• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Hukum Adat, Desa Adat dan Tanah Adat 1 Masyarakat Hukum Adat

Dalam dokumen Monograf HTN Alm. Armen (Halaman 112-116)

PERLINDUNGAN HUKUM NEGARA TERHADAP TANAH ADAT DI PROVINSI LAMPUNG

M. Iwan Satriawan

3. Tinjauan Pustaka

3.3 Masyarakat Hukum Adat, Desa Adat dan Tanah Adat 1 Masyarakat Hukum Adat

Istilah adat dalam bahasa Indonesia memiliki arti kebiasaan atau tradisi dan mengandung konotasi tata tertib yang tentram dan konsensus. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, istilah ini serta- merta menjadi memiliki arti yang diasosiasikan dengan aktivisme, protes, dan konflik yang disertai dengan kekerasan137.

Cornelis van Vollenhoven (1876-1933), pendiri mazhab Leiden dan disiplin studi adatrecht di Universitas Leiden tanpa ragu mengidentifikasikan adat, tata aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dengan recht, sebuah kata yang secara konvensional diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai law atau hukum dalam bahasa Indonesia.

Disisi lain sebutan masyarakat adat cenderung menjadi terjemahan dari indigenous people atau tribal people. Sebutan tersebut sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang dalam perbincangan internasional. International Labaour Organization (ILO) pun sudah menaruh perhatian dengan isu pekerja penduduk asli (indigenous worker) sejak tahun 1920-an. Adapun ciri-ciri atau karakteristik masyarakat adat adalah sebagai berikut138:

1. mengidentifikasi diri secara otomatis sebagai kelompok suku yang berbeda;

2. mempunyai pengalaman historis, dalam hubungan dengan kerentanan kehidupan mereka, terhadap gangguan, dislokasi dan eksploitasi;

3. memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiami; 4. berkeinginan mempertahankan ideologi yang berbeda.

137

David Henley,Konservatisme radikal-Aneka wajah politik adat,Pustaka Obor:Jakarta,2010,hlm.1

138

Jamie S Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga, Adat dalam Politik Indonesia,(Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2010),hlm.348

Stavenhagen dan Kingsbury mendefinisikan masyarakat adat sebagai keturunan dari orang yang telah menghuni sebuah wilayah tertentu, sebelum wilayah itu diserang, ditaklukkan atau dijajah oleh satu kekuatan asing atau masyarakat lain139.

Menurut Hilman Hadikusuma masyarakat adat adalah sebagai kelompok –kelompok masyarakat yang tetap dan teratur, dengan mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri, baik yang berwujud atau tidak. Sedangkan menurut Bab I Pasal 3 PMA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagai berikut:

Sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

3.3.2 Desa Adat

Istilah “Desa” secara etimologis berasal dari kata “swadesi” bahasa sansakerta berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom140. Istilah desa sendiri sangat beragam di berbagai tempat di Indonesia. Desa hanya dipakai dalam masyarakat pulau Jawa, Madura dan Bali.Sedangkan masyarakat Aceh menggunakan nama Gampong atau Meunasah, masyarakat Batak menyebutnya dengan Kuta atau Huta, didaerah Minangkabau disebut dengan Nagari, Dusun atau Marga di Sumatera Selatan141, kemudian di Lampung disebut dengan Dusun atau Tiuh. Maka dari itu ada istilah di daerah Lampung yang amat populer yaitu “mulang tiuh” atau pulang ke desa bagi orang kota yang sukses untuk membangun daerahnya atau desanya.

Kata “desa”tersebut kemudian dalam bahasa Jawa dipelintir menjadi kata “ndeso”untuk menyebut orang-orang atau penduduk yang berada di “udik” atau “pedalaman”atau yang punya sifat “kampong(an)”142. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata”desa”

139

Ibid.hlm.103

140

P.j Zoetmulder dalam Ateng Syarifuddin, Republik Desa, (Bandung: Alumni, 2010), hlm.2

141

B.Ter Haar dalam Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2006), hlm.223

142

Ibid. hlm.3 Bandingkan dengan Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia dalam Moh. Fadli dkk, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif, (Malang: Brawijaya Press, 2011),hlm.3

diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri143.

Keberadaan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum memberi pemahaman yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas administratif belaka tetapi juga entitas hukum yang harus dihargai,diistimewakan, dilindungi dalam struktur pemerintahan di Indonesia144.

Setelah dilakukannya perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan (Perppu) No. 2 Tahun 2014, kemudian dilakukan perubahan pertama dengan UU No. 2 tahun 2015 yang selanjutnya dilakukan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2015 maka pengaturan tentang pemerintahan Desa dilepaskan dari UU tentang Pemerintahan daerah di bentuk UU tersendiri yaitu UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.Dimana menurut pasal 1 UU No 6 Tahun 2014 Desaa adalah

“Desa adalah Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dari uraian tersebut maka menurut Didik Sukriono145 dalam bukunya pembaharuan hukum Pemerintahan Desa secara yuridis dan politis terdapat dua konsep desa yaitu, desa yang diakui, yakni desa masyarakat hukum adat yang disebut dengan nama-nama setempat dan desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-undang.Artinya desa dipandang sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa atau memiliki wewenang mengadakan pemerintahan sendiri.

3.3.3 Tanah Adat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia,1994, Edisi Kedua Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

143

Tim Penyusun kamus Pusat Pembianaan dan Pengembangan Bahasa , Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet.VII,(Jakarta:Balai Pustaka,1995),hlm.226.

144

Baca Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

145

Jakarta, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu diartikan tnah dan dihubungkan dengan usaha pertania (Black’s law Dictionary,1983, West Publishing Co,St.Paul,Minn).Sebutan

agrariaan laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan Administrasi pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non-pertanian. Tetapi agarrisch recht atau hukum agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan146.

Berbicara mengenai pengertian hukum tanah adat di Indonesia khususnya, tidak dapat dilepaskan dari dijadikannya hukum adat sebagai dasar hukum berlakunya UUPA147. Sedangkan untuk hak ulayat masyarakat adat diatur dalam pasal 3 UUPA .

Dalam perkembangannya konsepsi tanah ulayat sebagai salah satu wujud hak yang bersumber dari hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang kemudian dalam konsepsi hukum tanah nasional dikembangkan bahwa semua tanah dalam wilayah negara menjadi tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang satu menjadi bangsa Indonesia.

Dalam konsepsi hukum adat sendiri, sifat keagamaan hak ulayat masih belum jelas benar, dikarenakan rumusan norma tanah ulayat sebagai tanah bersama adalah peninggalan nenek moyang atau sebagai karunia sesuatu yang gaib. Namun apabila konsepsi hukum tanah nasional dengan adanya keterkaitan dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa (sila Kesatu Pancasila), maka tanah yang merupakan tanah bersama bangsa Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi benar148.

146

Arie S.Hutagalung dkk,Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Agraria,Denpasar:Pustaka larasan,2012,hlm.127

147

Penjelasan Umum angka III (1) dan Pasal 5 berikut penjelasannya.

148

H.Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan,Jakarta:Prenada Media Utama,2009,hlm.40

4. Hak-hak atas Tanah dan Pendaftaran Tanah

Dalam dokumen Monograf HTN Alm. Armen (Halaman 112-116)