• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERAWAT CITA HUKUM PANCASILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MERAWAT CITA HUKUM PANCASILA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

MERAWAT CITA-HUKUM PANCASILA

Kompilasi Buah Pikir & Gagasan Hotma P. Sibuea

Diterbitkan Dalam Rangka Satu Tahun Dedikasi

Usep Ranawijaya Research Center (URRC)

Usep Ranawijaya Research Center

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

(2)

SEKAPUR SIRIH

Puji syukur disampaikan kepada Allah SWT atas nikmat hidup yang ditandai

dengan keinginan besar untuk terus memberikan karya yang berguna bagi

masyarakat hukum. Atas izin Allah SWT pulalah meski dengan keterbatasan waktu

dan keadaan, Tim Editor dapat merampungkan kompilasi tulisan dari Dr. Hotma

Sibuea sebagai Dosen Senior di lingkungan Fakultas Hukum UTA ’45 Jakarta. Beliau merupakan seorang pemikir yang pernah menjadi murid sekaligus asisten

kesayangan Prof. Usep Ranawijaya.

Jika tahun pertama berdirinya URRC pada tahun 2014 lalu, dedikasi diberikan

kepada Prof Usep dengan menerbitkan kumpulan pemikiran Usep Ranawijaya,

Maka tahun kedua berdirinya URRC diterbitkan pikiran-pikiran dari Dr. Hotma

Sibuea, Sang Usep Kecil. Pertanyaannya, mengapa beberapa tulisan Hotma?

Hotma Sibuea telah secara serius mendalami hukum tata negara dengan cara

pandang yang khas ilmu hukum. Selama 30 tahun lebih Beliau telah

mendedikasikan ilmunya melalui pola pemikiran yang terkadang sedikit narsis.

Tidak dapat dipungkiri kharisma yang sangat kental dalam tiap pemilihan kata

guna menelurkan pikiran-pikirannya sangat dalam dan tanjam. Motonya pula yang selalu dipegang ‘bukan keluasan tetapi kedalaman’.

Buku ini hanya beberapa dari karya beliau yang tercecer (yang sedikit dipaksa untuk itu oleh Dekan FH UTA ’45) kepada URRC untuk dikompilasi. Sebagai ‘pemikir’ yang produktif, ia dipaksa juga untuk membagi ilmunya kepada dosen-dosen yunior dalam diskusi-diskusi terbatas di FH UTA ’45 Jakarta. Materi yang disajikan dalam buku kecil ini merupakan ide-ide orsinal beliau yang dituangkan

(tidak dalam tataran kelisanan) namun terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Untuk

itulah kiranya buku kecil ini menjadi alat pengepul tambang emas pemikiran yang

berserakaan dari Beliau. Kiranya pikiran-pikirannya yang tersaji dalam buku ini

bermanfaat bagi kontribusi berkembangnya ilmu hukum di Indonesia.

Buku ini memuat lima karya. Diantaranya makalah Dr Hotma dan tim yang

(3)

Nasional” disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara.

Artikel berjudul “Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa Jabatan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia” dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA ’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014.

Kemudian artikel berjudul “Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dipublikasikan pada Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013. Makalah berjudul “Landasan/Dasar dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita

Hukum (Rechtsidee) Pancasila.

Pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tanggal 12 Februari 2015 dalam rangka

persiapan menyambut Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Makalah “Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan dan Diskusi Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan 10

Agustus 2015.

Gagasan yang diberikan Dr Hotma selalu memiliki akar filsafat ilmu yang kuat dan

dalam. Tak ayal jika nantinya mungkin saja akan mendapatkan pengikut untuk

(4)

Ucapan terimakasih Tim Editor sampaikan kepada teman-teman yang terlibat dan

ikut membantu dalam penyusunan buku kecil ini. Kepada Dr. Hotma Sibuea, Tim

meminta maaf karena tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai rencana

penerbitan buku ini. Hal ini merupakan dedikasi sekaligus kado kecil bagi Beliau

agar kiranya api semangat membagi pikiran-pikirannya, khususnya pada

dosen-dosen muda tetap menyala. Harapan terakhir, kiranya buku ini bermanfaat bagi

seluruh pembaca. Semoga !

Tim

(5)

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih i

1. Cita Hukum Pancasila Menjadi Ciri Khas

Fakultas Hukum UTA’ 45 6

2. Cita Hukum Pancasila Sebagai Rujukan Ekslusif

Pembaharuan Hukum Nasional 23

3. Pemberhentian Presiden Dan Wakilnya

Merujuk Pancasila dan UUD 37

4. Merdeka : Pancasila Mampu Hapus

Produk Hukum Kolonial 73

(6)

CITA HUKUM PANCASILA MENJADI CIRI KHAS FAKULTAS HUKUM UTA’ 451

1.Sesuai dengan anak judul di atas, ide atau gagasan dalam tulisan ini semata-mata

adalah langkah awal untuk mengembangkan Pengajaran Hukum Dan Ilmu

Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam

Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila. Oleh karena itu, ide yang

dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran berikut masih memiliki banyak

kekurangan pada berbagai hal atau aspek. Ide atau gagasan yang dikemukakan

dalam pokok-pokok pikiran dalam makalah ini adalah tindak lanjut dari diskusi

yang dilakukan beberapa kali dengan dekan dan rekan-rekan dosen Fakultas

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Diskusi dilakukan pada waktu

senggang dan dalam suasana santai atau informal.

2.Sebagai kesimpulan diskusi yang sudah dilakukan, Fakultas Hukum Universitas

17 Agustus 1945 dipandang perlu memiliki ciri khas yang berbeda dari ciri khas

fakultas hukum yang lain. Sepanjang yang dapat diketahui, ada beberapa

fakultas hukum yang mencanangkan memiliki ciri khas dengan cara seperti

pengajaran hukum yang berfokus pada hukum bisnis, hukum agraria, hukum

ketatanegaraan, hukum pidana dan lain-lain. Ada pula fakultas hukum yang

memiliki ciri khas dari perspektif metode pendekatan dalam pengajaran hukum

yakni berfokus pada metode pendekatan empiris. Menurut penulis, cara untuk

membangun ciri khas tidak perlu meniru cara yang dilakukan oleh fakultas

hukum seperti disebut di atas. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

1

Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen

tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna

(7)

perlu menempuh cara lain untuk membangun ciri khas yang berbeda dari

fakultas hukum yang lain.

3.Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mengumandangkan pernyataan sebagai

kampus kaum nasionalis. Sebagai bagian dari kampus nasionalis, Fakultas

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta harus memiliki ciri khas yang

mencerminkan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Dalam konteks

implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam khasanah akademik dan ilmu

pengetahuan hukum, ciri khas nasionalis seyogianya tercermin dalam dasar

(landasan) dan arah pengajaran hukum dan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Secara lebih konkrit, ciri khas nasionalis

tersebut seyogianya tercermin dalam kurikulum pengajaran hukum dan ilmu

hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

4.Dalam rangka implementasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) sebagai ciri

khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17

Agustus 1945 Jakarta, dasar dan pengembangan pengajaran hukum dan ilmu

hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 harus bertitik tolak

dari sesuatu yang fundamental dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia.

Sesuatu hal yang fundamental tersebut adalah pandangan hidup bangsa

Indonesia. Pandangan hidup bangsa Indonesia harus menjadi dasar (landasan)

dan arah pengembangan pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Jalan pikiran demikian bertitik

tolak dari atau berpedoman pada gagasan Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan komentar sebagai berikut “. . . pemikiran hukum dan pengembanan Ilmu Hukum di Indonesia seyogianya berpangkal pada titik tolak pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut.”3

1

Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen

tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna

(8)

5.Ide atau gagasan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan

Hukum berkarakter Indonesia seperti dikemukakan Soediman Kartohadiprojo

juga dilakukan pada cabang ilmu pengetahuan Teori Hukum. Gagasan atau ide

untuk membangun dan mengembangkan Teori Hukum berkarakter Indonesia

juga mulai dirintis oleh sarjana hukum atau penulis-penulis lain. Ada penulis

yang sudah mulai merintis untuk membangun dan mengembangkan Teori

Hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum yang memiliki ciri khas

Indonesia yakni Saudara Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin.2

6.Dalam konteks hukum atau kehidupan hukum bangsa Indonesia, pandangan

hidup yang dimaksud Soediman Kartohadiprojo adalah Pancasila3. Pancasila

disebut sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia dalam konteks hukum

dan kehidupan hukum.4 Oleh karena itu, titik tolak, landasan atau dasar untuk

membangun ciri khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah cita hukum Pancasila.

Dengan perkataan lain, sebagai implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam

konteks akademik atau ilmu pengetahuan hukum, cita hukum Pacasila harus

ditempatkan sebagai landasan dan arah pengembangan pengajaran hukum dan

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

2 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174.

2 Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Membangun Teori Hukum Indonesia

(Yogjakarta, 2005), 40 halaman.

3 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174.

(9)

7.Dalam hubungan dengan upaya perintisan landasan dan arah pengembangan

pengajaran hukum dan Ilmu Hukum berdasarkan cita hukum (rechtsidee)

Pancasila, pokok pendirian atau prinsip yang menjadi titik tolak

pokok-pokok pikiran (ide atau gagasan) yang dikemukakan dalam makalah singkat ini

adalah hal-hal berikut ini.

8.Pertama, gagasan (ide) untuk membangun dan mengembangkan pengajaran

hukum dan Ilmu Hukum yang berkarakter nasional (Indonesia) berdasarkan cita

hukum Pancasila bertitik tolak dari sejarah perkembangan Ilmu Hukum (faktor

internal). Sejak Revolusi Perancis berakhir, Ilmu Hukum berkarakter universal

berganti menjadi Ilmu Hukum berkarakter nasional. Ilmu Hukum memiliki

karakter nasional karena objek kajiannya adalah hukum positif dari suatu negara

tertentu. Sesuai dengan objek kajiannya yakni hukum positif suatu negara, Ilmu

Hukum yang berkembang pada tiap negara memiliki ciri-ciri dan karakter

nasional yang berbeda dari Ilmu Hukum negara lain. Pandangan demikian

dikemukakan oleh seorang guru besar Ilmu Hukum berkebangsaan Belanda

yakni Paul Scholten. Paul Scholten mengemukakan pandangan sebagai berikut:

“Ilmu tentang hukum positif selalu merupakan ilmu dari suatu hukum positif tertentu dalam sebuah negara tertentu. Ilmu Hukum itu sendiri

ditentukan secara historis dan nasional. Ilmu (de wetenschap) tentang

hukum positif (het positief recht) itu tidak ada, yang ada adalah ilmu

tentang hukum positif Belanda atau Perancis. . . . . . . .

. . . Hanya orang yang berpartisipasi pada hukum ini yang

dapat mengerjakannya, hanya orang Belanda yang dapat mengolah

hukum positif Belanda. Ini tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat

melakukan pemaparan yang demikian (memaparkan hukum kita - - -

maksudnya hukum orang Belanda --- pen.), tetapi ini akan menjadi

perbandingan hukum.5

5 Paul Scholten, De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum

(10)

9.Kedua, faktor eksternal yakni faktor kondisi faktual bangsa Indonesia yang

sampai sekarang masih “dijajah” oleh ilmu hukum peninggalan Belanda meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 65 (enam puluh lima) tahun lalu. Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Ilmu Hukum yang diajarkan di dalam lingkungan pendidikan tinggi hukum di Indonesia pada

permulaannya berasal dari ilmu hukum yang dikembangkan oleh Belanda yang

tatanan hukumnya termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law (Kontinental).”6

10.Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin mengemukakan pandangan yang senada

dengan Bernard Arief Sidharta di atas sebagai alasan untuk mengembangkan

pengajaran hukum dan ilmu hukum berkarakter nasional. Oloan Sitorus dan

Darwinsyah Minin mengemukakan pendapat sebagai berikut:

“Meskipun sejak tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah berdiri sebagai negara yang berdaulat yang berarti sejak saat itu dilakukan

penjebolan hukum kolonial dan pembangunan hukum nasional,

namun sampai saat ini masih dirasakan adanya penetrasi nilai-nilai

hukum dan postulat-postulat hukum yang bersumber pada falsafah

liberal-individualistik negara Barat.”7

11.Satjipto Rahardjo mulai mengembangkan Ilmu Hukum Indonesia dengan

berlandaskan pada hukum progresif. Ilmu Hukum progresif versi Satjipto

Rahardjo memiliki ciri tertentu sebagai Ilmu Hukum yang membebaskan.

Dalam hubungan dengan Ilmu Hukum Progresif yang berkarakter

membebaskan itu, Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut:

“Ilmu Hukum progresif memperhatikan semua kendala tersebut. Demi mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah di atas, maka ia (Ilmu

Hukum Progresif - - - pen.) memilih untuk membiarkan dirinya

6 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 12.

(11)

terbuka dan cair sehingga selalu bisa menangkap dan mencerna

perubahan yang terjadi. Dalam kualitas yang demikian itu maka Ilmu

Hukum Progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan.”8

12.Bernard Arief Sidharta memulai upaya pembangunan dan pengembangan Ilmu

Hukum berkarakter Indonesia dengan menulis sebuah disertasi tentang

Struktur Ilmu Hukum yang bertitik tolak dari perspektif Filsafat Ilmu. Upaya

tersebut bertitik tolak dari kedua faktor di atas. Bernard Arief Sidharta merintis

pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang berkarakter nasional dengan

fondasi Pancasila sebagai cita hukum.9 Dalam karya yang lain, Bernard Arief

Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut:

Tulisan berbentuk buku kecil yang sekarang ini diberi judul “Ilmu Hukum Indonesia,” karena memang dimaksudkan sebagai bahan bacaan untuk mempelajari tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia,

khususnya bagi para mahasiswa yang sedang mempelajari hukum di

perguruan tinggi di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, Paul Scholten dalam suatu makalah berjudul “De structuur der Rechtswetenschap” mengemukakan bahwa “Ilmu dari Hukum positif pada akhirnya adalah ilmu tentang hukum positif tertentu yang berlaku di suatu negara

tertentu. Hukum positif demikian sangat dipengaruhi sejarah dan berada pada lingkup nasional . . . (dan seterusnya seperti dikutip di atas).” Jika pendapat Scholten ini benar, maka pernyataan tadi berlaku bagi

semua ilmu hukum, yang pada dasarnya adalah selalu ilmu hukum positif suatu negara tertentu, termasuk bagi Ilmu Hukum Indonesia.”10

8 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Semarang, 2006), hlm. 1-18.

9 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 180.

(12)

13.Jika bertitik tolak dari jalan pikiran Bernard Arief Sidharta yang dikemukakan

di atas, Ilmu Hukum Indonesia seharusnya berbeda dari Ilmu Hukum negara

lain. Masing-masing Ilmu Hukum yang berkembang dalam suatu negara

memiliki karakter nasional sesuai dengan sejarah bangsa yang bersangkutan.

Jika demikian halnya, Ilmu Hukum yang harus dikembangkan di Indonesia

adalah Ilmu Hukum Indonesia yang memiliki karakter nasional sesuai dengan

sejarah bangsa Indonesia.

14.Dalam kenyataannya, Ilmu Hukum yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum

di Indonesia bukan Ilmu Hukum Indonesia yang pondasi kefilsafatannya adalah

Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Akan tetapi, Ilmu Hukum

warisan Belanda yang termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law

(Kontinental) seperti dikemukakan di atas. Kondisi ideal belum terwujud dalam

kenyataan sampai dengan sekarang. Konsep-konsep hukum atau

pengertian-pengertian hukum ataupun postulat-postulat hukum yang diajarkan di

fakultas-fakultas hukum termasuk di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Jakarta sampai dengan sekarang berasal dari atau merupakan warisan zaman

kolonial Belanda.

15.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia dan (tatanan) hukum dalam konteks

keindonesiaan berpedoman pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Cita hukum

Pancasila memiliki fungsi yang bersifat fundamental dalam pembangunan dan

pengembangan hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai cita hukum

(rechtsidee), Pancasila bukan hanya berfungsi dalam pengembangan Ilmu

Hukum Indonesia tetapi juga pengembangan tata hukum positif Indonesia.

Sesuai dengan cita hukum Pancasila, tatanan hukum positif yang berlaku di

Indonesia harus bersumber dari cita hukum. Akan tetapi, untuk menumbuhkan

tatanan hukum nasional yang bersumber dari cita hukum Pancasila diperlukan

suatu sarana pengolah ilmiah yakni Ilmu Hukum nasional.11

(13)

16.Jika berpedoman pada uraian di atas, sebagai cita hukum (rechtsidee), di satu

pihak, Pancasila menentukan dan mempengaruhi (a) pengembangan Ilmu

Hukum Indonesia sebagai sarana pengolah ilmiah untuk menumbuhkan dan

mengembangkan tatanan hukum Indonesia (nasional) dan di lain pihak

menentukan dan mempengaruhi (b) pengembangan tatanan hukum Indonesia.

Jadi, sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Pancasila berfungsi ganda dalam

kehidupan hukum bangsa Indonesia.

17.Setiap cita hukum (rechtsidee) selalu memiliki 2 (dua) jenis kandungan unsur

atau substansi. Pertama, unsur-unsur yang emosional-idiil yang batasannya

rasionalnya tidak begitu pasti.12 Unsur emosional-idiil dalam suatu cita hukum

(rechtsidee) bersumber dari filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau suatu

masyarakat yang menuntun yang bersangkutan meyakini tatanan nilai tertentu

dan bukan tatanan nilai yang lain. Kedua, cita hukum juga mengandung

unsur-unsur rasional yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum

(allgemein Rechtsbegriff) sesuai dengan kandungan rechtsidee yang

bersangkutan.13 Unsur rasional dalam cita hukum (rechtsidee) bersumber dari

akal-budi yang membuat seseorang atau sekelompok anggota masyarakat

membuat keputusan untuk memilih dan meyakini nilai-nilai tertentu dan bukan

nilai-nilai yang lain sesuai dengan masyarakatnya dan lingkungan alam fisik

yang mengelilinginya.

18.Kedua unsur emosional-idiil dan unsur rasional cita hukum (rechtsidee) yang

disebut di atas juga terdapat dalam Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)

bangsa Indonesia. Unsur emosional-idiil dan unsur rasional dalam cita hukum

Pancasila adalah titik tolak atau dasar pembangunan dan pengembangan tata

hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks kedua unsur cita hukum

12Moh. Koesnoe, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum

Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat,” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta, September

1995, hlm. 95.

(14)

(rechtsidee) Pancasila tersebut, A.M.W. Pranarka mengemukakan bahwa

Pancasila berkedudukan sebagai (a) belief system dan (b) knowledge system.14

19.Unsur rasional cita hukum (rechtsidee) Pancasila menjadi titik tolak

pengembangan Pancasila sebagai knowledge system seperti dikemukakan

A.M.W. Pranarka di atas. Dalam konteks Pancasila sebagai knowledge system,

Ilmu Hukum Indonesia dapat dikembangkan dengan bertitik tolak dari Pancasila

sebagai cita hukum bangsa Indonesia.

20.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang bertitik tolak dari Pancasila

sebagai cita hukum bangsa Indonesia dimulai dari premis filosofis tentang

hakikat manusia Indonesia, hubungan manusia dengan alam semesta dan

hubungan manusia dengan Tuhan dari perspektif Pancasila. Bernard Arief

Sidharta mengemukakan pandangan filosofis tentang ketiga hal di atas sebagai berikut ”Pandangan hidup Pancasila bertitik tolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segenap isinya termasuk manusia yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis diciptakan Tuhan.”15 Dari pernyataan di

atas tergambar perspektif Pancasila dalam memandang hakikat manusia

Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan alam semesta dan hubungan

manusia Indonesia dengan Tuhan.

21.Pandangan filosofis tentang hakikat manusia Indonesia sebagai suatu kesatuan

yang harmonis dengan alam semesta diciptakan oleh Tuhan dapat dipandang

sebagai premis pertama yang diderivasi dari cita hukum (rechtsidee) Pancasila.

Dari premis tersebut dapat dikembangkan pandangan filosofis tentang hakikat

manusia.Dalam konteks ini, Notonagoro mengemukakan bahwa hakikat manusia Indonesia adalah mahluk “mono-dualis.” Notonagoro mengemukakana sebagai berikut “. . .hakikat manusia adalah machluk yang bersusun dalam

14 A.M.W. Pranarka, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan Dewasa Ini, Jurnal Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, (Bandung, 1992), hlm. 467

15 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.

(15)

sifatnya ialah individu dan machluk social kedua-duanya.” 16 Pandangan

filosofis tentang hakikat manusia seperti ini berbeda dari pandangan filosofis

yang lain yang memandang manusia sebagai mahluk individu semata-mata atau

mahluk sosial semata-mata. Pandangan Notonagoro tersebut kemudian

dikembangkan oleh Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan bahwa

manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki unsur “4 R yaitu (1) rasio, (2) rasa, (3) raga dan (4) rukun.”

22.Pandangan tentang manusia seperti dikemukakan di atas merupakan titik tolak

untuk merumuskan suatu konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita

hukum Pancasila. Pengertian/konsep umum hukum tersebut memiliki ciri-ciri

(a) kategoris, (b) a priori, (c) metaphysis dan mendahului ilmu pengetahuan

hukum. Jika berdasarkan Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945,

pengertian/konsep umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah

pengertian/konsep umum hukum yang bersifat idealis.17 Hukum adalah bukan

semata-mata perintah tetapi hukum adalah keadilan sosial.

23.Pengertian/konsep hukum umum bangsa Indonesia yang bersifat idealis tersebut

dari segi substansi mengandung nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.18 Ketiga nilai dalam konsep/pengertian hukum umum tersebut

bersumber dari nilai-nilai cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Ketiga nilai cita

hukum di atas sesungguhnya harus dijabarkan lebih lanjut untuk membangun

dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum Indonesia Penggarapan

konsep/pengertian umum hukum yang bersifat kategoris tersebut merupakan

bagian dari aktivitas Filsafat Hukum. Namun, bidang ini adalah lahan kering,

miskin kegiatan sampai sekarang. Moh. Koesno mengemukakan sebagai

berikut:

16 Univesitas Gadjah Mada, Pembahasan Ilmiah Mengenai Susunan Pemerintahan

Negara Republik Indonesia, (Yogjakarta, Tanpa Tahun), hlm 38.

17 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.

102.

(16)

“Sampai kini dalam kalangan hukum kita belum ada suatu upaya menjabarkan bagaimana isi dari ketiga nilai tersebut di atas sehingga

pengetahuan yang mendalam dan mantap tentang nilai-nilai itu sampai

kini belum dapat dijumpai. Sebagai konsekuensi isi substansi dari

Rechtsidee kita tersebut juga tidak banyak diketahui dengan baik. Apa

yang ada ialah hanya perkiraan-perkiraan atas sesuatu yang terdapat dalam simbolik saja.”19

24.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita Pancasila seperti

dikemukakan di atas tentu saja berbeda dari konsep hukum yang dikembangkan

John Austin, Hans Kelsen atau Hart sebagai tokoh-tokoh positivisme hukum

yang sangat terkenal yang sampai dengan sekarang sangat kuat pengaruhnya

dalam pengajaran hukum pidana di Indonesia.

25.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila yang

bersifat idealis di atas adalah patokan untuk membatasi unsur-unsur yang harus

dan dapat disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum (rechtsidee)

Pancasila. Dengan perkataan lain, tanpa kehadiran itu, sesuatu tidak dapat

disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila. Dalam konteks ini, Moh. Koesnoe mengemukakan sebagai berikut “Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang menunjukkan tersimpannya di dalamnya suatu isi yang menentukan (konstitutip) bagi apa yang dapat dikatakan hukum itu.”20 Dengan

perkataan lain, konsep/pengertian umum hukum itu menjadi tolok ukur (batu

penguji) bagi apa yang disebut hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila.

26.Dalam pengertian umum hukum terdapat unsur-unsur yang besifat idil. Unsur

idiil pengertian umum hukum tersebut disebut asas-asas hukum. Asas-asas

hukum mempunyai fungsi konstitutip dan regulatip terhadap pembentukan

norma-norma hukum positif.21 Asas-asas hukum umum kemudian mengalami

(17)

proses positivisasi menjadi norma-norma hukum positif dalam arti yang luas.

Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam arti luas, hukum positif meliputi hukum

tertulis, hukum tidak tertulis dan yuriprudensi.22

27.Pengolahan nilai-nilai cita hukum menjadi seperangkat asas-asas hukum adalah

aktivitas Filsafat Hukum. Asas-asas hukum menjadi titik tolak pembentukan

hukum (sebagai proses politik dan karya yuridis), penerapan hukum dan

penegakan hukum serta penemuan hukum dan interpretasi hukum sebagai

karya-karya yuridis berbudaya. Aktivitas pengolahan asas-asas hukum menjadi

norma-norma hukum positif baik dalam bentuk norma hukum abstrak-umum

(rechtsvorming) atau norma-norma hukum individual-konkrit (rechtsvinding)

dilakukan oleh lembaga-lembaga pembentuk hukum. Jika bertitik tolak dari

penjelasan di atas, cita hukum tidak secara langsung dapat membentuk

norma-norma hukum positif. Dalam pembentukan norma-norma-norma-norma hukum positif, cita

hukum Pancasila memiliki fungsi tertentu.

28.Uraian yang dikemukakan di atas menggambarkan hubungan cita hukum, asas

hukum dan pembentukan norma-norma hukum positif. Dengan cara yang lain, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan

pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan

ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).”23

29.Pancasila sebagai cita hukum mengandung nilai-nilai ideal yang hendak

diselenggarakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai ideal itu

menjadi titik tolak dalam membangun dan mengembangkan tata hukum

Indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai ideal tersebut tidak serta merta dapat

21 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 1996), hlm. 101.

22 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Yogjakarta, 2011). hlm. 45.

23 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.

(18)

dioperasionalkan sebagai penuntun bertingkah-laku. Untuk membentuk

norma-norma hukum positif yang dalam kebersistemannya disebut tata hukum,

nilai-nilai cita hukum Pancasila harus mengalami proses normativisasi supaya

memiliki bentuk yang lebih konkrit daripada nilai-nilai hukum sebagai asas-asas

hukum seperti dikemukakan di atas.

30.Dalam konteks pembentukan norma-norma hukum positif, cita hukum adalah

landasan (dasar) dan sekaligus sebagai tolok ukur (norma kritik) terhadap

keberadaan norma-norma hukum tersebut. Dalam konteks penjelasan yang

diuraikan di atas, Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas-asas hukum yang memedomani,

norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam

penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum.”24

31.Unsur rasional dalam cita hukum Pancasila sebagaimana dikemukakan di atas

merupakan titik tolak pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks

pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum (rechtsidee)

Pancasila, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang mempelajari tatanan hukum sebagai sarana intelektual untuk memahami dan menyelenggarakan tatanan hukum

tersebut, dalam pengembangannya seyogianya pula bertumpu dan mengacu

pada cita hukum itu (maksudnya: cita hukum Pancasila - - - pen.).”25

32.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum Pancasila harus

bertitik tolak premis-premis filosofis yang dikembangkan oleh Filsafat Hukum

Indonesia seperti dikemukakan di atas. Premis filosofis tentang hakikat

manusia Indonesia seperti dikemukakan Notonagoro dan Soediman

Kartohadiprojo di atas menjadi titik tolak pengembangaan konsep-konsep

24 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Op. cit., hlm. 96.

(19)

hukum bangsa Indonesia. Pandangan filosofis manusia Indonesia dari

perspektif Pancasila seperti dikemukakan di atas dapat menjadi titik tolak

dalam pembentukan konsep Hak Asasi Manusia versi bangsa Indonesia atau

pembentukan konsep hukum hak milik dan hak-hak yang lain. Cara kerja yang

sama juga dapat dilakukan untuk pengembangan konsep-konsep hukum yang

lain seperti konsep HAKI. Konsep hukum pidana dan perdata menurut versi

bangsa Indonesia.

33.Konsep-konsep hukum tersebut kemudian akan dipergunakan sebagai titik tolak

oleh para pengemban kewenangan dalam pembentukan norma-norma-norma

hukum positif seperti DPR, Presiden, Pengadilan (Hakim) dan sebagainya.

Norma-norma hukum positif tersebut adalah objek kajian atau apsek ontologis

dari Ilmu Hukum Indonesia. Tatanan norma-norma hukum positif Indonesia

adalah objek kajian (ontologi) Ilmu Hukum Indonesia.26 Dengan demikian,

hubungan cita hukum Pancasila dengan aspek ontologi dan epistemologis

(pembentukan konsep hukum adalah salah satu aspek epistemologi) Ilmu

Hukum Indonesia sudah dapat dijelaskan.

34.Akhirnya, Pancasila sebagai cita hukum juga berfungsi pada pembentukan

aksiologi Ilmu Hukum Indonesia. Hal itu jelas disebut Bernard Arief Sidharta bahwa “Ilmu Hukum seyogianya mengacu pada cita hukum.” Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)

adalah pondasi aksiologis Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai landasan aksiologis,

nilai kegunaan/manfaat Ilmu Hukum Indonesia adalah untuk mencapai

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima

Pancasila.

(20)

35.Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat disampaikan pada kesempatan yang

baik ini. Harapan yang tersimpan dalam hati adalah semoga pokok-pokok

pikiran ini dapat dikembangkan pada bidang masing-masing oleh rekan-rekan

sejawat dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta menjadi

gagasan yang lebih maju dan lebih lengkap.

(21)

Daftar Pustaka

Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.

Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: 1999.

---. Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematis Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Yogjakarta: 2013.

Dardji Darmodihardjo dan Shidarta. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: 1996.

Oetojo Oesman dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.

Moh. Koesnoe. “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat.” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta: September 1995.

Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Semarang: 2006.

Scholten, Paul. De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum (terj. Bernard Arief Sidharta), Bandung: 2003).

Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minin. Membangun Teori Hukum Indonesia. Yogjakarta: 2005.

(22)

CITA HUKUM PANCASILA SEBAGAI RUJUKAN EKSLUSIF PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL1

A. Pendahuluan

Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus dilaksanakan sejak

proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus

1945 di Jakarta. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Proklamasi

Kemerdekaan karena Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut

segenap tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan

Pancasila sebagai falsafah negara dan cita hukum bangsa Indonesia.2 Akan tetapi,

cita-cita ideal pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan

kondisi pada masa itu. Oleh karena itu, untuk mencegah kemungkinan kekacauan

hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat

sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi Kemerdekaan.

Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan yang

bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan Pemerintah dan

kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD 1945. Politik hukum

(kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan dalam Peraturan Peralihan

UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi logis terhadap keberadaan segenap

tatanan hukum positif produk hukum kolonial. Berdasarkan politik hukum

(kebijakan) hukum dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum

produk kolonial Belanda kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah

Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan tatanan hukum produk kolonial

1 Judul asli makalah ini adalah Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan

Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum Dan Politik Hukum Nasional. disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara. Judul diubah semata-mata guna kepentingan pencetakan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada.

(23)

Belanda di zaman kemerdekaan adalah suatu politik hukum (kebijakan hukum)

peralihan yang bertujuan untuk mencegah kevakuman hukum. Dengan berdasarkan

kebijakan hukum yang dikemukakan di atas, tatanan hukum produk kolonial masih

tetap diberlakukan pascaproklamasi kemerdekaan dan sampai dengan sekarang

meskipun dengan melakukan berbagai penyesuaian.

Sisi positif dari politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan tersebut

adalah bahwa untuk sementara persoalan kemungkinan kevakuman hukum dapat

ditanggulangi. Namun, di sisi lain, ada segi kekurangannya yaitu bahwa

pembaharuan hukum secara menyeluruh yang bersifat nasional tidak pernah dapat

dilaksanakan sampai dengan sekarang meskipun pembaharuan hukum nasional itu

sesungguhnya merupakan tuntutan dan konsekuensi logis dari Proklamasi

Kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena

itu, sampai dengan sekarang, tatanan hukum positif produk kolonial Belanda masih

tetap diberlakukan meskipun hanya berkenaan dengan beberapa undang-undang

tertentu saja. Keberadaan berbagai produk hukum kolonial tersebut sudah barang

tentu harus segera diperbaharui supaya dapat menyesuaikan diri dengan dan

memenuhi perkembangan masyarakat.

Politik hukum yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk menyikapi

masa peralihan sebagaimana dikemukakan di atas juga berdampak terhadap

keberadaan tatanan hukum pidana positif. Situasi dan kondisi yang sama dengan

yang dikemukakan di atas juga terjadi dalam bidang hukum pidana. Sampai dengan

sekarang masih terdapat undang-undang di bidang hukum pidana produk kolonial

yang masih berlaku. Meski demikian, niat untuk melakukan pembaharuan hukum

pidana yang bersifat menyeluruh sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan para

akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Untuk hukum pidana materil, alasan

filosofis menjadi alasan utama (alasan mendasar) mengingat hukum pidana materil

yang berlaku sekarang sebagian masih merupakan produk hukum zaman kolonial

yang tentu saja berlatar belakang filosofis/ideologis yang sesuai dengan

(24)

Dalam konteks hukum pidana formil (hukum acara pidana), sebenarnya

pembaharuan hukum sudah pernah dan berhasil dilakukan pada tahun 1981 dengan

ditetapkannya KUHAP. KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) digadang-gadang

sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk

menyampingkan hasil pembaharuan hukum acara pidana tersebut ternyata selang

beberapa waktu, kelemahan-kelemahan KUHAP semakin nyata. Oleh karena itu,

gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana juga mulai disuarakan

oleh berbagai pihak. Untuk konteks hukum acara pidana (hukum pidana formal),

alasan penyalahgunaan kewenangan dan dan pelanggaran/pengabaian hak-hak

asasi oleh penegak hukum seringkali menjadi alasan yang mendorong perlu

dilakukan pembaharuan hukum acara pidana. Dengan perkataan lain, seperti

dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, hukum acara pidana yang berlaku

sekarang masih memiliki beberapa kekurangan dalam praktik sehingga perlu

dilakukan pembaharuan untuk mengikuti dan mengantisipasi perkembangan

masyarakat.3

Kelemahan KUHAP sebagaimana dikemukakan di atas akhirnya melahirkan

gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh.

Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana yang sedang dilaksanakan

sekarang, salah satu jabatan baru yang tidak terdapat dalam KUHAP diintrodusir

dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana masa depan yaitu

Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu

jabatan baru dalam sistem KUHAP masa depan tersebut. Sebagai jabatan yang

baru, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan adopsi dari sistem hukum

negara lain. Sudah barang tentu, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut

tidak dapat secara serta merta diadopsi begitu saja dari sistem hukum acara pidana

negara lain tanpa pengkajian yang mendalam. Kajian yang mendalam terhadap

keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam

RUU-KUHAP yang baru perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih

baik.

3 Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN,

(25)

Pengkajian terhadap eksistensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai

suatu jabatan baru dalam sistem hukum acara pidana dapat dilakukan secara

komprehensif dengan bertitik tolak dari berbagai cabang disiplin hukum seperti

Filsafat Hukum, Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatika Hukum) maupun Politik

Hukum. Di samping itu, berbagai metode pendekatan juga dapat dilakukan untuk

melakukan kajian seperti metode pendekatan filosofis, komparatif, kesisteman dan

lain-lain untuk melengkapi metode pendekatan normatif.

Pada kesempatan ini, kehadiran makalah yang disusun oleh Tim Penulis

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah dalam konteks dan

latar belakang serta perspektif sebagaimana dikemukakan di atas. Secara konkrit

dapat dikemukakan bahwa kehadiran makalah Tim Penulis Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini adalah dalam rangka menambah kajian

mengenai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang sudah dilakukan oleh

berbagai pihak. Makalah ini diharapkan dapat menawarkan kerangka berfikir yang

bersifat sistematis untuk menguji keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan

sebagai suatu jabatan dalam RUU-KUHAP.

B.Pancasila Sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia Dan Asas-Asas Hukum Nasional

Titik tolak untuk melakukan pembahasan terhadap jabatan baru Hakim

Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan tersebut harus dimulai dari

perspektif filosofis. Pembahasan secara demikian bertjuan untuk menguji landasan

filosofis jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut secara mendalam.

Dalam konteks ini, pertanyaan pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai

berikut. Apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam

RUU-KUHAP mempunyai landasan falsafah atau memiliki akar filosofis yang kuat

dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia? Dalam rangka menjawab pertanyaan

yang dikemukakan di atas, pembahasan tentang eksistensi jabatan Hakim

Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan bertitik tolak dari landasan falsafah bangsa

Indonesia yaitu Pancasila. Apa sebab demikian? Hal itu karena landasan filosofis

(26)

nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat abstrak-umum tersebut tidak

dapat dipakai secara langsung untuk menguji kebasahan keberadaan Hakim

Pemeriksa Pendahuluan. Ada proses berfikir yang harus dilakukan untuk dapat

menderivasi nilai-nilai cita hukum Pancasila supaya menghasilkan seperangkat

pokok-pokok pendirian atau asas-asas hukum yang lebih konkrit.

Dalam perspektif doktrin, Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum (Rechtsidee)

bangsa Indonesia.4 Hal itu mengandung arti bahwa para ahli dan atau akademisi

umunya bersepakat bahwa Pancasila adalah cita hukum bangsa Indonesia.

Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia juga sudah dilegitimasi

secara politis dan yuridis. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum (cita hukum) sudah ditetapkan dalam undang-undang yang

mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia. Hal itu mengandung arti bahwa keberadaan dan fungsi Pancasila dalam

konteks kehidupan hukum di Indonesia yakni sebagai cita hukum bangsa Indonesia

sudah memiliki dasar pijakan yang kuat baik secara akademis maupun secara

sosiologis, politis dan yuridis,

Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang

berlaku di Indonesia. Dalam kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum,

Pancasila menjadi sumber hukum yang terakhir dan tertinggi.5 Sebagai cita

hukum, kedudukan Pancasila adalah di atas segenap tatanan hukum positif yang

berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, segenap tatanan hukum

positif yang terdapat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalir dari sumber

yang satu dan yang tertinggi yakni cita hukum Pancasila. Sebagai konsekuensinya,

norma-norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam cita hukum Pancasila. Jika sekiranya terdapat tatanan hukum

4 Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI-IV, Disertasi, Depok, 1990, hlm. 307 dan seterusnya.

5 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta,

(27)

positif yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila dengan

sendirinya tatanan hukum positif yang demikian tidak memiliki landasan (pijakan)

filosofis sehingga harus disingkirkan dari tatanan hukum positif. Dalam konteks

pembaharuan hukum acara pidana, prinsip yang dikemukakan di atas sudah barang

tentu juga berlaku. Artinya, norma-norma hukum acara pidana yang akan dibentuk

oleh badan pembentuk undang-undang harus bersumber dari dan selaras dengan

cita hukum Pancasila.

Dalam kedudukan sebagai cita hukum (sumber dari segala sumber hukum),

Pancasila melakukan peranan sebagai pemberi tuntunan terhadap keberadaan

tatanan hukum positif. Dalam istilah Abdul Hamid S. Attamimi, fungsi Pancasila

sebagai cita hukum adalah sebagai bintang pemandu terhadap segenap tatanan

hukum yang terdapat di Indonesia.6 Bintang pemandu dalam istilah Hamid S.

Attamimi di atas mengandung arti bahwa arah perkembangan hukum dan

pembaharuan hukum nasional termasuk pembaharuan hukum acara pidana juga

harus dipandu oleh cita hukum Pancasila. Fungsi pemandu dan penunjuk arah

perkembangan segenap tatanan hukum positif dilakukan oleh setiap cita hukum

dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Fungsi seperti itu juga

dilakukan oleh cita hukum Pancasila terhadap segenap tatanan hukum positif yang

berlaku di Indonesia termasuk tatanan norma hukum acara pidana. Sebagai cita

hukum, Pancasila berfungsi untuk membimbing dan memandu arah perkembangan

tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia supaya segenap tatanan hukum

positif itu mengarah kepada suatu tujuan ideal segenap bangsa Indonesia yaitu cita-cita “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Arah perkembangan dan tuntunan terhadap tata hukum positif dilakukan

oleh cita hukum Pancasila dalam 2 (dua) sisi sekaligus. Sebagai cita hukum,

Pancasila adalah batu penguji tatanan hukum positif. Sekaligus dengan fungsi

sebagai batu penguji, cita hukum Pancasila juga memberikan tuntunan terhadap

arah perkembangan tatanan hukum positif. Dalam hubungan dengan kedua fungsi

cita hukum tersebut, Abdul Hamid S. Attamimi mengemukan bahwa fungsi yang

(28)

dijalankan oleh cita hukum termasuk cita hukum Pancasila dilakukan dari 2 (dua)

sisi sekaligus yaitu (a) menguji hukum positif yang berlaku dan (b) mengarahkan

hukum positif yang berlaku supaya hukum positif tersebut mengarah kepada

sesuatu tujuan.7

Cita hukum Pancasila melakukan kedua macam fungsi yang disebut di atas

dengan bertitik tolak dari atau berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya.

Nilai-nilai cita hukum berfungsi sebagai kiblat (penunjuk arah) dan sekaligus sebagai

kriteria penilai (batu penguji) bagi tatanan hukum positif yang berlaku di

Indonesia termasuk hukum acara pindana yang menjadi pokok pembicaraan pada

saat sekarang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila

masih bersifat abstrak-umum. Nilai-nilai cita hukum Pancasila tersebut tentu saja

tidak dapat secara langsung memberikan pengarahan terhadap tatanan hukum acara

pidana positif yang berlaku maupun yang hendak dibentuk oleh pembentuk

undang-undang (hukum acara pidana yang dicita-citakan atau ius constituendum).

Hukum positif berkenaan dengan atau menyentuh alam konkrit-individual yang

berbeda dari alam nilai-nilai dalam cita hukum yang bersifat metafisis. Untuk dapat

memberikan arahan terhadap perkembangan dan pembaharuan hukum positif

termasuk pemabahruan hukum acara pidana, nilai-nilai ideal dalam cita hukum

Pancasila yang bersifat abstrak-umum terlebih dahulu harus diolah. Dari proses

pengolahan tersebut kemudian dapat diderivasi (diturunkan atau dihasilkan)

seperangkat prinsip-prinsip hukum (pokok-pokok pendirian hukum) atau asas-asas

hukum yang sifatnya lebih konkrit.

Asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat

diderivasi (diturunkan) dari cita hukum Pancasila? Cita hukum Pancasila

mengandung seperangkat nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan yang hendak dicapai

oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari perangkat

nilai-nilai ideal yang terdapat dalam cita hukum Pancasila dapat diderivasi

berbagai macam prinsip-prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau

asas-asas hukum. Prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang diderivasi dari

(29)

cita hukum Pancasila itu kemudian menjadi pedoman atau pegangan dalam

menetapkan suatu garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional).8

Dalam konteks perbincangan tentang Pembaharuan Hukum Acara Pidana

dan keberadaan jabatan baru yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam

sistem Hukum Acara Pidana masa depan tidak perlu semua asas-asas hukum yang

diderivasi dari cita hukum Pancasila harus dibicarakan. Menurut pandangan Tim

Penulis, ada 3 (tiga) prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang relevan

untuk dibicarakan lebih lanjut dalam hubungan dengan keberadaan jabatan Hakim

Pemeriksa Pendahuluan tersebut. Ketiga macam prinsip-prinsip hukum,

pokok-pokok pendirian hukum atau asas-asas hukum yang dimaksud adalah (a) asas

negara hukum, (b) asas demokrasi dan (c) asas pembatasan kekuasaan (pembatasan

kewenangan).

C. Asas-Asas Hukum Dan Kebijakan Hukum Nasional

Apa sebab ketiga prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau

asas hukum yang dikemukakan di atas harus menjadi perspektif dalam

memperbincangkan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu

jabatan dalam sistem hukum acara pidana masa depan? Dari perspektif Hukum

Tata Negara, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan ketatanegaraan

dan merupakan bagian dari organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.

Setiap jabatan dalam organisasi negara Republik Indonesia harus diuji sesuai atau

tidak dengan asas-asas hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika

keberadaan jabatan tersebut dapat lolos dari pengujian terhadap asas-asas hukum

kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sendirinya kehadiran jabatan tersebut

dapat diterima dalam tatanan organisasi jabatan. Namun, pengujian secara

langsung terhadap asas-asas hukum yang dikemukakan di atas tidak dapat

dilalukan karena asas-asas hukum tersebut masih bersifat abstrak-umum meskipun

sudah lebih konrkit dari nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila.

(30)

Asas-asas hukum negara hukum, asas demokrasi dan asas pembatasan

kekuasaan (pembatasan kewenangan) sebagai asas-asas hukum dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara belum dapat secara langsung dipakai sebagai patokan

untuk menguji keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Asas-asas

hukum tersebut harus diproses atau diolah lebih dahulu untuk dapat memahami

makna hakiki dari asas-asas hukum tersebut supaya kemudian dapat dihasilkan

gambaran pemahaman dan atau pengertian yang lebih jelas tentang asas-asas

hukum tersebut. Pemahaman terhadap asas-asas hukum secara baik akan dapat

menghasilkan seperangkat prinsip atau pokok pendirian yang lebih konkrit.

Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian dapat dipakai sebagai pedoman dalam

merumuskan kebijakan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh dan

dalam melakukan pengaturan terhadap jabatan-jabatan ketatanegaraan yang

dibentuk dalam sistem hukum acara pidana tersebut seperti halnya keberadaan

jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam

lingkungan organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.

Makna ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas harus dielaborasi

lebih dahulu supaya dapat diungkap prinsip-prinsip hukum yang lebih konkrit yang

terkandung dalam ketiga asas hukum tersebut. Prinsip-prinsip hukum yang

diturunkan (diderivasi) dari ketiga asas hukum yang disebut di atas akan

menghasilkan seperangkat pokok pendirian yang lebih konkrit yang dapat

dijadikan sebagai pedoman (pegangan) dalam merumuskan kebijakan hukum

berkenaan dengan pembaharuan hukum acara pidana dan menguji keberadaan

jabatan baru dalam KUHAP masa depan yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Jika ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas dielaborasi akan dapat diungkap

makna-makna sebagai berikut.

Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila

mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia

kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat pada para

penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk kepada hukum.9

(31)

Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan yang melekat pada suatu jabatan

termasuk jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk

kepada hukum. Inilah makna supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum

atau pokok pendirian atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

yang harus selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum

acara pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip ini

juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara harus tunduk

kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan dengan maksud untuk

mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara khususnya

jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam hal ini.

Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung

makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang

tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan

tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sumber dari

segenap kewenangan yang melekat kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas

kedaulatan rakyat ini lebih jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian

kewenangan kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan

adalah untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan

dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk melayani

dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang

tertinggi (kedaulatan).

Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang diderivasi

dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara

Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada suatu jabatan tertentu

bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak). Dalam perspektis asas

pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak dikenal kekuasaan yang bersifat

mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi supaya tidak membuka peluang terhadap

kekuasaan yang sewenang-wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada

(32)

akhirnya akan melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu

sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik

Indonesia.

D.Pokok-Pokok Dalam Pendirian Politik Hukum Nasional Berkenaan Dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Suatu Jabatan Ketatanegaraan

Makna dari asas-asas hukum yang dikemukakan di atas merupakan

pokok-pokok pendirian (prinsip) yang berfungsi sebagai pedoman dalam merumuskan

suatu kebijakan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana

pada umumnya dan pembentukan dan pengaturan jabatan Hakim Pemeriksa

Pendahuluan dalam KUHAP masa depan. Dengan perkataan lain, pokok-pokok

pendirian yang terkandung dalam makna asas-asas hukum yang dikemukakan di

atas seharusnya menjadi pedoman atau penuntun dalam menetapkan suatu garis

kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan

hukum acara pidana nasional termasuk dalam hal melakukan pengaturan terhadap

berbagai hal yang berkenaan dengan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Dengan demikian, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam asas-asas

hukum yang dikemukakan di atas menjadi dasar untuk menetapkan suatu kebijakan

pembaharuan hukum acara pidana nasional. Dengan berdasarkan dan atau

berpedoman pada garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) yang

ditetapkan berdasarkan asas-asas hukum yang dikemukakan di atas dilakukanlah

pengaturan terhadap jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa

Pendahuluan. Oleh karena itu, berarti bahwa keberadaan jabatan baru Hakim

Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan harus diuji terhadap

prinsip-prinsip yang melandasasi garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional)

dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana termasuk pengaturan jabatan baru

seperti Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.

Sesuai dengan atau bertitik tolak dari pokok-pokok pendirian yang

dikemukakan di atas dapat dikemukakan pandangan dan sikap mengenai kehadiran

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana

(33)

keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan dengan

catatan-catatan sebagai berikut.

Pertama, keberadan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan

dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang

keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan

dalam perspektif Asas Negara Hukum yang intinya adalah supremasi hukum. Dari

perspektif asas negara hukum, kewenangan yang dimiliki oleh Hakim Pemeriksa

Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam KUHAP masa depan harus ditundukkan

kepada hukum. Dengan demikian, pengaturan kewenangan jabatan baru Hakim

Pemeriksa Pendahuluam tersebut harus secara sedemikian rupa dan dilakukan

secara ketat sehingga dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan atau

kesewenang-wenangan. Jangan sampai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan

malah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.

Kedua, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum

Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan jabatan Hakim

Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam perspektif Asas

Demokrasi. Dari perspektif asas demokrasi tersebut, Hakim Pemeriksa

Pendahuluan harus menjadi pengayom hak-hak rakyat. Hakim Pemeriksa

Pendahuluan harus melindungi hak hak rakyat dan berupaya mencegah jangan

sampai hak-hak rakyat diabaikan atau dilanggar oleh penegak hukum yang lain.

Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan kepada jabatan baru yang disebut

sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem hukum acara pidana masa

depan harus berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan

rakyat. Dengan demikian, kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur

secara detail untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang

berpotensi melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat sebagai pemegang

kedaulatan politis. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa keberadaan Hakim

Pemeriksa Pendahuluan adalah dalam rangka mengawal hak-hak rakyat sebagai

(34)

Ketiga, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum

Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang diposisikan dalam perspektif

asas pembatasan kekuasaan atau pembatasan kewenangan. Kewenangan jabatan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur dan dibatasi secara baik. Pengaturan

kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus secara detail dan rinci supaya

tidak membuka peluang menjadi jabatan yang sewenang-wenang. Pemberian

kiewenangan diskresi yang bersifat subjektif kepada Hakim Pemeriksa

Pendahuluan harus sedapat mungkin dihindari karena pengalaman menunjukkan

bahwa para penegak hukum yang memegang kewenangan diskresi subjektif sering

menyalahgunakan kewenangannya dengan akibat pelanggaran terhadap hak-hak

rakyart. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan diskresi yang bersifat

objektif kepada jabatan-jabatan termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan lebih

tepat daripada diskresi subjektif untuk menutup peluang kemungkinan

penyalahgunaan kewenangan.

E.Penutup

Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas 17

Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbasih pemikiran dalam

rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam konteks jabatan baru yang

disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Atas segala kekurangan dan

(35)

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKILNYA MERUJUK PANCASILA DAN UUD 1

Abstract

Normativisasi process (positivisasi) values into legal norms called

legal establishment. Establishment of law made ruler (state) with

reference to the ideal values in the destination country mixed with

real factors such as the development of society, technology,

international development, and so on. Therefore, the process of

establishing the rule of law is a real concrete cultural processes because the law is man’s work that reflects your taste, reason and human initiative.

Keywords: Positivism, impeachment, constitution

Abstrak

Proses normativisasi (positivisasi) nilai ke dalam norma-norma

hukum yang disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum

dibuat oleh penguasa (negara) dengan mengacu pada nilai-nilai ideal

yang menjadi tujuan suatu negara, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor

riil seperti perkembangan masyarakat, teknologi, pembangunan

internasional, dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan

aturan hukum adalah proses budaya nyata karena hukum adalah karya

manusia yang mencerminkan rasa manusia, alasan dan inisiatif

manusia.

Kata Kunci : Positvisme, impeachment, konstitusi

A.Pendahuluan

Kehadiran norma hukum dalam kenyataan sesungguhnya menampilkan

aneka ragam wajah (multi dimensi) sehingga dapat didekati dari berbagai

perspektif. Dari perspektif filosofis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang

Referensi

Dokumen terkait

berprestasi melalui kegiatan pengembangan diri. Kegiatan pembinaan peserta didik menjadi tanggung jawab semua tenaga kependidikan terutama guru, karena guru merupakan sosok

Penerjemah pemula perlu memperhatikan secara lebih pada kenyataan bahwa struktur frasa teks bahasa sumber dan struktur frasa bahasa sasaran adalah berbeda sehingga

• Catatan menyajikan riwayat setiap bets produk, termasuk distribusinya, dan juga hal-hal yang relevan yang terkait dengan mutu produk akhir..

Selanjutnya juga dilakukan pengecekan sistem pelumasan, sistem ini berfungsi untuk mengurangi keausan mesin dengan cara mengalirkan minyak pelumas dari karter ke

Dengan demikian, apabila biaya distribusi pemasaran telah terpenuhi secara optimal dan dikeluarkan dengan penuh pertimbangan untuk keefektifan dan keefisienan

Hal ini dikarenakan karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta dengan risk factor yang ringan, akan tetapi dalam prakteknya, kadang dijumpai cidera janji

Secara umum, bahwa wakaf adalah berarti memperluas ruang lingkup orang-orang yang mendapatkan manfaat dari barang yang di wakafkan, yaitu dengan

Galur okra 98048/2 mempu- nyai potensi hasil lebih tinggi dibanding galur okra lainnya dan daun normal pada kondisi tumpang sari dengan jagung yaitu 2.175 kg/ ha,