• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Sejarah Perkembangan Hukum Tanah di Indonesia

1. Pada Massa Hindia Belanda

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.

Friedrich Karl von Savigny mengatakan

bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke

34H.Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria

Indonesia Dalam Prespektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, 2010,

55

dalam banyak masyrakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-nya sendiri yang berbeda menurut tempat dan zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di masa lampau.35

Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, didalam masyarakat adat telah terdapat penguasaan dan pemilikan tanah yang diatur sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Setelah Belanda menjajah bangsa Indonesia, Belanda mendatangkan peraturan hukum pertanahan yang berlaku di Negaranya ke Indonesia, yang kemudian diberlakukan terhadap

35John Gilissen, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum :

56

masyarakat Indonesia. Pembahasan mengenai hukum tanah zaman penjajahan Belanda, tidak terlepas dari kebijakan sistem hukum pertanahan yang terdapat di Negara Belanda itu sendiri. Hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan tetap mengacu pada ketentuan peraturan hukum tanah, yaitu

Agrarische wet 1870.36

Fase monopoli pemerintah Hindia Belanda dibidang Pertanahan, sangat merugikan kaum pengusaha, pengusaha tidak biasa mengunakan sewah untuk usaha di bidang perkebunan Atas protes kaum pengusaha maka diambil kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yakni, boleh menyewah tanah dari pemerintah. Kebijakan ini paling dirasa tidak memberikan keuntungan bagi pengusah. Walau diberikan kebijakan bahwa pengusaha boleh menyewa tanah rakyat. Kebijakan inipun tidak biasa dilaksanakan dengan baik pengusaha memberi protes untuk mengubah politik pemerintah menjadi

36

57

persaingan bebas Yang melatar belakangi lahirnya

Agrarische wet dengan satu yang popular adalah Domain Verklaring Pengusaha boleh menyewa tanah

perkebunan kebijakan selanjutnya pengusaha boleh mengadakan perjanjian dengan masyarakat harus menanam paksa lahirlah sistem hukum monopoli yang mempelopori Agrarische wet munculah tanah pengusaha.37

Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum Agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum Agraria barat. Ide awal dikeluarkanya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin. Tujuan dikeluarkannya Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan

37

58

hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.38

Tujuan utama diberlakunya Agrarische wet (AW) ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia – Belanda. Bentuk hak yang diberikan oleh pemerintah Hindia – Belanda. kepada pengusaha adalah dengan hak

Erfpacht. Dalam Pasal 720 dan 721 KUHperdata

diyatakan bahwa Erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam Eigendom atas tanah. Dengan diberikannya hak erfpacht kepada pengusaha oleh Pemerintah Belanda, menurut Statisch

Jaaroverzicht, pada tahun 1940 luas tanah yang

38Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik atas Tanah bagi Bangsa

Indonesia di Tinjau dari Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama,

59

diberikan dengan hak erfpacht adalah lebih dari 1.100.000 hektar kepada lebih dari 2.200 pengusaha. Tanah yang disewakan kepada pengusaha perkebunan di Jawa (termasuk tanah swapraja ) seluas 15.000 kepada 200 pengusaha.39

Politik hukum dari berlakunya Agrarische Wet di Hindia – Belanda adalah untuk membuka kemungkinan dan membuka jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Agrarische wet membuka peluang bagi para pengusaha swasta untuk mendapatkan tanah yang masih merupakan hutan dari pemerintah. Tanah tersebut kemudian dijadikan perkebunan dengan hak

Erfpacth yang jangka waktunya biasa mencapai 75

tahun. Dengan dijadikan perkebunan hak Erfpacth,

Agrarische wet juga membuka peluang untuk

pengunaan tanah milik rakyat dengan sistem sewa. Dengan ditetapkannya Agrarische wet, maka pemilik modal besar asing bangsa Belanda maupun Eropa

39

60

lainnya mendapatkan kesempatan luas untuk berusaha di perkebunan– perkebunan Indonesia. Sejak itu pula keuntungan yang besar dari expor tanaman perkebunan dinikmati modal asing, sebaliknya bagi rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang dalam.40

Masa Agrarische Wet konflik pendekatan antara golongan Liberal dan Golongan Konservatif di Belanda mengakibatkan raja mengeluarkan intruksi pada Gubernur Jendral utuk malakukan suatu survey di Jawa, pada tahun 1870 (hasil survey tanah di Jawa belum disusun), pemerintah Belanda mengeluarkan

Agrarische Wet yang isinya menekankan pada dua hal:

yang pertama dimungkinkannya peusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan diakuinya eksistensi tanah-tanah pribumi atas hak adat mereka. Sedangkan yang kedua, Sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Jawa yang dipelopori kaum liberal. Latar belakang Agraria (Agrarische

Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah

40

61

mengambil alih tanah rakyat politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju tanam paksa di Jawa sambil sekaligus meraup keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan sejumlah perusahaan swasta.41

Agrarische wet hanya berlaku di Jawa dan

Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 yang berbunyi” dengan tidak mengurangi berlakunya ketenyuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische wet, tetap diperahankan asas semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah

Domein (milik) Negara.” ini dikenal dengan sebagai Domein varklaring (pernyataan domein) semula juga

berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung diluar jawa dan

41Winahyu Herwiningsih, Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Di Indonesia, FE UI, Jakarta, 1997, h .21.

62

madura, dengan suatu ordonansi yang diundanglah dalam S.1875-119.42

Ketentuan Agrariasche wet pelaksanaanya

diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantara yang perlu dibahas adalah suatu yang dikenal dengan sebutan Agrarische wet. Ini diundangkan dalam S.1870-118. Telah ketahui bersama bagaimana sejarah lahirnya landasan hukum Agraria nasional termasuk sejarah dari terbentuknya UUPA. Salah satu point penting dari UUPA adalah mencabut “Domein Verklaring” yang merupakan pelaksanan dari hukum Agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut “Agrarische wet” (Staatsblad 1870 No. 55).43

Teori Domein ini menciptakan hak-hak barat tertentu, seperti hak eigendom, hak Opstal dan hak

Erfpacht, namun juga membiarkan hak-hak adat terus

42Winahyu Herwiningsih,Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Di Indonesia, Op.Cit, h.42.

43Judohusodo, Siswono, Rumah Untuk Seluruh Rakyat,

63

berlanjut sehingga di Jawa khususnya terdapat bermacam-macam hak yaitu hak milik adat, hak milik individu, hak milik yang didasarkan pada Agrarische

eigendom, hak milik yang diberikan oleh pemerintahan Belanda pada pribumi, hak milik kerajaan hak milik sewa, membangun mengusahakan hak-hak milik orang lain serta hak-hak atas tanah pemerintah yang dikuasai oleh orang-orang asing Asia (China yang berlokasi di Jakarta, Karawang dan Bekasi) Dalam praktek pelaksanaan Perundang-undangan pertanahan Domein verklaring, yang berfungsi:44

Sebagai landasan hukum begi pemerintah yang diwakili Negara sebagai memilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHperdata, seperti hak Efparth, hak Opstal dan lain-lainya. Dalam rangka

Domein verklaring, pemberian tanah dengan

hak Eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah. Dibidang pembuktian pemilikan.

44R Soepartono, Undang – undang Pokok Agraria Dalam Praktek, UI Pres, Jakarta, 1986, h.23.

64

Dengan adanya Domein verklaring, kedudukan rakyat Indonesia yang memiliki tanah berada pada pihak yang lemah karena hampir semua tanah tersebut tidak memiliki tanda bukti kepemilikan sertifikat, sehingga secara yuridis formal tanah–tanah tersebut menjadi Domein (milik) Negara. Rakyat Indonesia (Pribumi) yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau penggarap saja dengan membayar pajak atas tanah.

Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang pada awalnya melalui politik dagang merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan– kepentingan atas segala sumber–sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai sengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.45

45R Soepartono, Undang – undang Pokok Agraria Dalam Praktek,

65

Pengaturan masalah pengambilan tanah untuk kepantingan umum di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini dikenal adanya prosedur pencabutan hak prosedur (pembebasan hak atas tanah diatur dalam dua peraturan). Peraturan pertama yang termuat didalam

Gouvernements besluit (Keputusan

Gubermen/Pemerintah) tanggal 1 Juli 1927 Nomor 7 (Bijblad Nomor 11372 ), dan yang termuat di dalam

Gouvernements besluit (Keputusan

Gubernemen/Pemerintah) tanggal 8 Januari 1332 Nomor 23 ( Bijblad Nomor 12746 ),46 sedangkan peraturan kedua adalah Onteignings Ordonnantie yang termasuk didalam Staatsblaad 47 Nomor 574 1920.48

Peraturan perundang–undangan yang pertama, mengatur tentang pembebasan tanah yakni mengatur

46 Ibid, h.87

47Staatsblad adalah tempat mewartakan Undang – Undang zaman

Penjajahan Belanda di Indonesia. Sering disingkat „ Stb ‟ selepas Indonesia merdeka dan menggubal perundangannya sendiri stb ini dikenal dengan Lembaran Negara ( LN ) yang berfungsi sebagai tempat mewartakan Undang – undang.

48 R Soepartono,Undang – undang Pokok Agraria Dalam Praktek,

66

tentang perolehan hak atas tanah secara dua pihak artinya dilakukan pertemuan kehendak kedua belah pihak (musyawarah) yaitu pihak yang menghendaki tanah dan pihak lain adalah pemilik tanah tersebut.

Apabila persetujuan kedua belah pihak tidak menghasilkan kata sepakat atau karena adanya suatu keberatan besar yang tidak dapat diatasi dalam persetujuan tersebut, maka digunakan peraturan yang kedua yaitu Onteigenings Ordonnantie (ordonisasi pencabutan Hak atas Tanah) yaitu pengambilan hak atas benda (tanah) secara paksa oleh pemerintah. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa warganya melepaskan haknya itu adalah sesuai dengan ajaran bahwa pengambilan hak–hak privat orang harus dilakukan berdasarkan ordonisasi (Undang–undang) didalam prateknya teryata

67

langsung tanpa memerlukan peraturan lain sebagai pelaksananya.49

Masa pendudukan Jepang sebagai kosukuensi dari menyerahnya Belanda kepada Jepang, 9 Maret 1942, maka segala kekuasaan pemerintah diatur dan dikendalikan oleh tentara Jepang. Di dalam pelaksanaan pemerintahnya di Jawa dan Madura, tentara Jepang berpedoman kepada Gunserei melalui “Onsamu Seirei” mengatur segala sesuatu yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahannya melalui peraturan pelaksa yang disebut “ Onsamo

Karei “ peraturan “ Onsamo Seirei “ dilaknakan

secara umum. Agar tidak terjadi kekosongan hukum (Vacuum of law ), di pulau Jawa dan Madura diberlakukan “ Onsamo Seirei “ Nomor 1 Tahun 1942 (2602) didalam Pasal 3 Onsamo Seirei disebutkan “

semua hukum dan Undang–undang, pemerintah dan kekuasaan pemerintah yang terdahulu, selagi tidak

49 R Soepartono, Undang – undang Pokok Agraria Dalam Praktek,

68

bertentangan dengan aturan pemerintah tentara Jepang, Untuk sementara waktu tetap berlaku“.50

Politik Agraria yang dijalankan oleh tentara pendudukan Jepang tidak berbeda tujuannya dengan politik Agraria yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Kebijaksaan Agraria pada masa pemerintahan Jepang ini hanya meneruskan asas pemerintahan Belanda. Segala sesuatu yang diterapkan dalam pemerintahan Jepang ini semata–mata hanya untuk kepentingan mereka saja, meskipun berdalih demi untuk kemerdekaan Indonesia dikemudian hari. Kehadiran pemerintah Jepang justru semakin mempersulit dan menimbulkan penderitaan yang dalam bagi pemerintah Indonesia.51

Dokumen terkait