• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan

dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

zoonotik. Agen penyebab penyakit ini menginfeksi jaringan saraf, sehingga

menyebabkan tejadinya peradangan pada otak atau ensefaalitis, sehingga berakibat

fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal

oleh masyarakat dan diketahui telah tersebar secara luas diberbagai belahan dunia,

bahkan penyebarannya dari waktu ke waktu selalu betambah luas (Akoso, 2011).

Penularan penyakit zoonosis selain karena kontak langsung dengan hewan,

juga disebabkan oleh faktor ekologi, yakni perubahan cuaca, iklim, dan lingkungan.

Perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial, dan ekonomi serta

perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kesehatan manusia. Untuk

menangani penyakit zoonosis, diperlukan pengembangan disiplin ilmu ecohealth

dengan cara mempersatukan berbagai kalangan, mulai dari dokter, dokter hewan, ahli

konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, hingga ahli perencanaan, untuk

secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem

secara negatif berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Penanggulangannya

tidak hanya dari aspek kesehatan manusia saja, tapi faktor dari hewan dan

(2)

Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat, penurunan angka

kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan pada manusia (human Rabies).

Dalam kaitannya dengan yang hal tersebut, pemberantasan Rabies seharusnya dapat

dimaknai sebagai salah satu langkah pencapaian Millenium Development Goals

(MDG’s) yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan

penularan penyakit bersumber hewan (animal origin diseases). Negara-negara

berkembang termasuk Indonesia belum mampu memberantas rabies karena rendahnya

prioritas terhadap penyakit ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan

(

Penyakit Rabies sering diabaikan atau disebut Sofyannoor, 2011).

Neglected Zoonosis Diseases

(NZDs). NZDs pada umumnya dirasakan oleh masyarakat pedesaan, hal ini

disebabkan masyarakat pedesaan, masih bergantung pada hasil ternak dan juga

masyarakat pedesaan belum mempunyai akses yang baik terhadap kesehatan, baik

untuk kesehatan manusia ataupun ternak. Dalam melihat dampak secara sosial hal yang

sering dihitung adalah efek langsung suatu penyakit terhadap produktifitas sesorang. Di

Indonesia, sebagai contoh kerugian-kerugain yang diakibatkan oleh NZDs ini juga

signifikan. Dimulai oleh kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia sampai

dengan berkurangnya produktifitas ternak (

Belum diketahui secara pasti kapan rabies mulai dikenal oleh umat manusia

didunia sebagai penyakit menular serta membahayakan kesehatan manusia dan

(3)

ditemukannya pustaka untuk penyakit-penyakit pada anjing pada tahun 1885 sebelum

Masehi (SM), yaitu sejak zaman pre-mozaik di Kota Eshmuna yang dikenal sebagai

zaman raja Hammurabi dari Babylonia Kuno. Pada saat itu telah ditemukan adanya

suatu peraturan khusus tentang kewajiban bagi seorang pemilik anjing untuk

memelihara dan merawatnya dengan baik secara bertanggung jawab (Akoso, 2011).

Rabies masuk ke Indonesia pertamakali dilaporkan terjadi pada jaman

penjajahan Belanda. Schorl pada tahun 1884, melaporkan penyakit rabies menyerang

seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan kasus rabies pada seekor kerbau di

daerah Bekasi dilaporkan Esser pada tahun 1889. Kemudian kasus rabies pada anjing

di Tangerang dilaporkan oleh Penning pada tahun 1890. Kasus rabies pada manusia

dilaporkan oleh E.de Haan, menyerang seorang anak di desa Palimanan, Cirebon

pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies di Indonesia dimulai

pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera

Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969;

Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan

Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975;

Kalimantan Tengah tahun 1978 dan Kalimantan Selatan tahun 1981 (Lampiran

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 344.b/kpts/PD.670.370/

L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis Persyaratan Dan Tindakan

(4)

Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Daerah bebas rabies di Asia secara terbatas antara lain Hongkong, Singapura,

Jepang, Brunai Darussalam dan Bahrain. Beberapa negara maju, seperti Amerika

Serikat dan Kanada, berhasil mengendalikan penyakit rabies dengan menekan kasus

secara optimal pada hewan budi daya atau anjing piaraan, tetapi masih mengalami

kesulitan dan belum berhasil untuk membebaskan secara tuntas kasus rabies pada

satwa liar (Akoso, 2011).

Pada tahun 2006 populasi anjing di Jepang berjumlah 13 juta anjing

peliharaan, jumlah ini melebihi jumlah anak di bawah usia 12 tahun yang berjumlah

12 juta jiwa. Di Tokyo (2005) populasi anjing berjumlah 410.000. Perempuan dan

pasangan keluaga yang tidak memiliki anak semakin sering menyanyangi anjing,

bahkan keluarga dengan jumlah anak sedikit atau tidak mimiliki anak, beralih ke

anjing untuk mengisi kekosongan (Facts and Details.com, 2010).

Jepang telah bebas rabies selama 50 tahun, kasus terakhir dari rabies pada

manusia dan hewan yang dilaporkan pada tahun 1954 dan 1957, kecuali untuk 3

kasus rabies pada manusia pada tahun 1970 dan 2006. Penghapusan rabies di Jepang

disebabkan tidak hanya isolasi geografis tetapi juga pencegahan dan tindakan

pengendalian yang efektif, seperti pendaftaran dan vaksinasi anjing domestik,

diperlukan karantina hewan impor yang rentan menularkan rabies, dan rencana secara

nasional berdasarkan penelitian ilmiah. Penanggulangan terhadap rabies telah

(5)

domestik melalui suatu speraturan dan diubah menjadi undang-undang pencegahan

rabies yang telah diberlakukan sejak April 2007. Sistem peraturan terbaru tersebut

menjadi model yang efektif untuk mencegah, mengendalikan dan penghapusan

Saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan,

Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan

Kalimantan Tenggara. Penyakit ini juga kerap menimbulkan kejadian luar biasa

(KLB). Tahun 2005 KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan

Barat, akhir tahun 2007, KLB terjadi di Banten. November 2008, KLB terjadi di

Kabupaten Badung Bali. KLB di Pulau Nias, Sumatera Utara 2010 (Kemenkes RI,

2010).

penyakit rabies di seluruh dunia (CDC, 2011).

Kegagalan pengendalian rabies di berbagai negara, terutama dinegara

berkembang, disebabkan karena vaksinasi rabies terhadap anjing tidak mencapai

jumlah yang cukup, sehingga siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak

(free ranging dogs) tidak dapat diputus. Kesulitan untuk melakukan vaksinasi anjing

geladak dengan cara penyuntikan menghadapi kendala, karena anjing geladak

tersebut sulit ditangkap (Soeharsono, 2011).

(6)

penderitanya, diestimasi kematian manusia di dunia akibat rabies mencapai 55.000

orang tiap tahunnya. Dimana jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus kematian

akibat gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010

sebanyak 20 jiwa (0,027 %). Salah satunya kematian penderita termasuk Kepala

Dinas Kesehatan Nias Utara. Tempat kedua adalah Kabupaten Samosir dengan

jumlah kematian sebanyak 3 jiwa (0,006 %).

sebanyak

50.000 kematian per tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China rata-rata

2.500 kematian per tahun, Vietnam 9.000 kematian per tahun, Filipina 200 – 300

kematian per tahun dan Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143

kematian per tahun, Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008 di Kabupaten

Badung meninggal 4 orang (Kemenkes RI, 2011).

Selama 3 tahun terakhir (2006 – 2008) tercatat sebanyak 18.945 kasus gigitan

hewan penular rabies, diantaranya 13.175 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan

122 orang positif rabies (angka kematian 100%), Di Bali, sejak kasus ini menyebar

tahun 2008 di Kabupaten Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418 kasus

GPHR (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali yang menjadi pusat perhatian dunia, serangan rabies dalam tiga tahun

terakhir sejak April 2008 sampai dengan akhir Agustus 2010 sebanyak 34.900 kasus

gigitan binatang yang mengandung rabies, Sumatera Utara sampai dengan Juli 2010

(7)

(Kemenkes RI, 2011)

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus akibat

gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010 mencapai

3.693 gigitan, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara, Kota Gunung Sitoli

merupakan daerah terbanyak kasus rabies, yakni mencapai 737 gigitan dan tempat

kedua adalah Kabupaten Samosir dengan 469 kasus gigitan (Kemenkes RI, 2011).

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa

yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Analisis

ekonomi akibat rabies rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1998-2007

mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk

biaya pengobatan pasca gigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya

vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar (Wera, 2010).

Menurut OIE (2009), biaya perawatan pasca gigitan pada manusia adalah

sekitar dua puluh sampai seratus kali lebih mahal daripada vaksinasi anjing. Saat ini

hanya 10% dari sumber daya keuangan yang digunakan di seluruh dunia untuk

mengobati manusia setelah digigit anjing. Keperluan untuk pengobatan akibat terkena

gigitan juga pasti berkurang. Hal ini akan sangat membantu penghematan finansial:

biaya rata-rata pengobatan akibat terkena gigitan di Asia adalah sebesar USD 49 atau

setara dengan IDR 490.000 per pasien

Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan mampu menuntaskan

1.000 kasus rabies setiap tahun, diharapkan bisa dikurangi 200 daerah yang terkena

(8)

kasus rabies. Pemerintah sudah menyiapkan 2 juta vaksin rabies per tahun. Target

Pemerintah 2015 tidak ada lagi ditemukan kasus rabies (Pujiatmoko, 2011).

Lemahnya aspek perundangan merupakan kendala utama dalam upaya

mengendalikan dan memberantas penyakit hewan menular terutama yang berpotensi

menular ke manusia. Itu suatu kesimpulan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia

(OIE) setelah melakukan evaluasi teknis terhadap sejumlah negara yang terjangkit flu

burung atau avian influenza (AI) sejak tahun 2003 lalu. Kondisi ini kebanyakan

terjadi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Bahkan beberapa negara

berkembang sampai saat ini belum memiliki perundangan yang mengatur kesehatan

hewan. Selain itu, masih ada negara-negara yang perundangannya warisan negara

penjajah di masa lampau, termasuk Indonesia. Perundangan yang dimiliki Indonesia

sejak zaman Belanda yang mengatur tentang penyakit hewan menular, yaitu

Staatbalds Nomor 432 tahun 1912. Perundangan dibuat setelah Indonesia merdeka

adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang memuat ketentuan-ketentuan

pokok tentang peternakan dan kesehatan hewan dan Undang-Undang Republik

Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Naipospos,

2012).

Pada tahun 2006 wilayah di Indonesia yang dinyatakan daerah bebas rabies

yaitu Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT)

kecuali Pulau Flores dan Lembata, Irian Jaya Barat dan Papua, pulau-pulau di sekitar

Sumatera serta Pulau Jawa. Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies oleh Pemerintah

secara bertahap, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No

892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I.

(9)

Pertanian No. 566/Kpts/ PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat

dinyatakan bebas rabies, sehingga dengan demikian Pulau Jawa dinyatakan bebas

rabies (Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor :

344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis

Persyaratan Dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan

Penular Rabies (Anjing, Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans

Epidemiologi Kesehatan, yang menyatakan bahwa sasaran penyelenggaraan sistem

surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan

program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional

dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta

sasaran spesifik lokal atau daerah. Salah satu sasaran penyelenggaran sistem

surveilans epidemiologi kesehatan adalah Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular,

yang merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan

faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular, diantaranya

adalah penyakit-penyakit zoonosis.

Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 566 KPTS/PD 640/10/2004,

tanggal 26 Oktober 2004 yang menyatakan Jakarta bebas rabies, telah dilakukan

upaya mempertahankan Jakarta sebagai kota bebas rabies, diantaranya pelaksanaan

(10)

Januari hingga September 2010, sekitar 956 ekor hewan penular rabies telah

divaksinasi.

Sejak dinyatakan KLB rabies, lalu lintas anjing dari dan ke pulau Nias ke

daerah lain di Sumatera Utara dihentikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur

Sumatera Utara No 39 tahun 2010 tentang penutupan sementara pemasukan dan

pengeluaran anjing, kucing, kera dari kepulauan Nias. Populasi anjing di Sumatera

Utara sebanyak 290.000 ekor. Nias dengan populasi 61.756 ekor dan sudah

dieliminasi sebanyak 28.243 ekor. Seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Utara

sudah terserang kasus rabies. Nias hingga saat ini diketahui masih endemis dan sudah

diberikan pelatihan tentang rabies dan Nias juga dinyatakan masih KLB.

Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk bebas rabies adalah

dengan pelaksanaan urusan peternakan dilaksanakan melalui pembangunan Pusat

Kesehatan Hewan (Puskeswan) di Kelurahan Sibuluan Nauli Kecamatan Pandan,

pelayanan inseminasi buatan pada ternak sapi, pengembangan ternak ayam broiler,

penyediaan pakan dan obat-obatan ternak, pencegahan penyakit menular ternak serta

pengadaan vaksin rabies serta pelaksanaan vaksinasi rabies (Pemerintahan Daerah

Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011).

Upaya pencegahan rabies sebenarnya telah banyak dilakukan seperti

dicanangkannya Hari Rabies Sedunia yang prakarsaioleh Aliance for Rabies Control

dan untuk pertama kali pada diperingati pada 28 September 2006. Di Indonesia,

(11)

Kabupaten Tabanan, Bali. Pemerintah Indonesia mencanangkan bebas rabies pada

tahun 2020. Pada tanggal 18 Maret 2012 Dinas Kesehatan Sumatera Utara

mencanangkan program Pulau Sumatera Bebas Rabies 2015 (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali, sejak tahun 2008 – 2010 diantaranya telah dikirimkan VAR sekitar

11.000 kuur, serum anti rabies (SAR) sekitar 20.000 vial, pembentukan 43 Rabies

Center di seluruh Bali serta mensukseskan bulan vaksinasi anjing. Kasus GHPR di

Provinsi Sumatera Utara dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Desember

2009 telah ditemukan sebanyak 1.839 orang dan yang mendapatkan VAR sebanyak

1.240 orang (67,43%). Di Nias, pemerintah bersama WHO mengirimkan vaksin anti

rabies (VAR) 150 kuur, melakukan pelacakan kasus, membentuk tim koordinasi di

semua kabupaten, membentuk Rabies Center di RSUD dan Puskesmas serta

mengeliminasi dan vaksinasi anjing. Sampai dengan bulan April 2010 diperoleh

informasi bahwa kasus GHPR di Pulau Nias yang tercatat di 5 Kabupaten/Kota ada

248 kasus dengan pemberian VAR kepada 100 kasus (40,32%) (Kemenkes RI, 2011).

Penyakit anjing gila dapat dikelola dengan baik apabila mengikuti

aturan-aturan yang telah digariskan pemerintah melalui dinas terkait. Kurangnya

pemahaman masyarakat khususnya pemilik binatang anjing peliharaan tentang

pertolongan pertama apabila digigit anjing, dapat menimbulkan kerugian materil dan

sering berujung dengan maut. Polemik sosial yang bermacam ragam tentang

pemberantasan penyakit menular membuat Bangsa Indonesia sampai saat ini masih

(12)

Welfare Asosiation, 2004).

Hasil pengamatan awal di Kecamatan Sarudik pada tahun 2011 dijumpai

banyak anjing berkeliaran secara bebas di pemukiman padat penduduk. Pemilik

anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing

peliharaannya, karena sudah merupakan kebiasaan dari dulu bahwa anjing tidak

memiliki kandang dan kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa anjing dapat

membahayakan masyarakat. Pengamatan juga dilakukan pada perumahan penduduk,

termasuk yang memelihara anjing tidak memiliki pagar sehingga anjing terbiasa

berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing

yang mempunyai penutup moncong. Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Tapanuli Tengah (2011), pada tahun 2010 terdapat 6 (enam) kecamatan

dinyatakan sebagai KLB Rabies yaitu Kecamatan Sitahuis, Kecamatan Sorkam,

Kecamatan Kolang, Kecamatan Sarudik, Kecamatan Pandan dan Kecamatan Tukka.

Dari 6 (enam) kecamatan tersebut jumlah penderita akibat digigit anjing yang diduga

rabies sebanyak 123 orang dan yang mengalami kematian sebanyak 4 (empat) orang.

Di Kecamatan Sarudik sebagai tempat penelitian terdapat 4 (empat) orang digigit

anjing yang diduga rabies dan satu orang yang meninggal dunia.

Keadaan ini dipengaruhi banyak anjing yang berkeliaran dan tidak jelas

riwayat vaksinasinya. Anjing yang berkeliaran itu berisiko menggigit anjing, kucing,

monyet dan manusia. Selain itu dipengaruhi juga oleh kurangnya pengetahuan

(13)

masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit rabies, perilaku

masyarakat yang diharapkan adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan anjing

peliharaan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman rabies,

serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan survei awal di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

terhadap 10 orang pada bulan Agustus 2011 diketahui bahwa terdapat 4 orang (40%)

yang mengatakan kurangnya pengetahuan masyarakat melakukan pencegahan

penyakit rabies disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk

mencegah penyakit rabies dari anjing peliharaan dan anjing liar yang bebas

berkeliaran di masyarakat. Faktor pencetus yang ditemukan adalah berkembangnya

penyakit rabies, kondisi masyarakat banyak memelihara anjing, adanya cedera/luka

cakaran yang tidak dilaporkan, adanya rasa tidak nyaman pengunjung pada wilayah

itu, dan terjadinya kematian akibat rabies.

Berdasarkan uraian di atas perlu diteliti hubungan pengetahuan pemilik anjing

dan faktor pencetus terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah

rendahnya upaya pencegahan masyarakat terhadap penyakit rabies di Kecamatan

(14)

pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan

pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan penyakit rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.4 Hipotesis Penelitian

Faktor pengetahuan pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus

(perkembangan penyakit, kondisi, cedera, ancaman dan kematian) berhubungan

dengan pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli

Tengah.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Menjadi masukan model perbaikan untuk pencegahan penyakit rabies pada

Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.5.2 Menjadi bahan bacaan/referensi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Tengah dalam menyusun rencana strategis dan kebijakan serta tindakan

intervensi khususnya dalam program pemberantasan penyakit rabies,

khususnya di Kecamatan Sarudik dan di daerah endemis, sehingga dapat

Referensi

Dokumen terkait

Selain fasilitas yang disediakan untuk masyarakat umum yang datang ke kantor Kecamatan Kunto Darussalam, pemerintah kantor Kecamatan Kunto Darussalam juga dituntut

Oleh karena nilai signifikansi < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan guru dalam mengajar berpengaruh terhadap kesulitan belajar siswa.. Berdasarkan arah

Dengan semakin majunya zaman maka harta benda wakaf tidak hanya berupa benda tidak bergerak akan tetapi juga termsuk benda bergerak berupa uang tunai.. Adanya wakaf

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar kebijakan atau strategi untuk membangun hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan atau penggunanya

Jumlah spektrum lebih sedikit Resolusi spasial Tinggi (0,5 - 4m) untuk pemetaan skala lokal Hanya kawasan kecil yang terliput Resolusi temporal Pemetaan regular memungkin

: fossils dan umur batuan batuan – – ALLOCHTHONOUS ALLOCHTHONOUS SEDIMENTS (material SEDIMENTS (material yang terangkut masuk yang terangkut masuk dalam cekungan sedimen)

daftar penerima bantuan sosial yang tercantum dalam keputusan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali bantuan sosial kepada individu dan/atau keluarga

bentuk yang dekoratif. Hal ini dikarenakan seni ukir naturalis tidak dipakai lagi di Minangkabau sejak masuknya Islam. Motif ukiran berasal dari tumbuhan, binatang,