• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Daya Alam dan Dimensi Sosial dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sumber Daya Alam dan Dimensi Sosial dan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SUMBER DAYA ALAM DAN DIMENSI SOSIAL DAN

KULTURAL MASYARAKAT ADAT DAYAK

DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Oleh :

DR. ASRANI, SE, M.Si

(asrani_mgn@yahoo.com)

(Tulisan ini adalah salah satu bagian (Bab) dari Disertasi penulis berjudul

“Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Indonesia pada Era Orde Baru. Studi

(2)

SUMBER DAYA ALAM DAN DIMENSI SOSIAL DAN KULTURAL

MASYARAKAT ADAT DAYAK DI PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

Oleh : Dr. Asrani, SE, M.Si

1. Borneo dan Kalimantan Tengah.

Kalimantan adalah satu dari lima pulau besar yang bernaung dibawah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam pembicaraan sehari-hari orang

sering menggunakan Kalimantan secara silih berganti dengan Borneo. Frekuensi

penggunaan istilah Borneo ini semakin intensif ketika media-media asing

berlomba-lomba menyebarluaskan informasi tentang maraknya konflik dan kerusuhan sosial di

Kalteng dan Kalbar tahun 1999, 2000 dan 2001. Menurut hasil penelitian pakar

Dayakologi Kalbar, sebagian besar media dan analis asing menggunakan istilah

Borneo, bukan Kalbar atau Kalteng (Bamba,2001). Penggunaan Borneo untuk

menunjuk kasus yang bersifat lokal, seperti Kalimantan Barat atau Kalimantan

Tengah adalah kurang proporsional dan kurang profesional, sebab Borneo mencakup

wilayah yang sangat luas, selain itu kedaulatan terhadap pulau tersebut dimiliki oleh

tiga negara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Brunei yang relatif berbeda dari berbagai

aspek kehidupan masyarakatnya.

Secara geografis pulau Borneo merupakan sebuah gugusan pulau yang sangat

luas mencakup areal 753.644 kilometer persegi (km2), luas ini setara dengan

38,90% wilayah Indonesia. Sebagian besar wilayah Borneo ditutupi oleh hutan tropis

(3)

Borneo secara politis dan demografis dapat di bagi menjadi dua bagian : sepertiga

masuk negara Malaysia dan Brunei, sedangkan duapertiga lainnya masuk kedaulatan

pemerintah Indonesia. Pada tahun 1990 secara keseluruhan jumlah penduduk di

pulau ini mencapai 12,7 juta jiwa terdiri dari 3,3 juta penduduk Malaysia bagian

timur (Sabah dan Serawak), 0,3 juta penduduk Brunei, dan 9,1 juta penduduk

Indonesia yang tersebar di empat propinsi : Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan

Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Tengah (Potter,

Brookfield dan Byron,1992:5-6). Lihat tabel 1

masuk wilayah kedaulatan Indonesia. Ditinjau dari sejarah berdirinya, Kalteng

bukanlah propinsi yang terbentuk begitu saja atau berdiri atas prakarsa Pemerintah

(4)

penjajahan Belanda dan Jepang. Pada awalnya, wilayah Kalteng masuk dalam

wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan (Kalsel), namun sejak diproklamirkan

kemerdekaan, tokoh-tokoh masyarakat adat Dayak Kalteng sudah bertekad untuk

membentuk propinsi sendiri yang terpisah dari wilayah propinsi Kalsel. Aspirasi

masyarakat tersebut terus diperjuangkan melalui berbagai saluran, seperti “Ikatan Keluarga Dayak” (IKAD) yang kemudian memprakarsai terbentuknya “Panitia

Penyalur Hasrat Rakyat Kalteng” (PPHRK) tahun 1954. Perjuangan kemudian

dilanjutkan melalui lembaga “Serikat Kaharingan Dayak Indonesia” (SKDI) yang

mempelopori Kongres Rakyat Kalimantan Tengah di Banjarmasin pada tanggal 2-5

Desember 1956. Rekomendasi penting dari hasil kongres Rakyat Kalteng tersebut

adalah perlu segera direalisasikan Propinsi Kalteng sebagai daerah Otonom yang

terpisah dari Propinsi Kalsel. (Banjarmasin Post, 23 Mei 2003).

Perjuangan panjang masyarakat adat Dayak Kalteng yang tidak mengenal

lelah itu membuahkan hasil, karena berdasakan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957

berlaku tanggal 23 Mei 1957 dibentuk Propinsi Kalimantan Tengah, merupakan

propinsi ke-17 untuk wilayah Republik Indonesia pada waktu itu. Propinsi Kalteng

ini pada awalnya beribukota Pahandut yang kemudian diganti dengan nama

Palangkaraya. Penggantian nama ibukota ini berdasarkan UU No. 21 Tahun 1958

sekaligus menetapkan tiga Kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Kalteng

(Uga,dkk,2001). Secara etimologis, “Palangka” berasal dari bahasa Dayak artinya

tempat sesajen atau ancak yang biasanya dipergunakan dalam penyelenggaraan

(5)

filosofis Palangkaraya bermakna tempat atau kota besar dan suci yang diturunkan

dari langit (Banjarmasin Post, 23 Mei 2003).

Pembangunan kota Palangkaraya sebagai ibukota Propinsi Kalteng memang

dirancang secara matang sejak propinsi ini dibentuk. Tersedianya tanah yang luas

makin mempermudah penataan tata ruang kota ini menjadi sebuah kota besar yang

penuh dinamika. Peresmian pertama pembangunan kota ini dilakukan oleh Presiden

RI Pertama Ir Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 (Uga,dkk,2001). Tanggal 23 Mei

merupakan hari bersejarah bagi kota Palangkaraya, karena tanggal tersebut

ditetapkan sebagai tanggal lahir kota ini yang bertepatan juga dengan tanggal

terbentuknya Propinsi Kalteng.

Kalteng, dengan demikian merupakan propinsi yang lahir pada masa

kemerdekaan sebagai hasil proses dan dinamika politik yang demokratis pada masa

Orde Lama (Orla), melalui perjuangan yang gigih dari masyarakat adat Dayak untuk

memperoleh kemandirian (otonom) dalam rangka membangun daerahnya sendiri

untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan masyarakatnya.

Berangkat dari tanggal kelahirannya, maka Kalteng merupakan propinsi yang

tertinggal selama 12 tahun dalam pembangunan inftrastruktur, baik ekonomi

maupun komunikasi dan transportasi dibandingkan dengan propinsi lain yang telah

(6)

3. Geografis.

Kalteng memiliki luas 153.564 km2, luas ini sama dengan : 20,37% luas

Borneo, 27,96% luas Kalimantan, dan 7,93% luas Indonesia. Kalteng merupakan

propinsi terluas ketiga di Indonesia setelah Irian Jaya (Papua) dengan luas 421.981

km2 (21,78%) dan Kalimantan Timur 210.985 km2 (10,89%). Dengan wilayah yang

demikian luas, sampai dengan tahun 2001 Kalteng hanya memiliki enam Daerah

Tingkat II, masing-masing Kotawaringin Timur (Kotim), Kotawaringin Barat (Kobar),

Kapuas, Barito Utara (Barut), Barito Selatan (Barsel), dan Kodya Palangkaraya.

Kotawaringin Timur dengan luas 50.700 km2 (33,01%) merupakan daerah yang

paling luas diantara kebupaten yang ada. Lihat Tabel 2

Tabel 2 : Luas Propinsi Kalimantan Tengah Menurut Kabupaten dan Kota 2 Kab. Kotawaringin Timur 50.700 33,01

3 Kab. Kapuas 34.800 22,66

330’ Lintang Selatan, dan 111 Bujur Timur, menempatkan propinsi ini berada pada

posisi ditengah-tengah diapit oleh tiga propinsi lainnya, disebelah Utara berbatasan

dengan Propinsi Kalbar dan Kaltim, disebelah Timur dengan Propinsi Kalsel dan

Kaltim, disebelah Selatan dengan laut Jawa, dan disebelah Barat dengan Kalbar

(7)

mempunyai letak yang sangat strategis, terutama apabila dilihat dari jalur lalu lintas

barang dan orang antar pulau, karena disamping berbatasan langsung dengan tiga

propinsi tetangganya, Kalteng juga berhadapan langsung dengan laut Jawa. Posisi

ini memungkinkan Kalteng dapat membuka akses perdagangan langsung ke

pusat-pusat perdagangan dan industri yang ada pulau Jawa. Kondisi ini semakin strategis

apabila dikaitkan dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Kalteng.

Sehingga dengan letak dan potensi SDA-nya itu, maka memungkinkan propinsi ini

dapat berkembang lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan dengan propinsi

lainnya yang telah maju.

Dari klasifikasi wilayah geografisnya, sebagian besar wilayah Kalteng terdiri

dari hutan belantara. Fakta ini dapat disaksikan ketika memasuki wilayah propinsi

ini, baik dengan menggunakan transportasi darat, sungai maupun udara,

disepanjang perjalanan yang lebih banyak dilihat hanyalah hamparan hutan

dibandingkan dengan perkampungan atau persawahan penduduk. Pemandangan ini

sangat kontras bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, seperti di Jawa,

karena lebih banyak melihat sawah dan perkampungan penduduk daripada hutan.

Data dari Dinas Kehutanan Kalteng (1998) menunjukkan bahwa luas kawasan hutan

Kalteng mencakup 126.200 km2 (82,18%), sisanya terdiri dari rawa-rawa seluas

18.155 km2 (11,80%), sungai, danau dan genangan air lainnya seluas 4.463 km2

(8)

Selain dikenal dengan kawasan hutannya, wilayah Kalteng juga memiliki

karakteristik lain berupa sungai. Di propinsi ini terdapat 11 daerah aliran sungai

besar dan 2.070 anak sungai. Dengan jumlah itu, Kalteng layak disebut sebagai

“Propinsi Seribu Sungai”. Diantara 11 sungai besar, sungai Kumai (175 km)

merupakan sungai yang terpendek, sedangkan Barito merupakan sungai terpanjang

(900 km) dan terlebar (650 m). Sungai ini bersumber dari pegunungan muller dan

sachwaner dan bermuara di laut Jawa, melintasi dua propinsi dan tiga kabupaten,

yaitu Barito Utara (Barut), Barito Selatan (Barsel), dan Barito Kuala. Lihat tabel 3

Tabel 3 : Sebelas Daerah Aliran Sungai Besar di Propinsi Kalimantan Tengah

Sumber : Dinas DLLSDP Kalimantan Tengah (1998)

Sungai memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakat dan

perekonomian Kalteng secara keseluruhan, disamping fungsi-fungsi lain seperti

menjaga keseimbangan ekosistem dan hidrologis. Bahkan sampai dengan tahun

2003, sungai masih menjadi prasarana transportasi yang utama di Kalteng. Faktor

(9)

masyarakat menggunakan sungai sebagai prasarana mobilitas mereka, tetapi juga

karena terbatasnya pembangunan infrastuktur jaringan transportasi darat untuk

menghubungkan kota-kota kabupaten dan kecamatan yang ada di propinsi ini.

Jaringan transportasi darat di Kalteng, terutama jalan antar kabupaten baru dimulai

pada pertengahan tahun 1990-an. Memang, berdasarkan data dari Dinas PU Kalteng

(1998), panjang jalan darat yang dibangun di propinsi ini menunjukkan peningkatan.

Tahun 1983 misalnya, panjang jalan yang dibangun 3.953 km, pada tahun 1998

meningkat menjadi 9.050 km, sehingga dalam periode 16 tahun terjadi peningkatan

5.097 km (128,94%). Namun, peningkatan itu tidak terlalu berarti kalau melihat

kondisi jalan yang dibangun. Bahkan sebagian jalan yang ada di Kalteng adalah eks

jalan perusahaan HPH. Data PU tahun 1998 menunjukkan bahwa dari keseluruhan

panjang jalan yang ada di Kalteng hanya 2.546 km (28,12%) yang dapat

digolongkan dalam keadaan baik, 2.176 km (24,04% ) dalam keadaan sedang,

sisanya 4.328 km (47,82%) dalam keadaan rusak dan rusak berat. Kalau dilihat dari

jenisnya, maka jalan yang diaspal hanya sepanjang 2.334 km (25,79%), sisanya

terdiri dari kerikil dan tanah 6.716 km (74,18%). Artinya, panjang jalan darat yang

baru dibangun dan dalam kondisi baik sekitar 50% dari panjang 11 sungai besar

yang ada. Dengan perkataan lain, bahwa jalan darat belum dapat diandalkan untuk

mengganti fungsi sungai sebagai prasarana transportasi utama di propinsi Kalteng.

(10)

Tabel 4 : Panjang jalan darat menurut jenis dan kondisi nya Di Kalimantan Tengah Sampai dengan Tahun 1998

No Tingkat Pemerintah Yang berwewenang

(dalam km)

Jenis Permukaan Jalan Kondisi Permukaan Jalan

Aspal Kerikil/

Sumber : Dinas PU Kalteng (1998), diolah

Pengalaman penulis, ketika melakukan penelitian di empat kabupaten di

wilayah Kalteng memperkuat bukti di atas. Dari ratusan kilometer panjang jalan

yang dilalui, mungkin hanya sepertiganya yang dapat dikatakan dalam kondisi baik,

selebihnya meskipun dikatakan menggunakan aspal, tetapi kondisinya rusak parah

becek dan berlobang, sehingga kalau mau ke daerah Kalteng melalui jalur darat

harus siap-siap “senam jantung”. Perjalanan itu juga telah membawa korban, karena sebuah laptop penulis yang berisi catatan penelitian mengalami rusak berat. Seorang

petugas Dinas PU, pernah ditanya mengenai masalah ini mengatakan bahwa untuk

memperbaiki jalan-jalan yang sudah parah membutuhkan dana yang cukup besar,

masalahnya dana itu sampai saat ini belum tersedia. Fakta ini sangat ironis kalau

melihat hasil bumi Kalteng yang melimpah.

Tertinggalnya pembangunan infrastruktur jaringan jalan darat di Kalimantan

juga terungkap dalam pertemuan Ketua-ketua Bappeda se Kalimantan di Pontianak

bulan Oktober 2002 yang dituangkan dalam “Usulan Kesepakatan Pembangunan Antar Kalimantan Tahun 2003”, yang menegaskan bahwa kendala utama yang

(11)

adalah “minimnya alokasi anggaran yang tersedia”. Sedangkan, masalah lainnya,

adalah :

1. Kondisi tanah pada umumnya labil sehingga rawan terhadap longsor disamping terdapat banyak rawa dan sungai berbentang lebar mengakibatkan biaya penanganan jalan dan jembatan menjadi mahal.

2. Pembangunan ruas jalan oleh pengusaha HPH dan tambang lebih diarahkan untuk mendukung keperluan pencapaian sasaran produksi, bukan diarahkan dalam rangka menunjang pembangunan Jalan Lintas Kalimantan, sehingga secara garis besar jalan-jalan yang dibangun banyak, tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Jalan Lintas Kalimantan.

3. Jalan HPH yang termasuk didalam Jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah dan Poros Selatan belum seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, sehingga belum dapat diprogramkan untuk ditangani.

4. Sebagian kontraktor yang melaksanakan penanganan jalan masih belum mempunyai tenaga ahli, peralatan serta kemampuan manajerial yang memadai sehingga mempengaruhi kualitas pekerjaan.

5. Struktur konstruksi jalan Lintas Kalimantan pada saat ini sebagian masih berupa jalan tanah (terutama di Propinsi Kalimantan Tengah ) dan sangat kondisional terhadap cuaca, dimana pada musim hujan, permukaan jalan mengalami rusak berat sehingga lalu lintas terganggu.

6. Apabila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya seperti Sumatra dan Jawa maka dapat disimpulkan bahwa kondisi Pulau Kalimantan Sangat Jauh tertinggal khususnya dibidang prasarana jalan. Di Pulau Jawa misalnya jalan Pantura, Selatan dan Tengah telah berfungsi dengan baik. Demikian pula halnya dengan Pulau Sumatra yang telah mempunyai jalur lintas barat, timur dan tengah. Sedangkan kondisi jalan Lintas Kalimantan satupun belum ada yang tuntas.

Minim dan lambannya proses pembangunan infrastruktur di Kalteng bukan

hanya dibidang prasarana dan sarana jaringan darat, tetapi juga meliputi prasarana

dan sarana pelabuhan laut. Faktor ini dapat dianggap sebagai penghambat upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalteng. Fakta-fakta ini terungkap dalam

“Rekomendasi Hasil Kongres Rakyat Kalimantan Tengah”, tanggal 07 Juni 2001 di

Palangkaraya. Hasil keputusan Sub-bidang sarana/prasarana dan kelembagaan,

(12)

1. Untuk meningkatkan aksesibilitas perekonomian Kalteng, Pemerintah perlu membangun pelabuhan Kumai, Ujung Pandaran, Sebangau, Bahaur / Pulang Pisau dan Kuala Kapuas. 2. Untuk menciptkan keterkaitan ekonomi dan perdagangan, Pemerintah perlu membangun

jalan darat anta Kabupaten, antar Kecamatan dan antar desa terutama daerah-daerah pedalaman.

3. Pemerintah agar mendirikan lembaga-lembaga keuangan (Bank dan non-Bank) sampai ke tingkat pedalaman/pedesaan yang potensial berkembang.

4. Pemerintah perlu agar memfasilitasi berdirinya koperasi dan kelompok usaha bersama lainnya.

Kondisi prasarana jaringan perhubungan darat maupun laut memang sangat

tampak sebagai suatu problema besar yang dihadapi Propinsi Kalteng. Prasarana

sungai yang masih menjadi andalan utama sampai sekarang ini menyebabkan

lambannya mobilitas dan aksesibilitas penduduk, hasil-hasil sumber daya alam dan

barang-barang kebutuhan pokok. Walaupun posisi wilayah Kalteng berada di

tengah-tengah daratan Kalimantan, bahkan di tengah-tengah wilayah nusantara,

tetapi belum mampu menjadi wilayah orbitasi transportasi nasional ataupun

regional. Faktor jaringan transportasi semacam itu pula menyebabkan biaya tinggi

(high cost), baik dalam proses kegiatan perekonomian masyarakat maupun dalam

proses kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat (public services).

Karena jarak maka waktu yang digunakan untuk mengkomunikasikan segala

kegiatan pemerintahan dan pembangunan lebih lama. Misalnya, untuk hadir di

ibukota propinsi atau ibu kota negara, yang seharusnya hanya memerlukan

hitungan “jam”, di Kalteng harus memerlukan waktu dalam hitungan “hari”

ditambah dengan hitungan biaya yang harus dikeluarkan. Lamanya waktu

digunakan itu menyebabkan tertundanya pelayanan yang lain. Nilai waktu ini yang

kadang-kadang tidak disadari sebagai menyebab biaya dan anggaran yang

(13)

berakibat tertundanya pelayanan atau penyelesaian pekerjaan yang semestinya

harus ditangani tepat waktu, adalah merupakan aspek kerugian yang lain.

4. Demografis.

Penduduk Kalteng, berdasarkan data dari BPS sampai dengan tahun 2001

sebanyak 1.801.707 jiwa, terdiri dari laki-laki 925.276 jiwa (51,35%), perempuan

876.432 (48,65%) jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 460.365. Bila

dibandingkan dengan tahun 1991 dengan jumlah penduduk 1.442.143 jiwa, maka

selama periode 10 tahun penduduk Kalteng bertambah sebanyak 359.574 jiwa atau

19,93% atau mengalami pertumbuhan rata-rata 1,99% per tahun. Kalau

dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1981 dengan jumlah 1.004.219 jiwa,

maka selama 20 tahun penduduk Kalteng bertambah sebanyak 797.488 jiwa atau

terjadi pertumbuhan sebesar 44,26% atau rata-rata 2,21% per tahun. Angka

pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional

pada periode 1980-1990 sebesar 1,98% setiap tahun (Singarimbun,1996:3). Seiring

dengan itu, terjadi peningkatan kepadatan penduduk hampir dua kali lipat dari 6

jiwa/km2 tahun 1981 menjadi 11 jiwa/km2 pada tahun 2001. Tingkat kepadatan ini

menduduki peringkat kedua terendah di Indonesia setelah Irian Jaya dengan

rata-rata 5 jiwa/km2.

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kalteng selama 20 tahun terakhir

bukan disebabkan program Keluarga Berencana (KB) di propinsi ini gagal.

Berdasarkan data dari BKKBN Kalteng (1998), propinsi ini merupakan daerah yang

(14)

yang ditentukan, sejak tahun 1994 sampai dengan 1998, semua target KB yang

ditetapkan berhasil dilewati di atas rata-rata 100% setiap tahun, baik akseptor baru

maupun aktif. Sehingga, faktor yang menentukan tingginya pertumbuhan penduduk

Kalteng adalah karena banyaknya para imigran yang datang ke propinsi ini, baik

melalui program transmigrasi yang disponsori pemerintah maupun para pendatang

spontan yang mencari kerja dan berusaha di daerah ini. Lihat tabel 5.

Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Propinsi Kalimantan Tengah menurut Kabupaten/Kota

Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan

1. Kotawaringin Barat 21.000 129.440 118.884 248.324 11,8

Sumber : Biro Pusat Statistik Kalteng Tahun 1986, 1992, dan 2001

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk di Kalteng tidak merata.

Kota Palangkaraya merupakan daerah yang paling padat. Ini logis karena disamping

memang luas wilayahnya hanya 1,56% dari luas propinsi, Palangkaraya juga sebagai

ibukota propinsi, sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan. Namun,

konsentrasi penduduk di Kabupaten Kapuas dan Kotawaringin Timur menandakan

adanya ketimpangan yang cukup tinggi dibandingkan dengan tiga daerah kabupaten

lainnya. Ketimpangan tersebut semakin kentara bila dibandingkan dengan daerah

(15)

dengan tingkat kepadatan 6 jiwa/km2. Tingginya konsentrasi penduduk di daerah

Kapuas dan Kotawaringin Timur memang tidak lepas dari kenyataan banyaknya

jumlah para pendatang yang berasal dari Jawa dan Madura yang masuk ke daerah

tersebut, baik melalui skema program transmigrasi maupun para pendatang spontan

yang mencari kerja, berusaha maupun menyusul keluarga.

Kaitannya dengan problem ketimpangan penduduk adalah struktur

pemukiman. Maulani (2000:16) menyebutnya sebagai “problem hirarkhis”, karena baik desa maupun kota di Kalteng tidak membentuk adanya jaringan “simbiosis ekonomis”, baik antar desa-desa, desa-kota maupun kota-kota. Ini disebabkan

karena kota kecamatan atau kota kabupaten letaknya saling terpisah satu sama lain

dari fungsinya sebagai penyangga ataupun “simpul distribusi”. Kondisi ini semakin di

perparah dengan terbatasnya pembangunan infrasruktur jaringan jalan darat,

sehingga mempersulit berkembangnya daerah ini mengikuti daerah-daerah lainnya.

5. Perekonomian Rakyat

Masyarakat adat yang hidup di pulau Kalimantan pada umumnya dan di

Kalteng pada khususnya, sumber mata pencaharian utamanya dari sektor pertanian.

Berdasarkan pengelompokkan Biro Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian terdiri dari

beberapa sub-sektor yaitu pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Salah

satu sub-sektor yang terpisah yang juga merupakan sumber mata pencaharian

masyarakat Kalteng adalah perkebunan rakyat. Menurut Mubyarto (1992:8),

perekonomian masyarakat Kalteng mempunyai ciri-ciri yang sangat “khas” yang

(16)

penduduk asli suku Dayak jelas sudah menjalankan “sistem ekonomi” rakyat yang

khas berkaitan dengan perladangan dan kehutanan, (2) kedatangan investor dari

luar Kalimantan untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam pertambangan,

perkebunan dan kehutanan, telah menghasilkan dan mengembangkan “cara-cara

bertahan” penduduk asli yang mungkin juga khas yang kiranya belum banyak

diketahui. Selanjutnya Mubyarto menambahkan bahwa Kalimantan Tengah, yang

mempunyai penduduk suku Dayak terbesar di Kalimantan, memang sampai

sekarang masih “terbelenggu” oleh keterpencilan dan keterisolasian. Kemudian,

dalam buku hasil kajiannya mengenai kehidupan sosial ekonomi masyarakat Dayak

di Kaltim tahun 1991, Mubyarto (1991:70-71) mengemukakan : (1) sistem

pertanian berladang harus diakui sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat

peladang, seperti halnya sistem pertanian padi sawah adalah bagian dari

kebudayaan masyarakat Jawa, dengan demikian pertanian berladang harus diberi

hak hidup dan bukan untuk digantikan dengan sistem pertanian yang berasal dari

kebudayaan lain, (2) dalam sistem pertanian berladang, kita dapat menemukan

berbagai bentuk cara bertani alternatif yang dapat kita kembangkan sebagai

pendekatan alternatif bagi pengembangan masyarakat peladang. Di Kalimantan para

peladang telah lama mengembangkan suatu sistem agro forestry yaitu siklus

bergantian dengan cara menanami lahan bekas ladang dengan rotan, karet atau

(17)

Apa yang dikemukakan oleh Mubyarto tentang masyarakat Dayak Kalteng

khususnya dan Kalimantan pada umumnya, memang tidak berlebihan atau tidak

dilebih-lebihkan, sebab sebagian besar penduduk Kalteng bekerja pada sektor

pertanian, termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan. Data BPS Kalteng (1998)

menunjukkan bahwa dari 746.102 penduduk yang berusia 10 tahun keatas yang

bekerja pada lapangan usaha utama, 408.231 (54,71%) bekerja di sektor pertanian,

selebihnya tersebar pada beberapa lapangan usaha, seperti pertambangan (3,57%),

industri pengolahan (5,96%), listrik (0,18%), bangunan (3,28%), perdagangan

(14,50%), angkutan (4,62%), keuangan (0,13%) dan jasa kemasyarakatan

(12,91%). Lihat Tabel 6.

Tabel 6. Penduduk Berumur 10 Tahun Ke atas yang bekerja menurut Lapangan Usaha Utama Kalimantan Tengah

Tahun 1998

No Lapangan Usaha Utama Jumlah %

1 Pertanian 408.231 54,71

2 Pertambangan & Penggalian 26.674 3,57 3 Industri Pengolahan 44.483 5,96 4 Listrik, Gas dan Air 1.395 0,18

5 Bangunan 24.487 3,28

6 Perdagangan 108.248 14,50

7 Angkutan 34.522 4,62

8 Keuangan 1.024 0,13

9 Jasa kemasyarakatan 96.341 12,91

10 Lain-lain 687 0,09

Jumlah 746.102 100,00

Sumber : BPS Kalteng (1998)

Sistem pertanian khas yang dimaksud adalah “sistem perladangan”, karena di Kalteng hanya terdapat sebagian kecil wilayah yang mempunyai sistem pertanian

(18)

keseluruhan sebagian besar masyarakat adat Kalteng masih menggunakan sistem

pertanian ladang. Lihat Tabel 7.

Tabel 7. Luas dan Hasil Panen Padi sawah dan Padi Ladang Propinsi Kalimantan Tengah Sumber : Badan Pusat Statistik Kalteng (1998)

Tabel 7 memperlihatkan dari seluruh kabupaten yang ada di Kalteng, hanya

wilayah Palangkaraya yang relatif sedikit memiliki lahan perladangan, sementara

daerah-daerah lainnya rata-rata masyarakatnya masih menggunakan sistem

pertanian ladang yang ditunjukkan dengan luas panen dan hasil produksinya.

Memang, kalau dihitung rata-rata secara keseluruhan untuk musim panen tahun

1998, hasil padi sawah menghasilkan 2,2 ton/ha, sedangkan hasil padi ladang hanya

menghasilkan 1,5 ton/ha. Untuk kasus Barito Utara jumlah perbandingan itu

semakin menurun lagi, untuk hasil panen padi sawah 2,0 ton/ha, sedangkan untuk

padi ladang hanya 1,2 ton/ha. Artinya, sistem pertanian ladang memang tidak

produktif kalau dilihat dari hasil panennya, sementara luas lahan yang digunakan

hampir dua kali lipat dibandingkan dengan sistem pertanian sawah. Namun

anehnya, masyarakat Kalteng sangat sulit merubah sistem pertanian ladang ini dari

(19)

tersebut telah menyatu dengan kehidupan masyarakat adat Dayak sejak

berabad-abad yang lalu, sehingga sangat sulit untuk diganti dan dirubah. Dengan perkataan

lain, sistem pertanian berladang telah menjadi bagian integral (holistik) dari sistem

sosial dan kultural masyarakat adat Dayak, sehingga merubah sistem perladangan

sama artinya dengan merubah seluruh struktur material dan non-material kehidupan

masyarakat Dayak. Ini memang tidak mudah, beberapa fakta menunjukkan bahwa

program pemerintah telah dibuat dalam rangka merubah sistem ini, tetapi banyak

bukti menunjukkan bahwa program-program tersebut mengalami kegagalan.

Kehadiran perusahaan-perusahaan kehutanan (HPH, HTI dan Perkebunan) di

tengah-tengah masyarakat peladang, menyebabkan terjadinya perubahan dalam

perilaku para peladang. Perubahan tersebut dapat dilihat dari reaksi masyarakat

adat menghadapi invasi para kapitalis ke jantung pertahanan mereka. Dalam

studinya mengenai petani peladang di Sumatera dan Kalimantan Soetrisno (1999)

menyimpulkan ada tiga jenis reaksi yang dilakukan oleh para peladang dalam

menghadapi kenyataan tersebut : (1) mereka menyingkir dari hutan yang telah

dikuasai oleh perusahaan HPH dan mencari hutan yang masih bebas, walaupun ini

berarti mereka harus masuk lebih jauh ke kawasan hutan belantara. Jenis reaksi ini

dilakukan oleh suku Kubu yang tinggal di kawasan pedalaman/hutan kabupaten

Musirawas; (2) tetap tinggal di kawasan hutan yang telah dikuasai oleh perusahaan

HPH dan menyesuaikan budaya pertanian mereka dengan situasi baru. Para

peladang suku Dayak di Kaltim umpamanya mempersingkat waktu bero usaha

(20)

ladang mereka yang telah dikuasai oleh perusahaan HPH, dan (3) para peladang

meninggalkan desa mereka untuk mencari pekerjaan di negara tetangga atau pergi

ke kota. Hal ini terjadi di kalangan suku Dayak di Kaltim yang tinggal di desa-desa

perbatasan dengan Serawak. Para peladang di desa-desa perbatasan itu

menyeberang ke Serawak untuk bekerja sebagai buruh perkebunan di Serawak.

Namun lanjut Soetrisno (1999) reaksi apapun yang dipilih oleh para peladang

terhadap keberadaan industri kehutanan ditengah-tengah kehidupan mereka

merupakan self defeating dalam pengertian bahwa kesejahteraan masyarakat tidak

pernah terangkat karena reaksi yang mereka pilih. Jenis reaksi yang tidak terdeteksi

dalam penelitian Soetrisno di atas adalah reaksi masyarakat peladang yang tetap

mempertahankan sistem perladangan mereka, tetapi melakukan perlawanan secara

tersembunyi maupun terbuka terhadap perusahaan yang dianggap telah merampas

dan menyingkirkan hak-hak mereka terhadap sumber daya hutan yang telah diklaim

milik komunal (hutan adat). Masalah ini akan dikaji lebih mendalam dalam

(21)

6. Sumber Daya Alam (SDA)

6.1. Sumber Daya Alam Kehutanan

Telah disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa wilayah Kalteng memang

identik dengan wilayah hutan dan sungai. Berdasarkan hasil inventarisasi

Penatagunaan Kawasan Hutan melalui SK Gubernur KDH Kalteng Nomor :

008/054/IV/BAPP/1999 tanggal 16 Maret 1999 sebagai tindaklanjut dari UU Nomor

24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka kawasan hutan di wilayah Propinsi

Kalteng dibagi seperti dimuat dalam Tabel 8 dibawah ini.

(22)

Yang sangat menonjol dari pengelompokan pada Tabel 8 di atas adalah

kawasan-kawasan hutan produksi yang dipergunakan untuk eksploitasi, baik untuk

perusahaan HPH, HTI, untuk kawasan pengembangan areal transmigrasi dan

kawasan hutan lindung. Pertanyaannya kemudian, dimana tempat masyarakat adat

Dayak ?. Tabel itu salah satu pembuktian bahwa masyarakat adat yang berprofesi

sebagai peladang dalam skema peraturan dan kebijakan pembangunan yang

diprakarsai oleh pemerintah pusat dengan “operator” pemerintah daerah dalam kenyataannya memang tidak diakui, baik eksistensinya maupun hak-haknya dalam

mengakses sumber daya hutan. Dengan perkataan lain, bahwa sistem perladangan

yang mereka laksanakan selama ini pada dasarnya dapat dianggap illegal secara

hukum. Dari perspektif ini, maka sangat logis kalau pemerintah menjastifikasi

“komunitas peladang” sebagai masyarakat “perambah hutan” atau “pencuri kayu”.

Intinya, bahwa sumber daya alam hutan di Kalteng yang melimpah itu bukan

diperuntukan atau dipergunakan untuk masyarakat adat Dayak yang tinggal

berabad-abad disana, melainkan diperuntukan bagi para investor atau bagi para

transmigran yang didatangkan dari Jawa dan Madura. Dalam konteks ini pula,

sangat logis apabila ada sebagian masyarakat adat Dayak yang mengeluarkan

(23)

5.2. Sumber Daya Alam Pertambangan

Kalteng, selain memiliki potensi sumber daya alam hutan, juga menyimpan

deposit sumber daya alam tambang atau bahan galian yang cukup besar yang

mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Jenis tambang ini oleh para ahli

dikelompokan sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable

resources). Jenis bahan tambang yang terdapat di bumi Kalteng meliputi : gas bumi,

batu bara, emas, intan, pasir kuarsa, kristal kuarsa, besi, tembaga, timah hitam,

mika, air raksa, antimonit, kaolin, bentonit, pospat dan sebagainya. Berbagai jenis

tambang tersebut tersebar hampir seluruh wilayah Kalteng, sebagian kecil

diantaranya, terutama tambang emas dan intan telah diusahakan secara tradisional

oleh masyarakat adat yang berada di sekitar wilayah tersebut atau para pendatang

dari luar yang mencoba mengadu nasib di wilayah ini. Pada umumnya usaha ini

dilakukan oleh masyarakat sebagai usaha sampingan untuk mencari pemasukan

uang tunai, sambil menunggu musim panen atau menunggu dimulainya pelaksanaan

pembukaan lahan perladangan. Bagi masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah

tambang menganggap bahwa kawasan pertambangan dianggap sebagai milik

(24)

Tabel 9 : Daftar Jenis Bahan Galian, Lokasi dan Deposit di Propinsi Kalimantan Tengah

3). Kotawaringin Timur Tebal endapan 1,0 meter 4) Kotawaringin Barat Tebal endapan 0,5 meter

3 Air Raksa Kotawaringin Timur

4 Antimonit Barito Utara

5 Besi 1). Kotawaringin Barat 1.452.000

2). Kotawaringin Timur

4). Kotawaringin Timur 3,8 juta m3 (250 mg/m3) 5). Kotawaringin Barat 1,7 juta ton

7 Intan 1). Barito Utara

13 Batu Belah 1). Palangkaraya 2). Kotawaringin Timur 17 Pasir Kuarsa 1). Palangkaraya

(25)

6.3. Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati (Bioderversity)

Dalam kawasan hutan tropis Kalteng yang luas, terdapat juga berbagai jenis

sumber daya hayati, baik flora maupun fauna. Para ahli biasanya membagi

kenekaragaman hayati ini menjadi dua kelompok, yaitu kelompok makro dan

kelompok mikro. Keanekaragaman hayati makro adalah jenis dan jumlah flora dan

fauna yang hidup di atas permukaan bumi. Sedangkan keanekaragaman hayati

mikro adalah komposisi jenis dan jumlah flora dan fauna pada tingkat permudaan

(Tiang, Pancang dan Semai) dan pohon disamping jenis-jenis fauna yang ada.

Berdasarkan hasil studi yang bersifat parsial (sebagian wilayah) ditemukan bahwa di

wilayah Kalteng memang menyimpan keanekaragaman sumber daya hayati terbesar

setelah Irian Jaya. Selain itu, di wilayah ini juga terdapat ekosistem air hitam yang

tidak ditemukan di tempat lain. Ekosistem air hitam dicirikan oleh kondisi air yang

berwarna coklat kehitaman jernih merupakan suatu ekosistem yang khas

ditunjukkan oleh keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada. Beberapa flora

yang dilindungi terdapat pada ekosistem air hitam adalah Gembor (Alseodaphne

umbeliflora), Jelutung (Dyera costulata), Kapur naga (Callophyllum soulatri), Kempas

(Koompassia malacensis), Ketiau (Ganua motleyana), Mentibu (Dactyloclades

stenostachys), Nyatoh (Palaquium scholaris), Rambutan hutan (Nephelium sp.) dan

Ramin (Gonystylus bancanus). Selain itu ditemukan juga beberapa satwa yang

dilindungi seperti Orang hutan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Owa

(26)

Tabel 10. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati (Biodiversity) Kalteng

Gembor (Alseodaphne umbeliflora), Jelutung (Dyera costulata), Kapur naga (Callophyllum soulatri), Kempas (Koompassia malacensis), Ketiau (Ganua motleyana), Mentibu (Dactyloclades stenostachys), Nyatoh (Palaquium scholaris), Rambutan hutan (Nephelium sp.) Pempuluk, Punai, Sebaruk, Bangau, sejenis Bangau,Walet, Serindit, Putar, Tekukur, Beo, pelatuk dan Tinggang

17

2). Jenis ikan :

Lais, Baung, Ruan, Seluang, Lawang, Toman, Junuk, Papuntin, Lele, Bidawang,Sepat, Kaloi, Kapar, Papuyuk, Kentet, Biawan dan Tapah

16

3). Jenis satwa lainnya :

Kera ekor panjang, Kera ekor pendek berwarna kemerah-merahan, Bekantan, Beruk, Siamang, Orang Utan, Biawak, Bidaung (sejenis Biawak), Buaya, Ular Sawah, Ular Tedung, Babi hutan, Beruang madu, Macan pohon dan Babi Hutan.

15

Sumber : Walhi Kalteng (2000)

7. Dimensi Sosial dan Kultural Masyarakat Adat Dayak

7.1. Dayak dan Simbol Etnisitas

"Dayak" atau Daya’ adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok

etno-linguistik yang mendiami pulau Kalimantan. Penamaan Dayak untuk suku asli

Kalimantan berdasarkan beberapa kesamaan seperti hukum adat, ritual kematian,

bahasa dan letak geografis kawasan adat mereka. Selain itu, mereka disebut Dayak

karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti

rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, tradisi lisan, adat istiadat, hukum

(27)

smesta. Kalteng merupakan salah satu dari wilayah Kalimantan yang penduduknya

sebagian besar dari etnis Dayak. Lihat tabel 11 dibawah ini.

Tabel 11. Pengelompokan Suku Dayak Kalimantan

No Peneliti Dasar

Pengelompokan Kelompok Etnik Sub-Kelompok Etnik Bahasa

1

(1) Group Barito Barat laut Dohoi Murung (2) Group Barito Barat Daya Ba’amang (3) Barito Timur Laut Taboyan (4) Barito Timur Pusat Dusun Deyah (5) Barito Tenggara Dusun Malang

identitas etnis dalam sistem kependudukan, sehingga agak sulit menghitung secara

pasti berapa jumlah penduduk dari etnis Dayak dan proporsinya diantara penduduk

yang Non-Dayak. Para ahli memperkirakan jumlah penduduk dari etnis Dayak

Kalteng meliputi duapertiga atau 1,3 juta penduduk Kalteng. Proporsi ini juga

berlaku di propinsi Kaltim dan Kalbar, sedangkan di Kalsel mereka telah menjadi

minoritas kecil. Orang Dayak juga merupakan bagian yang cukup besar di Sabah dan

Serawak Malaysia. Tidak seperti di Kalbar dimana orang Dayak dibedakan dengan

(28)

bahkan mungkin 70 persen dari orang Dayak beragama Islam (ICG,Juni,2001:6-7).

Adanya perbedaan ini mungkin disebabkan karena pada masa lalu para antropolog

asing mendefinisikan Dayak sebagai “Non-Moslem Indigenous Peoples of Borneo”

(Masyarakat Adat Borneo yang bukan Islam). Pendekatan keagamaan seperti itu

berasal dari tradisi bahwa ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka tidak

lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai Dayak, tetapi Melayu. Dalam dekade 80-an

terjadi semacam arus balik, bahwa identitas suku tak dapat dihapuskan oleh agama.

Maka orang-orang Dayak yang Islam tadi kembali menyebut diri mereka sebagai

Dayak lagi (Djuweng ,1998).

7.2. Budaya Rumah Panjang (betang, lamin, lewu hante)

Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang mengandung nilai-nilai

yang positif dan hidup di dalam masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang ikut

menentukan pandangan hidup (lebensanchauung) dan pandangan tentang dunia

(weltanschauung). Oleh sebab itu, kebudayaan dialami sebagai kekuatan integratif

dan memberikan jatidiri bagi pendukungnya (Ukur,1992:39). Demikian pula dengan

masyarakat adat Dayak yang hidup di wilayah Kalimantan. Mereka telah

berabad-abad mengembangkan budaya mereka yang khas dan menjalin hubungan yang

harmonis dengan alam sekelilingnya.

Salah satu ciri khas dalam kebudayaan masyarakat adat Dayak adalah

“Rumah Panjang”. Dalam bahasa Dayak, rumah panjang disebut lamin, betang,

balai, lewu hante dan sebagainya. Ciri-ciri rumah panjang adalah dibangun diatas

(29)

digunakan untuk kepentingan bersama seperti upacara adat, tempat tamu

bermalam dan sebagainya. Masing-masing keluarga menempati satu kamar,

sedangkan jejaka tidur diruangan umum. Pasangan yang baru menikah dapat

membangun kamar tambahan pada rumah panjang tersebut. Itu sebabnya rumah

panjang ini bisa berkembang dan menjadi semakin panjang. Dalam kebudayaan

Dayak, rumah panjang berfungsi (Ukur, 1992:132) :

1. Tempat perlindungan dari segala ancaman bahaya, baik yang datang dari binatang buas maupun musuh-musuh lainnya ;

2. Pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua upacara, baik menyangkut kehidupan fisik maupun rohani diselenggarakan, dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka pulang membawa rezeki ;

3. Lambang kehidupan komunal yang harmonis, dirumah panjang tidak ada yang kekurangan dan tidak ada yang berlebihan, keseluruhan penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama.

Nilai-nilai dasar dari budaya “Rumah Panjang” ini juga terungkap dari hasil

“Kongres Rakyat Kalimantan Tengah”, tanggal 4-7 Juni 2001 di Palangkaraya,

dengan thema “Pemberdayaan Masyarakat, Integrasi dan Rekonsiliasi Nasional dan Daerah” yang menyebutkan bahwa budaya “Rumah Panjang” mempunyai nilai

dasar, antara lain :

1. Hidup dalam kebersamaan, kesetaraan, keadilan, kekeluargaan dalam kemajemukan. 2. Tuan pimpinan di rumah sendiri (Tumanggung/Damang).

3. Dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung (“belum bahadat”, kemampuan

menyesuaikan diri dalam bermasyarakat, dan bernegara).

4. Menerima apa/siapa atau segala sesuatu yang dianggap baik (“pantan”, keterbukaan). 5. Nilai-nilai dan semangat Rapat Damai Tumbang Anoi 1894.

Rekomendasi hasil Kongres Rakyat Kalteng tersebut, selanjutnya dituangkan

dalam Peraturan Daerah (Perda) Kalimantan Tengah No. 09 Tahun 2001, tertanggal

07 Nopember 2001, dalam penjelasan umumnya mendefinisikan filosofi budaya

(30)

“Sistem nilai-nilai atau norma-norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka yang majemuk, multi etnik, multi agama atau masyarakat madani (civil society) yang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan sub kultur dari Pancasila”.

Budaya “Rumah Panjang” dianggap sebagai cultural framework yang

fundamental dalam rangka antisipasi akan suatu masa ketika warga masyarakat

pendatang akan bertambah banyak dan kian majemuk. Sementara itu, menurut

salah seorang pakar Dayak Petebang (2000), seandainya budaya Rumah Panjang

“tidak dihancurkan” dan “dibiarkan hancur” menjelang akhir 1960-an dan awal

1970-an oleh rejim Orde Baru, bar1970-angkali per1970-ang 1970-antaretnis y1970-ang marak belak1970-ang1970-an ini

akan lebih mudah dicarikan solusinya. Sebab, setiap rumah panjang yang terdiri dari

puluhan Kepala Kelaurga (bahkan ada yang ratusan), memiliki seorang pemimpin

yang dinalan “Tuai Rumah” (sebutan untuk Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah

berbeda dengan peranan Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala

Desa dan mengantongi SK dari Bupati. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang

berakar dari komunitasnya yaitu “komunitas rumah panjang”. Tuai memiliki akses

terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka

rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah

diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya.

Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan

untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah.

Jadi, legitimasi kepemimpinan Tuai sangat jelas dan mempunyai legitimasi

yang sangat kuat, sehingga orang Dayak tidak harus mencari-cari pemimpin lain

(31)

repot-repot mencari provokator, jika sesuatu terjadi. Rasa kebersamaan, saling

percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah

panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti

sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah

pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan

tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa

tidak diundang. Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi

yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam

proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.

7.3. Hukum Adat

Hukum adat dibuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam

masyarakat berdasarkan norma-norma yang dianut. Sesuai dengan namanya,

hukum adat berakar pada adat istiadat yang berlaku secara lokal, bukan hukum

yang berkait berkelindan dengan tuntutan internasional dan global. Hukum adat

jelas memiliki pula nilai-nilai universal, namun universalnya komunitas yang bersifat

lokal (Petebang,2000).Hukum adat masyarakat Dayak diberlakukan untuk mencegah

tindakan-tindakan main hakim sendiri, dengan kekerasan maupun tindakan tidak

baik oleh warga komunitas yang bersangkutan maupun oleh warga luar terhadap

komunitas tersebut. Orang Dayak sangat menghormati hukum adatnya dan dengan

cara demikianlah mereka berhasil menyelesaikan 233 perkara secara adat dalam

(32)

Berkaitan dengan sistem pemilikan tanah atau hutan (property rights),

masyarakat Dayak memiliki peraturan sendiri. Tanah atau hutan yang belum digarap

dianggap milik bersama atau milik suku (commons/communal property). Tanah atau

hutan yang dimaksud adalah hutan primer. Sedangkan tanah atau hutan yang sudah

digarap dan ditanami dengan tanaman keras misalnya kopi, karet, rotan,

buah-buahan dan sebagainya adalah milik penggarap/individu atau keluarga (private

property). Namun demikian, masih ada tanah yang tetap menjadi milik bersama

atau tanah adat yang pemanfaatannya harus atas kesepakatan bersama/keputusan

adat. Inilah yang biasanya disebut tanah ulayat (Ukur,1992:36). Jadi, pada dasarnya

dalam masyarakat Dayak, tidak mengenal istilah tanah/hutan yang bersifat open

access, atau state property, karena semua tanah/hutan yang berada di wilayah

masyarakat Dayak dianggap milik adat dan penggunaannya juga di atur melalui

hukum atau ketentuan adat. Sebaliknya, negara (rejim Orde Baru) mengklaim

bahwa tanah/hutan adalah milik negara (state property) dan tidak mengenal atau

tidak mengakui adanya open access atau communal property, sehingga pada saat

bersamaan gugur pula hak-hak individual atau komunal atas tanah/hutan tersebut.

7.4. “Mangkok Merah” dan Budaya Kolektif

Menurut pandangan orang Dayak (Bamba, 2001), alam dengan segala isinya

adalah “rumah bersama” bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang

tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk

(33)

berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis.

Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan

hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut

diadakan. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus

dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak

dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang

Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk,

apalagi manusia. Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini dapat dilacak dari

pepatah yang mengatakan : “anjing saja diberi makan, apalagi manusia”, “sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras”. Maksudnya adalah penghormatan

terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum

diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang

berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan “bahan makanan” dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan

dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kolektifitas masyarakat

Dayak itu secara efektif dapat pula dilihat dalam berbagai perang antaretnis yang

terjadi di Kalimantan. Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman

serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak

dengan mudah berkumpul. “Mangkok Merah” yang sering dipublikasikan sebagai

sarana komunikasi orang Dayak, yaitu sebuah mangkuk dengan beberapa tetes

darah ayam, sepontong rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang

(34)

dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, dengan cara itu, orang

Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis. Budaya

masyarakat Dayak dalam tradisi bekerja dapat juga dilihat dari beberapa konsep

yang mengandung nilai dan semangat kolektifitas yang tinggi, seperti “Baring

Hurung”, “Handep”, dan “Harubuh” (Lutan,2001).

7.5. Masyarakat Adat Dayak dan Sumber Daya Alam

Munurut aliran filsafat determinisme yang dipelopori Darwin (1809-1882) dan

Ratzel (1844-1904) bahwa meskipun manusia dipandang sebagai mahluk yang

dinamis, mobilitasnya tetap dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam dipermukaan

bumi. Iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Karena iklim

di permukaan bumi ini bervariasi, maka kebudayaan itu pun sangat beraneka ragam,

perkembangan seni, agama, etnis, pemerintahan dan segi-segi kebudayaan lain

sangat tergantung pada iklim setempat (Sumaatmadja,1998:72). Pandangan

tersebut barangkali sangat relevan bila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat adat

Dayak di Kalteng. Fenomena alam hutan, sungai, danau, dan rawa yang telah hadir

sejak jutaan tahun lalu dan menjadi karakteristik wilayah Kalteng dalam berproses

dan berevolusi telah membentuk hubungan “simbiosis mutualism” dengan

masyarakat adat Dayak. Sehingga sumber daya alam dengan segala isi dan

lingkungannya merupakan bagian integral dan holistik dalam tata kehidupan politik,

(35)

masa yang akan datang. Ini dapat dilacak melalui berbagai ungkapan dari beberapa

tokoh adat masyarakat Dayak, dibawah ini :

“Tanah, hutan dan sungai merupakan elemen yang sangat penting untuk diperhatikan

bagi setiap orang yang ingin hidup di daerah Dayak” (Bamba, dalam Alcorn dan

Royo,2000:35).

“Hutan adalah darah dan jiwanya orang Dayak” (Petebang,2000).

“Hutan itu bagian dari hidup kita, sehingga kalau hutan itu rusak, maka kita semua ikut

sengsara” (Djamri, tokoh adat Dayak Barito Utara, wawancara 02 April 2003).

“Hutan itu bukan hanya untuk generasi kita sekarang, tetapi juga untuk kelangsungan

hidup anak cucu kita dikemudian hari, oleh karena itu kita bersama mempunyai

tanggungjawab sejarah untuk mempertahankan kelestariannya” (Eyak, tokoh adat

Dayak Barito Utara, wawancara 28 Maret 2003).

"Hutan dengan segala isinya juga tempat pengungkapan rasa terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya diperlukan perlakuan-perlakuan atau ketentuan yang mengatur agar keseimbangan dan keserasian tetap terperlihara (Timanggong Miden dikutip Petebang,2000).

"Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan beserta isinya secara besar-besaran. Hutan, bumi, seluruh lingkungan, serta semua makhluk hidup diatasnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum mengambil sesuatu dari alam, manusia Dayak selalu memberi terlebih dahulu kepada penunggu hutan" (Loir Botor Dingit, Kepala Adat Besar Dayak Bentian dikutip Petebang,2000).

Dengan demikian, sumber daya alam dengan segala isi dan lingkungannya

telah menentukan kultur “material” maupun “non-material” orang Dayak

(Petebang,2000:4). Hal ini bisa dilihat dari rumah panjang yang disebut “betang” atau “lamin”, rumah-rumah penduduk bahkan kantor-kantor pemerintah baik

dibangun di darat maupun di atas sungai (lanting) dibuat hampir seluruhnya dari

kayu tiang, lantai, dinding, atap, pasak, pengikat (sebelum ada paku, rumah diikat

dengan rotan atau akar dan dipasak dengan kayu). Pendek kata menurut Muchlis

(36)

bangunan fisik di darat maupun sungai di Daerah Kalteng ini terdiri dari kayu,

baru-baru ini saja kita melihat bangunan itu dari semen” (Wawancara, 19 Maret 2003).

Demikian juga dengan sarana transportasi seperti sampan, klotok, dan kapal

dibuat dari kayu juga diambil dari sumber daya hutan. Bahkan peralatan kerja dan

senjata, seperti : kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai, sumpitan,

senjata lantak dan lain-lain paling tidak sebagiannya terbuat dari bahan-bahan yang

diambil di hutan. Dari kultur non-materialnya, dapat disaksikan, seperti cerita rakyat

yang hidup di kalangan etnik Dayak yang bertutur tentang kehidupan di hutan atau

sekitar hutan, bahkan pohon-pohon besar, atau spesies kayu tertentu dipandang

sebagai simbol kekuatan mistik. Banyak jenis pohon yang tidak boleh ditebang

karena dipercaya tempat bersemayam roh-roh nenek moyang mereka. Bahkan ada

paham yang hidup dalam masyarakat Dayak, bahwa hancurnya hutan akan

menghancurkan kehidupan ideologi, budaya, sosial, dan ekonomi mereka, bahkan

Duwata (Tuhan) akan mengutuk manusia yang menghancurkan hutan. Korelasi

adikodrati antara manusia dengan hutan dilambangkan dalam mite-mite yang

semuanya menggambarkan keterkaitan manusia dengan hutan (Petebang,2000).

Kedekatan hubungan masyarakat adat Dayak dengan sumber daya alam juga

tergambar dari hasil “Musyawarah Besar Pertama Damang Kepala Adat se Kalteng Tengah” di Palangkaraya, tanggal 23-24 Mei 2002, yang memuat hal-hal berikut ini :

(37)

sekali tidak akan memiliki masa depan yang berkelanjutan. Karena itu, perlindungan dan pelestarian kandungan dan keutuhan bumi dimana kami tinggal dan bekerja mencari nafkah merupakan tantangan mendesak yang harus kami hadapi sebagai tugas dan kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Demi itu, kami bertekad untuk mengabdikan diri bagi segala upaya perlindungan alam di daerah kami demi keberlangsungan hidup kami dan generasi penerus di masa depan.

2. Kami mengakui bahwa perbedaan-perbedaan yang ada, asal usul, suku, kepercayaan dan agama, status sosial dan ekonomi, latarbelakang budaya dan pendidikan, tempat tinggal dan situasi, keahlian dan pekerjaan yang berlainan, tidak penting dan kurang berarti dibandingkan dengan ancaman terhadap alam di mana kami hidup dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Untuk itu, kita semua bertanggungjawab dalam menghadapi kondisi alam yang demikian, kita sebagai umat manusia menjadi satu.

3. Dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan prinsip dan ajaran politik, agama dan sosial, kami menyadari bahwa martabat, keutuhan dan karunia atas siapapun dan seluruh umat manusia, terkait langsung dengan keutuhan alam.

4. Bahwa segala bentuk wenangan terhadap alam adalah kesewenang-wenangan pula terhadap manusia, demikian sebaliknya. Kesewenang-kesewenang-wenangan yang demikian tidak pernah menguntungkan, melainkan merusak keharmonisan antara umat manusia dan alam, merusak keseimbangan ekologi dalam aspek spiritual/keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan fisik kehidupan manusia.

Uraian di atas telah dengan jelas menggambarkan bahwa bagi masyarakat

adat Dayak hutan dan segala yang hidup di hutan, tumbuh-tumbuhan dan binatang,

merupakan basis material dan non-material bagi keberlangsungan kehidupan

mereka secara individu maupun komunal. Sumber daya hutan dijadikan sebagai

tempat pemenuhan kebutuhan akan sumber protein dan mineral (binatang

perburuan, lebah madu, ikan sungai, sarang burung), sebagai sumber bahan bakar

(kayu bakar), bahan bangunan, padang pengembalaan dan lain-lain. Secara teoritis

hutan adalah merupakan penyangga food security dari masyarakat. Food security

diartikan sebagai kesempatan bagi setiap warga dari satu masyarakat untuk dapat

makan sepanjang tahun baik melalui usaha tani mereka maupun adanya

kesempatan bagi mereka untuk memperoleh uang tunai dari ketersediaan sumber

(38)

panen mereka telah menipis (Soetrisno,1999:3). Sehingga gangguan dalam bentuk

apapun terhadap sistem hubungan antara masyarakat adat dengan hutan akan

berakibat terganggunya kehidupan mereka dan generasinya. Oleh karena itu,

mereka berusaha secara sungguh-sungguh untuk menjaga sumber daya hutan dan

lingkungannya melalui sistem pengetahuan lokal (indegenous knowledge system)

atau kearifan tradisional melalui sistem hukum adat yang terlepas dari ikatan sistem

Gambar

Table 1 : Luas, Penduduk  dan Kepadatan  Pulau Borneo Tahun 1990
Tabel 2 : Luas Propinsi Kalimantan Tengah
Tabel 3 : Sebelas Daerah Aliran Sungai Besar
Tabel 4 : Panjang jalan darat menurut jenis dan kondisi nya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan Perundang-Undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan

Adanya komitmen yang dimiliki oleh konsumen dapat menciptakan nilai lebih bagi produk air minum dalam kemasan (AMDK) merk Aqua kemasan galon karena pengartian dari

Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan menggunakan parameter sesuai sintaks yang ada pada pembelajaran praktik biologi, yaitu komponen abiotik dan biotik yang

Yang dimaksud dengan persepsi mahasiswa ter hadap ma nfaat asuhan keperawatan keluarga dalam meningkatkan skill di lapangan adalah meliputi pemahaman mahasiswa terhadap

3 Tahun 1976, sebagai akibat hukum dari pelaksanaan amandemen UUD Tahun 1945, khususnya tentang aturan kewarganegaraan, telah merubah paradigm hukum yang tadinya

Selama ini Cindo Craft Palembang telah melakukan promosi dengan cara melakukan promosi penjualan di pameran-pameran baik di dalam kota Palembang maupun luar kota

Beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut di antaranya adalah kebutuhan kasih sayang, kebutuhan atensi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan harga diri, kebutuhan

Dari hasil penelitian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kadar protein makanan masak yang ditentukan dengan jalan meng- hitung dari bahan makanan mentah lebih