• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Dukungan Tenaga Kesehatan terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies

HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

2. Dukungan Petugas Kesehatan

5.3. Pengaruh Faktor Reinforcing terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Pencegahan Penyakit Rabies

5.3.2 Pengaruh Dukungan Tenaga Kesehatan terhadap Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies

Hasil penelitian ditemukan sebanyak 51,4% indikator dukungan tenaga kesehatan pada kategori tidak baik. Mengingat mayoritas responden kurang dukungan tenaga kesehatan baik berupa saran, penjelasan dan pelayanan dalam tindakan pencegahan penyakit rabies, maka peran tenaga kesehatan memiliki potensi besar untuk meningkatkan tindakan pencegahan penyakit rabies, namun dalam penelitian ini peran tenaga kesehatan belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Secara umum dukungan teanaga kesehatan dan toloh masyarakat belum optimal, hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden, yaitu sebanyak 125 orang

(59,5%) responden menyatakan tidak pernah mendapat saran/anjuran dari tokoh masyarakat (Camat/Staf Kecamatan/Kepala Desa/Lurah/Staf Lurah/Kepala Lingkungan) agar memberikan vaksinasi rabies kepada anjing. Ha; ini juga memerlukan upaya misalnya dengan membentuk Pos Rabies Tingkat Kecamatan dengan melibatkan perangkat kecamatan, Dinas kesehatan, pimpinan puskesmas, kepala desa serta kader penyakit menular.

Hasil uji secara statistik ditemukan bahwa dukungan tenaga kesehatan berhubungan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit rabies. Responden yang mendapat dukungan tenaga kesehatan cenderung melaksanakan vaksinasi rabies secara rutin. Hal ini didukung oleh teori Green dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa sikap dan perilaku para petugas merupakan faktor penguat (reinforcing factors) untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Secara eksternal hal ini merupakan salah satu upaya petugas kesehatan seperti anjuran atau saran yang berkaitan dengan perilaku masyarakat khususnya pemilik anjing dalam tindakan pencegahan penyakit rabies.

Hasil uji secara statistik menunjukkan bahwa dukungan tenaga kesehatan berpengaruh signifikan terhadap tindakan dalam pencegahan penyakit rabies ditunjukkan oleh nilai p=0,000<p=0,005; nilai Exp(B)= 6,736; CI For Exp (B) (2,499- 18,159). Secara statistik hasil uji memberikan makna bahwa responden yang mendapat dukungan petugas kesehatan mempunyai peluang 6-7 kali tindakannya lebih baik dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies.

Sarwono (2004), berpendapat bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, kemudian menjadi internalisasi. Artinya semakin jelas kebijakan tersebut dirasakan oleh masyarakat maka akan semakin disiplin tentang pencegahan penyakit rabies. Kejelasan kebijakan tersebut terimplikasi dari adanya peraturan atau tindakan yang tegas jika ada ditemukan perilaku individu yang tidak disiplin, serta adanya evaluasi berkala dan rutin terhadap ketersediaan sarana pelayanan dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies.

Menurut Mantra dalam Sarwono (2004) menggunakan metode pendidikan untuk perubahan perilaku. Mantra mengembangkan strategi yang dikenal sebagai pendekatan edukatif dalam upaya menanamkan pemahamam dan membina kebiasaan hidup sehat melalui dua tahap. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan petugas yang mampu memberikan informasi berkaitan dengan rabies. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ganefa (2001) di Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat, menyimpulkan bahwa ada pengaruh antara anjuran petugas dengan ketidakpatuhan pemilik anjing memberikan vaksinasi rabies pada anjingnya, Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitan Marpaung (2009) yang mengungkapkan bahwa anjuran tenaga kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap pemeliharaan anjing dalam memberikan vaksinasi rabies pada anjingnya.

5.4. Tindakan Pemilik Anjing dalam Pencegahan Penyakit Rabies

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 57,1% responden tidak melaksanakan vaksinasi rabies pada anjing yang dipelihara secara rutin setiap tahun. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 42,9% responden menyatakan melaksanakan vaksinasi secara rutin karena petugas dari Dinas Peternakan datang sendiri kerumah. Selebihnya sebanyak 57,1%, mengaku hanya kadang-kadang menyuntik anjing peliharaannya, artinya ada yang 2 tahun sekali dan bahkan belum pernah memberikan vaksinasi rabies dengan alasan keterbatasan ekonomi serta khawatir anjing peliharaan akan sakit dan malah semakin ganas apabila disuntik vaksin anti rabies.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Marpaung (2009) tentang Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Pemilik Anjing dengan Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi, menyimpulkan bahwa persentase responden melakukan pemeliharaan anjing dengan baik masih rendah, yaitu sebesar 30,2 %.

Hasil pengamatan di lapangan (Sarosa et al., 2005) diketahui bahwa, kendala yang menyebabkan terjadinya rangkaian gagalnya upaya pemberantasan rabies adalah pengadaan vaksin. Jumlah vaksin yang disediakan oleh pemerintah untuk keperluan vaksinasi rabies sangat kurang dan tidak sesuai dengan populasi hewan penular rabies (anjing) yang ada. Demikian halnya dengan pelaksanaan vaksinasi di sebagian daerah belum sesuai dengan prosedur yang benar, yaitu vaksin dibawa tanpa pendingin. Sarana penyimpanan vaksin di banyak daerah sangat minim, sehingga akan dapat mempengaruhi potensi vaksin yang digunakan. Disamping itu, kualitas racun yang

dipakai pada program eliminasi, seringkali mengakibatkan tidak dapat mematikan anjing yang terjaring pada program eliminasi.

Lalu lintas hewan penular rabies (HPR) antar daerah bahkan dari daerah tertular ke daerah bebas sulit di awasi. Selain dari itu wilayah kerja yang sangat luas, ditambah medan yang berat, tenaga SDM karantina kesehatan hewan yang kurang memadai serta partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam membantu program pemberantasan rabies juga masih kurang, sehingga rangkaian permasalahan tersebut dapat merupakan hambatan keberhasilan pemberantasan rabies di Indonesia (Sarosa et al., 2005).

Hasil penelitian Utami dan Sumiarto (2010), mengungkapkan keterbatasan vaksin di daerah yang disediakan pemerintah perlu ditingkatkan dengan partisipasi masyarakat agar mau memvaksin hewan kesayangannya dengan cara swadana. Rendahnya cakupan vaksinasi rabies anjing bertuan di Kota Makassar 21 % (Utami dkk, 2008), rendahnya tingkat kekebalan protektif (titer antibodi 0,5 IU/ml) anjing bertuan 12,2 % (Utami dkk, 2010 inpress), dan adanya laporan kasus rabies tiap tahun mengindikasikan bahwa kota Makassar sebagai daerah endemis merupakan ancaman terjadinya wabah rabies pada hewan dan manusia ke wilayah sekitarnya.

Tindakan pencegahan penyakit rabies yang dilaksanakan responden dalam program pencegahan penyakit rabies dapat disimpulkan belum optimal. Peran petugas penyuluhan kesehatan mengenai penyakit rabies yang dilakukan oleh Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kecamatan Tarutung belum optimal dan tidak berkesinambungan.

Upaya atau strategi perlu dilakukan dari pihak terkait, seperti Dinas Peternakan dan Puskesmas Kabupaten Tapanuli Utara Kota, Dinas Kesehatan Tarutung perlu meningkatkan penyuluhan secara terus menerus dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam pencegahan penyakit rabies. Menurut WHO (2001) prinsip dasar program pemberantasan dan penanggulangan rabies di daerah, yaitu vaksinasi hewan pembawa rabies (HPR) di daerah endemis, surveilans, eliminasi HPR liar dan tidak jelas status vaksinasinya, karantina dan pengawasan lalu lintas HPR, serta penyuluhan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya rabies.

Upaya lain seperti mengupayakan kebijakan dengan mengajukan kepada Pemerintah Kabupaten berupa Peraturan Daerah (Perda) mengenai tata cara dan syarat yang harus dipenuhi dalam kepemilikan anjing. Selama ini dana untuk VAR di Kabupaten Tapanuli Utara sangat terbatas. Anggaran yang disediakan 1 VAR untuk satu rumah tangga, semenatara di Kecamataa Tarutung kepemilikan anjing per ruamh tangga rata-rata 1-2 ekor, sehingga VAR yang tersedia tidak cukup. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara perlu mengupayakan ketersediaan VAR dan kebijakan biaya VAR bagi rumah tangga yang memiliki anjing lebih dari satu ekor.