• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama Koentjaraningrat (1994) dalam Defenisi Pusat Indonesia (2012).

Daerah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota (Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu).

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria (2004) dalam Ikhsani (2012)). Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk system dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya (Wahyudin, 2003).

Menurut Wahyudin (2003), hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas

kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya : Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, dan kakus), dimana mereka dapat dengan serta merta menceburkan tubuhnya; mencuci segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian, gelas, dan piring; bahkan mereka lebih mudah membuang air (besar maupun kecil). Selain itu, mereka juga dapat dengan mudah membuang limbah domestiknya langsung ke pantai/laut.

Masyarakat nelayan pada umumnya adalah gabungan dari masyarakat kota dan desa, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi dari budaya masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya. Menurut Horton (2003) dalam Gaffar (2010), masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Permukiman di lingkungan perairan diartikan sebagai sekelompok rumah tempat tinggal bersama sarana dan prasarana, yang merupakan kesatuan dalam hal keruangan dan berada pada bentang alam dengan hamparan air yang menonjol. Lebih penting lagi adalah penghidupan penghuninya berorientasi kehamparan air itu (Purba (2001) dalam Gaffar (2010)).

Menurut Purba (2001) dalam Gaffar (2010) mengatakan bahwa masyarakat pesisir dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Masyarakat Perairan, kesatuan sosial yang hidup dari sumber daya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, hidupnya pun lebih banyak berada dilingkungan perairan daripada di darat, dan berpindah-pindah tempat di suatu wilayah (teritorial) perairan tertentu. Kehidupan sosial mereka cenderung bersifat egaliter, dan hidup dalam kelompok-kelompok kekerabatan setingkat klen kecil.

2. Masyarakat nelayan, golongan masyarakat pesisir yang paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Masyarakat nelayan umumnya bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain. Sistem ekonomi sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak untuk di konsumsi sendiri, tetapi didistribusikan dengan imbal ekonomis kepada pihak-pihak lain. Walaupun demikian, masyarakat nelayan sebenarnya lebih banyak menghabiskan kehidupan sosial budayanya di daratan.

3. Masyarakat pesisir tradisional, masyarakat yang berdiam dekat dengan perairan laut, akan tetapi sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidup dari sumber daya laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumber daya daratan.

Dari pengelompokkan di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat nelayan adalah bagian dari masyarakat pesisir yang bermukim secara menetap di lokasi yang dekat dengan laut dan banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya.

Ada beberapa ciri masyarakat nelayan menurut Hadi (2000) dalam Gaffar (2010) yaitu kondisi sosial ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, fasilitas sarana dan prasarana yang masih kurang, hunian liar (squatters) dan kumuh (slum). Teori yang lain diungkapkan oleh Darsef dalam Gaffar (2010) yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan wilayah pesisir yaitu: Pertambahan penduduk, kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, sedimentasi, ketersediaan air bersih, dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Pendapat lain diungkapkan lebih lanjut oleh Dahuri dalam Gaffar (2010) mendefinisikan bahwa gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumber daya pesisir meliputi: pencemaran, degradasi fisik habitat, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.

Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan dalam Gaffar (2010) adalah :

1. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan yang memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penghuninya.

2. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses yang tinggi terhadap kawasan perairan.

3. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.

4. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

5. Memiliki berbagai prasarana yang mendukung penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.

Dari berbagai parameter tentang permukiman dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan bahwa permukiman nelayan merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang mendukung, dimana masyarakat tersebut mempunyai keterikatan dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Selain itu, menurut Amran (2004) dalam Handayani (2011), sanitasi sangat sulit untuk dibangun di daerah pesisir dikarenakan air tanah sangat dangkal terlebih dimusim hujan, sangat menyulitkan dalam membangun struktur bawah tanah dalam situasi seperti ini, daerah pesisir yang sangat rata/datar sehingga sangat sulit mendapatkan aliran gravitasi untuk saluran drainase dan penyaluran air limbah (khususnya sistem terpusat) dan ketersediaan tanah, hampir semua tanah disekitar daerah pemukiman adalah milik pribadi, ini merupakan masalah jika akan membangun fasilitas untuk umum seperti pengolahan limbah komunal.

2.7. Perilaku

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974). Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Intervensi terhadap faktor perilaku ini secara garis besar dapat dilakukan melalui dua upaya yang saling bertentangan yaitu tekanan atau pendekatan koersi atau paksaan dan edukasi atau ajakan atau himbauan dan sebagainya. Namun dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan koersi (Notoatmodjo, 2003)

Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Teori Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai 6 tingkatan.

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

b. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan.

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

c. Praktek atau Tindakan (practice)

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan.

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respons terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Dokumen terkait