• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Masyarakat Melayu

Orang melayu yang tergolong dalam masyarakat besar melayo-polynesia merupakan salah satu bangsa yang serumpun dalam bangsa yang berbahasa Autronesia terdapat di daerah kepulauan dan sebagian daripada tanah besar asia tenggara. Bagi orang melayu yang tinggal di desa, mayoritas mereka menjalankan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian termasuk mengusahakan tanaman padi, karet, kelapa sawit, kelapa dan tanaman campuran . Di kawasan pesisir pantai, umumnya orang melayu bekerja sebagai nelayan yaitu menangkap ikan dilaut dengan menggunakan alat-alat penangkap ikan. Orang melayu yang tinggal di kota kebanyakan bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja di sektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan dan lain-lain. Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan.

Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan masyarakat etnis budaya “asli” di provinsi Sumatera Utara (Ridwan, 2005). Anggota masyarakat Melayu didefinisikan oleh William Hunt (1952):

A Malay one who is Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay adat, and who fullfills certain residence requirement”.

Jadi masyarakat Melayu sesungguhnya bukanlah secara geneologis melainkan kumpulan melting pot asal berbagai suku bangsa ataupun bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan dengan landasan agama Islam, bahasa Melayu (dengan berbagai dialek, sosiolek, kronolek, tempolek, maupun idiolek), berpakaian, beradat istiadat serta bertradisi Melayu (dalam Ridwan, 2005). Dalam buku-buku antropologi, umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (Barth, 1988):

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Definisi yang ideal memang tidak berbeda jauh dengan yang umum kita kenal, yaitu bahwa suku bangsa = budaya = bahasa; sedangkan masyarakat = suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain. Pola ini mendekati kondisi etnografis empiris yang ada, sehingga dapat dipakai oleh ahli antropologi dalam penelitiannya.

Kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama merupakan ciri utama kelompok etnik yang penting. Menurut Barth (1988), ciri khusus ini bukan hanya merupakan ciri etnik kelompok saja, tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas, terutama dengan asumsi tiap kelompok etnik mempunyai ciri budaya sendiri. Masyarakat Melayu di Sumatera Utara mendiami wilayah pesisir timur. Pesisir timur Sumatera Utara meliputi Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu (Pempropsu, 2006).

Raja-raja Melayu digambarkan sebagai orang yang bersifat luar biasa, selain juga mempunyai kedudukan yang istimewa. Keistimewaan kedudukan golongan pemerintah kerajaan Melayu juga dinyatakan dengan lambang-lambang kebesaran secara visual, termasuk keindahan dan kebesaran istana, serta peralatan kebesaran kerajaan Melayu. Istana memainkan peranan penting sebagai pusat perkembangan budaya yang tertinggi, yang karenanya sering berusaha untuk menjaga ketinggian mutu dan kehalusan tradisi budaya, misalnya adat istiadat. Berperan sebagai pusat pembangunan budaya, istana senantiasa mempertahankan tradisi budaya yang dapat mempertahankan ketinggian budaya Melayu. Istana juga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan (Ridwan, 2005).

Keistimewaan kedudukan raja-raja Melayu juga dinyatakan dengan penerimaan Islam. Kedatangan dan penyebaran Islam digambarkan dengan cara yang menarik yang membolehkan masyarakat Melayu menerima dengan baik dan meletakkan pada kedudukan yang tinggi. Pembinaan Islam dikalangan warga

masyarakat didapati umumnya penerimaan Islam meresap secara mendalam dan menyeluruh sabagaimana kedudukan Islam di pusat perkembangannya Arab (Basyarsyah, 2005).

Adat dalam konteks masyarakat Melayu mempunyai makna dan pengertian yang luas, bahkan mencakup keseluruhan cara hidup yang menentukan ketentuan sosial untuk tercapainya keharmonisan dan kestabilan sosial. Berazaskan adat warga masyarakat dapat disusun kehidupan bernuansa keperluan bersama (Ishaq, 2002).

Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan etnis budaya “asli” di propinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan diantara kelompok masyarakat namun terdapat hal-hal yang universal: aspek-aspek dimana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respon, cara pandang, dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden. Melalui sudut kebahasaan, ungkapan, rasa bahasa, dan gaya bahasa mendukung pula pemahaman mengenai karakteristik masyarakat penutur dan pemakai bahasa (Ridwan, 2005).

Menurut Ishaq (2002) salah satu kelemahan masyarakat melayu yang menjadi pandangan adalah kegemaran mereka mencari dan memuja hero atau wira, yang artinya walaupun dengan keadaan ekonomi yang rendah tidak sebaik dulu, mereka tetap hidup dalam bayang-bayang kejayaan masyarakat Melayu di masa lalu. Diketahui pada masa lalu orang-masyarakat melayu mengalami masa kejayaan yaitu menguasai sebagian besar aspek kehidupan, mulai dari seni, teknologi (perkapalan, misalnya) sampai perdagangan di nusantara. asyarakat melayu masih bangga dengan

“kejayaan” yang kononnya di capai oleh Hang Tuah atau lahirnya cerita Langkawi pada tahun 1992 tentang wujudnya sepuluh orang jutawan Melayu. Penciptaan hero ini menimbulkan kesan yang negatif menurut Norazit Selat (dalam Safrin, Sulbihar, dan Sudirman 1996).

Masyarakat melayu merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras Austronesia. Masyarakat melayu dalam pengertian ini, berbeda dengan konsep Bangsa Melayu yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Suku Melayu bermukim di sebagian Malaysia, Pesisir Timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang selat Malaka dan selat Karimata. Di Indonesia suku Melayu mendiami sebagian besar propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat (Ahyat Ita Syamtasiyah, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmayani Yulia, (2007) ditemukan bahwa daerah pantai Timur yang merupakan tempat tinggal etnik Melayu pada umumnya adalah sebuah dataran rendah yang subur dengan beberapa sungai besar dan daerah- daerah rawa sepanjang pantai sehingga merupakan wilayah yang memiliki potensi alam yang sangat besar. Keadaan seperti ini justru membentuk sikap hidup yang cenderung santai, kurang gigih, dan kadang-kadang mengarah pada sifat mudah menyerah pada nasib, serta terkesan kurang mempunyai dorongan untuk maju. Pada saat ini terdapat pandangan bahwa umumnya masyarakat Melayu kurang mempunyai cita-cita hidup atau secara tegas kurang mempunyai pandangan tentang masa depan

keluarga yang diinginkan. Bagi mereka, orientasi hidup lebih ditekankan pada masa kini (atau masa yang sedang dijalani), tanpa mau berfikir bagaimana masa depan keluarga nanti. Penghasilan yang diperoleh atau diberikan suami hanya diperuntukkan untuk kebutuhan konsumsi setiap hari tanpa ada usaha untuk menabung sebagai cadangan untuk biaya kesehatan.

Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan. Tidak sedikit unsur-unsur kebudayaan Melayu yang hilang dan punah akibat globalisasi (Efendi, 2010). Contohnya dalam bidang kesehatan banyak ibu-ibu suku Melayu yang masih melakukan perawatan sesuai dengan budaya mereka walaupun hal tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan. Mereka masih berpegang pada kebiasaan atau perilaku yang mereka dapatkan dari orang tua mereka secara temurun, misalnya nilai-nilai yang mendasari praktek budaya dalam suku Melayu adalah adanya pantangan perilaku seperti pantangan keluar rumah selama 40 hari, perilaku yang khusus dilakukan seperti keramas setiap hari selama seminggu dan memakai pilis. Kemudian adanya pantangan makanan yang sangat bertentangan dengan kesehatan seperti larangan mengkonsumsi sayuran seperti kangkung, genjer, ikan, daging, nangka, dan es.

Berikut adalah pantangan masyarakat melayu pada ibu hamil:

1. Dilarang menceritakan dan menghina orang cacat, karena anak yang bakal lahir juga akan cacat.

2. Dilarang memukul dan menyiksa binatang, dikhawatirkan anak yang bakal lahir tida sempurna.

3. Dilarang memaku, memahat, mengail atau menyembelih binatang, anak yang bakal lahit bibir terbelah atau mengalami kecacatan.

4. Dilarang ribut dengan ibu mertua, akan mengalami kesulitan ketika melahirkan anak.

5. Dilarang makan sotong, anak mungkin tercerut tali pusatnya.

6. Dilarang mencerca atau melihat sesuatu yang ganjil, nanti hal yang sama akan terjadi pada anak kita

7. Dilarang minum air tebu atau kelapa di awal kehamilan, anak akan gugur. 8. Dilarang melihat gerhana, anak mendapat tompok hitam atau bermata juling. 9. Dilarang melangkah kucing yang sedang tidur, mata anak tertutup seperti kucing

yang sedang tidur.

10. Dilarang menyusup di bawah jemuran, nanti anak akan bodoh.

11. Dilarang makan makanan yang berakar seperti pegaga, nanti terlekat uri. 12. Dilarang tidur waktu tengahari, nanti kepala anak akan menjadi besar

Dokumen terkait