METODE PENELITIAN
3.10. Masalah Etika
- Persetujuan setelah penjelasan (Informed consent) dari orang tua
BAB 4 HASIL
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan 064961 Kecamatan Medan Maimun, Kelurahan Kampung Baru, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara. Anak sekolah dasar yang dibagikan kuisioner untuk skrining kelainan atopi sebanyak 705 anak, dimana 120 anak diantaranya tidak mengembalikan kuisioner. Dari 585 anak yang mengembalikan kuisioner, terdapat 115 anak yang memiliki riwayat atopi. Dari 115 anak tersebut dilakukan pengambilan sampel secara consecutive
yaitu 48 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan 48 anak
dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang. Selanjutnya kepada kedua
kelompok tersebut kemudian dibagikan kuesioner ISAAC untuk mendeteksi kelainan asma. Hasilnya diperoleh dari 48 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang didapati 14 anak (29,16%) dengan hasil positif kelainan
asma. Sedangkan dari 48 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang
Gambar 4.1 Profil Penelitian 705 anak dibagikan kuisioner
585 anak mengembalikan kuisioner
120 anak tidak mengembalikan
kuesioner
115 anak dengan riwayat atopi
Kelompok I : 48 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang
Kelompok II : 48 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang
Kuesioner ISAAC Kuesioner ISAAC
Tabel 4.1. Karakteristik dasar Karakteristik Kelompok Jumlah Saudara Kandung < 3 orang n=48 Kelompok Jumlah Saudara Kandung ≥ 3 orang n=48 Jenis kelamin, n (%) Laki-laki 23 (47,9) 21(43,8) Perempuan 25 (52,1) 27(56,2)
Umur (tahun), rerata (SD) 9,56 (0,68) 8,98(0,98)
Berat Badan (kg), rerata (SD) 24,96 (4,61) 25,29(8,63)
Tinggi Badan (m), rerata (SD) 129 (0,09) 127 (0,08)
Dalam tabel 4.1 ditampilkan karakteristik responden yang mengikuti penelitian ini. Kedua kelompok responden sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan rerata umur 9,56 tahun dan 8,98 tahun, masing-masing
untuk kelompok responden dengan saudara kandung < 3 orang dan ≥ 3
orang. Rerata berat badan adalah 24,96 kg dan 25,29 kg. Rerata tinggi badan kedua kelompok responden adalah masing-masing 129 dan 127 cm.
Tabel 4.2 . Hubungan jumlah saudara kandung dan kejadian asma
Jumlah Saudara Kandung Asma P
Positif n(%) Negatif n(%)
< 3 orang 14 (73,5) 34 (44,2) 0,04
≥ 3 orang 5 (26,5) 43 (55,8)
Dari hasil pada tabel 4.2 terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah saudara kandung dan kejadian asma (p = 0,04).
Tabel 4.3 Hubungan urutan kelahiran anak dan kejadian asma Anak ke Asma P Positif n(%) Negatif n(%) Satu 10 (52,6) 3 (3,9) 0,0001 Dua 8 (42,1) 16 (20,8) Tiga 1 (5,3) 25 (32,5) Empat 0 (0) 19 (24,7) Lima 0 (0) 9 (11,7) Enam 0 (0) 5 (6,5) Total 19 77
Dari hasil pada tabel 4.3 diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran anak dan kejadian asma (p = 0,0001).
Tabel 4.4. Hubungan riwayat imunisasi DPT dengan kejadian asma
Tabel 4.4 menunjukkan kalau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat imunisasi DPT dengan kejadian asma (p = 0,681).
Riwayat Imunisasi, (DPT) Asma Nilai p Positif n(%) Negatif n(%) Ya 11 (57,9) 38 (49,4) 0,681 Tidak 8 (42,1) 39 (50,6) Total 19 77
Tabel 4.5. Hubungan kepemilikan hewan peliharaan dengan kejadian asma
Berdasarkan tabel 4.5 dijumpai tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan hewan peliharaan terhadap kejadian asma (p = 0,842).
Tabel 4.6. Hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian asma
Berdasarkan hasil pada tabel 4.6 diperoleh bahwa riwayat pemberian ASI memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian asma (P = 0,001)
Hewan peliharaan, (anjing, kucing)
Asma Nilai p Positif n(%) Negatif n(%) Anjing Kucing 3 (15,7) 4 (21) 10 (12,9) 14 (73,68) 0,842 Tidak ada 12 (63,2) 53 (68,8) Total 19 77
Riwayat pemberian ASI eksklusif Asma Nilai p
Positif n(%) Negatif n(%) Ya 2 (10,5) 54 (70,1) 0,001* Tidak 17 (89,5) 23 (29,9) Total 19 77
Tabel 4.7. Hubungan paparan polusi dengan kejadian asma
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara paparan polusi dengan kejadian asma (p = 0,217) berdasarkan hasil pada tabel 4.7
Paparan Polusi Asma Nilai p Positif n(%) Negatif n(%) Ada 8 (42,1) 47 (62,1) 0,217 Tidak ada 11 (57,9) 30 (37,9) Total 19 77
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada studi ini ditemukan prevalensi asma pada anak laki-laki sebesar 52,6% dan 47,4% pada anak perempuan. Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan prevalensi asma pada sampel penelitian.
Prevalensi asma di negara maju terus meningkat dalam dua dekade terakhir. Pada dewasa diperkirakan prevalensinya mencapai 6% sedangkan prevalensi pada anak sekitar 10%. Di Indonesia prevalensinya pada tahun 2002 dijumpai sekitar 3% pada anak usia 6-7 tahun dan 5,2% di usia 13-14 tahun. Pada kelompok usia dibawah 18 tahun prevalensi asma ditemukan mencapai angka tertinggi dengan usia diatas lima tahun memiliki prevalensi dan serangan asma yang lebih sering daripada kelompok usia dibawah lima
tahun sesuai dengan data asma di AS tahun 2000.8
Sejumlah studi sebelumnya menyatakan prevalensi asma pada anak laki-laki sampai dengan usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Sebuah studi lain di tahun 2001 juga sependapat dengan menyatakan rasio anak laki-laki lebih tinggi antara 3:2 pada usia 6-11 tahun hingga 8:5 di usia 12-17 tahun. Namun, studi di Benua Amerika belakangan
ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi asma berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki (51,1/1000) dan perempuan (56,2/1000). 8
Data prevalensi asma diseluruh dunia sangat bervariasi. Terdapat perbedaan prevalensi antar negara dan antar daerah yang tidak dapat dipastikan apakah timbul akibat perbedaan prevalensi atau akibat perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan. Berbagai penelitian tentang asma yang ada saat ini umumnya menggunakan definisi penyakit asma yang berbeda sehingga sulit untuk membandingkan hasil antar penelitian tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, dilaksanakan penelitian multisentra dengan menggunakan definisi asma yang seragam dan kuesioner yang standar yaitu studi yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in
Children (ISAAC).8
Bagaimana jumlah saudara kandung dapat berpengaruh terhadap prevalensi asma pada anak masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Namun diduga sesuai dengan konsep hygiene hypothesis yang mengatakan paparan terhadap infeksi dimasa usia anak dini akan menimbulkan pengaruh terhadap sel T regulator dan merubah keseimbangan T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Paparan terhadap mikroba akan meningkatkan respons Th1
dan sebaliknya akibat sistim regulasi yang berlawanan akan menurunkan respons Th2. Selama ini diketahui kalau sel Th1 berhubungan dengan
respons terhadap infeksi dengan memproduksi interferon-∂, sementara sel
Th2 secara umum lebih berhubungan dengan respons imun atopi dengan menginduksi produksi IgE dan maturasi sel mast, basofil dan eosinofil.1,21
Berkurangnya paparan terhadap mikroba dan infeksi merupakan faktor penyebab utama meningkatnya insidens atopi. Melalui sejumlah penelitian epidemiologi ditemukan adanya efek protektif agen infeksius dan produk mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Berbagai produk mikroba dan infeksi yang telah diteliti dan dijumpai berkaitan dengan menurunnya kejadian alergi adalah infeksi campak, malaria, virus hepatitis A, Helicobacter pylori, flora normal usus, endotoksin lingkungan
serta kecacingan.13 Peningkatan kebersihan individu serta lingkungan yang steril dan higiene diyakini menurunkan kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga sehingga akan meningkatkan terjadinya alergi.6
Studi ISAAC fase I yang melibatkan 56 negara menemukan
prevalensi asma tertinggi adalah di United Kingdom (UK) sedangkan
prevalensi asma terendah dijumpai pada sejumlah negara berkembang. Temuan ini sesuai dengan kenyataan tingginya prevalensi asma di negara maju dan kemungkinan adanya efek protektif infeksi terhadap alergi khususnya asma pada negara berkembang dengan angka penyakit infeksi yang tinggi.8
Studi ini mencoba menjelaskan hubungan antara prevalensi asma pada anak dengan riwayat atopi terhadap jumlah saudara kandung yang dimiliki. Pada penelitian ini ditemukan hubungan antara prevalensi asma dengan jumlah saudara kandung, dimana 14 dari 48 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang ditemukan memiliki gejala asma berdasarkan kuesioner ISAAC (P= 0.04).
Selain itu diketahui juga kalau terdapat hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran anak dan kejadian asma (p = 0,0001). Hal ini juga dijumpai pada studi sebelumnya di Inggris yang menemukan penurunan reaktivitas uji tusuk kulit dan kadar IgE tali pusat seiring dengan
bertambahnya urutan kelahiran. Kadar IgE tali pusat ≥0.5 kilounit/liter
dijumpai pada sejumlah 16,5% anak pertama di Inggris, namun pada anak urutan ketiga dan seterusnya dijumpai hanya sejumlah 8%.23
Mekanisme lain yang mungkin dapat menjelaskan hubungan asma dan alergi dengan jumlah saudara yang dimiliki adalah melalui perubahan kadar IgE, respon atopi dan toleransi imun seiring dengan kehamilan. Sebuah studi menyatakan tiap kehamilan yang dialami akan menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada keturunan berikutnya untuk menjadi atopi.22 Studi di Inggris yang menilai kadar IgE tali pusat pada bayi baru lahir menemukan adanya
penurunan kadar IgE seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran. Hal ini mengindikasikan pengaruh jumlah saudara kandung terhadap kejadian alergi sudah dimulai sejak masa in utero.23
Pada penelitian ini didapati 11 anak dengan riwayat imunisasi DPT terbukti menderita asma berdasarkan kuesioner ISAAC namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keduanya (P= 0.68).
Pada hygiene hypothesis sejumlah faktor seperti imunisasi, hewan
peliharaan, pemberian ASI dan paparan polusi dikatakan berpengaruh terhadap timbulnya alergi. Hubungan antara imunisasi dan terjadinya alergi sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.24 Studi di Jepang terhadap 82 anak usia 0-3 tahun menemukan vaksinasi DPT memiliki efek meningkatkan kejadian atopi dikemudian hari. Hasil ini tidak didukung oleh sejumlah studi lain. Sebuah studi lain yang juga dilakukan di Jepang, sebaliknya menyatakan vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) dapat menghambat perkembangan kejadian atopi secara temporer.25
Studi di Denmark menemukan vaksinasi pertusis pada bayi tidak berhubungan dengan kejadian alergi di usia 7 tahun. Demikian jugadengan
studi yang membandingkan risiko eczema dan wheezing berulang antara
dengan bayi yang tidak mendapat vaksinasi di Belanda juga menemukan tidak ada perbedaan yang bermakna.26
Pada studi ini tidak didapati hubungan yang bermakna antara kepemilikan binatang peliharaan (anjing, kucing) dengan prevalensi asma dimana hanya terdapat 7 anak yang memiliki binatang peliharaan (anjing,kucing) terbukti positif asma berdasarkan kuesioner ISAAC (P= 0.842).
Kontak yang erat dengan hewan peliharaan seperti anjing dan kucing diyakini memiliki efek protektif terhadap terjadinya penyakit alergi. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan adanya peningkatan sekresi IL-10 dan IL-13 serta penurunan sensitisasi alergi dan dermatitis atopi pada anak yang terpapar dengan hewan peliharaan anjing saat bayi.27 Sebuah studi di New Zealand menemukan interaksi yang sinergis antara paparan terhadap anjing dan kucing yang berhubungan dengan rendahnya risiko atopi pada anak dan dewasa.28
Pada studi ini ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara prevalensi asma dengan riwayat pemberian ASI eksklusif (p= 0,001). Hubungan pemberian ASI dengan kejadian alergi telah banyak dibahas dalam berbagai studi. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan akan banyak memberikan pengaruh pada respons imun. Sejumlah studi
menyatakan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan akan mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak.29 Studi ini didukung oleh sebuah studi di Swedia yang menemukan bahwa ASI eksklusif mencegah berkembangnya penyakit alergi seperti dermatitis atopi, asma, dan rhinitis alergi.30 Namun sebuah studi lain terhadap 200 bayi baru lahir sebaliknya menemukan bahwa
pemberian ASI eksklusif ≥ 9 bulan berhubungan dengan peningkatan
dermatitis atopi dan gejala hipersensitifitas terhadap makanan pada anak.31 Dan sebuah studi di Denmark menyatakan tidak ada pengaruh menyusui secara eksklusif ataupun tidak terhadap perkembangan penyakit alergi.32
Pada penelitian ini sejumlah 8 anak yang mengalami paparan polusi dijumpai memiliki hasil positif asma berdasarkan kuesioner ISAAC namun tidak didapati adanya hubungan yang bermakna antara keduanya (P= 0.217). Paparan polusi diduga memiliki pengaruh terhadap timbulnya penyakit alergi. Studi yang menilai hubungan paparan polusi dan asap rokok terhadap kejadian alergi menemukan kalau paparan polusi dan asap rokok dimasa prenatal adalah faktor risiko terjadinya wheezing dan asma pada
anak di usia prasekolah.33
Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan adanya riwayat individu atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.34 Pada studi ini digunakan riwayat
keluarga (trace card) sebagai acuan penilaian risiko atopi, dimana sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) dan European
committees riwayat atopi pada keluarga dapat digunakan untuk identifikasi
bayi / anak risiko tinggi yang layak mendapat pencegahan alergi.
Keterbatasan pada studi ini adalah tidak digunakannya pemeriksaan standar emas untuk memastikan diagnosis asma pada anak yaitu dengan spirometri, sehingga kemungkinan kesalahan diagnosis dapat terjadi.
Studi lebih lanjut dengan pemantauan jangka panjang yang menyeluruh serta menggunakan pemeriksaan yang lebih lengkap seperti, spirometri, peak flow meter dan uji tusuk kulit dibutuhkan untuk memastikan diagnosis asma dan alergi dalam rangka menelusuri hubungan asma dan alergi pada anak dengan jumlah saudara kandung yang dimiliki.
BAB 6