendapat kejang dan mempunyai sifat alergi seperti penyakit asma.

3. Imunisasi Polio

Imunisasi polio adalah imunisasi yang dapat diberikan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis, yaitu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki (Nanny, 2010).

a). Pemberian Imunisasi

Bisa lebih dari jadwal yang ditentukan, mengingat adanya Pekan Imunisasi Nasional. Jumlah dosis yang berlebihan tidak akan berdampak buruk karena tidak ada istilah overdosis dalam imunisasi.

b). Usia Pemberian

Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan, dan berikutnya pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan kecuali saat lahir pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.

c). Cara Pemberian Imunisasi

Cara pemberian imunisasi polio melalui oral/mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Diluar negeri, cara pemberian polio ada yang melalui suntikan disebut Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV.

(23)

d). Efek Samping Imunisasi

Hanya sebagian kecil mengalami pusing, diare ringan dan sakit otot, kasusnyapun sangat jarang.

e). Kontra – indikasi Imunisasi

Sebaiknya pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, seperti demam tinggi (diatas 38 Cº). Pada anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan tidak diberikan imunisasi polio demikian juga anak dengan penyakit HIV/AIDS, penyakit kanker, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, untuk tidak diberikan imunisasi polio.

4. Imunisasi Campak

Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbili/measles), penyakit yang sangat menular. Sebenarnya bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga membutuhkan antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak (Nanny, 2010). a). Pemberian Imunisasi

Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1 kali b). Usia Pemberian Imunisasi

Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia 9-11 bulan, dan dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita, jika sampai usia 12 bulan anak harus di imunisasi campak MMR (Measles Mumps Rubella).

(24)

c). Cara Pemberian Imunisasi

Cara pemberian imunisasi adalah melalui subkutan. d). Efek Samping Imunisasi

Biasanya tidak terjadi reaksi akibat imunisasi mungkin terjadi demam ringan dan terdapat efek kecerahan / bercak merah pada pipi dibawah telinga pada hari ke7-8 setelah penyuntikan kemungkinan juga terdapat pembengkakan pada tempat penyuntikan.

e). Kontra – indikasi Imunisasi

Kontra – indikasi pemberian imunisasi campak pada anak yaitu penyakit akut yang disertai demam, penyakit gangguan kekebalan, TBC tanpa pengobatan, kekurangan gizi berat, penyakit keganasan, kerentanan tinggi dengan protein telur, kenamisin dan eritromisin (antibiotik).

5. Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B untuk mencegah penyakit yang disebabkan virus hepatitis B yang berakibat pada hati. Penyakit ini menular melalui darah atau cairan tubuh (Marimbi, 2010).

a). Pemberian Imunisasi

Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 kali. b). Usia Pemberian Imunisasi

Sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir dengan keadaan kondisi bayi dalam keadaan baik, tidak ada gangguan dalam paru – paru dan jantung dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan.

(25)

c). Cara Pemberian Imunisasi

Suntikan secara intra muscular didaerah paha. Penyuntikan daerah bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.

d). Efek Samping Imunisasi

Umumnya tidak terjadi, jikapun terjadi sangat jarang yaitu berupa keluhan nyeri pada tempat suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu 2 hari.

e). Tanda Keberhasilan

Tidak ada tanda klinis yang dapat di jadikan patokan, tetapi dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan memeriksa kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya diatas 1000 IU/1, berarti daya tahannya 8 tahun, diatas 500 IU/1 tahan 5 tahun, diatas 200 IU/1 tahan 3 tahun tetapi bila angkanya diatas 100 IU/1, maka dalam setahun akan hilang sementara bila angka nol berarti bayi harus disuntik ulang tiga kali lagi (Maryunani, 2010).

2.3.5. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi Dasar Lengkap

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi secara lengkap adalah tuberculosis, difteri, pertusis tetanus, polio, campak dan hepatitis B.

1. Tuberkulosis

Tuberkulosis yang disingkat TBC atau TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada anak penyakit ini sukar dikenal, biasanya keluhan yang sering didapat hanya nafsu makan yang menurun sehingga berat badan sukar naik (menurun). Pada umumnya organ yang diserang adalah paru – paru, akan tetapi dapat juga menyerang hampir semua organ tubuh. Penularan melalui

(26)

pernapasan, percikan ludah waktu batuk, bersin, melalui udara yang mengandung kuman TBC dan pada anak – anak sumber infeksi pada umumnya berasal dari penderita TBC dewasa (Marimbi, 2010).

2. Difteri

Penyakit difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran pernafasan bagian atas dengan gejala demam tinggi, pembengkakan pada amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama membesar dan dapat menutup jalan nafas, penularan umumnya melalui udara.

3. Pertusis

Penyakit pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan batuk seratus hari adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Gejalanya khas menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang – kadang bercampur darah batuk diakhiri dengan tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking. Penularan umumnya terjadi melalui udara (batuk/bersin) (Marimbi, 2010).

4. Tetanus

Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung, kejang – kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha (Marimbi, 2010).

(27)

5. Hepatitis B

Penyakit hepatitis B adalah suatu peradangan pada hati yang terjadi karena agen penyebab infeksi, yaitu virus hepatitis B infeksi virus pada hati yang terletak dibagian perut kanan mempunyai gejala tidak spesifik karena tidak selalu terdapat kuning, kadang – kadang hanya terasa mual, lesu atau demam seperti penyakit flu biasa. Hepatitis B pada anak yang biasanya tanpa gejala atau ringan saja seperti cepat lelah, kurang nafsu makan dan perasaan tidak enak di perut kemudian baru timbul kuning, walaupun demikian, infeksi pada anak mempunyai resiko menjadi kronis, terutama bila infeksi terjadi pada saat didalam kandungan. Penyakit ini menular melalui darah atau cairan tubuh yang lain dari orang yang terinfeksi bisa juga di tularkan dari ibu ke bayi (Maryunani, 2010).

6. Polio

Penyakit polio adalah penyakit menular yang sangat berbahaya yang menyerang syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan total hanya dalam hitungan jam. Gejala awal penyakit polio adalah demam, rasa lelah, pusing, muntah, kekakuan di leher dan rasa ngilu di bagian tungkai. Penyakit ini disebabkan oleh virus polio menyebar melalui tinja orang yang terinfeksi, penyakit ini belum ada obatnya (Maryunani, 2010).

7. Campak

Penyakit campak (dikenal juga sebagai penyakit rubella, campak sembilan hari, measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata / konjungtiva) dan ruam kulit 3-5 hari setelah anak menderita demam, bercak mula – mula timbul di pipi

(28)

bawah telinga kemudian menjalar kemuka dan anggota tubuh lainnya. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus. Penularan melalui udara atau kontak langsung dengan penderita (Maryunani, 2010).

2.3.6. Penyimpanan dan Prosedur yang Harus Diperhatikan sewaktu Menggunakan Vaksin

Chold chain adalah cara penyimpanan agar vaksin dapat digunakan dalam

keadaan baik atau tidak rusak sehingga mempunyai kemampuan/efek kekebalan pada penerima vaksin. Vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Vaksin akan rusak apabila temperatur terlalu tinggi atau terkena sinar matahari langsung, seperti vaksin polio oral (OPV), BCG dan campak. Apabila disimpan dalam suhu yang terlalu dingin atau beku, seperti toksoid tetanus, vaksin pertusis (DPT,DT), hepatitis B dan vaksin influensa. Vaksin polio boleh membeku dan mencair tanpa membahayakan potensinya.

Beberapa vaksin yang rusak akan mengalami perubahan fisik. Vaksin DPT apabila pernah membeku akan terlihat gumpalan antigen yang tidak larut lagi walaupun sudah dikocok sekuat-kuatnya. Vaksin lain meskipun potensinya sudah hilang atau berkurang, penampilan fisiknya tidak berubah. Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Sekali potensi vaksin hilang akibat panas atau beku, maka potensinya tidak dapat dikembalikan, walaupun temperatur sudah disesuaikan kembali, sehingga cara penyimpanan vaksin harus bisa menjamin potensi vaksin tidak akan berubah. Potensi vaksin hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.

(29)

Vaksin yang sudah kadaluarsa harus segera dikeluarkan dari lemari pendingin untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Dalam lemari pendingin, vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakkan dalam satu wadah khusus (tray), sehingga segera dapat dikenali.

Vaksin BCG yang sudah keluar masuk lemari pendingin selama pelayanan imunisasi, harus dibuang pada akhir pelayanan imunisasi (3 jam). Vaksin polio oral dapat cepat dicairkan dan cepat pula dibekukan sampai 10 kali tanpa kehilangan potensi vaksin. Vaksin polio dapat dipakai pada beberapa pelayanan imunisasi asal memenuhi syarat beku kadaluarsa dan disimpan dalam lemari pendingin yang memadai.

Vial vaksin multidosis yang mengandung bakteriostatik seperti DPT, yang telah dipakai dibuang apabila sudah kadaluarsa atau terkontaminasi. Vaksin yang tidak mengandung bakteriostatik, segera dibuang dalam waktu 24 jam setelah pemakaian. Vaksin campak yang sudah dilarutkan agar dibuang setelah 8 jam. Vaksin hepatitis B harus dibuang setelah 24 jam.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan, adalah vaksin yang sangat tidak stabil pada temperatur ruangan yakni vaksin oral polio dan pelarut vaksin campak. Vaksin yang harus dilindungi dari sinar matahari adalah vaksin oral polio, pelarut vaksin BCG. Vaksin yang tidak boleh beku: DPT, DT, pertusis, toksoid tetanus, hepatitis A dan hepatitis B.

(30)

2.4. Kerangka Konsep

Bedasarkan masalah dan tujuan penelitian maka kerangka konsepsional dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

Untuk mengungkap gambaran faktor predisposisi, pendukung dan pendorong ibu terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap dan tidak lengkap pada balita, maka kerangka konsep yang digunakan adalah menurut teori Lawrence Green (1980), akan dilihat bagaimana gambaran dari faktor predisposing yang termasuk kedalam faktor

Predisposing factors:  Faktor Demografi : -Umur -Pendidikan -Pekerjaan  Pengetahuan  Sikap Reinforcing factors:  Dukungan petugas kesehatan  Dukungan Keluarga Enabling factors:  Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan  Jarak ke sarana pelayanan kesehatan Tindakan Ibu terhadap Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap dan Tidak Lengkap

(31)

demografi yaitu umur, pendidikan dan pekerjaan ibu, pengetahuan dan sikap, akan dilihat juga gambaran dari faktor enabling meliputi ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan dan faktor reinforcing meliputi dukungan petugas kesehatan dan dukungan keluarga. Serta dari faktor-faktor tersebut akan dilihat bagaimana gambaran tindakan ibu terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap dan tidak lengkap pada balita.

Referensi

Dokumen terkait

Tetralogi fallot defek jantung sianotik konginetal yang terdiri dari empat defek sruktural, yaitu : defek septum ventrikel, stenosis pulmoner yang dapat berupa

 Penumpang pesawat udara yang berangkat dari Bandara Raden Inten II pada Januari 2017 sebanyak 88.164 orang, turun sebesar 9,07 persen jika dibandingkan Desember 2016 yaitu

Sedangkan pada periode setelah pengumuman perusahaan mendapatkan abnormal return dengan nilai (0,0197), dan periode 2 hari sampai 20 hari setelah merger dan akuisisi

Untuk Bioindikator Kualitas Perairan dengan menggunakan indeks keanekaragaman, kawasan pesisir Pulau Tunda termasuk kedalam kategori tercemar sangat ringan karena nilai

Jumlah Saham yang ditawarkan 525.962.624 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai Nominal Rp... HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU (HMETD) PT LEO INVESTMENTS Tbk

sampai 2015. Untuk menentukannya model pengaruh tersebut digunakan metode analisis jalur dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Data diambil dari laoran

pasangan berurut (ordered pairs), dimana anggota pertama diambil dari A dan yang kedua diambil dari B.. Fungsi dapat dispesifikasikan dalam berbagai

Kemampuan untuk mengonstruksi grafik untuk menampilkan sekumpulan data berdasarkan hubungan dua variabel dari hasil tes performa di laboratorium 80% mampu mengerjakan