MERAWAT CITA-HUKUM PANCASILA
Kompilasi Buah Pikir & Gagasan Hotma P. Sibuea
Diterbitkan Dalam Rangka Satu Tahun Dedikasi
Usep Ranawijaya Research Center (URRC)
Usep Ranawijaya Research Center
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
SEKAPUR SIRIH
Puji syukur disampaikan kepada Allah SWT atas nikmat hidup yang ditandai
dengan keinginan besar untuk terus memberikan karya yang berguna bagi
masyarakat hukum. Atas izin Allah SWT pulalah meski dengan keterbatasan waktu
dan keadaan, Tim Editor dapat merampungkan kompilasi tulisan dari Dr. Hotma
Sibuea sebagai Dosen Senior di lingkungan Fakultas Hukum UTA ’45 Jakarta. Beliau merupakan seorang pemikir yang pernah menjadi murid sekaligus asisten
kesayangan Prof. Usep Ranawijaya.
Jika tahun pertama berdirinya URRC pada tahun 2014 lalu, dedikasi diberikan
kepada Prof Usep dengan menerbitkan kumpulan pemikiran Usep Ranawijaya,
Maka tahun kedua berdirinya URRC diterbitkan pikiran-pikiran dari Dr. Hotma
Sibuea, Sang Usep Kecil. Pertanyaannya, mengapa beberapa tulisan Hotma?
Hotma Sibuea telah secara serius mendalami hukum tata negara dengan cara
pandang yang khas ilmu hukum. Selama 30 tahun lebih Beliau telah
mendedikasikan ilmunya melalui pola pemikiran yang terkadang sedikit narsis.
Tidak dapat dipungkiri kharisma yang sangat kental dalam tiap pemilihan kata
guna menelurkan pikiran-pikirannya sangat dalam dan tanjam. Motonya pula yang selalu dipegang ‘bukan keluasan tetapi kedalaman’.
Buku ini hanya beberapa dari karya beliau yang tercecer (yang sedikit dipaksa untuk itu oleh Dekan FH UTA ’45) kepada URRC untuk dikompilasi. Sebagai ‘pemikir’ yang produktif, ia dipaksa juga untuk membagi ilmunya kepada dosen-dosen yunior dalam diskusi-diskusi terbatas di FH UTA ’45 Jakarta. Materi yang disajikan dalam buku kecil ini merupakan ide-ide orsinal beliau yang dituangkan
(tidak dalam tataran kelisanan) namun terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Untuk
itulah kiranya buku kecil ini menjadi alat pengepul tambang emas pemikiran yang
berserakaan dari Beliau. Kiranya pikiran-pikirannya yang tersaji dalam buku ini
bermanfaat bagi kontribusi berkembangnya ilmu hukum di Indonesia.
Buku ini memuat lima karya. Diantaranya makalah Dr Hotma dan tim yang
Nasional” disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara.
Artikel berjudul “Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa Jabatan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia” dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA ’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014.
Kemudian artikel berjudul “Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dipublikasikan pada Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013. Makalah berjudul “Landasan/Dasar dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita
Hukum (Rechtsidee) Pancasila.
Pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tanggal 12 Februari 2015 dalam rangka
persiapan menyambut Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Makalah “Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan dan Diskusi Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan 10
Agustus 2015.
Gagasan yang diberikan Dr Hotma selalu memiliki akar filsafat ilmu yang kuat dan
dalam. Tak ayal jika nantinya mungkin saja akan mendapatkan pengikut untuk
Ucapan terimakasih Tim Editor sampaikan kepada teman-teman yang terlibat dan
ikut membantu dalam penyusunan buku kecil ini. Kepada Dr. Hotma Sibuea, Tim
meminta maaf karena tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai rencana
penerbitan buku ini. Hal ini merupakan dedikasi sekaligus kado kecil bagi Beliau
agar kiranya api semangat membagi pikiran-pikirannya, khususnya pada
dosen-dosen muda tetap menyala. Harapan terakhir, kiranya buku ini bermanfaat bagi
seluruh pembaca. Semoga !
Tim
DAFTAR ISI
Sekapur Sirih i
1. Cita Hukum Pancasila Menjadi Ciri Khas
Fakultas Hukum UTA’ 45 6
2. Cita Hukum Pancasila Sebagai Rujukan Ekslusif
Pembaharuan Hukum Nasional 23
3. Pemberhentian Presiden Dan Wakilnya
Merujuk Pancasila dan UUD 37
4. Merdeka : Pancasila Mampu Hapus
Produk Hukum Kolonial 73
CITA HUKUM PANCASILA MENJADI CIRI KHAS FAKULTAS HUKUM UTA’ 451
1.Sesuai dengan anak judul di atas, ide atau gagasan dalam tulisan ini semata-mata
adalah langkah awal untuk mengembangkan Pengajaran Hukum Dan Ilmu
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam
Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila. Oleh karena itu, ide yang
dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran berikut masih memiliki banyak
kekurangan pada berbagai hal atau aspek. Ide atau gagasan yang dikemukakan
dalam pokok-pokok pikiran dalam makalah ini adalah tindak lanjut dari diskusi
yang dilakukan beberapa kali dengan dekan dan rekan-rekan dosen Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Diskusi dilakukan pada waktu
senggang dan dalam suasana santai atau informal.
2.Sebagai kesimpulan diskusi yang sudah dilakukan, Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 dipandang perlu memiliki ciri khas yang berbeda dari ciri khas
fakultas hukum yang lain. Sepanjang yang dapat diketahui, ada beberapa
fakultas hukum yang mencanangkan memiliki ciri khas dengan cara seperti
pengajaran hukum yang berfokus pada hukum bisnis, hukum agraria, hukum
ketatanegaraan, hukum pidana dan lain-lain. Ada pula fakultas hukum yang
memiliki ciri khas dari perspektif metode pendekatan dalam pengajaran hukum
yakni berfokus pada metode pendekatan empiris. Menurut penulis, cara untuk
membangun ciri khas tidak perlu meniru cara yang dilakukan oleh fakultas
hukum seperti disebut di atas. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
1
Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen
tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna
perlu menempuh cara lain untuk membangun ciri khas yang berbeda dari
fakultas hukum yang lain.
3.Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mengumandangkan pernyataan sebagai
kampus kaum nasionalis. Sebagai bagian dari kampus nasionalis, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta harus memiliki ciri khas yang
mencerminkan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Dalam konteks
implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam khasanah akademik dan ilmu
pengetahuan hukum, ciri khas nasionalis seyogianya tercermin dalam dasar
(landasan) dan arah pengajaran hukum dan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Secara lebih konkrit, ciri khas nasionalis
tersebut seyogianya tercermin dalam kurikulum pengajaran hukum dan ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
4.Dalam rangka implementasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) sebagai ciri
khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, dasar dan pengembangan pengajaran hukum dan ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 harus bertitik tolak
dari sesuatu yang fundamental dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia.
Sesuatu hal yang fundamental tersebut adalah pandangan hidup bangsa
Indonesia. Pandangan hidup bangsa Indonesia harus menjadi dasar (landasan)
dan arah pengembangan pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Jalan pikiran demikian bertitik
tolak dari atau berpedoman pada gagasan Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan komentar sebagai berikut “. . . pemikiran hukum dan pengembanan Ilmu Hukum di Indonesia seyogianya berpangkal pada titik tolak pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut.”3
1
Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen
tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna
5.Ide atau gagasan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan
Hukum berkarakter Indonesia seperti dikemukakan Soediman Kartohadiprojo
juga dilakukan pada cabang ilmu pengetahuan Teori Hukum. Gagasan atau ide
untuk membangun dan mengembangkan Teori Hukum berkarakter Indonesia
juga mulai dirintis oleh sarjana hukum atau penulis-penulis lain. Ada penulis
yang sudah mulai merintis untuk membangun dan mengembangkan Teori
Hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum yang memiliki ciri khas
Indonesia yakni Saudara Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin.2
6.Dalam konteks hukum atau kehidupan hukum bangsa Indonesia, pandangan
hidup yang dimaksud Soediman Kartohadiprojo adalah Pancasila3. Pancasila
disebut sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia dalam konteks hukum
dan kehidupan hukum.4 Oleh karena itu, titik tolak, landasan atau dasar untuk
membangun ciri khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah cita hukum Pancasila.
Dengan perkataan lain, sebagai implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam
konteks akademik atau ilmu pengetahuan hukum, cita hukum Pacasila harus
ditempatkan sebagai landasan dan arah pengembangan pengajaran hukum dan
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
2 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174.
2 Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Membangun Teori Hukum Indonesia
(Yogjakarta, 2005), 40 halaman.
3 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174.
7.Dalam hubungan dengan upaya perintisan landasan dan arah pengembangan
pengajaran hukum dan Ilmu Hukum berdasarkan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila, pokok pendirian atau prinsip yang menjadi titik tolak
pokok-pokok pikiran (ide atau gagasan) yang dikemukakan dalam makalah singkat ini
adalah hal-hal berikut ini.
8.Pertama, gagasan (ide) untuk membangun dan mengembangkan pengajaran
hukum dan Ilmu Hukum yang berkarakter nasional (Indonesia) berdasarkan cita
hukum Pancasila bertitik tolak dari sejarah perkembangan Ilmu Hukum (faktor
internal). Sejak Revolusi Perancis berakhir, Ilmu Hukum berkarakter universal
berganti menjadi Ilmu Hukum berkarakter nasional. Ilmu Hukum memiliki
karakter nasional karena objek kajiannya adalah hukum positif dari suatu negara
tertentu. Sesuai dengan objek kajiannya yakni hukum positif suatu negara, Ilmu
Hukum yang berkembang pada tiap negara memiliki ciri-ciri dan karakter
nasional yang berbeda dari Ilmu Hukum negara lain. Pandangan demikian
dikemukakan oleh seorang guru besar Ilmu Hukum berkebangsaan Belanda
yakni Paul Scholten. Paul Scholten mengemukakan pandangan sebagai berikut:
“Ilmu tentang hukum positif selalu merupakan ilmu dari suatu hukum positif tertentu dalam sebuah negara tertentu. Ilmu Hukum itu sendiri
ditentukan secara historis dan nasional. Ilmu (de wetenschap) tentang
hukum positif (het positief recht) itu tidak ada, yang ada adalah ilmu
tentang hukum positif Belanda atau Perancis. . . . . . . .
. . . Hanya orang yang berpartisipasi pada hukum ini yang
dapat mengerjakannya, hanya orang Belanda yang dapat mengolah
hukum positif Belanda. Ini tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat
melakukan pemaparan yang demikian (memaparkan hukum kita - - -
maksudnya hukum orang Belanda --- pen.), tetapi ini akan menjadi
perbandingan hukum.5
5 Paul Scholten, De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum
9.Kedua, faktor eksternal yakni faktor kondisi faktual bangsa Indonesia yang
sampai sekarang masih “dijajah” oleh ilmu hukum peninggalan Belanda meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 65 (enam puluh lima) tahun lalu. Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Ilmu Hukum yang diajarkan di dalam lingkungan pendidikan tinggi hukum di Indonesia pada
permulaannya berasal dari ilmu hukum yang dikembangkan oleh Belanda yang
tatanan hukumnya termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law (Kontinental).”6
10.Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin mengemukakan pandangan yang senada
dengan Bernard Arief Sidharta di atas sebagai alasan untuk mengembangkan
pengajaran hukum dan ilmu hukum berkarakter nasional. Oloan Sitorus dan
Darwinsyah Minin mengemukakan pendapat sebagai berikut:
“Meskipun sejak tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah berdiri sebagai negara yang berdaulat yang berarti sejak saat itu dilakukan
penjebolan hukum kolonial dan pembangunan hukum nasional,
namun sampai saat ini masih dirasakan adanya penetrasi nilai-nilai
hukum dan postulat-postulat hukum yang bersumber pada falsafah
liberal-individualistik negara Barat.”7
11.Satjipto Rahardjo mulai mengembangkan Ilmu Hukum Indonesia dengan
berlandaskan pada hukum progresif. Ilmu Hukum progresif versi Satjipto
Rahardjo memiliki ciri tertentu sebagai Ilmu Hukum yang membebaskan.
Dalam hubungan dengan Ilmu Hukum Progresif yang berkarakter
membebaskan itu, Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut:
“Ilmu Hukum progresif memperhatikan semua kendala tersebut. Demi mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah di atas, maka ia (Ilmu
Hukum Progresif - - - pen.) memilih untuk membiarkan dirinya
6 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 12.
terbuka dan cair sehingga selalu bisa menangkap dan mencerna
perubahan yang terjadi. Dalam kualitas yang demikian itu maka Ilmu
Hukum Progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan.”8
12.Bernard Arief Sidharta memulai upaya pembangunan dan pengembangan Ilmu
Hukum berkarakter Indonesia dengan menulis sebuah disertasi tentang
Struktur Ilmu Hukum yang bertitik tolak dari perspektif Filsafat Ilmu. Upaya
tersebut bertitik tolak dari kedua faktor di atas. Bernard Arief Sidharta merintis
pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang berkarakter nasional dengan
fondasi Pancasila sebagai cita hukum.9 Dalam karya yang lain, Bernard Arief
Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut:
Tulisan berbentuk buku kecil yang sekarang ini diberi judul “Ilmu Hukum Indonesia,” karena memang dimaksudkan sebagai bahan bacaan untuk mempelajari tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia,
khususnya bagi para mahasiswa yang sedang mempelajari hukum di
perguruan tinggi di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, Paul Scholten dalam suatu makalah berjudul “De structuur der Rechtswetenschap” mengemukakan bahwa “Ilmu dari Hukum positif pada akhirnya adalah ilmu tentang hukum positif tertentu yang berlaku di suatu negara
tertentu. Hukum positif demikian sangat dipengaruhi sejarah dan berada pada lingkup nasional . . . (dan seterusnya seperti dikutip di atas).” Jika pendapat Scholten ini benar, maka pernyataan tadi berlaku bagi
semua ilmu hukum, yang pada dasarnya adalah selalu ilmu hukum positif suatu negara tertentu, termasuk bagi Ilmu Hukum Indonesia.”10
8 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Semarang, 2006), hlm. 1-18.
9 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 180.
13.Jika bertitik tolak dari jalan pikiran Bernard Arief Sidharta yang dikemukakan
di atas, Ilmu Hukum Indonesia seharusnya berbeda dari Ilmu Hukum negara
lain. Masing-masing Ilmu Hukum yang berkembang dalam suatu negara
memiliki karakter nasional sesuai dengan sejarah bangsa yang bersangkutan.
Jika demikian halnya, Ilmu Hukum yang harus dikembangkan di Indonesia
adalah Ilmu Hukum Indonesia yang memiliki karakter nasional sesuai dengan
sejarah bangsa Indonesia.
14.Dalam kenyataannya, Ilmu Hukum yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum
di Indonesia bukan Ilmu Hukum Indonesia yang pondasi kefilsafatannya adalah
Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Akan tetapi, Ilmu Hukum
warisan Belanda yang termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law
(Kontinental) seperti dikemukakan di atas. Kondisi ideal belum terwujud dalam
kenyataan sampai dengan sekarang. Konsep-konsep hukum atau
pengertian-pengertian hukum ataupun postulat-postulat hukum yang diajarkan di
fakultas-fakultas hukum termasuk di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta sampai dengan sekarang berasal dari atau merupakan warisan zaman
kolonial Belanda.
15.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia dan (tatanan) hukum dalam konteks
keindonesiaan berpedoman pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Cita hukum
Pancasila memiliki fungsi yang bersifat fundamental dalam pembangunan dan
pengembangan hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai cita hukum
(rechtsidee), Pancasila bukan hanya berfungsi dalam pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia tetapi juga pengembangan tata hukum positif Indonesia.
Sesuai dengan cita hukum Pancasila, tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia harus bersumber dari cita hukum. Akan tetapi, untuk menumbuhkan
tatanan hukum nasional yang bersumber dari cita hukum Pancasila diperlukan
suatu sarana pengolah ilmiah yakni Ilmu Hukum nasional.11
16.Jika berpedoman pada uraian di atas, sebagai cita hukum (rechtsidee), di satu
pihak, Pancasila menentukan dan mempengaruhi (a) pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia sebagai sarana pengolah ilmiah untuk menumbuhkan dan
mengembangkan tatanan hukum Indonesia (nasional) dan di lain pihak
menentukan dan mempengaruhi (b) pengembangan tatanan hukum Indonesia.
Jadi, sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Pancasila berfungsi ganda dalam
kehidupan hukum bangsa Indonesia.
17.Setiap cita hukum (rechtsidee) selalu memiliki 2 (dua) jenis kandungan unsur
atau substansi. Pertama, unsur-unsur yang emosional-idiil yang batasannya
rasionalnya tidak begitu pasti.12 Unsur emosional-idiil dalam suatu cita hukum
(rechtsidee) bersumber dari filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau suatu
masyarakat yang menuntun yang bersangkutan meyakini tatanan nilai tertentu
dan bukan tatanan nilai yang lain. Kedua, cita hukum juga mengandung
unsur-unsur rasional yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum
(allgemein Rechtsbegriff) sesuai dengan kandungan rechtsidee yang
bersangkutan.13 Unsur rasional dalam cita hukum (rechtsidee) bersumber dari
akal-budi yang membuat seseorang atau sekelompok anggota masyarakat
membuat keputusan untuk memilih dan meyakini nilai-nilai tertentu dan bukan
nilai-nilai yang lain sesuai dengan masyarakatnya dan lingkungan alam fisik
yang mengelilinginya.
18.Kedua unsur emosional-idiil dan unsur rasional cita hukum (rechtsidee) yang
disebut di atas juga terdapat dalam Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)
bangsa Indonesia. Unsur emosional-idiil dan unsur rasional dalam cita hukum
Pancasila adalah titik tolak atau dasar pembangunan dan pengembangan tata
hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks kedua unsur cita hukum
12Moh. Koesnoe, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum
Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat,” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta, September
1995, hlm. 95.
(rechtsidee) Pancasila tersebut, A.M.W. Pranarka mengemukakan bahwa
Pancasila berkedudukan sebagai (a) belief system dan (b) knowledge system.14
19.Unsur rasional cita hukum (rechtsidee) Pancasila menjadi titik tolak
pengembangan Pancasila sebagai knowledge system seperti dikemukakan
A.M.W. Pranarka di atas. Dalam konteks Pancasila sebagai knowledge system,
Ilmu Hukum Indonesia dapat dikembangkan dengan bertitik tolak dari Pancasila
sebagai cita hukum bangsa Indonesia.
20.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang bertitik tolak dari Pancasila
sebagai cita hukum bangsa Indonesia dimulai dari premis filosofis tentang
hakikat manusia Indonesia, hubungan manusia dengan alam semesta dan
hubungan manusia dengan Tuhan dari perspektif Pancasila. Bernard Arief
Sidharta mengemukakan pandangan filosofis tentang ketiga hal di atas sebagai berikut ”Pandangan hidup Pancasila bertitik tolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segenap isinya termasuk manusia yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis diciptakan Tuhan.”15 Dari pernyataan di
atas tergambar perspektif Pancasila dalam memandang hakikat manusia
Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan alam semesta dan hubungan
manusia Indonesia dengan Tuhan.
21.Pandangan filosofis tentang hakikat manusia Indonesia sebagai suatu kesatuan
yang harmonis dengan alam semesta diciptakan oleh Tuhan dapat dipandang
sebagai premis pertama yang diderivasi dari cita hukum (rechtsidee) Pancasila.
Dari premis tersebut dapat dikembangkan pandangan filosofis tentang hakikat
manusia.Dalam konteks ini, Notonagoro mengemukakan bahwa hakikat manusia Indonesia adalah mahluk “mono-dualis.” Notonagoro mengemukakana sebagai berikut “. . .hakikat manusia adalah machluk yang bersusun dalam
14 A.M.W. Pranarka, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan Dewasa Ini, Jurnal Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, (Bandung, 1992), hlm. 467
15 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
sifatnya ialah individu dan machluk social kedua-duanya.” 16 Pandangan
filosofis tentang hakikat manusia seperti ini berbeda dari pandangan filosofis
yang lain yang memandang manusia sebagai mahluk individu semata-mata atau
mahluk sosial semata-mata. Pandangan Notonagoro tersebut kemudian
dikembangkan oleh Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan bahwa
manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki unsur “4 R yaitu (1) rasio, (2) rasa, (3) raga dan (4) rukun.”
22.Pandangan tentang manusia seperti dikemukakan di atas merupakan titik tolak
untuk merumuskan suatu konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita
hukum Pancasila. Pengertian/konsep umum hukum tersebut memiliki ciri-ciri
(a) kategoris, (b) a priori, (c) metaphysis dan mendahului ilmu pengetahuan
hukum. Jika berdasarkan Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945,
pengertian/konsep umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah
pengertian/konsep umum hukum yang bersifat idealis.17 Hukum adalah bukan
semata-mata perintah tetapi hukum adalah keadilan sosial.
23.Pengertian/konsep hukum umum bangsa Indonesia yang bersifat idealis tersebut
dari segi substansi mengandung nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.18 Ketiga nilai dalam konsep/pengertian hukum umum tersebut
bersumber dari nilai-nilai cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Ketiga nilai cita
hukum di atas sesungguhnya harus dijabarkan lebih lanjut untuk membangun
dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum Indonesia Penggarapan
konsep/pengertian umum hukum yang bersifat kategoris tersebut merupakan
bagian dari aktivitas Filsafat Hukum. Namun, bidang ini adalah lahan kering,
miskin kegiatan sampai sekarang. Moh. Koesno mengemukakan sebagai
berikut:
16 Univesitas Gadjah Mada, Pembahasan Ilmiah Mengenai Susunan Pemerintahan
Negara Republik Indonesia, (Yogjakarta, Tanpa Tahun), hlm 38.
17 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
102.
“Sampai kini dalam kalangan hukum kita belum ada suatu upaya menjabarkan bagaimana isi dari ketiga nilai tersebut di atas sehingga
pengetahuan yang mendalam dan mantap tentang nilai-nilai itu sampai
kini belum dapat dijumpai. Sebagai konsekuensi isi substansi dari
Rechtsidee kita tersebut juga tidak banyak diketahui dengan baik. Apa
yang ada ialah hanya perkiraan-perkiraan atas sesuatu yang terdapat dalam simbolik saja.”19
24.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita Pancasila seperti
dikemukakan di atas tentu saja berbeda dari konsep hukum yang dikembangkan
John Austin, Hans Kelsen atau Hart sebagai tokoh-tokoh positivisme hukum
yang sangat terkenal yang sampai dengan sekarang sangat kuat pengaruhnya
dalam pengajaran hukum pidana di Indonesia.
25.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila yang
bersifat idealis di atas adalah patokan untuk membatasi unsur-unsur yang harus
dan dapat disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum (rechtsidee)
Pancasila. Dengan perkataan lain, tanpa kehadiran itu, sesuatu tidak dapat
disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila. Dalam konteks ini, Moh. Koesnoe mengemukakan sebagai berikut “Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang menunjukkan tersimpannya di dalamnya suatu isi yang menentukan (konstitutip) bagi apa yang dapat dikatakan hukum itu.”20 Dengan
perkataan lain, konsep/pengertian umum hukum itu menjadi tolok ukur (batu
penguji) bagi apa yang disebut hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila.
26.Dalam pengertian umum hukum terdapat unsur-unsur yang besifat idil. Unsur
idiil pengertian umum hukum tersebut disebut asas-asas hukum. Asas-asas
hukum mempunyai fungsi konstitutip dan regulatip terhadap pembentukan
norma-norma hukum positif.21 Asas-asas hukum umum kemudian mengalami
proses positivisasi menjadi norma-norma hukum positif dalam arti yang luas.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam arti luas, hukum positif meliputi hukum
tertulis, hukum tidak tertulis dan yuriprudensi.22
27.Pengolahan nilai-nilai cita hukum menjadi seperangkat asas-asas hukum adalah
aktivitas Filsafat Hukum. Asas-asas hukum menjadi titik tolak pembentukan
hukum (sebagai proses politik dan karya yuridis), penerapan hukum dan
penegakan hukum serta penemuan hukum dan interpretasi hukum sebagai
karya-karya yuridis berbudaya. Aktivitas pengolahan asas-asas hukum menjadi
norma-norma hukum positif baik dalam bentuk norma hukum abstrak-umum
(rechtsvorming) atau norma-norma hukum individual-konkrit (rechtsvinding)
dilakukan oleh lembaga-lembaga pembentuk hukum. Jika bertitik tolak dari
penjelasan di atas, cita hukum tidak secara langsung dapat membentuk
norma-norma hukum positif. Dalam pembentukan norma-norma-norma-norma hukum positif, cita
hukum Pancasila memiliki fungsi tertentu.
28.Uraian yang dikemukakan di atas menggambarkan hubungan cita hukum, asas
hukum dan pembentukan norma-norma hukum positif. Dengan cara yang lain, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan
ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).”23
29.Pancasila sebagai cita hukum mengandung nilai-nilai ideal yang hendak
diselenggarakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai ideal itu
menjadi titik tolak dalam membangun dan mengembangkan tata hukum
Indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai ideal tersebut tidak serta merta dapat
21 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 1996), hlm. 101.
22 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Yogjakarta, 2011). hlm. 45.
23 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
dioperasionalkan sebagai penuntun bertingkah-laku. Untuk membentuk
norma-norma hukum positif yang dalam kebersistemannya disebut tata hukum,
nilai-nilai cita hukum Pancasila harus mengalami proses normativisasi supaya
memiliki bentuk yang lebih konkrit daripada nilai-nilai hukum sebagai asas-asas
hukum seperti dikemukakan di atas.
30.Dalam konteks pembentukan norma-norma hukum positif, cita hukum adalah
landasan (dasar) dan sekaligus sebagai tolok ukur (norma kritik) terhadap
keberadaan norma-norma hukum tersebut. Dalam konteks penjelasan yang
diuraikan di atas, Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas-asas hukum yang memedomani,
norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam
penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum.”24
31.Unsur rasional dalam cita hukum Pancasila sebagaimana dikemukakan di atas
merupakan titik tolak pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks
pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang mempelajari tatanan hukum sebagai sarana intelektual untuk memahami dan menyelenggarakan tatanan hukum
tersebut, dalam pengembangannya seyogianya pula bertumpu dan mengacu
pada cita hukum itu (maksudnya: cita hukum Pancasila - - - pen.).”25
32.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum Pancasila harus
bertitik tolak premis-premis filosofis yang dikembangkan oleh Filsafat Hukum
Indonesia seperti dikemukakan di atas. Premis filosofis tentang hakikat
manusia Indonesia seperti dikemukakan Notonagoro dan Soediman
Kartohadiprojo di atas menjadi titik tolak pengembangaan konsep-konsep
24 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Op. cit., hlm. 96.
hukum bangsa Indonesia. Pandangan filosofis manusia Indonesia dari
perspektif Pancasila seperti dikemukakan di atas dapat menjadi titik tolak
dalam pembentukan konsep Hak Asasi Manusia versi bangsa Indonesia atau
pembentukan konsep hukum hak milik dan hak-hak yang lain. Cara kerja yang
sama juga dapat dilakukan untuk pengembangan konsep-konsep hukum yang
lain seperti konsep HAKI. Konsep hukum pidana dan perdata menurut versi
bangsa Indonesia.
33.Konsep-konsep hukum tersebut kemudian akan dipergunakan sebagai titik tolak
oleh para pengemban kewenangan dalam pembentukan norma-norma-norma
hukum positif seperti DPR, Presiden, Pengadilan (Hakim) dan sebagainya.
Norma-norma hukum positif tersebut adalah objek kajian atau apsek ontologis
dari Ilmu Hukum Indonesia. Tatanan norma-norma hukum positif Indonesia
adalah objek kajian (ontologi) Ilmu Hukum Indonesia.26 Dengan demikian,
hubungan cita hukum Pancasila dengan aspek ontologi dan epistemologis
(pembentukan konsep hukum adalah salah satu aspek epistemologi) Ilmu
Hukum Indonesia sudah dapat dijelaskan.
34.Akhirnya, Pancasila sebagai cita hukum juga berfungsi pada pembentukan
aksiologi Ilmu Hukum Indonesia. Hal itu jelas disebut Bernard Arief Sidharta bahwa “Ilmu Hukum seyogianya mengacu pada cita hukum.” Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)
adalah pondasi aksiologis Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai landasan aksiologis,
nilai kegunaan/manfaat Ilmu Hukum Indonesia adalah untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima
Pancasila.
35.Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat disampaikan pada kesempatan yang
baik ini. Harapan yang tersimpan dalam hati adalah semoga pokok-pokok
pikiran ini dapat dikembangkan pada bidang masing-masing oleh rekan-rekan
sejawat dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta menjadi
gagasan yang lebih maju dan lebih lengkap.
Daftar Pustaka
Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.
Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: 1999.
---. Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematis Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Yogjakarta: 2013.
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: 1996.
Oetojo Oesman dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.
Moh. Koesnoe. “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat.” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta: September 1995.
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Semarang: 2006.
Scholten, Paul. De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum (terj. Bernard Arief Sidharta), Bandung: 2003).
Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minin. Membangun Teori Hukum Indonesia. Yogjakarta: 2005.
CITA HUKUM PANCASILA SEBAGAI RUJUKAN EKSLUSIF PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL1
A. Pendahuluan
Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus dilaksanakan sejak
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Proklamasi
Kemerdekaan karena Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut
segenap tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan
Pancasila sebagai falsafah negara dan cita hukum bangsa Indonesia.2 Akan tetapi,
cita-cita ideal pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan
kondisi pada masa itu. Oleh karena itu, untuk mencegah kemungkinan kekacauan
hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat
sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan yang
bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan Pemerintah dan
kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD 1945. Politik hukum
(kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan dalam Peraturan Peralihan
UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi logis terhadap keberadaan segenap
tatanan hukum positif produk hukum kolonial. Berdasarkan politik hukum
(kebijakan) hukum dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum
produk kolonial Belanda kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah
Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan tatanan hukum produk kolonial
1 Judul asli makalah ini adalah Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan
Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum Dan Politik Hukum Nasional. disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara. Judul diubah semata-mata guna kepentingan pencetakan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada.
Belanda di zaman kemerdekaan adalah suatu politik hukum (kebijakan hukum)
peralihan yang bertujuan untuk mencegah kevakuman hukum. Dengan berdasarkan
kebijakan hukum yang dikemukakan di atas, tatanan hukum produk kolonial masih
tetap diberlakukan pascaproklamasi kemerdekaan dan sampai dengan sekarang
meskipun dengan melakukan berbagai penyesuaian.
Sisi positif dari politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan tersebut
adalah bahwa untuk sementara persoalan kemungkinan kevakuman hukum dapat
ditanggulangi. Namun, di sisi lain, ada segi kekurangannya yaitu bahwa
pembaharuan hukum secara menyeluruh yang bersifat nasional tidak pernah dapat
dilaksanakan sampai dengan sekarang meskipun pembaharuan hukum nasional itu
sesungguhnya merupakan tuntutan dan konsekuensi logis dari Proklamasi
Kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena
itu, sampai dengan sekarang, tatanan hukum positif produk kolonial Belanda masih
tetap diberlakukan meskipun hanya berkenaan dengan beberapa undang-undang
tertentu saja. Keberadaan berbagai produk hukum kolonial tersebut sudah barang
tentu harus segera diperbaharui supaya dapat menyesuaikan diri dengan dan
memenuhi perkembangan masyarakat.
Politik hukum yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk menyikapi
masa peralihan sebagaimana dikemukakan di atas juga berdampak terhadap
keberadaan tatanan hukum pidana positif. Situasi dan kondisi yang sama dengan
yang dikemukakan di atas juga terjadi dalam bidang hukum pidana. Sampai dengan
sekarang masih terdapat undang-undang di bidang hukum pidana produk kolonial
yang masih berlaku. Meski demikian, niat untuk melakukan pembaharuan hukum
pidana yang bersifat menyeluruh sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan para
akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Untuk hukum pidana materil, alasan
filosofis menjadi alasan utama (alasan mendasar) mengingat hukum pidana materil
yang berlaku sekarang sebagian masih merupakan produk hukum zaman kolonial
yang tentu saja berlatar belakang filosofis/ideologis yang sesuai dengan
Dalam konteks hukum pidana formil (hukum acara pidana), sebenarnya
pembaharuan hukum sudah pernah dan berhasil dilakukan pada tahun 1981 dengan
ditetapkannya KUHAP. KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) digadang-gadang
sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk
menyampingkan hasil pembaharuan hukum acara pidana tersebut ternyata selang
beberapa waktu, kelemahan-kelemahan KUHAP semakin nyata. Oleh karena itu,
gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana juga mulai disuarakan
oleh berbagai pihak. Untuk konteks hukum acara pidana (hukum pidana formal),
alasan penyalahgunaan kewenangan dan dan pelanggaran/pengabaian hak-hak
asasi oleh penegak hukum seringkali menjadi alasan yang mendorong perlu
dilakukan pembaharuan hukum acara pidana. Dengan perkataan lain, seperti
dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, hukum acara pidana yang berlaku
sekarang masih memiliki beberapa kekurangan dalam praktik sehingga perlu
dilakukan pembaharuan untuk mengikuti dan mengantisipasi perkembangan
masyarakat.3
Kelemahan KUHAP sebagaimana dikemukakan di atas akhirnya melahirkan
gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh.
Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana yang sedang dilaksanakan
sekarang, salah satu jabatan baru yang tidak terdapat dalam KUHAP diintrodusir
dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana masa depan yaitu
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu
jabatan baru dalam sistem KUHAP masa depan tersebut. Sebagai jabatan yang
baru, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan adopsi dari sistem hukum
negara lain. Sudah barang tentu, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut
tidak dapat secara serta merta diadopsi begitu saja dari sistem hukum acara pidana
negara lain tanpa pengkajian yang mendalam. Kajian yang mendalam terhadap
keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam
RUU-KUHAP yang baru perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik.
3 Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN,
Pengkajian terhadap eksistensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai
suatu jabatan baru dalam sistem hukum acara pidana dapat dilakukan secara
komprehensif dengan bertitik tolak dari berbagai cabang disiplin hukum seperti
Filsafat Hukum, Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatika Hukum) maupun Politik
Hukum. Di samping itu, berbagai metode pendekatan juga dapat dilakukan untuk
melakukan kajian seperti metode pendekatan filosofis, komparatif, kesisteman dan
lain-lain untuk melengkapi metode pendekatan normatif.
Pada kesempatan ini, kehadiran makalah yang disusun oleh Tim Penulis
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah dalam konteks dan
latar belakang serta perspektif sebagaimana dikemukakan di atas. Secara konkrit
dapat dikemukakan bahwa kehadiran makalah Tim Penulis Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini adalah dalam rangka menambah kajian
mengenai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang sudah dilakukan oleh
berbagai pihak. Makalah ini diharapkan dapat menawarkan kerangka berfikir yang
bersifat sistematis untuk menguji keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai suatu jabatan dalam RUU-KUHAP.
B.Pancasila Sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia Dan Asas-Asas Hukum Nasional
Titik tolak untuk melakukan pembahasan terhadap jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan tersebut harus dimulai dari
perspektif filosofis. Pembahasan secara demikian bertjuan untuk menguji landasan
filosofis jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut secara mendalam.
Dalam konteks ini, pertanyaan pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai
berikut. Apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam
RUU-KUHAP mempunyai landasan falsafah atau memiliki akar filosofis yang kuat
dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia? Dalam rangka menjawab pertanyaan
yang dikemukakan di atas, pembahasan tentang eksistensi jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan bertitik tolak dari landasan falsafah bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Apa sebab demikian? Hal itu karena landasan filosofis
nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat abstrak-umum tersebut tidak
dapat dipakai secara langsung untuk menguji kebasahan keberadaan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Ada proses berfikir yang harus dilakukan untuk dapat
menderivasi nilai-nilai cita hukum Pancasila supaya menghasilkan seperangkat
pokok-pokok pendirian atau asas-asas hukum yang lebih konkrit.
Dalam perspektif doktrin, Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum (Rechtsidee)
bangsa Indonesia.4 Hal itu mengandung arti bahwa para ahli dan atau akademisi
umunya bersepakat bahwa Pancasila adalah cita hukum bangsa Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia juga sudah dilegitimasi
secara politis dan yuridis. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum (cita hukum) sudah ditetapkan dalam undang-undang yang
mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Hal itu mengandung arti bahwa keberadaan dan fungsi Pancasila dalam
konteks kehidupan hukum di Indonesia yakni sebagai cita hukum bangsa Indonesia
sudah memiliki dasar pijakan yang kuat baik secara akademis maupun secara
sosiologis, politis dan yuridis,
Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang
berlaku di Indonesia. Dalam kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum,
Pancasila menjadi sumber hukum yang terakhir dan tertinggi.5 Sebagai cita
hukum, kedudukan Pancasila adalah di atas segenap tatanan hukum positif yang
berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, segenap tatanan hukum
positif yang terdapat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalir dari sumber
yang satu dan yang tertinggi yakni cita hukum Pancasila. Sebagai konsekuensinya,
norma-norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam cita hukum Pancasila. Jika sekiranya terdapat tatanan hukum
4 Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI-IV, Disertasi, Depok, 1990, hlm. 307 dan seterusnya.
5 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta,
positif yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila dengan
sendirinya tatanan hukum positif yang demikian tidak memiliki landasan (pijakan)
filosofis sehingga harus disingkirkan dari tatanan hukum positif. Dalam konteks
pembaharuan hukum acara pidana, prinsip yang dikemukakan di atas sudah barang
tentu juga berlaku. Artinya, norma-norma hukum acara pidana yang akan dibentuk
oleh badan pembentuk undang-undang harus bersumber dari dan selaras dengan
cita hukum Pancasila.
Dalam kedudukan sebagai cita hukum (sumber dari segala sumber hukum),
Pancasila melakukan peranan sebagai pemberi tuntunan terhadap keberadaan
tatanan hukum positif. Dalam istilah Abdul Hamid S. Attamimi, fungsi Pancasila
sebagai cita hukum adalah sebagai bintang pemandu terhadap segenap tatanan
hukum yang terdapat di Indonesia.6 Bintang pemandu dalam istilah Hamid S.
Attamimi di atas mengandung arti bahwa arah perkembangan hukum dan
pembaharuan hukum nasional termasuk pembaharuan hukum acara pidana juga
harus dipandu oleh cita hukum Pancasila. Fungsi pemandu dan penunjuk arah
perkembangan segenap tatanan hukum positif dilakukan oleh setiap cita hukum
dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Fungsi seperti itu juga
dilakukan oleh cita hukum Pancasila terhadap segenap tatanan hukum positif yang
berlaku di Indonesia termasuk tatanan norma hukum acara pidana. Sebagai cita
hukum, Pancasila berfungsi untuk membimbing dan memandu arah perkembangan
tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia supaya segenap tatanan hukum
positif itu mengarah kepada suatu tujuan ideal segenap bangsa Indonesia yaitu cita-cita “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Arah perkembangan dan tuntunan terhadap tata hukum positif dilakukan
oleh cita hukum Pancasila dalam 2 (dua) sisi sekaligus. Sebagai cita hukum,
Pancasila adalah batu penguji tatanan hukum positif. Sekaligus dengan fungsi
sebagai batu penguji, cita hukum Pancasila juga memberikan tuntunan terhadap
arah perkembangan tatanan hukum positif. Dalam hubungan dengan kedua fungsi
cita hukum tersebut, Abdul Hamid S. Attamimi mengemukan bahwa fungsi yang
dijalankan oleh cita hukum termasuk cita hukum Pancasila dilakukan dari 2 (dua)
sisi sekaligus yaitu (a) menguji hukum positif yang berlaku dan (b) mengarahkan
hukum positif yang berlaku supaya hukum positif tersebut mengarah kepada
sesuatu tujuan.7
Cita hukum Pancasila melakukan kedua macam fungsi yang disebut di atas
dengan bertitik tolak dari atau berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya.
Nilai-nilai cita hukum berfungsi sebagai kiblat (penunjuk arah) dan sekaligus sebagai
kriteria penilai (batu penguji) bagi tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia termasuk hukum acara pindana yang menjadi pokok pembicaraan pada
saat sekarang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila
masih bersifat abstrak-umum. Nilai-nilai cita hukum Pancasila tersebut tentu saja
tidak dapat secara langsung memberikan pengarahan terhadap tatanan hukum acara
pidana positif yang berlaku maupun yang hendak dibentuk oleh pembentuk
undang-undang (hukum acara pidana yang dicita-citakan atau ius constituendum).
Hukum positif berkenaan dengan atau menyentuh alam konkrit-individual yang
berbeda dari alam nilai-nilai dalam cita hukum yang bersifat metafisis. Untuk dapat
memberikan arahan terhadap perkembangan dan pembaharuan hukum positif
termasuk pemabahruan hukum acara pidana, nilai-nilai ideal dalam cita hukum
Pancasila yang bersifat abstrak-umum terlebih dahulu harus diolah. Dari proses
pengolahan tersebut kemudian dapat diderivasi (diturunkan atau dihasilkan)
seperangkat prinsip-prinsip hukum (pokok-pokok pendirian hukum) atau asas-asas
hukum yang sifatnya lebih konkrit.
Asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat
diderivasi (diturunkan) dari cita hukum Pancasila? Cita hukum Pancasila
mengandung seperangkat nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan yang hendak dicapai
oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari perangkat
nilai-nilai ideal yang terdapat dalam cita hukum Pancasila dapat diderivasi
berbagai macam prinsip-prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau
asas-asas hukum. Prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang diderivasi dari
cita hukum Pancasila itu kemudian menjadi pedoman atau pegangan dalam
menetapkan suatu garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional).8
Dalam konteks perbincangan tentang Pembaharuan Hukum Acara Pidana
dan keberadaan jabatan baru yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
sistem Hukum Acara Pidana masa depan tidak perlu semua asas-asas hukum yang
diderivasi dari cita hukum Pancasila harus dibicarakan. Menurut pandangan Tim
Penulis, ada 3 (tiga) prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang relevan
untuk dibicarakan lebih lanjut dalam hubungan dengan keberadaan jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut. Ketiga macam prinsip-prinsip hukum,
pokok-pokok pendirian hukum atau asas-asas hukum yang dimaksud adalah (a) asas
negara hukum, (b) asas demokrasi dan (c) asas pembatasan kekuasaan (pembatasan
kewenangan).
C. Asas-Asas Hukum Dan Kebijakan Hukum Nasional
Apa sebab ketiga prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau
asas hukum yang dikemukakan di atas harus menjadi perspektif dalam
memperbincangkan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu
jabatan dalam sistem hukum acara pidana masa depan? Dari perspektif Hukum
Tata Negara, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan ketatanegaraan
dan merupakan bagian dari organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.
Setiap jabatan dalam organisasi negara Republik Indonesia harus diuji sesuai atau
tidak dengan asas-asas hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika
keberadaan jabatan tersebut dapat lolos dari pengujian terhadap asas-asas hukum
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sendirinya kehadiran jabatan tersebut
dapat diterima dalam tatanan organisasi jabatan. Namun, pengujian secara
langsung terhadap asas-asas hukum yang dikemukakan di atas tidak dapat
dilalukan karena asas-asas hukum tersebut masih bersifat abstrak-umum meskipun
sudah lebih konrkit dari nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila.
Asas-asas hukum negara hukum, asas demokrasi dan asas pembatasan
kekuasaan (pembatasan kewenangan) sebagai asas-asas hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara belum dapat secara langsung dipakai sebagai patokan
untuk menguji keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Asas-asas
hukum tersebut harus diproses atau diolah lebih dahulu untuk dapat memahami
makna hakiki dari asas-asas hukum tersebut supaya kemudian dapat dihasilkan
gambaran pemahaman dan atau pengertian yang lebih jelas tentang asas-asas
hukum tersebut. Pemahaman terhadap asas-asas hukum secara baik akan dapat
menghasilkan seperangkat prinsip atau pokok pendirian yang lebih konkrit.
Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian dapat dipakai sebagai pedoman dalam
merumuskan kebijakan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh dan
dalam melakukan pengaturan terhadap jabatan-jabatan ketatanegaraan yang
dibentuk dalam sistem hukum acara pidana tersebut seperti halnya keberadaan
jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam
lingkungan organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.
Makna ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas harus dielaborasi
lebih dahulu supaya dapat diungkap prinsip-prinsip hukum yang lebih konkrit yang
terkandung dalam ketiga asas hukum tersebut. Prinsip-prinsip hukum yang
diturunkan (diderivasi) dari ketiga asas hukum yang disebut di atas akan
menghasilkan seperangkat pokok pendirian yang lebih konkrit yang dapat
dijadikan sebagai pedoman (pegangan) dalam merumuskan kebijakan hukum
berkenaan dengan pembaharuan hukum acara pidana dan menguji keberadaan
jabatan baru dalam KUHAP masa depan yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Jika ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas dielaborasi akan dapat diungkap
makna-makna sebagai berikut.
Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia
kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat pada para
penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk kepada hukum.9
Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan yang melekat pada suatu jabatan
termasuk jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk
kepada hukum. Inilah makna supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum
atau pokok pendirian atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang harus selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum
acara pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip ini
juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara harus tunduk
kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan dengan maksud untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara khususnya
jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam hal ini.
Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung
makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan
tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sumber dari
segenap kewenangan yang melekat kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas
kedaulatan rakyat ini lebih jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian
kewenangan kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan
adalah untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan
dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk melayani
dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang
tertinggi (kedaulatan).
Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang diderivasi
dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara
Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada suatu jabatan tertentu
bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak). Dalam perspektis asas
pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak dikenal kekuasaan yang bersifat
mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi supaya tidak membuka peluang terhadap
kekuasaan yang sewenang-wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada
akhirnya akan melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu
sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik
Indonesia.
D.Pokok-Pokok Dalam Pendirian Politik Hukum Nasional Berkenaan Dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Suatu Jabatan Ketatanegaraan
Makna dari asas-asas hukum yang dikemukakan di atas merupakan
pokok-pokok pendirian (prinsip) yang berfungsi sebagai pedoman dalam merumuskan
suatu kebijakan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana
pada umumnya dan pembentukan dan pengaturan jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam KUHAP masa depan. Dengan perkataan lain, pokok-pokok
pendirian yang terkandung dalam makna asas-asas hukum yang dikemukakan di
atas seharusnya menjadi pedoman atau penuntun dalam menetapkan suatu garis
kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan
hukum acara pidana nasional termasuk dalam hal melakukan pengaturan terhadap
berbagai hal yang berkenaan dengan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dengan demikian, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam asas-asas
hukum yang dikemukakan di atas menjadi dasar untuk menetapkan suatu kebijakan
pembaharuan hukum acara pidana nasional. Dengan berdasarkan dan atau
berpedoman pada garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) yang
ditetapkan berdasarkan asas-asas hukum yang dikemukakan di atas dilakukanlah
pengaturan terhadap jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa
Pendahuluan. Oleh karena itu, berarti bahwa keberadaan jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan harus diuji terhadap
prinsip-prinsip yang melandasasi garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional)
dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana termasuk pengaturan jabatan baru
seperti Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.
Sesuai dengan atau bertitik tolak dari pokok-pokok pendirian yang
dikemukakan di atas dapat dikemukakan pandangan dan sikap mengenai kehadiran
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana
keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan dengan
catatan-catatan sebagai berikut.
Pertama, keberadan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan
dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang
keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan
dalam perspektif Asas Negara Hukum yang intinya adalah supremasi hukum. Dari
perspektif asas negara hukum, kewenangan yang dimiliki oleh Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam KUHAP masa depan harus ditundukkan
kepada hukum. Dengan demikian, pengaturan kewenangan jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluam tersebut harus secara sedemikian rupa dan dilakukan
secara ketat sehingga dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenang-wenangan. Jangan sampai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
malah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.
Kedua, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum
Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam perspektif Asas
Demokrasi. Dari perspektif asas demokrasi tersebut, Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus menjadi pengayom hak-hak rakyat. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus melindungi hak hak rakyat dan berupaya mencegah jangan
sampai hak-hak rakyat diabaikan atau dilanggar oleh penegak hukum yang lain.
Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan kepada jabatan baru yang disebut
sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem hukum acara pidana masa
depan harus berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Dengan demikian, kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur
secara detail untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang
berpotensi melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan politis. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa keberadaan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan adalah dalam rangka mengawal hak-hak rakyat sebagai
Ketiga, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum
Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang diposisikan dalam perspektif
asas pembatasan kekuasaan atau pembatasan kewenangan. Kewenangan jabatan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur dan dibatasi secara baik. Pengaturan
kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus secara detail dan rinci supaya
tidak membuka peluang menjadi jabatan yang sewenang-wenang. Pemberian
kiewenangan diskresi yang bersifat subjektif kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus sedapat mungkin dihindari karena pengalaman menunjukkan
bahwa para penegak hukum yang memegang kewenangan diskresi subjektif sering
menyalahgunakan kewenangannya dengan akibat pelanggaran terhadap hak-hak
rakyart. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan diskresi yang bersifat
objektif kepada jabatan-jabatan termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan lebih
tepat daripada diskresi subjektif untuk menutup peluang kemungkinan
penyalahgunaan kewenangan.
E.Penutup
Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbasih pemikiran dalam
rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam konteks jabatan baru yang
disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Atas segala kekurangan dan
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKILNYA MERUJUK PANCASILA DAN UUD 1
Abstract
Normativisasi process (positivisasi) values into legal norms called
legal establishment. Establishment of law made ruler (state) with
reference to the ideal values in the destination country mixed with
real factors such as the development of society, technology,
international development, and so on. Therefore, the process of
establishing the rule of law is a real concrete cultural processes because the law is man’s work that reflects your taste, reason and human initiative.
Keywords: Positivism, impeachment, constitution
Abstrak
Proses normativisasi (positivisasi) nilai ke dalam norma-norma
hukum yang disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum
dibuat oleh penguasa (negara) dengan mengacu pada nilai-nilai ideal
yang menjadi tujuan suatu negara, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
riil seperti perkembangan masyarakat, teknologi, pembangunan
internasional, dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan
aturan hukum adalah proses budaya nyata karena hukum adalah karya
manusia yang mencerminkan rasa manusia, alasan dan inisiatif
manusia.
Kata Kunci : Positvisme, impeachment, konstitusi
A.Pendahuluan
Kehadiran norma hukum dalam kenyataan sesungguhnya menampilkan
aneka ragam wajah (multi dimensi) sehingga dapat didekati dari berbagai
perspektif. Dari perspektif filosofis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang