BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan
dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit
zoonotik. Agen penyebab penyakit ini menginfeksi jaringan saraf, sehingga
menyebabkan tejadinya peradangan pada otak atau ensefaalitis, sehingga berakibat
fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal
oleh masyarakat dan diketahui telah tersebar secara luas diberbagai belahan dunia,
bahkan penyebarannya dari waktu ke waktu selalu betambah luas (Akoso, 2011).
Penularan penyakit zoonosis selain karena kontak langsung dengan hewan,
juga disebabkan oleh faktor ekologi, yakni perubahan cuaca, iklim, dan lingkungan.
Perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial, dan ekonomi serta
perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kesehatan manusia. Untuk
menangani penyakit zoonosis, diperlukan pengembangan disiplin ilmu ecohealth
dengan cara mempersatukan berbagai kalangan, mulai dari dokter, dokter hewan, ahli
konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, hingga ahli perencanaan, untuk
secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem
secara negatif berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Penanggulangannya
tidak hanya dari aspek kesehatan manusia saja, tapi faktor dari hewan dan
Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat, penurunan angka
kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan pada manusia (human Rabies).
Dalam kaitannya dengan yang hal tersebut, pemberantasan Rabies seharusnya dapat
dimaknai sebagai salah satu langkah pencapaian Millenium Development Goals
(MDG’s) yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan
penularan penyakit bersumber hewan (animal origin diseases). Negara-negara
berkembang termasuk Indonesia belum mampu memberantas rabies karena rendahnya
prioritas terhadap penyakit ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan
(
Penyakit Rabies sering diabaikan atau disebut Sofyannoor, 2011).
Neglected Zoonosis Diseases
(NZDs). NZDs pada umumnya dirasakan oleh masyarakat pedesaan, hal ini
disebabkan masyarakat pedesaan, masih bergantung pada hasil ternak dan juga
masyarakat pedesaan belum mempunyai akses yang baik terhadap kesehatan, baik
untuk kesehatan manusia ataupun ternak. Dalam melihat dampak secara sosial hal yang
sering dihitung adalah efek langsung suatu penyakit terhadap produktifitas sesorang. Di
Indonesia, sebagai contoh kerugian-kerugain yang diakibatkan oleh NZDs ini juga
signifikan. Dimulai oleh kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia sampai
dengan berkurangnya produktifitas ternak (
Belum diketahui secara pasti kapan rabies mulai dikenal oleh umat manusia
didunia sebagai penyakit menular serta membahayakan kesehatan manusia dan
ditemukannya pustaka untuk penyakit-penyakit pada anjing pada tahun 1885 sebelum
Masehi (SM), yaitu sejak zaman pre-mozaik di Kota Eshmuna yang dikenal sebagai
zaman raja Hammurabi dari Babylonia Kuno. Pada saat itu telah ditemukan adanya
suatu peraturan khusus tentang kewajiban bagi seorang pemilik anjing untuk
memelihara dan merawatnya dengan baik secara bertanggung jawab (Akoso, 2011).
Rabies masuk ke Indonesia pertamakali dilaporkan terjadi pada jaman
penjajahan Belanda. Schorl pada tahun 1884, melaporkan penyakit rabies menyerang
seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan kasus rabies pada seekor kerbau di
daerah Bekasi dilaporkan Esser pada tahun 1889. Kemudian kasus rabies pada anjing
di Tangerang dilaporkan oleh Penning pada tahun 1890. Kasus rabies pada manusia
dilaporkan oleh E.de Haan, menyerang seorang anak di desa Palimanan, Cirebon
pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies di Indonesia dimulai
pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera
Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969;
Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan
Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975;
Kalimantan Tengah tahun 1978 dan Kalimantan Selatan tahun 1981 (Lampiran
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 344.b/kpts/PD.670.370/
L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis Persyaratan Dan Tindakan
Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).
Daerah bebas rabies di Asia secara terbatas antara lain Hongkong, Singapura,
Jepang, Brunai Darussalam dan Bahrain. Beberapa negara maju, seperti Amerika
Serikat dan Kanada, berhasil mengendalikan penyakit rabies dengan menekan kasus
secara optimal pada hewan budi daya atau anjing piaraan, tetapi masih mengalami
kesulitan dan belum berhasil untuk membebaskan secara tuntas kasus rabies pada
satwa liar (Akoso, 2011).
Pada tahun 2006 populasi anjing di Jepang berjumlah 13 juta anjing
peliharaan, jumlah ini melebihi jumlah anak di bawah usia 12 tahun yang berjumlah
12 juta jiwa. Di Tokyo (2005) populasi anjing berjumlah 410.000. Perempuan dan
pasangan keluaga yang tidak memiliki anak semakin sering menyanyangi anjing,
bahkan keluarga dengan jumlah anak sedikit atau tidak mimiliki anak, beralih ke
anjing untuk mengisi kekosongan (Facts and Details.com, 2010).
Jepang telah bebas rabies selama 50 tahun, kasus terakhir dari rabies pada
manusia dan hewan yang dilaporkan pada tahun 1954 dan 1957, kecuali untuk 3
kasus rabies pada manusia pada tahun 1970 dan 2006. Penghapusan rabies di Jepang
disebabkan tidak hanya isolasi geografis tetapi juga pencegahan dan tindakan
pengendalian yang efektif, seperti pendaftaran dan vaksinasi anjing domestik,
diperlukan karantina hewan impor yang rentan menularkan rabies, dan rencana secara
nasional berdasarkan penelitian ilmiah. Penanggulangan terhadap rabies telah
domestik melalui suatu speraturan dan diubah menjadi undang-undang pencegahan
rabies yang telah diberlakukan sejak April 2007. Sistem peraturan terbaru tersebut
menjadi model yang efektif untuk mencegah, mengendalikan dan penghapusan
Saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan
Kalimantan Tenggara. Penyakit ini juga kerap menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB). Tahun 2005 KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan
Barat, akhir tahun 2007, KLB terjadi di Banten. November 2008, KLB terjadi di
Kabupaten Badung Bali. KLB di Pulau Nias, Sumatera Utara 2010 (Kemenkes RI,
2010).
penyakit rabies di seluruh dunia (CDC, 2011).
Kegagalan pengendalian rabies di berbagai negara, terutama dinegara
berkembang, disebabkan karena vaksinasi rabies terhadap anjing tidak mencapai
jumlah yang cukup, sehingga siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak
(free ranging dogs) tidak dapat diputus. Kesulitan untuk melakukan vaksinasi anjing
geladak dengan cara penyuntikan menghadapi kendala, karena anjing geladak
tersebut sulit ditangkap (Soeharsono, 2011).
penderitanya, diestimasi kematian manusia di dunia akibat rabies mencapai 55.000
orang tiap tahunnya. Dimana jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus kematian
akibat gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010
sebanyak 20 jiwa (0,027 %). Salah satunya kematian penderita termasuk Kepala
Dinas Kesehatan Nias Utara. Tempat kedua adalah Kabupaten Samosir dengan
jumlah kematian sebanyak 3 jiwa (0,006 %).
sebanyak
50.000 kematian per tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China rata-rata
2.500 kematian per tahun, Vietnam 9.000 kematian per tahun, Filipina 200 – 300
kematian per tahun dan Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143
kematian per tahun, Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008 di Kabupaten
Badung meninggal 4 orang (Kemenkes RI, 2011).
Selama 3 tahun terakhir (2006 – 2008) tercatat sebanyak 18.945 kasus gigitan
hewan penular rabies, diantaranya 13.175 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan
122 orang positif rabies (angka kematian 100%), Di Bali, sejak kasus ini menyebar
tahun 2008 di Kabupaten Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418 kasus
GPHR (Kemenkes RI, 2011).
Di Bali yang menjadi pusat perhatian dunia, serangan rabies dalam tiga tahun
terakhir sejak April 2008 sampai dengan akhir Agustus 2010 sebanyak 34.900 kasus
gigitan binatang yang mengandung rabies, Sumatera Utara sampai dengan Juli 2010
(Kemenkes RI, 2011)
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus akibat
gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010 mencapai
3.693 gigitan, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara, Kota Gunung Sitoli
merupakan daerah terbanyak kasus rabies, yakni mencapai 737 gigitan dan tempat
kedua adalah Kabupaten Samosir dengan 469 kasus gigitan (Kemenkes RI, 2011).
Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa
yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Analisis
ekonomi akibat rabies rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1998-2007
mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk
biaya pengobatan pasca gigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya
vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar (Wera, 2010).
Menurut OIE (2009), biaya perawatan pasca gigitan pada manusia adalah
sekitar dua puluh sampai seratus kali lebih mahal daripada vaksinasi anjing. Saat ini
hanya 10% dari sumber daya keuangan yang digunakan di seluruh dunia untuk
mengobati manusia setelah digigit anjing. Keperluan untuk pengobatan akibat terkena
gigitan juga pasti berkurang. Hal ini akan sangat membantu penghematan finansial:
biaya rata-rata pengobatan akibat terkena gigitan di Asia adalah sebesar USD 49 atau
setara dengan IDR 490.000 per pasien
Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan mampu menuntaskan
1.000 kasus rabies setiap tahun, diharapkan bisa dikurangi 200 daerah yang terkena
kasus rabies. Pemerintah sudah menyiapkan 2 juta vaksin rabies per tahun. Target
Pemerintah 2015 tidak ada lagi ditemukan kasus rabies (Pujiatmoko, 2011).
Lemahnya aspek perundangan merupakan kendala utama dalam upaya
mengendalikan dan memberantas penyakit hewan menular terutama yang berpotensi
menular ke manusia. Itu suatu kesimpulan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia
(OIE) setelah melakukan evaluasi teknis terhadap sejumlah negara yang terjangkit flu
burung atau avian influenza (AI) sejak tahun 2003 lalu. Kondisi ini kebanyakan
terjadi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Bahkan beberapa negara
berkembang sampai saat ini belum memiliki perundangan yang mengatur kesehatan
hewan. Selain itu, masih ada negara-negara yang perundangannya warisan negara
penjajah di masa lampau, termasuk Indonesia. Perundangan yang dimiliki Indonesia
sejak zaman Belanda yang mengatur tentang penyakit hewan menular, yaitu
Staatbalds Nomor 432 tahun 1912. Perundangan dibuat setelah Indonesia merdeka
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang memuat ketentuan-ketentuan
pokok tentang peternakan dan kesehatan hewan dan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Naipospos,
2012).
Pada tahun 2006 wilayah di Indonesia yang dinyatakan daerah bebas rabies
yaitu Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT)
kecuali Pulau Flores dan Lembata, Irian Jaya Barat dan Papua, pulau-pulau di sekitar
Sumatera serta Pulau Jawa. Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies oleh Pemerintah
secara bertahap, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No
892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I.
Pertanian No. 566/Kpts/ PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat
dinyatakan bebas rabies, sehingga dengan demikian Pulau Jawa dinyatakan bebas
rabies (Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor :
344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis
Persyaratan Dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan
Penular Rabies (Anjing, Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan, yang menyatakan bahwa sasaran penyelenggaraan sistem
surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan
program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional
dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta
sasaran spesifik lokal atau daerah. Salah satu sasaran penyelenggaran sistem
surveilans epidemiologi kesehatan adalah Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular,
yang merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan
faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular, diantaranya
adalah penyakit-penyakit zoonosis.
Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 566 KPTS/PD 640/10/2004,
tanggal 26 Oktober 2004 yang menyatakan Jakarta bebas rabies, telah dilakukan
upaya mempertahankan Jakarta sebagai kota bebas rabies, diantaranya pelaksanaan
Januari hingga September 2010, sekitar 956 ekor hewan penular rabies telah
divaksinasi.
Sejak dinyatakan KLB rabies, lalu lintas anjing dari dan ke pulau Nias ke
daerah lain di Sumatera Utara dihentikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur
Sumatera Utara No 39 tahun 2010 tentang penutupan sementara pemasukan dan
pengeluaran anjing, kucing, kera dari kepulauan Nias. Populasi anjing di Sumatera
Utara sebanyak 290.000 ekor. Nias dengan populasi 61.756 ekor dan sudah
dieliminasi sebanyak 28.243 ekor. Seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Utara
sudah terserang kasus rabies. Nias hingga saat ini diketahui masih endemis dan sudah
diberikan pelatihan tentang rabies dan Nias juga dinyatakan masih KLB.
Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk bebas rabies adalah
dengan pelaksanaan urusan peternakan dilaksanakan melalui pembangunan Pusat
Kesehatan Hewan (Puskeswan) di Kelurahan Sibuluan Nauli Kecamatan Pandan,
pelayanan inseminasi buatan pada ternak sapi, pengembangan ternak ayam broiler,
penyediaan pakan dan obat-obatan ternak, pencegahan penyakit menular ternak serta
pengadaan vaksin rabies serta pelaksanaan vaksinasi rabies (Pemerintahan Daerah
Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011).
Upaya pencegahan rabies sebenarnya telah banyak dilakukan seperti
dicanangkannya Hari Rabies Sedunia yang prakarsaioleh Aliance for Rabies Control
dan untuk pertama kali pada diperingati pada 28 September 2006. Di Indonesia,
Kabupaten Tabanan, Bali. Pemerintah Indonesia mencanangkan bebas rabies pada
tahun 2020. Pada tanggal 18 Maret 2012 Dinas Kesehatan Sumatera Utara
mencanangkan program Pulau Sumatera Bebas Rabies 2015 (Kemenkes RI, 2011).
Di Bali, sejak tahun 2008 – 2010 diantaranya telah dikirimkan VAR sekitar
11.000 kuur, serum anti rabies (SAR) sekitar 20.000 vial, pembentukan 43 Rabies
Center di seluruh Bali serta mensukseskan bulan vaksinasi anjing. Kasus GHPR di
Provinsi Sumatera Utara dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Desember
2009 telah ditemukan sebanyak 1.839 orang dan yang mendapatkan VAR sebanyak
1.240 orang (67,43%). Di Nias, pemerintah bersama WHO mengirimkan vaksin anti
rabies (VAR) 150 kuur, melakukan pelacakan kasus, membentuk tim koordinasi di
semua kabupaten, membentuk Rabies Center di RSUD dan Puskesmas serta
mengeliminasi dan vaksinasi anjing. Sampai dengan bulan April 2010 diperoleh
informasi bahwa kasus GHPR di Pulau Nias yang tercatat di 5 Kabupaten/Kota ada
248 kasus dengan pemberian VAR kepada 100 kasus (40,32%) (Kemenkes RI, 2011).
Penyakit anjing gila dapat dikelola dengan baik apabila mengikuti
aturan-aturan yang telah digariskan pemerintah melalui dinas terkait. Kurangnya
pemahaman masyarakat khususnya pemilik binatang anjing peliharaan tentang
pertolongan pertama apabila digigit anjing, dapat menimbulkan kerugian materil dan
sering berujung dengan maut. Polemik sosial yang bermacam ragam tentang
pemberantasan penyakit menular membuat Bangsa Indonesia sampai saat ini masih
Welfare Asosiation, 2004).
Hasil pengamatan awal di Kecamatan Sarudik pada tahun 2011 dijumpai
banyak anjing berkeliaran secara bebas di pemukiman padat penduduk. Pemilik
anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing
peliharaannya, karena sudah merupakan kebiasaan dari dulu bahwa anjing tidak
memiliki kandang dan kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa anjing dapat
membahayakan masyarakat. Pengamatan juga dilakukan pada perumahan penduduk,
termasuk yang memelihara anjing tidak memiliki pagar sehingga anjing terbiasa
berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing
yang mempunyai penutup moncong. Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Tapanuli Tengah (2011), pada tahun 2010 terdapat 6 (enam) kecamatan
dinyatakan sebagai KLB Rabies yaitu Kecamatan Sitahuis, Kecamatan Sorkam,
Kecamatan Kolang, Kecamatan Sarudik, Kecamatan Pandan dan Kecamatan Tukka.
Dari 6 (enam) kecamatan tersebut jumlah penderita akibat digigit anjing yang diduga
rabies sebanyak 123 orang dan yang mengalami kematian sebanyak 4 (empat) orang.
Di Kecamatan Sarudik sebagai tempat penelitian terdapat 4 (empat) orang digigit
anjing yang diduga rabies dan satu orang yang meninggal dunia.
Keadaan ini dipengaruhi banyak anjing yang berkeliaran dan tidak jelas
riwayat vaksinasinya. Anjing yang berkeliaran itu berisiko menggigit anjing, kucing,
monyet dan manusia. Selain itu dipengaruhi juga oleh kurangnya pengetahuan
masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit rabies, perilaku
masyarakat yang diharapkan adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan anjing
peliharaan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman rabies,
serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan survei awal di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah
terhadap 10 orang pada bulan Agustus 2011 diketahui bahwa terdapat 4 orang (40%)
yang mengatakan kurangnya pengetahuan masyarakat melakukan pencegahan
penyakit rabies disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk
mencegah penyakit rabies dari anjing peliharaan dan anjing liar yang bebas
berkeliaran di masyarakat. Faktor pencetus yang ditemukan adalah berkembangnya
penyakit rabies, kondisi masyarakat banyak memelihara anjing, adanya cedera/luka
cakaran yang tidak dilaporkan, adanya rasa tidak nyaman pengunjung pada wilayah
itu, dan terjadinya kematian akibat rabies.
Berdasarkan uraian di atas perlu diteliti hubungan pengetahuan pemilik anjing
dan faktor pencetus terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik
Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah
rendahnya upaya pencegahan masyarakat terhadap penyakit rabies di Kecamatan
pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan
pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan penyakit rabies di
Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.4 Hipotesis Penelitian
Faktor pengetahuan pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus
(perkembangan penyakit, kondisi, cedera, ancaman dan kematian) berhubungan
dengan pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli
Tengah.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Menjadi masukan model perbaikan untuk pencegahan penyakit rabies pada
Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.5.2 Menjadi bahan bacaan/referensi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli
Tengah dalam menyusun rencana strategis dan kebijakan serta tindakan
intervensi khususnya dalam program pemberantasan penyakit rabies,
khususnya di Kecamatan Sarudik dan di daerah endemis, sehingga dapat