KARAKTER PENELITIAN HUKUM 1
2. Masalah Hukum Mikro
Masalah hukum mikro berkaitan erat dengan kepentingan individu. Setidaknya ciri khasnya dapat dibedakan atas :
1. Ada suatu norma tapi norma itu dilanggar. 2. Ada kasus/perkara tapi tidak terdapat norma. 3. Ada norma hukum, namun masih tidak jelas/kabur.
Masalah hukum harus tertuang dalam konsep. Kemudian disederhanakan dengan norma yg ada. Fokusnya adalah studi dokumen. Penelitian hukum bukan berkaitan dgn fakta sosial, tapi mengarahkan pada aspek norma hukum. Dalam membimbing skripsi harus mengenali karakteristik ilmu hukumnya. Kemanakah diarahkan masalah hukumnya, apakah makro atau mikro.
Ketika dosen membimbing mahasiswa, Ia hendaknya mengarahkan kepada karakteristik kasusnya, kemudian ketika merumuskan masalah hukum bubuhkan teorinya. Begitu selesai merumuskan masalah hukumnya kemudian tidak langsung masuk pada Bab 2 melainkan langsung masuk ke Bab 5, jadi head-to-head masalah dan kesimpulan saling mengunci. Bab 1 adalah context of discovery, terakhir pada bagian kesimpulan adalah context of justification. Jika model tertentu pada latar belakang maka ada kesimpulan tertentu. Jadi Bab 1 dan Bab 5 saling mengunci. Dalam bahasa ilmu hal tersebut tidak bersifat siklus tapi hal tersebut bersifat spiral, jadi makin lama derajat kualitas penulisan makin tinggi. Jadi meskipun proses keilmuan berulang namun kualitasnya makin tinggi.”
Kebenaran ilmu hukum adalah kebenaran yang diargumentasikan, sementara ilmu sosial, kebenaranya adalah karena fakta. Jadi jika ingin membangun argumentasi, mahasiswa harus tahu dahulu Bab 2, karena Bab 2 itulah yang menjadi dasarnya. Soerjono Soekanto dalam bukunya mengatakan “bahan hukum primer dijelaskan oleh bahan hukum sekunder”, jadi harus menguasai betul doktrinnya. Sebenarnya tidak ada pengandaian teori, ketika mahasiswa merumuskan masalah dikepalanya sudah ada teori, kalau tidak mahasiswa tidak bisa merumuskan masalah. Misalkan muncul rumusan masalah, Bagaimana penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian? Kemudian mahasiswa tidak tahu teori apa yang mau digunakan. Dalam filsafat merumuskan pertanyaan, dari kata ‘apa;bagaimana;mengapa’ punya karakteristik tertentu, pertanyaan ‘bagaimana’ selalu sifatnya deskriptif, sementara tujuan kita adalah penyelesaian masalah, kalau dalam penyelesaian masalah tidak boleh menggunakan pertanyaan ‘bagaimana’, logikanya kita ingin membangun suatu persoalan, kita buat argumennya maka tidak tepat ditanya ‘bagaimana’. Jika ada orang ditanya, ‘bagaimana kabar?’ Dijawab, ‘oh baik-baik saja’ yaitu deskripsi keadaan.
Sementara penelitian tidak boleh bertanya bagaimana, kecuali dalam penelitian empiris, oleh karena itu pertanyaan semacam ini harus dicegah.
Kesimpulan dari ilmu hukum bukan diperoleh karena datanya benar tapi dari kemampuan berargumentasi, jadi tidak perlu uji validitas data, karena semua data dari hukum sudah dianggap benar karena pertama data tersebut berupa data yang sudah ditetapkan Negara, maka tidak perlu diragukan lagi. Maka disini kita sebagai dosen pembimbing mengarahkan, sehingga menulis dalam ilmu hukum itu mengandalkan ilmu argumentasi, meskipun datanya adalah Undang-undang. Sebagai contoh ada seorang tersangka, Ia dikenakan pasal adalah 362 KUHP, disini fakta hukumnya sama, tapi pendapatnya beda-beda dalam argumentasinya. Satu hakim mengatakan hukuman 1 (satu) tahun yang lain mengatakan 6 (enam) bulan dan 3 (tiga) bulan, maka ketiga kesimpulan hakim tersebut adalah benar semua, mengapa? Karena disitulah subjektifitas manusia. Hakim yang menyimpulkan hukuman 6 (enam) bulan bukan karena fakta hukumnya bicara harus 6 (enam) bulan tapi logika dikombinasikan dengan rasa keadilan yang mengatakan demikian, maka kesimpulan hakim selalu bermuatan unsur subjektifitas, tidak ada kesimpulan hakim yang objektif. Kasusnya harus selalu bermuatan fakta (objektif) namun putusannya selalu bermuatan subjektif. Kalau dalam putusan tidak ada discenting opinion maka hal tersebut adalah salah. Jadi kalau ada perkara yang naik sampai mahkamah agung, yang menyimpulkan 1 (satu) tahun tetap saja kesimpulan tersebut dapat dibenarkan selama ada argumentasinya. Jadi dalam membimbing mahasiswa jangan disuruh untuk mencari kelemahan dalam suatu putusan, apalagi putusan yang sudah incraht van gewijde. Jadi mahasiswa seharusnya diminta untuk berpikir dengan cara yang berbeda dari cara berpikir dari putusan, metode ilmiahnya tetap 1 (satu). Jadi disitu pentingnya mahasiswa mencari teori yang mendukung argumentasinya.
Bahasa ilmiah terdiri dari 4 (empat), pertama statistik, kedua matematik, ketiga bahasa, dan keempat logika. Jika kita ingin bicara penelitian dalam konteks ilmu yang didalamnya tidak terdapat satupun bahasa ilmiah tersebut, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Misalkan ada hasil penelitian yang menampilakan gambar-gambar, hal tersebut harus dilarang karena gambar belum menjadi bahasa
ilmiah. Jadi kedepan dalam presentasi mahasiswa tidak boleh menampilkan gambar dalam slide-nya. Dalam ilmu hukum menggunakan 2 (dua) bahasa ilmiah yaitu logika dan bahasa. Maka tulisan yang tidak mengikuti kaidah bahasa harus diperbaiki. Dalam penulisan ilmiah, usahakan menggunakan ‘bahasa kuat’ hindari penggunaan kalimat negatif atau kalimat pasif. Seperti penggunaan kata ‘dalam’, karena kata ini umumnya akan diikuti dengan kalimat pasif. Usahakan kalimat pendek, maksimum penggunaan kata dalam kalimat adalah 21 kata. Berikutnya ketika menempatkan anak kalimat didepan harus diikuti ‘koma’, contohnya “sebagaimana yang telah dikemukakan dikeluarkanlah peraturan pemerintah no xx” kalimat tersebut tidak boleh karena rumusnya anak kalimat-frasa-koma, baru diikuti induk kalimat lengkap. Kalau anak kalimat didepan kemudian masuk kata kerja setelah koma maka itu bukan kalimat. Karena polanya adalah anak kalimat- induk kalimat. Jika induk kalimat didepan, anak kalimat tidak usah.
Contoh:
“Kemarin sore,” (diikuti kalimat lengkap) “Kemarin sore, ibu pergi kepasar” (benar) jika dibalik “ibu pergi kepasar kemarin sore” Kemarin sore pergilah ibu kepasar (salah)
Jadi setelah ada koma(,) tidak boleh ada kata kerja tapi harus diikuti oleh subjek. Kemudian pemakaian kata ‘maka’ harus kita seragamkan. Contoh “jika X maka Y” ini merupakan pemakaian kata yang salah. Jadi harus selalu merujuk pada pedoman pemakaian bahasa yang benar. Kata ‘maka’ merupakan kata sambung yang sama posisinya dengan ‘oleh sebab itu’, ‘oleh karena itu’,’ namun’ dalam pedoman bahasa Indonesia hal tersebut tidak ada. Inilah tantangan menjadi dosen pembimbing.
Ada akademisi yang kolot, yaitu akademisi yang tidak mau mengakui karakteristik ilmu yang lain, dianggapnya ilmu adalah ilmu hanya seperti yang dia miliki, orang tersebut lupa bahwa konsep ilmu itu ada 4 (empat).
2. Rasionalisme Kritis; 3. Paradigma Thomas; 4. Hermeunetika;
Teori hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan hukum yang otonom yang setara dengan cabang filsafat hukum dan ilmu hukum. Hal ini tidak sama dengan ilmu lain yang menganggap teori hanya sekedar teori.
Doktrin tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Apa beda kedaulatan rakyat dan demokrasi? Demokrasi adalah sistim penyelenggaraan Negara. Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, konsekuensinya rakyat harus dilibatkan dalam segala aspek penyelenggaraan Negara. Penyelenggaraan Negara ada 2 (dua) model, ‘langsung’ atau ‘tidak langsung’.
Mahasiswa diarahkan untuk mencari putusan di pengadilan, karena fakta dalam putusan tersebut sudah diuji menjadi fakta hukum. Studi kasus dalam ilmu hukum harus dibedakan dari studi kasus dalam ilmu sosial. Dalam ilmu sosial masih perlu uji validitas data sementara dalam Ilmu hukum tidak diperlukan. Dalam ilmu hukum lebih tepat disebut studi putusan disbanding disebut sebagai studi kasus, untuk membedakan itu maka dibedakan data dalam ilmu hukum adalah data sekunder bukan data primer”
Soerjono Soekanto menyebutkan 9 (Sembilan) makna hukum, hal itu merupakan paradigma dasarnya, ‘hukum adalah ilmu pengetahuan, hukum adalah petugas, hukum adalah keputusan, hukum adalah norma, dan seterusnya’ ini lah menjadi batu loncatan atau starting point. Yang kedua jika ini kita maknai sebagai hukum adalah keputusan, maka pertanyaannya adalah apakah hal tersebut masuk dalam kajian disiplin ilmu hukum atau disiplin ilmu sosial, karena menurut buku purwacaraka, ada 2 (dua) disiplin umum, disiplin hukum menurutnya masih mengikuti pemikiran abad 19, disiplin hukum adalah:
1. Ilmu Hukum; 2. Politik Hukum; dan 3. Filsafat Hukum;
Dalam Disertasi Arief Sidharta, politik hukum bukan termasuk disiplin hukum, termasuk tulisan dari Sidharta (kecil) yang berjudul ‘karakteristik ilmu hukum’. Arief Sidharta menempatkan disiplin hukum menjadi 3 (tiga):
1. Ilmu Hukum; 2. Teori Hukum; dan 3. Filsafat Hukum;”
Persoalanya adalah, apakah hukum sebagai keputusan penguasa itu menjadi objek kajian disiplin hukum atau disiplin sosial? Salah satu paradigm/cara berpikir seperti inilah yang dapat diuji. Dalam buku politik hukum karangan Miriam Budiarjo mengatakan ‘salah satu kajian ilmu politik adalah hukum sebagai keputusan penguasa, maka persoalan selanjutnya adalah hukum sebagai keputusan penguasa itu ada yang mengandung norma hukum, ada yang mengandung kebijakan hukum dan ada yang mempergunakan norma hukum tersebut sebagai instrumen kebijakan hukum. Nah inilah yang sedang Dr. Hotma kembangkan menjadi objek kajian ilmu politik hukum, jadi hukum sebagai keputusan penguasa sebenarnya bukan objek kajian disiplin hukum, tapi menjadi disiplin politik tapi sepanjang hukum sebagai keputusan penguasa yang mengandung kebijakan hukum Dr. Hotma kembangkan menjadi objek kajian ilmu politik hukum. Kemudian kembali pada Satjipto, dia tidak bergerak dari disiplin hukum, itu sebabnya dia katakan hukum itu bukan sesuatu yang sudah ‘jadi’. Jadi kalau dirunut akar filsafatnya dia tidak tidak mungkin berasal dari positivisme hukum. Satjipto melihat hukum secara holistik bahwa hukum adalah satu aspek dari kehidupan bermasyarakat, jadi disini dituntut untuk mengembangkan ilmu hukum yang tidak bersifat dogmatik, karena kalau ilmu hukum bersifat dogmatik tidak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Atau dapat dikembangkan ilmu hukum yang non- sistematik, maka kita akan menggunakan ilmu hukum yang bersifat post- modernisme. Jadi kita harus kembali kepada kurikulum, jika kita memasukan ilmu hukum yang non-sistematik maka tidak akan diakui. Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu kita mempelajari ilmu hukum yang sistematik yaitu ilmu hukum dalam kondisi normal. Jadi teman-teman, khususnya dari jurusan tata- negara, harus kuat dalam dogmatik tentang filasafat hukum. Karena menurut teori Hamitatamini dan Hans Kelsen, sesudah cita-hukum, kemudian grundnorm,
kemudian UUD’45. Baca lebih lanjut tulisan Dr.Hotma mengenai ‘makna proklamasi’ dijurnal UPH.
Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan Praktis Normologis yang otoritatif. Objek kajian ilmu hukum sebagai Ilmu Praktis Normologis adalah kaedah-kaedah hukum. Kaedah hukum itu sendiri dapat disebut sebagai teks otoritatif (teks yang berwibawa) karena ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sebagai teks, kaedah hukum bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum yang berwibawa dalam bidangnya (doktrin). Oleh karena itu, sasaran penelitian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan Praktis Normologis yang bersifat otoritatif pada dasarnya adalah hukum atau kaedah hukum. Pengertian kaedah hukum di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti norma, peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian hukum dalam arti meneliti kaedah atau norma disebut penelitian hukum normative. Metode penelitian yuridis normatif yang terdiri atas:
1. Perumusan masalah hukum
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum
3. Penentuan dan penetapan makna bahan hukum tersebut 4. Merumuskan argumentasi gagasan hukum
5. Menguji gagasan tersebut
6. Menuangkan gagasan tersebut kebentuk tertulis
Suatu metode penelitian ilmiah yaitu penelitian hukum yuridis- normatif merupakan suatu tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam meneliti norma-norma hukum, asas-asas hukum dalam menyelesaikan masalah hukum yaitu dengan mempelajari bahan-bahan hukum dari berbagai pustaka hukum; tulisan hukum, jurnal hukum, berbagai literatur dan buku-buku hukum, perundang- undangan dan media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian dan yang berkaitan dengan masalah hukum yang telah ditetapkan peneliti.