• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan umat Islam dalam permulaan kemerdekaan sangat tidak

menguntungkan di bidang politik, meskipun di tingkat arus bawah, umat Islam adalah penentu kemerdekaan Indonesia. Dominasi kekuatan nasionalis

menyulitkan pihak Islam untuk andil sebagai penentu kebijakan. Sisi lain,

kedudukan Islam juga lemah di BPUPKI maupun PPKI. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan ketika presiden membentuk Komite Nasional Indoensia Pusat (KNIP), yang merupakan badan perwakilan rakyat transisi. Umat Islam hanya mendapat kursi sebanyak 11% dari jatah yang diberikan.

Ketika pemerintah mengumumkan agar masyarakat yang terdiri dari berbagai aliran membentuk partai politik pada 3 Oktober 1945, hal ini direspon positif oleh kalangan umat Islam. Maka, diadakanlah Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta, tanggal 7 dan 8 November 1945 bertempat di Yogyakarta yang dihadiri seluruh

101

wakil-wakil dari berbagai organisasi Islam.102 Setelah melalui perdebatan panjag, terbentuklah Partai Masyumi yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari pada Masjlis Syuro, dan Badan Eksekutifnya dipimpin oleh Sukiman Wirjo Sandjojo. Sedang Kiai Wahab menjabat anggota Majelis Syuro.

Di awal perjalanannya Masyumi lebih memusatkan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia yang masih di rongrong oleh penjajah. Setelah perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) ditanda tangani antara pihak Belanda dan Indonesia,103 perjuangan ini telah berakhir. Di masa perjuangan tersebut, dapat disebutkan persoalan internal partai hampir tidak ada.104

Dengan masuknya NU dalam wadah partai Masyumi, semakin membuka peluang bagi NU dalam politik praktis. Sikap antusias ini diperlihatkan ketika muktamar NU ke-16 pada tahun berikutnya di Purwokerto. Dalam keputusannya, NU medorong para anggotanya untuk “berbondong-bondong masuk partai Masyumi”.105

Sebagai orang nomor satu di Nahdlatul Ulama dan sekaligus di Masyumi, Kiai Wahab yang menggantikan kedudukan KH. Hasyim Asy’ari setelah wafat, melakukan gebrakan-gebrakan baru. Langkah pertamanya adalah mengusulkan agar

102

Penamaan Masyumi semata-mata karena nama tersebut memang sudah cukup populer di masa itu. Namun, Masyumi di sini, bukan hasil representasi dari Masyumi di masa Jepang. Nama ini juga tidak memiliki singkatan apapun.Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 31.

103

Perjanjian yang diadakan di Den Haag pada 29 Desember 1949 ini, telah memberikan

legitimasi kepada Indonesia aebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lihat, Deliar Noer, Partai

Islam Dipentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1987), h. 194-195.

104

Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, h. 34.

105

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.

NU dan Masyumi menerima ajakan Bung Hatta dalam Kabinetnya.106 Sebagaimana kita ketahui, Bung Hatta menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin yang hanya berumur 6 bulan. Singkatnya usia kabinet Amir akibat dari penandatanganan “Persetujuan Renville” yang dilakukan antara pihak Indonesia dan Belanda. Persetujuan ini merugikan posisi Indonesia, dan imbasnya, anggota-anggota kabinet dari seluruh partai, seperti : PNI dan Masyumi, kecuali Front Demokrasi Rakyat (cikal bakal PKI), mengundurkan diri.107

Sebagai kabinet baru, Bung Hatta mengajak Masyumi ikut bergabung. Tawaran tersebut sangat menarik minat tokoh-tokoh masyumi. Namun mereka ragu, karena dalam salah satu programnya adalah melaksanakan persetujuan Renville. Suatu program yang sangat ditentang oleh Masyumi.108

Usulan Kiai Wahab dalam suatu rapat DPP Masyumi ini, tidak diterima begitu saja oleh peserta yang pada umumnya menolak tawaran Bung Hatta. Namun Kiai Wahab, yang menyetujui tawaran tersebut, beralasan:

“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya kita hendak melenyapkan munkar…. dengan perbuatan dengan jalan duduk dalam Kabinet Hatta. Kalau kita berdiri di luar kabinet, kita cuma bisa teriak-teriak thok. Mungkin bahkan dituduh sebagai pengacau…!”109

106

Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:

LKiS, 1999), h. 43.

107

M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,

1981), h. 340.

108

Dalam kabinet, Indonesia merupakan negara federasi (Republik Indonesia Serikat) yang

menerima pengembalian kedaulatan dari pihak Belanda tanggal 27 Desember 1949. lihat, Noer, Partai

Islam, h. 199.

109

Akhirnya perdebatan sengit yang berlangsung hingga dua hari ini selesai dengan keputusan yang sesuai dengan usulan Kiai Wahab. Dalam kebinet tersebut pihak NU hanya memperoleh satu kursi dari 4 kursi yang ditawarkan kepada Masyumi.

Diawal berdirinya, Masyumi merupakan partai Islam yang berwadah tunggal, karenanya seluruh komponen Islam melebur dalam partai tersebut. Posisi ulama juga mendapat tempat mulia. Namun menjelang tahun 1950-an, Masyumi, yang merupakan partai Islam multi kompleks, mulai terlihat keretakannya. Hal ini bermula dari perubahan AD/ART partai Masyumi tentang Majelis Syuro.110 Perubahan AD/ART yang dilakukan pada Muktamar IV Masyumi tanggal 15-19 Desember 1949, membatasi peran politik ulama dalam memberikan fatwa. Sebagai Ketua Majelis Syuro, Kiai Wahab menolak keras anggaran dasar tersebut. penolakan Kiai Wahab yang tidak ditanggapi ini, semakin memperumit persoalan dalam stuktur partai. Selain itu, faktor yang semakin memperlebar jurang antara ulama, yang nota bene didominasi oleh NU, dengan Masyumi adalah sikap kalangan modernis yang cenderung memandang rendah ulama. Hal ini membuat golongan tradisionalis menjadi tersinggung dan melakukan walk out.111

Perubahan tersebut tidak terlepas dari dominasi kelompok Natsir yang menggantikan Sukiman. Selama ini NU bergandengan erat kelompok Sukiman, sebab

110

Noer, Partai Islam , h. 80-81.

111

Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak

NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h.

kelompok Sukiman lebih mengakomodasi kepentingan NU dibanding Natsir.112 Namun sejak Muktamar tahun 1949, kelompok Sukiman tersingkir dan kelompok Natsir memainkan peran politiknya. Bahkan Natsir juga menggusur angkatan tua kaum tradisionalis. Sejak itu hubungan NU dengan Masyumi tidak pernah pulih. Tindakan Natsir menimbulkan kemarahan yang meluas di kalangan NU dan mulai muncul kampanye tentang penarikan diri dari Masyumi.

Menanggapi sikap Masyumi, Kiai Wahab sebagai politisi dan ulama, merasa bahwa peran NU dalam politik di Masyumi sudah tidak menguntungkan. Kiai Wahab yakin, potensi massa NU sangat besar jika menjadi kekuatan politik. Karena didalam Masyumi sudah tidak dapat dicapai, maka NU harus membuat partai sendiri.113 Maka, dalam Muktamar NU ke-18 berlangsung di Jakarta pada tahun 1950, Kiai Wahab yang terpilih lagi sebagai Ra’is ‘Am, menegaskan dalam pidato pertamanya:

“Banyak pemimpin-pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. orang-orang ini terpengaruh bisikan orang lain yang menghembuskan propaganda agar NU tidak yakin akan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah merima, betul-betul meriam. Tapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya…gelugu alias batang kelapa sebagai meriam tiruan…! Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.”114

Pidato tersebut jelas mengindikasikan sikap mengancam terhadap Masyumi. Meskipun di sana sini muncul dukungan terhadap usulan Kiai Wahab tersebut, NU

112

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 100.

113

Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 107-108.

114

tetap mencoba menempuh jalan kompromi dengan melakukan negosiasi agar peran ulama dalam Masyumi diperhatikan sebagaimana yang telah dilakukan di awal-awal berdirinya Masyumi.115 Jalan damai tersebut tidak ditanggapi oleh Masyumi.

Melihat sikap Masyumi yang tidak merespon usulan NU, maka NU pada tanggal 3 September 1951, membentuk suatu badan yang bernama Majelis Pertimbangan Politik (MPP) PBNU.116 Majelis ini bertugas mengikuti perkembangan politik di tanah air, menganalisa dan menyimpulkan untuk diserahkan kepada PBNU, sebagai suatu saran atau usul. Namun substansinya MPP dipersiapkan untuk kperan politik yang lebih besar dan menyusun rencana untuk menjadi partai politik.117

Dokumen terkait