• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Adat Dayak dan Sumber Daya Alam

Dalam dokumen Sumber Daya Alam dan Dimensi Sosial dan (Halaman 34-38)

7. Dimensi Sosial dan Kultural Masyarakat Adat Dayak 1. Dayak dan Simbol Etnisitas

7.5. Masyarakat Adat Dayak dan Sumber Daya Alam

Munurut aliran filsafat determinisme yang dipelopori Darwin (1809-1882) dan

Ratzel (1844-1904) bahwa meskipun manusia dipandang sebagai mahluk yang

dinamis, mobilitasnya tetap dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam dipermukaan

bumi. Iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Karena iklim

di permukaan bumi ini bervariasi, maka kebudayaan itu pun sangat beraneka ragam,

perkembangan seni, agama, etnis, pemerintahan dan segi-segi kebudayaan lain

sangat tergantung pada iklim setempat (Sumaatmadja,1998:72). Pandangan

tersebut barangkali sangat relevan bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat adat

Dayak di Kalteng. Fenomena alam hutan, sungai, danau, dan rawa yang telah hadir

sejak jutaan tahun lalu dan menjadi karakteristik wilayah Kalteng dalam berproses

dan berevolusi telah membentuk hubungan “simbiosis mutualism” dengan masyarakat adat Dayak. Sehingga sumber daya alam dengan segala isi dan

lingkungannya merupakan bagian integral dan holistik dalam tata kehidupan politik,

masa yang akan datang. Ini dapat dilacak melalui berbagai ungkapan dari beberapa

tokoh adat masyarakat Dayak, dibawah ini :

“Tanah, hutan dan sungai merupakan elemen yang sangat penting untuk diperhatikan

bagi setiap orang yang ingin hidup di daerah Dayak” (Bamba, dalam Alcorn dan

Royo,2000:35).

“Hutan adalah darah dan jiwanya orang Dayak” (Petebang,2000).

“Hutan itu bagian dari hidup kita, sehingga kalau hutan itu rusak, maka kita semua ikut

sengsara” (Djamri, tokoh adat Dayak Barito Utara, wawancara 02 April 2003).

“Hutan itu bukan hanya untuk generasi kita sekarang, tetapi juga untuk kelangsungan

hidup anak cucu kita dikemudian hari, oleh karena itu kita bersama mempunyai

tanggungjawab sejarah untuk mempertahankan kelestariannya” (Eyak, tokoh adat

Dayak Barito Utara, wawancara 28 Maret 2003).

"Hutan dengan segala isinya juga tempat pengungkapan rasa terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya diperlukan perlakuan-perlakuan atau ketentuan yang mengatur agar keseimbangan dan keserasian tetap terperlihara (Timanggong Miden dikutip Petebang,2000).

"Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan beserta isinya secara besar-besaran. Hutan, bumi, seluruh lingkungan, serta semua makhluk hidup diatasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum mengambil sesuatu dari alam, manusia Dayak selalu memberi terlebih dahulu kepada penunggu hutan" (Loir Botor Dingit, Kepala Adat Besar Dayak Bentian dikutip Petebang,2000).

Dengan demikian, sumber daya alam dengan segala isi dan lingkungannya

telah menentukan kultur “material” maupun “non-material” orang Dayak (Petebang,2000:4). Hal ini bisa dilihat dari rumah panjang yang disebut “betang” atau “lamin”, rumah-rumah penduduk bahkan kantor-kantor pemerintah baik dibangun di darat maupun di atas sungai (lanting) dibuat hampir seluruhnya dari

kayu tiang, lantai, dinding, atap, pasak, pengikat (sebelum ada paku, rumah diikat

dengan rotan atau akar dan dipasak dengan kayu). Pendek kata menurut Muchlis

bangunan fisik di darat maupun sungai di Daerah Kalteng ini terdiri dari kayu,

baru-baru ini saja kita melihat bangunan itu dari semen” (Wawancara, 19 Maret 2003). Demikian juga dengan sarana transportasi seperti sampan, klotok, dan kapal

dibuat dari kayu juga diambil dari sumber daya hutan. Bahkan peralatan kerja dan

senjata, seperti : kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai, sumpitan,

senjata lantak dan lain-lain paling tidak sebagiannya terbuat dari bahan-bahan yang

diambil di hutan. Dari kultur non-materialnya, dapat disaksikan, seperti cerita rakyat

yang hidup di kalangan etnik Dayak yang bertutur tentang kehidupan di hutan atau

sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kayu tertentu dipandang

sebagai simbol kekuatan mistik. Banyak jenis pohon yang tidak boleh ditebang

karena dipercaya tempat bersemayam roh-roh nenek moyang mereka. Bahkan ada

paham yang hidup dalam masyarakat Dayak, bahwa hancurnya hutan akan

menghancurkan kehidupan ideologi, budaya, sosial, dan ekonomi mereka, bahkan

Duwata (Tuhan) akan mengutuk manusia yang menghancurkan hutan. Korelasi

adikodrati antara manusia dengan hutan dilambangkan dalam mite-mite yang

semuanya menggambarkan keterkaitan manusia dengan hutan (Petebang,2000).

Kedekatan hubungan masyarakat adat Dayak dengan sumber daya alam juga

tergambar dari hasil “Musyawarah Besar Pertama Damang Kepala Adat se Kalteng Tengah” di Palangkaraya, tanggal 23-24 Mei 2002, yang memuat hal-hal berikut ini : 1. Kami merasa sangat berhutang pada hutan-hutan kami, sungai-sungai, gunung-gunung,

pantai, dan laut, bahkan pada seluruh isi alam di daerah kami, yang telah menjadi sumber kesehatan, kesejahteraan dan mata pencaharian kami dimasa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, yang telah menjadi sumber ilham yang tiada putus-putusnya dalam pengembangan seni budaya kami. Kami menegaskan bahwa alam di Kalimantan Tengah betul-betul telah menopang segala aspek kehidupan kami tanpa upaya dan perjuangan menjaga kesinambungan hutan, sungai, pantai dan gunung, kami sama

sekali tidak akan memiliki masa depan yang berkelanjutan. Karena itu, perlindungan dan pelestarian kandungan dan keutuhan bumi dimana kami tinggal dan bekerja mencari nafkah merupakan tantangan mendesak yang harus kami hadapi sebagai tugas dan kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Demi itu, kami bertekad untuk mengabdikan diri bagi segala upaya perlindungan alam di daerah kami demi keberlangsungan hidup kami dan generasi penerus di masa depan.

2. Kami mengakui bahwa perbedaan-perbedaan yang ada, asal usul, suku, kepercayaan dan agama, status sosial dan ekonomi, latarbelakang budaya dan pendidikan, tempat tinggal dan situasi, keahlian dan pekerjaan yang berlainan, tidak penting dan kurang berarti dibandingkan dengan ancaman terhadap alam di mana kami hidup dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Untuk itu, kita semua bertanggungjawab dalam menghadapi kondisi alam yang demikian, kita sebagai umat manusia menjadi satu.

3. Dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan prinsip dan ajaran politik, agama dan sosial, kami menyadari bahwa martabat, keutuhan dan karunia atas siapapun dan seluruh umat manusia, terkait langsung dengan keutuhan alam.

4. Bahwa segala bentuk wenangan terhadap alam adalah kesewenang-wenangan pula terhadap manusia, demikian sebaliknya. Kesewenang-kesewenang-wenangan yang demikian tidak pernah menguntungkan, melainkan merusak keharmonisan antara umat manusia dan alam, merusak keseimbangan ekologi dalam aspek spiritual/keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan fisik kehidupan manusia.

Uraian di atas telah dengan jelas menggambarkan bahwa bagi masyarakat

adat Dayak hutan dan segala yang hidup di hutan, tumbuh-tumbuhan dan binatang,

merupakan basis material dan non-material bagi keberlangsungan kehidupan

mereka secara individu maupun komunal. Sumber daya hutan dijadikan sebagai

tempat pemenuhan kebutuhan akan sumber protein dan mineral (binatang

perburuan, lebah madu, ikan sungai, sarang burung), sebagai sumber bahan bakar

(kayu bakar), bahan bangunan, padang pengembalaan dan lain-lain. Secara teoritis

hutan adalah merupakan penyangga food security dari masyarakat. Food security

diartikan sebagai kesempatan bagi setiap warga dari satu masyarakat untuk dapat

makan sepanjang tahun baik melalui usaha tani mereka maupun adanya

kesempatan bagi mereka untuk memperoleh uang tunai dari ketersediaan sumber

panen mereka telah menipis (Soetrisno,1999:3). Sehingga gangguan dalam bentuk

apapun terhadap sistem hubungan antara masyarakat adat dengan hutan akan

berakibat terganggunya kehidupan mereka dan generasinya. Oleh karena itu,

mereka berusaha secara sungguh-sungguh untuk menjaga sumber daya hutan dan

lingkungannya melalui sistem pengetahuan lokal (indegenous knowledge system)

atau kearifan tradisional melalui sistem hukum adat yang terlepas dari ikatan sistem

Dalam dokumen Sumber Daya Alam dan Dimensi Sosial dan (Halaman 34-38)

Dokumen terkait