• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergulatan politik KH.Abdul Wahab Hasbullah : studi analisis terhadap hubungan NU dan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pergulatan politik KH.Abdul Wahab Hasbullah : studi analisis terhadap hubungan NU dan Negara"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH;

STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA

Oleh:

IIS SUPRIYATNA 9933216582

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH;

STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA

Oleh:

IIS SUPRIYATNA 9933216582

Dibawah bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sya’ban Muhammad Dra. Haniah Hanafie, M. Si

150 316 239 150 299 932

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Ilahi, yang telah memberikan rahmat-Nya kepada

kita semua, sehingga kita diberikan nikmat yang tak terhingga. Atas sifat

pemurah-Nya pula, penulis dapat merampungkan penulisan skripsi yang merupakan salah satu

syarat untuk memnuhi gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) di Universitas Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tak lupa tetap tercurahkan kepada sang

revolusioner dunia, Nabi Muhammad saw, yang telah merekonstruksi umat dari

zaman kejumudan menuju era pencerahan.

Selanjutnya, perkenankanlah penulis untuk dapat mencurahkan terima kasih

yang terkira kepada segenap pihak, seperti penulis paparkan di bawah ini, yang telah

banyak membantu dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Sebab penulis menyadari,

tanpa bimbingan dan motivasi dari semua pihak, terasa sangatlah penulis mampu

melewati rintangan ini.

Dengan penuh hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.

Azyumardi Azra, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana

penulis mencoba menggapai cita-cita dari tempat yang mulia ini. Penulis sampaikan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA.,

selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Juga kepada Bapak Agus Darmadji,

M. Fil., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan

Pemikiran Politik Islam, yang selalu memberi motivasi dan semangat. Juga kepada

(4)

Dengan penuh hormat, penulis haturkan terima kasih kepada Bapak Dr.

Sya’ban Muhammad dan Ibu Dra. Haniah Hanafie, M.Si., yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing penulis ditengah aktifitas yang sangat padat.

Untaian terima kasih yang setulus hati penulis haturkan kepada ayah dan ibu,

yang tidak dapat dilukiskan dengan rangkaian kata-kata. Kasih sayang, ketabahan dan

kesabaran beliau selalu menyertai penulis di setiap waktu, yang tak henti-hentinya

untuk selalu mendorong dan memberi semangat agar tegar menghadapi hidup. Juga

kepada adik-adikku yang penulis cintai dan sayangi: Widi, Mutia, Yus dan Yudi.

Keluarga adalah pemberi semangat dan inspirator bagi penulis.

Ucapan terima kasih, juga penulis haturkan kepada para pengasuh, para

ustadz, dan keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang,

khususnya kepada KH. M. Sholeh Abdul Hamid, “matur nuwun atas do’anya”, serta Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid dan Nyai Hj. Munjidah Wahab, yang telah memberi

pencerahan kepada penulis. Juga kepada Bapak Ali Muttaqin, M.Ag, atas

kerjasamanya. Tak lupa untuk kawan-kawan seperjuangan di Pondok, yang kini

sedang sedang menapaki karir, “Yak opo kabare?

Dengan penuh khidmat penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat

seperjuangan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Tak

lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan PPI selama

menempuh studi di kampus ini: Anshori, Ayuk, Bejo, Arif, Singgih, Helmi, Toriq,

Bajigur, dll. Juga kepada kawan-kawan di “Istana Kerinduan”: Dzay, Dicky, Rika,

(5)

penulis haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kepada Wawan “wsb

syah” Saepul Bahri, Ricky Haryanto dan Sayyid Nur Fattah yang telah banyak

berkorban dan memberi semangat serta dukungan, demi kemajuan penulis. Jasa

kalian takkan pernah sirna oleh masa. Kepada Pak Wawan Djunaedi dan Mba Iklilah

MDF yang begitu peduli terhadap masa depan penulis. Juga untuk Rachel, Kaka, dan

Umar yang selalu membuat penulis tersenyum dengan kemungilannya. Tak lupa

penulis sampaikan kepada “@nhoy” yang telah memberi warna dalam hidup penulis,

melalui semangat dan kasih sayangnya.

Penulis ucapkan terima kasih kepada M. Afifuddin, Ali Saban, Syifa, Robi,

Gunawan, Sukma, Kholilah, dan sahabat-sahabat BEM UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta periode 2002-2003, bersama mereka bersatu untuk mengharumkan nama

almamater. Juga kepada kawan-kawan di Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul

‘Ulum Ibukota (HIMABI), PERMALA, Koridor~195, Piramida Circle, dll.

Tak lupa penulis haturkan terima kasih yang teramat dalam kepada para dosen

di Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan pikiran kepada penulis

sebagai jalan untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Demikian secercah pengantar skripsi ini penulis sampaikan, atas kerja

samanya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap,

gerak dan langkah kita dalam “mengais” ilmu tak pernah lekang oleh zaman.

Amin….

Ciputat, Februari 2006

(6)

PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH; STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

E. Sistematika Penyusunan ... 10

BAB II BIOGRAFI KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH ... 12

A. Masa Kecil, Remaja dan Dewasa ... 12

B. Pengalaman Belajar ... 16

C. Pengalaman Intelektual ... 18

(7)

BAB III KH.ABDULWAHABHASBULLAHDANPENGALAMAN

POLITIK... 28

A. Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama ... 28

B. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi ... 36

C. Tanggapan Kaum Penjajah terhadap Organisasi NU ... 42

BAB IV NU vis a vis NEGARA; PERGULATAN POLITIK PRAKTIS KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH ... 50

A. NU dan Masyumi ... 50

B. NU Mendirikan Partai Politik... 55

C. Dinamika Partai NU pada Pemilu ... 60

D. Akomodasi Demokrasi Terpimpin ... 66

BAB V PENUTUP ... 76

Kesimpulan ... 76

DAFTARPUSTAKA ... 80

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara geografis, kondisi umum dari masyarakat Indonesia mayoritas

beragama Islam, meskipun bila ditinjau dari aspek budaya, antara daerah satu dengan

daerah yang lain memiliki watak dan adat istiadat yang berbeda. Kultur yang

majemuk ini pada akhirnya membuat Islam dapat menjadi alat pemersatu. Hal itu

terbukti dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Fenomena ini tidak lepas

dari tradisi dan kebiasaan orang Indonesia yang masih memiliki kepercayaan sebelum

masuknya Islam.

Sejarah mencatat, dalam mempersatukan Indonesia yang majemuk ini, para

tokoh-tokoh nasional merumuskan suatu konsep yang dapat dijadikan alat sebagai

pemersatu. Maka terciptalah Pancasila yang dianggap sebagai miniatur budaya

bangsa Indonesia, dan diakui sebagai dasar negara. Namun dalam perjalanannya, ide

Pancasila sebagai dasar negara dipertanyakan kembali oleh kalangan yang pro

terhadap penerapan negara berdasarkan syari’at Islam. Dan pada akhirnya persoalan

ini menjadi semakin tidak terarah dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan

hingga kini.

Membicarakan hubungan antara agama dan kekuasaan jelas tak pernah sepi

dari perdebatan, dan selalu menjadi wacana menarik di kalangan pemerhati agama

(9)

dengan sendirinya agama dapat dijadikan sarana untuk mengontrol segala kebijakan

yang dilakukan penguasa. Bahkan di masa kolonial, agama dijadikan sebagai sarana

dalam mengusung “ideologi jihad” untuk melawan ekspansi penjajah, meskipun pada

mulanya agama hanya bersifat sosio-kultural. Dari konteks ini, perkembangan agama

Islam memang sudah menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia.1

Secara eksplisit, Islam dalam kancah keindonesiaan memiliki andil yang

cukup besar dalam membentuk Indonesia, meskipun di satu sisi tidak pada posisi

hegemonik. Ketika euforia nasionalisme terasa kuat dan menjalar ke semua wilayah,

Islam sebagai suatu agama ikut berperan aktif dalam melepaskan diri dari kunkungan

penjajah. Fenomena ini tercermin dari gerakan organisasi Islam seperti Sarekat Islam

(SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan organisasi keagamaan

lainnya.

Dinamika gerakan Islam dalam mencapai kemerdekaan dengan segala macam

polemik yang diakibatkan tidak terlepas dari kiprahnya dalam dunia politik. Implikasi

yang muncul dari pergulatan politik itu pada akhirnya berimbas pada perpecahan

kelompok, meskipun pada awalnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada persoalan

syara’.2 Berangkat dari polemik inilah, persoalan mengenai Islam dan negara telah

sampai pada klimaksnya, dimana upaya-upaya untuk mengimplementasikan cita-cita

tersebut. Meskipun masing-masing kelompok berangkat dari semangat nasionalisme,

1

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 21.

2

Din Syamsudin membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu : Tradisionalis, modernis dan

fundamentalis. Lihat, Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

(10)

namun pada faktor-faktor tertentu memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat

mendasar dan menjadi polemik yang berkepanjangan.

Hal ini sangatlah lumrah, karena masing-masing kelompok memiliki acuan

yang berlainan. Bagi kelompok tradionalis, yang dipercaya sebagai Islam otentik,

tradisi-tradisi harus dipertahankan dan mengikuti norma-norma hukum Islam yang

sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual, sehingga relasi Islam dan negara

lebih ditekankan pada model Islam klasik. Bagi kelompok modernis, yang anti

terhadap paradigma tradisionalisme dan mengalami akulturasi dengan budaya barat,

lebih responsif terhadap sistem modern dengan mengakomodasi model barat dengan

memformulasikan konsep tersebut dalam usaha menjawab tantangan zaman.

Sedangkan kelompok fundamentalis, yang sangat anti terhadap sistem barat, lebih

menekankan pada model negara Islam teokratis seperti pada masa awal munculnya

agama Islam.3

Dari konteks ini, dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam menerapkan sistem

pemerintahan di Indonesia, ada dua spektrum pemikiran politik Islam yang

kontradiksi. Pertama, agama dipandang sebagai landasan utama dalam idealisme politik dan dilegitimasi oleh dasar hukum negara. Hal ini pada umumnya terlihat dari

upayanya dalam menerapkan syari’ah di dunia politik. Kedua, agama hanya bersifat substantif, tanpa menekankan aspek legalitas formal. Konsep ini tercermin dari

nilai-nilai yang terkandung didalamnya, seperti: keadilan, egaliter, musyawarah dan

3

(11)

partisipatif. Sehingga lebih fleksibel dalam menerima pengaruh dari sistem politik

modern.

Gerakan yang berorientasi pada corak tradisionalis, salah satunya adalah

Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah gerakan yang berorientasi pada disiplin keagamaan

yang notabene sangat kuat dalam mempertahankan tradisi-tradisi Islam klasik, NU

memiliki peran yang cukup signifikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Selain itu, NU juga termasuk sebagai organisasi yang memiliki semangat

nasionalisme yang tinggi. Diskursus ini tidak terlepas dari hubungan yang istimewa

diantara tokoh-tokohnya dengan kalangan nasionalis. Yang menarik dalam organisasi

ini, setiap kebijakan yang diambil selalu bercorak “akomodatif”, dan hal ini identik

dengan pola tradisi jawa, tempat lahirnya organisasi ini.4 Meskipun para

pemimpinnya sering terjadi perbedaan yang tajam, namun NU selalu menjaga

hubungan yang harmonis dengan penguasa. Karenanya NU sering mendapat tuduhan

sebagai organisasi oportunis.5

Ciri khas dari organisasi ini adalah peran sentral dari tokoh-tokoh yang

terlibat dalam gerakan organisasi ini, yaitu kiai. Sejak awal berdiri, NU memang

sebagai wadah yang mengayomi lembaga-lembaga pesantren yang ada di Indonesia,

karenanya organisasi ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi pesantren. Hal ini

dilakukan sebagai upaya menanggulangi wabah reformasi atau pembaharu yang

menentang adat istiadat yang dilakukan oleh kaum tradisionalis. Polemik ini semakin

4

Andree Feilard menyebutnya dengan politik “jalan tengah”, lihat. Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 413.

5

(12)

pelik sejak munculnya organisasi-organisasi pembaharu, yang pada substansinya

berkisar pada seputar persoalan syara’. Konflik yang terjadi antara NU dengan

kalangan pembaharu tersebut akhirnya merambat kepersoalan politik.

Ketika NU mulai beralih ke persoalan politik, dengan munculnya sejumlah

kaum muda dalam memegang memegang kendali NU di tingkat tanfidziah, berbagai

polemik di tubuh NU mulai muncul. Benih-benih perseteruan tersebut akibat

ketidaksepahaman dari kelompok tua yang berusaha mempertahankan tradisi dengan

kelompok muda yang menginginkan adanya dinamika baru di tubuh NU.6 Sejak saat

itu NU mulai merambah pesoalan kenegaraan, meskipun disatu sisi berbagai kalangan

yang mayoritas kaum tua berusaha untuk bertahan dari rel.

Berbagai kemelut yang terjadi di tubuh NU tidak membuat NU pecah,

meskipun dalam sikap mengambil garis secara tegas. Justru yang terjadi adalah

kekokohan NU dari kebijakan-kebijakannya yang notabene selalu bersifat

akomodatif. Kondisi ini tidak terlepas dari peran ulama yang tetap memiliki perhatian

besar terhadap kemaslahatan anggotanya dalam menyikapi berbagai persoalan,

terlebih lagi persoalan kebangsaan.

Pada substansinya, NU merupakan sebuah organisasi yang diatur oleh

sejumlah kecil ulama dan aktifis yang memiliki pengaruh yang luas di masyarakat,

dan ini menjadi kekuatan utama dalam pengaruhnya di tingkat arus bawah. Selain itu,

6

Abdurrahman Wahid, “NU dan Politik”, dalam Slamet Efendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum

(13)

sikap fleksibilitas NU tercermin dari sikap yang lebih suka dekat dengan penguasa

dibanding golongan modernis.7

Bila berbicara mengenai NU tentunya tidak terlepas dari para pendirinya yang

telah membuat organisasi memiliki basis massa terbesar di Indonesia. Salah satu

tokoh yang memiliki pengaruh dari mulai berdiri hingga masa-masa Islam menjadi

wacana umum seputar kenegaraan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Beliau

adalah tokoh yang membidani organisasi tersebut. Semangat Kiai Wahab dalam

usaha mendirikan suatu jam’iyah bagi ulama tradisionalis yang dikenal dengan NU

ini, merupakan cerminan dari pentingnya tokoh Kiai Wahab. Selain itu kedekatanny

dengan para tokoh-tokoh nasionalis seperti HOS. Cokroaminoto, Soekarano adalah

indikasi dari seorang tokoh tradisionalis yang dekat dengan kelompok nasionalis.

Sejak berdirinya hingga pasca kemerdekaan, Kiai Wahab termasuk orang

yang mempengaruhi perjalanan NU selama setengah abad. Hal ini terlihat dari

gigihnya usaha beliau dalam mengembangkan NU diawal berdirinya jam’iyah ini.

Keterlibatan beliau dalam Islamic Studie Club, Kongres al-Islam, maupun MIAI serta Masyumi, menunjukkan bahwa Kiai Wahab termasuk seorang tokoh memiliki

pengetahuan yang luas dan pandangannya jauh menembus kedepan, baik dibidang

politik maupun keagamaan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang berusaha

mengakomodir segala persoalan seputar polemik keagaman antara kelompok

tradisionalis dengan kelompok reformis.

7

(14)

Dalam memimpin NU yang dimulai pasca kemerdekaan hingga awal-awal

Orde Baru, beliau sangat menaruh perhatian besar terhadap politik dan nasionalisme.

Dalam pandangannya, antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Sebagai orang

yang perhatian terhadap dinamika umat Islam, beliau ikut serta dalam urusan politik,

bahkan hingga akhir hayatnya. Dari semua kalangan ulama pendiri NU, hanya

beliaulah yang paling giat dan keras usahanya dalam mendirikan dan

mengembangankan NU.8

Sebagai orang yang besar di dunia pesantren, KH. Abdul Wahab Hasbullah

telah lebih maju dalam berfikir kedepan. Hal ini terlihat dari aktifitasnya di Taswirul Afkar, sebuah forum diskusi hasil inisiatif dan merupakan cikal bakal berdirinya NU. Gebrakan yang dilakukannya merupakan suatu upaya untuk mempertemukan aspirasi

masyarakat Islam pesantren dengan aspirasi masyarakat lain dengan dilandasi

kepentingan bersama dalam menghadapi politik kolonial.9 Forum yang didirikan

bersama KH. Mas Mansur ini merupakan suatu apreasiasi dari keprihatinan beliau

terhadap umat Islam di Indonesia yang telah disusupi oleh pemikiran-pemikiran baru

yang cenderung menentang tradisi yang sudah sejak lama.

Dalam mengendalikan NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah memandang bahwa

dalam mengambil setiap kebijakan yang relevan terhadap kepentingan negara

haruslah sesuai dengan sendi-sendi Islam, dan yang terpenting adalah persaudaraan

nasional antar sesama. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa Islam berguna bagi

8

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal.

250.

9

(15)

negara sebagai satu jaminan atas ketertiban dalam masyarakat, dan beliau juga tidak

memaksakan negara harus berdasarkan syari’at Islam.10 Pandangan beliau

diimplementasikan dalam setiap kebijakannya ketika menghadapi persoalan

kenegaraan. Di saat Masyumi menghadapi konflik mengenai persoalan perlu tidaknya

masuk dalam kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan

Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kiai Wahab tampil memecahkan

persoalan disertai joke-joke jitu. Kiai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat

dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih

mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul

itu setelah melalui perdebatan seru,11 dengan menawarkan usulan agar masuk

kabinet, demi kemaslahatan umat. Begitu juga ketika NU menghadapi posisi

dilematis dalam persoalan Demokrasi Terpimpin, Kiai Wahab dengan keluwesannya,

berusaha mengajak para penentang Demokrasi Terpimpin untuk mencoba meyakini

segi positif dari sistem tersebut.12

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas

lebih mengenai perjalanan Nahdlatul Ulama dan kiprahnya di dunia politik.

Karenanya penulis membuat skripsi ini dengan judul: “Pergulatan Politik KH.

Abdul Wahab Hasbullah; Studi Analisa terhadap Hubungan NU dan Negara”.

10

Feilard, NU vis-à-vis Negara, hal. 55.

11

Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 354-355.

12

Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak

NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h.

(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mengantisipasi agar tulisan ini tidak terlalu melebar maka penulis

hanya membatasi pada pergulatan politik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang

relevansinya terhadap NU dan negara.

Sebagai rumusan masalah penulis merangkumnya dalam suatu pertanyaan:

1. Bagaimana kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam usaha

mengembangkan NU yang didirikannya?.

2. Bagaimana pergulatan politik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang terkait

dengan NU dengan negara?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mendapatkan pemahaman utuh mengenai pergulatan politik KH. Abdul

Wahab Hasbullah dengan menganalisa hubungan NU dengan negara.

2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi

setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana program

Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam membahas permasalahan di atas, penulis dalam menyusun skripsi ini

(17)

mencari dan mengumpulkan data-data tertulis melalui buku-buku maupun literatur

lain yang relevan dengan pembahasan ini.

Dari penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis.

Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang

obyektif mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini. Analitis dipakai

agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga

mengena pada inti permasalahan.

Dari segi teknis penulisan, skripsi ini merujuk pada Buku Pedoman Akademik Tahun 2005/2006, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penyusunan

Merujuk pada apa yang dituliskan di atas dan untuk mempermudah

pembahasan, skripsi ini disusun sistematis melalui bab dan sub bab dengan membagi

pembahasan menjadi empat bab yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan latar belakang masalah, Alasan Pemilihan Judul,

Tujuan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan

Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua, memaparkan tentang biografi singkat KH. Abdul Wahab

Hasbullah dengan sub bab membahas riwayat hidup, pengalaman belajar, pengalaman

(18)

Bab ketiga, mengupas tentang peran KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam

pengalaman politiknya tahun 1926-1947, dengan sub bab: tokoh pendiri NU, kiprah

dan usaha merestrukturisasi NU menjadi organisasi, dan tanggapan kaum penjajah

terhadap organisasi NU.

Bab keempat, membahas tentang Pergulatan politik KH. Abdul Wahab

Hasbullah; Studi Analisa terhadap Hubungan NU dan Negara dengan sub bab: NU

dan Masyumi, NU mendirikan partai politik, dinamika partai NU pada pemilu, dan

Akomodasi Demokrasi Terpimpin.

Bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil

berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta

daftar pustaka.

BAB II

BIOGRAFI KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH

F. Masa Kecil, Remaja dan Dewasa

KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah figur ulama dan tokoh masyarakat yang

memiliki andil yang cukup besar dalam perjuangan bangsa, khususnya dalam

mencapai kemerdekaan. Selain sebagai tokoh bangsa, beliau juga termasuk panutan

bagi santri-santri di pondok pesantren yang dipimpinnya, yaitu di Pondok Pesantren

Bahrul ‘Ulum, tepatnya di desa Tambak beras, kabupaten Jombang-Jawa Timur.

(19)

tersebut. Sebuah lembaga pendidikan yang tergolong baru dilingkungan pesantren,

karena saat itu umumnya di pesantren menerapkan sistem sorogan dan bandungan.13 Kiai Wahab (Panggilan sehari-hari KH. Abdul Wahab Hasbullah) termasuk

dari golongan bangsawan (ningrat jawa) dan keturunan ulama. Dari silsilahnya, Kiai

Wahab masih ada keturunan dengan Raja Brawijaya IV (Lembu Peteng) dilihat dari

garis ayahnya. Sedang dari silsilah ibunya, memiliki garis keturunan yang sama

dengan ayahnya yang pertemuan nasabnya pada Jaka Tingkir (Karebet), yang

merupakan putra Raja Brawijaya IV.14 Jaka Tingkir menikah dengan putri Sultan

Treggono, raja ketiga dari Kerajaan Demak, dan melahirkan putra yang bernama

Pangeran Banawa. Selama hidupnya Pangeran Banawa tinggal di daerah Kudus

dengan menjadi guru tarekat. Banawa memiliki putra yang bernama Muhammad yang

lebih dikenal dengan Pangeran Sambo. Cicit Pangeran Sambo, setelah dua keturunan,

bernama Kiai Sikhah yang dikenal dengan Kiai Abdus Salam.15

Kiai Abdus Salam dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai Latifah dan Nyai

Layyinah. Dari pernikahan antara Nyai Latifah dengan Kiai Said, murid dari Kiai

Abdus Salam, dikaruniai empat orang anak, Kiai Syafi’i, Kiai Chasbullah (ayahanda

Kiai Wahab), Kiai Hasyim, dan Nyai Kasminah. Dari pernikahan Nyai Layyinah

13

Sorogan adalah mengajar secara perorangan, guru mengajar beberapa murid yang

berbeda-beda mata pelajarannya secara bergantian. Bandungan adalah sejumlah murid yang setingkat

pengetahuannya belajar secara bersama-sama mengikuti satu macam mata pelajaran sambil menyimak

kitab yang dibaca guru. Lihat, Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung,

1987),.h. 30.

14

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES,

1996), h. 250.

15

Saifullah Ma’sum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung:

(20)

dengan Kiai Utsman, murid Kiai Abdus Salam juga, dikaruniai seorang putri bernama

Nyai Halimah yang biasa disebut dengan Winih (bibit), yang merupakan ibunda K.H.

Hasyim Asy’ari.

Dari silsilah tersebut, Kiai Wahab termasuk masih memiliki hubungan

kekerabatan dengan ulama yang paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama

dari Jombang, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu

keturunan dengan Kiai Abdus Salam yang biasa dikenal dengan Kiai Sikhah yang

berasal dari Tuban. Bahkan dalam silsilahnya ke atas, konon masih memiliki garis

keturunan dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad saw.16

Dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi Kiai Wahab, tercatat

bahwa Kiai Wahab lahir pada bulan Maret tahun 1888,17 di Tambakberas, Jombang,

Jawa Timur. Dalam gambaran orang yang mengaguminya, Kiai Wahab dilukiskan

sebagai orang gesit, penuh semangat, dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi

tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon, kiai ini sulit

sekali untuk marah dan dendam, karena sifatnya yang humoris.18

Selain itu, Kiai Wahab digambarkan juga sebagai orang yang berpengetahuan

yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang-orang yang pernah

16

Saifullah Ma’sum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak

NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h.

201.

17

Greg Fealy berpendapat, Kiai Wahab diperkirakan lahir antara tahun 1883 atau 1884, lihat,

Greg Fealy, Wahab Chasbullah: Tradisionalis dan Perkembangan Politik NU, dalam Greg Fealy dan

Greg Barton, ed., Tradionalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS,

1999) h. 2.

18

(21)

dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba

baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona.

Kiai Wahab menikah dengan Nyai Maemunah binti Kiai Musa Kertopaten

Surabaya pada tahun 1916, dan dikaruniai seorang anak bernama K.H. Muhammad

Wahib Wahab, yang merupakan salah Mentri Agama pada zaman Orde Lama. Nyai

Maemunah meninggal ketika sedang melaksanakan ibadah haji tahun 1921.

Sepeninggal istri pertamanya, Kiai Wahab menikah dengan Nyai Alawiyah binti Kiai

Tamim, dan memperoleh seorang anak yang bernama Nyai Khadijah. Pernikahan ini

tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal lagi. Setelah meninggalnya istri

yang kedua, Kiai Wahab menikah dengan Nyai Asna binti Sa’id, ayahnya seorang

sorang pedagang dari Surabaya. Dari pernikahan ini dikaruniai seorang anak yang

bernama K.H. Muhammad Nadjib Wahab, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum

Tambak Beras.

Pernikahan inipun tidak berlangsung lama, karena ditinggal mati oleh istrinya.

Setelah meninggalnya Nyai Asnah, Kiai Wahab menikah dengan Fatimah binti

Burhan, seorang janda beranak satu yang bernama K.H. Ahmad Sjaichu (salah satu

tokoh NU dan mantan ketua DPR-GR), dan tidak dikaruniai anak. Kemudian Kiai

Wahab menikah lagi dengan Nyai Fatimah binti Ali dari Mojokerto dan Nyai

Askanah binti M. Idris dari Sidoarjo. Dari kedua istrinya juga tidak dikaruniai anak.

Kemudian Kiai Wahab menikah kembali dengan Nyai Masmah, sepupu Nyai

Asnah binti Sa’id, dan dikaruniai seorang putra yang bernama K.H. Muhamad Adib

(22)

Ashikhah binti Abdul Majid, dan dikaruniai dua orang putri, diantaranya Nyai

Djumiatun, dan Nyai Mu’tamaroh. Setelah meninggalnya Nyai Ashikhah disaat

kembali dari ibadah haji, Kiai Wahab menikah lagi untuk yang terakhir kalinya, yaitu

dengan kakak kandung Nyai Ashikhah, yaitu Nyai Halimatus Sa’diyah, dan

dikaruniai lima orang anak, yaitu Nyai Hj. Mahfudhoh Ali ubaid (anggota DPR),

Nyai Hj. Chisbiyah, Nyai Hj. Munjidah, K.H. Hasib Wahab dan K.H. Moh. Roqib

Wahab.19

G. Pengalaman Belajar

Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di pesantren, maka Wahab kecil

dibekali pendidikan utama langsung dari orang tuanya. Oleh ayahnya diajari

pendidikan agama tingkat dasar, seperti membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqh, bahasa

Arab, dan Tasawuf.20

Setelah dididik selama tiga belas tahun dan dirasa cukup, Kiai Wahab

berkelana ke berbagai pondok pesantren. Di beberapa pesantren tersebut, Kiai Wahab

memperdalam bermacam-macam ilmu dengan spesifikasi yang berbeda. Pesantren

Langitan merupakan pilihan pertama untuk belajar. Setelah setahun belajar, Kiai

Wahab pindah ke Pesantren Mojosari Nganjuk dibawah bimbingan Kiai Sholeh dan

19

Ma’sum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 30.

20

H. Aboebakar (Atjeh), ed., Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,

(23)

Kiai Zainuddin, di sana Kiai Wahab mempelajari kitab-kitab fiqh, khususnya kitab

Fath’ul Mu’in selama empat tahun. Kemudian Kiai Wahab melajutkan studinya ke Pesantren Cepoko yang hanya bertahan selama empat bulan. Kemudian pindah ke

Pesantren Tawangsari Surabaya, di sana Kiai Wahab mempelajari hukum Islam

dibawah bimbingan oleh Kiai Ali selama satu tahun.

Dari Pesantren Tawangsari, pindah ke Pesantren Branggahan Kediri dibawah

bimbingan Kiai Faqihuddin selama satu tahun. Di sana Kiai Wahab belajar Tafsir dan

Tasawuf. Setelah menamatkan pelajarannya di Branggahan, Kiai Wahab kemudian

melanjutkan ke Pesantren Kademangan Bangkalan dibawah bimbingan Kiai Cholil,

seorang ulama tradisionalis yang cukup terkenal di masanya. Selama tiga tahun Kiai

Wahab memperdalam tata Bahasa Arab. Dari pesantren Kademangan kemudian Kiai

Wahab oleh Kiai Cholil disarankan agar melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng

dibawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari. Di pesantren ini, Kiai Wahab

mendapatkan bimbingan selama empat tahun. Bahkan oleh Kiai Hasyim, Kiai Wahab

diangkat sebagai lurah pondok, suatu jabatan tertinggi di kalangan santri.

Di berbagai pesantren inilah, kehidupan Kiai Wahab ditempa dan mempelajari

banyak kitab penting hingga mahir. Namun dengan begitu banyaknya pesantren yang

dikunjungi dan segudang kitab yang dipelajarinya, tidak membuat Kiai Wahab puas,

bahkan semakin membuat dirinya haus oleh ilmu. Melihat semangat Kiai Wahab

dalam mencari ilmu begitu menggebu-gebu, maka disarankan oleh Kiai Hasyim

(24)

berangkat ke Makkah dengan mengajak KH. Bisri Syansuri ikut serta.21 Di kota suci

ini, selain menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kiai Wahab bertemu dan

berguru dengan beberapa ulama terkenal. Di antaranya: Kiai Machfudz Termas, Kiai

Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kiai Bakir Yogyakarta,

Kiai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Said Ahmad ibn Bahri

Syatha, Syaikh Umar Bajened dan Syaikh Abdul Karim al-Daghistani.22 Kesempatan

selama di Makkah dipergunakan sebaik mungkin untuk memperkaya khasanah

keilmuannya dengan langsung belajar pada ulama-ulama yang sudah termasyhur

hingga ke seluruh penjuru dunia. Setelah mengenyam pendidikan selama lima tahun

di Makkah, Kiai Wahab kembali ke tanah air.

Pendidikan yang diperolehnya dengan tanpa mengenal lelah ini semakin

menambah wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kiai Wahab.

Dari riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang

sebayanya, Kiai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan

keilmuannya.

H. Pengalaman Intelektual

Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kiai Wahab sudah menonjol sejak di

menempuh pendidikan di pesantren. Terkadang disela-sela belajar, Kiai Wahab

sering mengadakan kelompok belajar dan diskusi secara rutin. Dalam diskusi

21

Ma’sum, Karisma Ulama, h. 128.

22

(25)

kelompok tersebut, dibahas berbagai macam persoalan mulai dari keagamaan

hingga sosial kemasyarakatan. Karenanya, sepulangnya dari pesantren, Kiai

Wahab tidak canggung sama sekali ketika terjun ke masyarakat untuk

mempraktekkan ilmunya. Di pesantren Tebuireng misalnya, Kiai Wahab terlibat

dalam “kelas musyawarah” yang merupakan forum diskusi yang terdiri dari santri

senior yang telah memiliki pengalaman mengenyam pendidikan pesantren minimal

selama sepuluh tahun di berbagai pesantren. Dalam forum “kelas musyawarah”

dibahas berbagai persoalan keagamaan yang berkaitan dengan fenomena yang

terjadi di masyarakat, dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Dalam forum

tersebut, yang terlibat selain Kiai Wahab adalah: K.H. Bisri Syansuri Jombang,

K.H. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, K.H. Manaf Abdul Karim Lirboyo, K.H.

Abbas Cirebon, dan lain-lain.

Selama belajar di Makkah, Kiai Wahab juga terlibat dalam organisasi, diantaranya

bersama Kiai Abbas dari Jember, Kiai Asnawi dari Kudus, membentuk Sarikat

Islam cabang Makkah,23 bahkan keterlibatannya di SI terus dilakukannya ketika

kembali ke tanah air. Bahkan keterlibatannya di SI semakin mendekatkan

hubungan Kiai Wahab dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang menjadi

23

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Penerbit

(26)

pemimpin politik saat itu, seperti H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, W.

Wondoamiseno, Alimin, Soekarno dan lain sebagainya.24

Sepulangnya dari Makkah pada tahun 1914, Kiai Wahab tidak langsung mengabdi

ke pesantrennya. Umumnya jika seorang santri atau putra Kiai yang memiliki

pesantren, sepulang dari menempuh pendidikan, langsung mengabdi di pesantren

tersebut. Kiai Wahab justru tinggal di Surabaya, salah satu kota terbesar ke dua di

masa Hindia Belanda, bahkan di kota ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan

aktifitas politik dan sosial dari berbagai organisasi.25

Kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu adalah masyarakat dalam tekanan

penjajah Belanda dengan segala bentuk akibatnya, karenanya Kiai Wahab

mencoba mencari cara bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang

progresif agar dapat memperbaiki keadaan. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa

Kiai Wahab tidak kembali untuk mengabdi di pesantren ayahnya.

Kiai Wahab segera melibatkan dirinya dalam berbagai aktifitas. Aktifitas pertama

yang dilakukannya, setibanya di Surabaya, adalah mengajar di Madrasah

al-Qur’an milik mertuanya dari istri pertamanya, Kiai Musa. Di sela-sela

kesibukkanya mengajar, Kiai Wahab mencoba melakukan kontak dengan

teman-teman belajarnya, baik di waktu menuntut ilmu di pesantren maupun di Makkah

untuk membicarakan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Akhirnya pada

24

Zamakhsyari Dhofier, “K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisionalis”, dalam

Humaidi Abdussani dan Ridwan Fakla, A.S, ed., Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar dan Ltn-NU, 1995), h. 31.

25

(27)

tahun 1916 bersama K.H. Mas Mansur, kawan mengaji di Makkah, Kiai Wahab

membentuk madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah air).26 Madrasah ini mendapat dukungan penuh dari ulama-ulama pesantren seperti

K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Halim Laimunding, K.H. Alwi Abdul Aziz, K.H.

Ma’shum, Abdullah Ubaid, dan beberapa ulama terkenal lainnya. Karenanya

dalam menjalankan roda organisasi, banyak dibantu oleh ulama-ulama tersebut.

Dalam organisasi inilah Kiai Wahab, yang menjabat Kepala Dewan Guru, mulai

memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan

nasionalisme. Selain Mas Mansur yang menjabat sebagai Kepala Sekolah,

tokoh-tokoh besar lain, seperti HOS Cokro Aminoto, Soendjata, R. Panji Suroso, juga

membantu mendirikan madrasah ini.27

Dua tahun kemudian, tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar

(Kabangkitan Para Saudagar). Lembaga yang bergerak di bidang perekonomian ini

adalah sebuah koperasi dagang yang pemegang sahamnya terdiri dari para ulama.

Di organisasi ini Kiai Wahab memegang jabatan sebagai bendahara sekaligus

penasehat dengan ketuanya KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang pengusaha,

tidaklah mengherankan jika waktu itu Kiai Wahab sudah memiliki mobil mewah

buatan Amerika dan sepeda motor Harley Davidson yang kerap digunakan untuk

berkeliling Surabaya dan Jombang dengan tetap mengenakan pakaian

26

Aboebakar berpendapat bahwa Nahdlatul Wathan kemungkinan lahir pata tahun 1914,

namun baru bisa diakui secara yuridis oleh pemerintah Belanda tahun 1916. lih. Aboebakar, Sedjarah

Hidup, h. 489.

27

Andrre Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:

(28)

“kebesarannya” berupa sarung dan serban putih serta sepatu.28 Fenomena ini

merupakan gambaran unik dari seorang “Kiai desa” ditengah tradisi Kiai yang

identik dengan kesederhanaan.29

Diawal tahun 1919, bersama seorang ulama senior dari Surabaya, KH. Ahmad

Dahlan Kebondalem, Kiai Wahab mendirikan forum diskusi yang bernama

Taswirul Afkar (Pergolakan Pemikiran),30 Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir

dan berpendapat yang diterapkan serta topik-topik yang dibicarakan mempunyai

jangkauan kemasyarkatan yang cukup luas, dalam waktu singkat kelompok ini

menjadi sangat populer dan menarik minat kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam

dari berbagai kalangan bertemu dalam forum ini untuk memperdebatkan dan

memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Agaknya Kiai Wahab bermaksud ingin mempertemukan aspirasi masyarakat Islam

tradisionalis dengan aspirasi masyarakat Islam pembaharu dalam suatu wadah

menuju satu kepentingan bersama yaitu menghadapi politik kolonial Belanda yang

ingin umat Islam menjadi terpecah belah.31

28

Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 45-46.

29

Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 201-202.

30

Versi lain mengatakan Taswirul Afkar berdiri pada tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur.

Lih. Slamet Effendy Yusuf, dkk, Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal

NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 6-7.

31

Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:

(29)

Forum ini menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh

nasional. Selain itu, menjadi jembatan antara generasi tua dengan generasi muda.

Dengan semakin populernya forum ini, akhirnya Taswirul Afkar yang mulanya hanya bertempat di Surabaya, kemudian menjalar ke seluruh kota di Jawa Timur.

Bahkan gemanya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa. Forum ini tidak

hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang sedang marak, tetapi

juga dimaksudkan untuk menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh

pergerakan. Selain itu dalam upaya rekrutmennya, Kiai Wahab lebih

mementingkan progresifitas berfikir dan bertindak, sehingga forum ini juga

menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran

keilmuan dan dunia politik.32

Namun, seiring dengan meruncingnya perdebatan antara golongan tradisionalis

dengan golongan pembaharu, hal ini berimbas pula perbedaan pendapat pada

persoalan khilafiyah antara Kiai Wahab yang lebih condong kepada kaum tradisionalis dengan KH. Mas Mansur yang lebih dekat dengan pemikiran

kalangan pembaru. Karena perbedaan inilah, akhirnya hubungan antara Kiai

Wahab dan Mas Mansur menjadi retak. Akhirnya pada tahun 1922, KH. Mas

Mansur menyatakan keluar dari Nahdlatul Wathan, dan kemudian menjadi anggota

Muhammadiyah.33

32

Ma’sum, Karisma Ulama, h. 145-146.

33

(30)

Dengan keluarnya Mas Mansur tidak menjadikan Kiai Wahab patah semangat dari

upaya penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas

dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan

kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan

pendiri al-Irsyad, Syaikh Ahmad Syurkati, misalnya, Kiai Wahab seringkali

melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Begitu juga dengan pendiri

Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, Kiai Wahab sering bertandang ke rumahnya

di Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.34 Ketika di Surabaya kaum

terpelajar mendirikan Islamic Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kiai Wahab pun ikut terlibat dan menggunakan kesempatan tersebut

untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bahkan Kiai Wahab berkawan akrab

dengan Dr. Soetomo dan lain-lainnya.

Dengan dibantu oleh K.H. Mas Alwi selaku Kepala Sekolah, menggantikan K.H.

Mas Mansur, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru, diantaranya: Akhul

Wathan di Semarang, Far’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang,

Far’ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabatul Wathan di

Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.35

Selain sebagai tokoh intelektual dan tokoh politik, Kiai Wahab juga termasuk

sebagai seorang advokat. Beliau menjadi pengacara sejak masih muda. Seperti

34

Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 55.

35

Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu Sala,

(31)

yang dikisahkan oleh Hj. Mafudhoh Aly Ubeid, salah satu putri Kiai Wahab “ada

seorang pengusaha punya kapal, kapal tersebut dikuasai Belanda, ketika mau

diambil susah. Kiai Wahab berusaha mengambil kapal tersebut, dan berhasil

ditanganinya”.36 Sebagai seorang pengusaha yang memiliki pabrik yang diberi

nama PT. Sri Gula, beliau juga kerap menangani orang-orang yang ingin pergi

haji. Sebagai ulama, Kiai Wahab juga tak lupa untuk menyempatkan waktunya

untuk mengajar dan memberi ceramah, baik di pondok maupun di luar.

I. Landasan Pemikiran Politik

Kerangka berfikir para tokoh NU tidak terlepas dari yurisprudensi Islam yang

berasal dari abad pertengahan. Karenanya, pandangan politik NU dipengaruhi oleh

para pemikir Islam klasik yang bercorak pada pemahaman ahlus sunnah wal jama'ah

dengan menganut mazhab empat. Dari empat mazhab ini, kalangan tradisionalis lebih

menekankan pada mazhab Syafi'iyah, ketimbang ketiga mazhab lainnya. Paham ahlus sunnah wal jama'ah merupakan pendekatan multidimensional dari suatu gagasan konfigurasi aspek kalam, fiqh dan tasawwuf.37 Dengan penjabarannya sebagai

berikut:

1. Dalam bidang Fiqh, menganut salah ajaran dari empat mazhab yaitu : Mazhab

Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali

36

Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006

37

Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik,

(32)

2. Dalam bidang tauhid atau akidah, menganut paham Imam Abu Hasan

al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi

3. Dalam bidang tasawwuf, menganut pada imam Abu Qosim al-Junaidi dan

Imam al-Ghozali.38

Ketiga aspek ini merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun

umumnya para pelaku NU lebih menekankan pada dimensi fiqh dibanding aspek

yang lainnya.

Keakraban masyarakat NU terhadap corak pemikiran yang mengacu pada

mazhab Syafi'iyah yang dikenal sebagai imam moderat menjadikan pola pikir NU

lebih akomodatif, khususnya dalam merespon persoalan politik dan saat memberikan

treatment kepada kekuasaan. Sebagai organisasi yang umumnya keluaran pesantren, kaidah fiqh merupakan kerangka utama dalam menetapkan suatu kebijakan. Bagi

kalangan tradisionalis fiqh merupakan "ratu ilmu pengetahuan".39

Saifuddin Zuhri berpendapat, salah satu strategi yang diterapkan NU dalam

setiap perjuangannya, berpegang pada kaidah yang dirumuskan oleh Imam Syafi'i,

yaitu: dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan).40 Anjuran menghindari bahaya

seringkali dikaitkan dengan dua prinsip yang lebih luas cakupannya, yaitu amar ma'ruf nahi munkar dan maslahat.

38

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,

1992), h. 21-22.

39

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.

68.

40

(33)

Pola yang diterapkan oleh Kiai Wahab, pun tidak terlepas dari jalur di atas.

Dalam setiap kebijakan yang dilakukan oleh Kiai Wahab lebih menekankan pada

upaya menghindari bahaya ketimbang berkonfrontasi dengan kekuasaan. Karenanya,

sikap NU cenderung bersifat akomodatif dengan lebih mengutamakan stabilitas

politik dan harmonisasi kehidupan sosial.

Bagi Kiai Wahab, Al-Qur’an dan Hadis adalah landasan dasar yang harus

diutamakan, selain dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan NU dalam Qonun Asasi -nya.41 Namun dalam satu sisi, Kiai Wahab juga menegaskan, bahwa hukum agama

tidak harus didasarkan pada kaidah tekstual, hukum agama juga harus peka terhadap

realitas sosial.42

Hal ini terlihat dari beberapa langkah politik yang dilakukan oleh Kiai Wahab

selama hidupnya. Salah satu contoh adalah pemberian gelar waliyul amri dlaruri bisy-syaukah kepada Presiden Soekarno. Kiai Wahab membenarkan gelar tersebut yang berlandaskan pada kaidah fiqh dengan meng-qiyas-kan seorang wanita Islam yang tidak mempunyai seorang wali nasab, disyaratkan untuk menikah dengan wali

hakim. Dan wali hakim diangkat atau ditunjuk oleh penguasa atau sultan yang sedang

berkuasa (dzu syaukah). Karena Soekarno termasuk seorang penguasa, maka pemberian gelar tersebut untuk memenuhi keabsahan dalam kaidah fiqh.

Dari konteks ini dapat ditegaskan bahwa kerangka berfikir Kiai Wahab tidak

terlepas dari masalah yang berkaitan dengan kepentingan umat. Sikap fleksibilitas

41

Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Wawancara pribadi

42

(34)

beliau dalam menghadapi masalah umat menjadikan Kiai Wahab dikenal sebagai

seorang pemimpin dan kiai yang akomodatif.

Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam lingkup umum an sich, dalam persoalan yang berkaitan dengan keluarga, beliau lebih mementingkan orang lain

dibandingkan keluarganya. Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga beliau lebih

mengutamakan kepentingan kerabatnya dibanding anak-anaknya.43 Bahkan dalam

menentukan kebijakan-kebijakan NU, beliau lebih mementingkan orang lain. Untuk

dapat mengupayakan terealisasinya perjuangan tersebut, beliau berprinsip bila

mempunyai usaha yang lancar, maka nilai perjuangan akan lebih baik.44 Dengan kata

lain beliau sangat memperhatikan kebutuhan umat untuk kesejahteraan.

43

Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006

44

(35)

BAB III

KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH DAN PENGALAMAN POLITIK

J. Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama

Pada tahun 1869 M terjadi suatu peristiwa yang memiliki pengaruh yang besar

terhadap perkembangan dunia Islam di Timur Tengah. Peristiwa tersebut adalah

pembukaan Terusan Suez. Sejak itu arus pelayaran yang pada mulanya sepi menjadi

ramai. Akibat yang muncul tidak hanya pada bidang perdagangan semata. Bagi umat

Islam di Indonesia, pembukaan Terusan Suez memberikan implikasi yang tidak

sedikit, khususnya dalam masalah haji. Tercatat setiap tahun terjadi peningkatan

dalam menunaikan ibadah haji.45 Selain fenomena tersebut, di Timur Tengah sedang

merebak gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Abdul

Wahab yang dikenal dengan gerakan Wahabiyah-nya, maupun Jamaluddin

al-Afghani dan Muhammad Abduh dengan gerakan Pan Islamisme-nya. Imbas dari

gerakan tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan, terjadi kontak pemikiran intensif

antara jama’ah haji Indonesia dengan gerakan ini dan banyak para jama’ah haji yang

sambil menuntut ilmu itu terpengaruh oleh faham gerakan tersebut. Tak pelak lagi,

ketika para jama’ah haji kembali ke tanah air, mereka membawa faham pembaharuan

itu untuk disosialisasikan di daerahnya masing-masing.

45

Umumnya para jama’ah haji tidak hanya sekedar melakukan ritual ibadah. Banyak yang menetap selama beberapa tahun untuk berguru kepada para syeikh di sana. Lihat, Kacung Marijan,

(36)

Namun tidak semua kalangan menerima faham tersebut secara bulat-bulat,

khususnya kalangan ulama pesantren yang pernah belajar di Mekkah. Mereka

menilai bahwa pembaharuan Islam tidak mesti dilakukan secara frontal seperti yang

difahami oleh para penganut faham pembaharuan. Mereka berpendapat, bahwa

pembaharuan Islam dapat direlevansikan terhadap tradisi lokal. Bila purifikasi ajaran

Islam ini dilakukan secara radikal, akan berdampak pada psikologis masyarakat.46

Dengan munculnya gerakan ini, praktis sejak awal 1910-an di kalangan

masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Jawa, berkembang polarisasi antara

kelompok tradisional dan kelompok modernis dan sering menimbulkan

perdebatan-perdebatan di antara dua kubu itu. Rivalitas dua kubu tersebut, semakin memuncak

seiring dengan dukungan yang kian meningkat dari kalangan modernis dalam wilayah

kaum tradisional di sepanjang pesisir utara dan timur Jawa.47

Sebagai upaya sosialisasi gerakan pembaharuan ini, di kalangan modernis,

berdiri dua organisasi yang berlainan visi di wilayah Jawa. Pertama, Sarikat Islam,48 organisasi ini bercorak politik. Organisasi ini lahir, selain karena faktor gerakan Pan

Islamamisme, juga karena situasi ekonomi umat Islam yang didominasi Cina. Kedua,

46

A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS,

1995), h. 47.

47

Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak

NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h.

65-66.

48

Sarikat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Solo oleh Samanhudi. Pada mulanya

dinamakan Sarikat Dagang Islam. Mengenai perkembangan SI, lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern

(37)

adalah Muhammadiyah, Persis, Jami’atul Khoir dan al-Irsyad,49 yang bergerak di

bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Muhammadiyah mendapat dukungan besar

dan mengalami kemajuan pesat. Diantara keempat organisasi tersebut,

Muhammadiyah termasuk organisasi yang paling keras menentang perilaku tradisi

lokal yang dianut oleh kalangan tradisionalis.

Menghadapi ancaman serius dari kaum modernis ini, KH. Abdul Wahab

Hasbullah tampil sebagai figur yang membela kaum tradisionalis. Langkah awal yang

dilakukan adalah bersama KH. Mas Mansur, membentuk Madrasah Nahdlatul

Wathan. Tak lama kemudian mendirikan Taswirul Afkar yang dikenal dengan

sebagai forum diskusi, dan Nahdlatul Tujjar. Figur Kiai Wahab semakin lama

semakin populer seiring dengan penampilannya dalam setiap forum diskusi maupun

debat publik dengan kalangan modernis. Terlebih lagi, setelah hubungannya dengan

Mas Mansur retak dan kemudian hengkang dari Nahdlatul Wathan.

Sebagai seorang yang piawai dalam diskusi dan pendebat ulung, Kiai Wahab

juga tak segan-segan berhadapan dengan tokoh-tokoh nasional kala itu. Tokoh-tokoh

terkemuka seperti: KH. Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Soorkati, KH. Mas Mansur,

dan tokoh lainnya, merupakan lawan debat yang sering menjadi langganan Kiai

Wahab.50

49

Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Sedangkan Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di Bandung. Jami’atul Khoir pada 17 Juli 1905, dan al-Irsyad pada 11 Agustus 1915 di Jakarta. Namun kedua organisasi yang disebutkan terakhir ini, tidak bertahan lama. Lihat, Noer, Gerakan Modern, h. 68-97.

50

(38)

Diskusi-diskusi dengan kalangan modernis, yang pada mulanya hanya bersifat

berdebatan semata, menjadi semakin meruncing. Untuk mengantisipasi pertikaian

yang umumnya berkisar pada persoalan khilafiyah itu, maka dibentuklah upaya

untuk mencari penyelesaian permasalahan dengan membentuk Kongres al-Islam

yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, H.O.S. Cokro Aminoto, KH.

Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, dan KH. Mas Mansur. Kongres pertama

dilaksanakan di Cirebon pada tanggal 31 Oktober – 2 November 1922. Kongres ini

dimaksudkan untuk menampung seluruh aspirasi umat.

Namun karena dalam kongres tersebut membicarakan tentang persoalan agama,

dimana al-Irsyad dan Muhammadiyah disatu pihak dan golongan tradisi di pihak

lain, maka sering menimbulkan perdebatan. Mereka sepakat memilih wakil dari SI

sebagai pimpinan. Namun dengan dipilihnya wakil SI sebagai pemimpin tidak

menjadikan persoalan selesai. buntut dari persoalan tersebut, semakin menurunnya

kepercayaan kalangan tradisi terhadap SI, terlebih lagi Muhammadiyah dan

al-Irsyad.51

Alih-alih mencari titik temu di kalangan umat Islam yang sedang berselisih,

ternyata menjadi ajang hujat menghujat di kedua belah pihak. Alasan yang diambil

sangatlah wajar, karena kalangan tradisi mendapat perlakuan kurang mengenakkan

dengan kata-kata pedas dan memojokkan terhadap mazhab yang menjadi

pegangan para ulama tradisional selama ini. Kaum tradisionalis yang diwakili oleh

51

(39)

Kiai Wahab dan KH. R. Asnawi, meninggalkan kongres itu dengan menyimpan

kecurigaan yang kuat terhadap kaum pembaharu.52

Ketika Raja Fu’ad dari Kairo bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat,

yang ramai dibicarakan pada masa itu, pada bulan Maret 1924. Sebagai jawaban

dari undangan tersebut, maka dibentuk komite khilafat di Surabaya yang di ketuai

oleh Wondoamiseno dari SI, dengan wakilnya K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Pada

kongres al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 memutuskan mengirim

delegasi ke kongres Kairo, yang terdiri dari Surjopranoto (SI), Haji Fachruddin

(Muhammadiyah) dan K.H. A. Wahab Hasbullah (kalangan tradisional), namun

kongres tersebut di tunda.53

Setelah Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah dengan dukungan

kaum Wahabi, dan terjadinya perebutan kedudukan khilafah antara Kairo dan

Makkah, maka Ibnu Sa’ud berinisiatif untuk mengadakan Kongres di Makkah.

Sebagai jawabannya, Kongres al-Islam keempat diselenggarakan di Yogyakarta

pada tanggal 21-27 Agustus 1925 dan kongres al-Islam di Bandung pada tanggal 6

Februari 1926. Dalam kongres tersebut peran golongan pembaharu begitu

dominan, sehingga aspirasi kaum tradisionalis terabaikan.

Hal ini terlihat dari keputusan-keputusan yang diambil kongres ternyata

representasi dari rapat organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur pada tanggal

52

Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.

31.

53

(40)

10 Januari 1926, satu bulan sebelum kongres ke lima. Karena pihak tradisional

tidak mendapat peran dalam utusan delegasi, maka kiai Wahab sebagai wakil dari

kaum tradisionalis hanya bisa mengusulkan agar tradisi keagamaan yang telah

lama dilakukan oleh kalangan tradisional agar diberi jaminan kebebasan oleh raja

Sa’ud. Namun usulan Kiai Wahab tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh kaum

pembaharu.

Akibat dari perlakuan tersebut, kalangan tradisional yang diwakili Kiai Wahab

menyatakan keluar dari kongres tersebut dan kemudian mencoba menggalang

kekuatan tradisional, untuk mengadakan musyawarah yang dikhsususkan bagi

ulama sependirian. Setelah mendapat restu dari KH. Hasyim Asy’ari, maka

bersama sahabat karib sekaligus iparnya, KH. Bisri Syansuri, Kiai Wahab

berkeliling pulau Jawa menghubungi kiai-kiai pesantren untuk memperoleh

dukungan.54 Perjalanan keliling Jawa, mulai dari Banyuwangi di ujung timur

hingga Menes di ujung barat, berhasil menghadirkan sejumlah ulama ternama di

Jawa pada awal Januari 1926.55 Mereka sepakat membentuk suatu panitia khusus

yang disebut dengan Komite Hijaz yang diketuai oleh H. Hasan Gipo. Komite ini

direspon dengan sangat antusias oleh kalangan ulama terkemuka di Jawa.

54

Mulanya ide Kiai Wahab yang ditawarkan sejak pra Kongres al-Islam tidak disetujui oleh KH. Hasyim Asy’ari, meskipun sudah mendapat dukungan oleh para kiai-kiai yang lain. Lihat,

Saifullah Ma’shum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998),

h. 68.

55

Slamet Effendi Yusuf, dkk, Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan

(41)

Pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H, bertempat

di rumah Kiai Wahab, telah berkumpul sejumlah ulama dari seluruh pulau Jawa

untuk merumuskan sikap para ulama yang akan disampaikan pada Raja Sa’ud.

Untuk dapat disetujui oleh Raja Sa’ud, maka dibentuklah jam’iyah yang bernama

Nahdlatul Ulama. Dalam musyawarah tersebut disepakati lima hal penting:

1. Meminta kepada Raja Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

2. Memohon tetap diresmikannya tempat bersejarah karena tempat-tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid, seperti tempat-tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizyran, dll.

3. Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Mekkah maupun tentang Syeihk.

4. Memohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz, ditulis sebagai UU, supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum tertulisnya UU tersebut.

5. Jam’iyyah NU memohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul tersebut.56

Komite Hijaz juga sepakat mengirim delegasi ke Saudi, yaitu adalah KH. R.

Asnawi dan KH. Bisri Syansuri, untuk menyampaikan hasil keputusan

musyawarah kepada Raja Sa’ud. Namun utusan tersebut gagal berangkat ke Saudi,

akhirnya hasil keputusan rapat dikirimkan lewat kawat. Setelah dua tahun tidak

ada respon dari Raja Sa’ud, kemudian dikirim utusan untuk menghadap Raja

Sa’ud yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad

Ghonaim al-Mishri. Delegasi tersebut berhasil mendapat jaminan dari Raja Sa’ud

56

Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), h.

(42)

mengenai kebebasan bermazhab yang dikirimkan melalui surat.57 Setelah misi

yang diemban Komite Hijaz berhasil, kemudian mereka mengadakan rapat

kembali untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda.58

Meskipun Kiai Wahab adalah pencetus ide dan pelopor utama dalam pembentukan

NU, ia tidak bersedia menduduki jabatan Ra’is Akbar yang merupakan jabatan

tertinggi. Jabatan itu diserahkan oleh gurunya, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.

Ahmad Dachlan Kebondalem sebagai wakilnya. Baginya dengan menduduki

jabatan Katib ‘Am Syuriah, ia merasa cukup puas.

Keputusan Kiai Wahab dengan menolak jabatan tersebut, sangatlah beralasan.

Meskipun Kiai Wahab sangat gigih dalam memperjuangkan berdirinya NU,

namun peran KH. Hasyim Asy’ari sangatlah besar sakali. Untuk memuluskan

rencana membujuk para kiai ini, perlu dukungan Kiai Hasyim yang memang telah

diakui secara luas sebagai kiai karismatik, khususnya di pulau Jawa. Tanpa

dukungannya, sangat sulit mendirikan sebuah organisasi kiai yang solid.

Dari konteks ini sangat jelas sekali bahwa perjalanan hidup Kiai Wahab tidak

terlepas dari NU, demikian pula sebaliknya. Bagi Kiai Wahab, NU adalah

segala-galanya. Karena melalui NU, ia bisa mengagungkan Allah swt dan mengabdikan diri

kepada-Nya dengan seluruh jiwa raga. Sebagai penggerak pertama dalam wadah NU,

Kiai Wahab sangat kreatif, dengan memprakarsai perkumpulan para ulama seluruh

57

Marijan, Quo Vadis NU, h. 16.

58

NU baru memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah Belanda pada tanggal 6 Februari

1930. lihat, Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:

(43)

Jawa dan mengakomodir ulama secara formal.59 Sebagaimana diutarakan oleh KH.

Idham Chalid, Kiai Wahab juga ingin menjadikan NU sebagai sebuah pesantren

dalam skala besar yang dapat dijadikan sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu,

bergotong royong dan mengabdikan diri kepada masyarakat dengan menyumbangkan

karya-karya yang bermanfaat.60 Karenanya, tidaklah mengherankan jika dikatakan,

Kiai Wahab adalah NU dalam praktek, suatu kombinasi integral antara iman, ilmu

dan amal yang disertai akhlak yang mulia untuk mengabdi kepada Allah swt serta

mendedikasikan diri hanya kepada agama, nusa dan bangsa.

K. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi

Sebagai perintis yang membidani organisasi para kiai ini, Kiai Wahab

berjuang keras untuk mengembangkan organisasi baru ini. Ia berkeliling pulau Jawa,

dari masjid ke masjid, surau ke surau, tanpa kenal lelah. Jerih payah yang dilakukan

Kiai Wahab dan pengurus lainnya, membuahkan hasil yang gemilang. Setiap

muktamar yang diadakan, selalu mengalami peningkatan anggota. Tercatat pada

muktamar pertama (1926) dihadiri oleh 96 kiai, muktamar kedua (1927) sebanyak

146 kiai dan 242 peserta biasa. Setahun kemudian, pada muktamar ketiga dihadiri

oleh 260 kiai dan telah terbentuk 35 cabang. Pada tahun berikutnya dalam muktamar

59

Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Putri KH. Abdul Wahab Hasbullah, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006.

60

(44)

keempat, dihadiri oleh 1450 peserta dengan 63 cabang yang telah terbentuk.61

Tahun-tahun berikutnya NU mengalami kemajuan pesat dengan anggota yang tersebar di

hampir seluruh pulau Jawa dan di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku dan

Sumatra Utara.62

Melihat perkembangan yang cukup signifikan, maka tidak mengherankan jika

dalam dasawarsa pertama, 1926-1936, jumlah cabang NU telah mampu mengimbangi

Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Muhammadiyah.63 Dengan berkembangnya

NU dalam waktu relatif singkat, maka NU menjadi organisasi besar yang berskala

nasional.64

Sosialisasi yang dilakukan untuk pengembangan NU tidak hanya dilakukan

melalui media dakwah dan tabligh semata. Salah satu strategi yang dilakukan Kiai

Wahab adalah merintis tradisi jurnalistik. Dengan bermodalkan sebuah mesin

percetakan dan sebuah gedung sekaligus sebagai kantor PBNU di Jalan Sasak 23

Surabaya, Kiai Wahab mulai merintis penerbitan media massa yang dinamakan

Swara Nahdlatul Ulama, dengan langsung dipimpin oleh Kiai Wahab sendiri. Tujuh

tahun kemudian, karena kesibukannya di NU, Kiai Wahab digantikan oleh KH.

Mahfudz Siddiq dan berganti nama menjadi Berita Nahdlatul Ulama.

61

Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 75-81, lihat juga, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 39.

(45)

Meningkatnya grafik pertumbuhan NU tidak hanya dari segi kuantitas an sich, tetapi sangat kompleks. Bidang yang ditangani NU juga mencakup pada sektor

pendidikan, perdagangan, kepemudaan, gender, dll. Hal ini mendorong dibentuknya

departemen baru untuk lebih terkoordinir. Diantara semua sektor, yang cukup

berhasil adalah bidang pendidikan. Tercatat dari tahun ke tahun banyak

pesantren-pesantren baru dan madrasah baru yang ikut bergabung.65

Meluasnya pengaruh NU dari waktu ke waktu agaknya sangat beralasan jika

ditinjau dari ikatan emosional yang terjadi antara sesama kiai. Tidak dapat dipungkiri

bahwa dalam kemajuan NU, kiai merupakan unsur utama terhadap pesatnya

perkembangan dan perluasan pengaruh NU. Salah satu faktor yang sangat

mendukung perkembangan NU adalah kedudukan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is

Akbar, meskipun dalam aktifitasnya di organisasi tidak begitu aktif, tetapi kedudukan

tersebut memberi warna tersendiri dalam menarik minat orang-orang untuk masuk

NU.66 Faktor lain yang berpengaruh adalah rasa solidaritas sesama golongan

tradisional yang dalam posisi terancam oleh golongan pembaharu.

Menurut Abdurrahman Wahid, perjalanan pada masa dasawarsa awal tahun,

NU memposisikan diri sebagai organisasi keagamaan murni dengan orientasi

perjuangan dibidang pendidikan dan dakwah. Namun menginjak tahun berikutnya,

orientasi NU mengalami perubahan. Hal itu terjadi saat muktamar NU ke-11 di

Banjarmasin tahun 1936. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa “Negara

65

Dibidang ditangani oleh lembaga pendidikan Ma’arif yang dibentuk pada tahun 2938. lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 41.

66

(46)

dan tanah air wajib dilestarikan, wajib menurut fiqh”.67 Persoalan ini timbul dari

pertanyaan mengenai status negara Indonesia dalam pandangan syari’at Islam. Dalam

keputusan tersebut, Indonesia atau tanah Jawa merupakan negara Islam, karena

pernah dikuasai oleh ummat Islam dalam bentuk kerajaan Islam. Meskipun Indonesia

dipimpin oleh pemerintah non-Islam namun mayoritas penduduk negara ini adalah

muslim dan tetap diberi kebebasan menjalankan syari’at Islam.

Pada substansinya, kecenderungan yang mengarah pada persoalan politik

telah muncul sejak awal berdirinya. Hal ini tercermin dalam dua sasaran

perjuangannya. Pertama, memperkuat dan mengembangkan amal ibadah dan aqidah serta pengembangan amal-amal sosial, baik bidang pendidikan maupun ekonomi.

Kedua, berjuang untuk melawan kolonial Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat kultural.68

Bagi Kiai Wahab, tujuan mendirikan NU tidak hanya sekedar

mengembangkan pendidikan dan ekonomi semata, tetapi sebagai upaya melepaskan

diri dari belenggu penjajahan. Ketika ada yang menanyakan mengenai kemerdekaan,

sehari sebelum NU lahir, Kiai Wahab menjawab:

“Itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum merdeka.... kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negri merdeka.”69

67

M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: al-Amin Press,

1996), h. 63-66.

Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik,

(Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004), h.191-192.

68

Ridwan, Paradigma Politik NU, h. 189.

69

Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 32-33, lihat juga, Feilard, NU vis-à-vis

(47)

Sebagai langkah kongkrit, pasca muktamar di Banjarmasin, NU

mengupayakan rekonsiliasi terhadap kaum modernis yang memang sejak awal selalu

berseteru dengan NU. Gayung bersambut, ajakan tersebut diterima golongan

modernis. Setahun kemudian, 1937, dibentuklah Majelis Islam ‘Ala Indonesia

(MIAI). Organisasi ini merupakan gabungan beberapa organisasi Islam yang

bertujuan menggalang kekuatan umat Islam menghadapi penjajah, maka kedudukan

organisasi ini menjadi sangat penting.70

Berdirinya MIAI, lagi-lagi tidak terlepas dari peran Kiai Wahab. Pada tanggal

21 September 1937, ia memainkan peranan penting dalam pembentukan MIAI

tersebut. Pertemuan pertama dilaksanakan di rumahnya sendiri, dan dihadiri oleh

rekannya dari NU, KH. Ahmad Dachlan Kebondalem, KH. Mas Mansur dari

Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari SI. Inisiatif dari keempat tokoh yang

berbeda haluan ini, sepakat membentuk badan federasi bernama MIAI untuk

dijadikan tempat “Permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari

wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar

agama Islam di seluruh Indonesia.”71

Meskipun Kiai Wahab dan KH. Ahmad Dachlan mewakili NU, namun secara

organisatoris, NU baru masuk pada tahun 1939 setelah merasa yakin kaum modernis

70

M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam Politik,

(Jakarta: Gramedia, 1996), h. 96, lihat juga, Marijan, Quo Vadis NU, h. 50-51.

71

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

PENGEMBANGAN BUKU AJAR IPA BERBASIS INKUIRI TERBIMBING MATERI GERAK BENDA DAN ENERGI UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS III DI MI ISLAMIYAH CANDI SIDOARJO

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

Dengan kata lain, tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran Islam

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada kebersyukuran, yang dapat dibuktikan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Wood, dkk (2010) yang menyatakan bahwa

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian sistem, yang dilakukan dengan menguji sistem secara keseluruhan untuk memastikan sistem dapat bekerja sesuai fungsi dan

Berkaitan dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan ini berbeda permasalahannya dimana didalam penelitian ini menitik beratkan kepada bagaimana praktik meminjam

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap karakteristik bioekologi rajungan yang meliputi karakteristik substrat dan kualitas