• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Mata Pelajaran Bahasa Jawa

Masyarakat Jawa memiliki bahasa Jawa sebagai salah satu ciri khas kearifan lokal (local wisdom) dan sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat Jawa. Bahasa Jawa sarat nilai-nilai tata krama yang memberikan sumbangan terhadap pembentukan pribadi bangsa. Bahasa Jawa telah berusia lebih dari 1.025 th jika dihitung dari prasasti Sukabumi, 25 Maret 804 (Teuw,1983). Bahkan hampir 2000 th bila dihitung dari 1 Sakaatau 78 Masehi (Hamengku Buwono X, 2001). Hingga saat ini bahasa Jawa masih dipakai 63 juta penutur.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah bahasa daerah, bahasa Jawa sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, maka fungsi mata pelajaran bahasa Jawa adalah sebagai (1) sarana membina rasa bangga terhadap bahasa Jawa (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dang mengembangkan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar untuk berbagai keperluan dan menyangkut berbagai

masalah, dan (5) sarana pemahaman budaya Jawa melalui kesusteraan Jawa.

Sedangkan tujuan mata pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal supaya peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; (a) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika dan unggah-ungguh yang berlaku baik secara lisan maupun tulis, (b) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi dan sebagai lambang kebanggaan serta identitas daerah (c) memahami bahasa Jawa dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan (d) menggunakan bahasa Jawa untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (e) menikmati dan memanfaatkan karya sastra dan budaya Jawa untuk memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (f) menghargai dan membanggakan sastra Jawa sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia

Ruang lingkup mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa mencakup komponen kemampuan berbahasa, kemampuan bersastra, kemampuan berbudaya yang meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Wayang sendiri telah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500an sebelum masehi, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Jadi dapat dikatakan bahwa wayang sesungguhnya adalah seni budaya asli Indonesia (Ensiklopedi wayang

Indonesia I 1997:29). Saat itu nenek moyang Bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme, dalam alam kepercayaan tersebut roh nenek moyang masih dianggap hidup dan mampu memberikan pertolongan. Dengan segala macam cara orang berusaha untuk menahan roh agar dapat tinggal di alam fana. Cara-cara yang ditempuh adalah (Bastomi 1992) :

a. Menyediakan tempat khusus, yaitu di dalam rumah tinggal keluarga atau lingkungan sekitar yang dianggap gaib, misalnya di sendang, batu besar, pohon besar, atau kuburan ;

b. Menyediakan waktu khusus untuk berkomunikasi, misalnya pada waktu malam-malam tertentu ketika roh sedang mengembara ;

c. Melalui media orang yang sakti, yaitu orang-orang yang mampu berhubungan dengan hal yang dianggap gaib. Misalnya pimpinan desa, syaman, atau dukun.

Roh nenek moyang ini, yang disebut “hyang” atau “eyang” atau “yang” dalam bahasa sansekerta, dapat dimintai pertolongan lewat media yang disebut “syaman” melalui sebuah ritual pemujaan. Moerdowo berpendapat dari kata sansekerta “hyang” atau “eyang” atau “yang” itulah kemudian muncul istilah “wayang” (Widya Dharma Nol. 16, Oktober 2005:77). Selanjutnya ritual pemujaan inilah yang diyakini merupakan asal mula pertunjukan wayang. Ritual kepercayaan menjadi jalannya pentas, dan syaman menjadi dalang (Ensiklopedi Wayang I 1997:30).

Dalam perkembangannya wayang bersentuhan dengan unsur-unsur lain dan terus berkembang. Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot yang diambil dari Kitab Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV yang termasuk zaman Hindu, wayang dikembangkan dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Berbagai lakon cerita tentang wayang telah mulai ditulis. Karya sastra wayang mencapai puncaknya pada masa kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit.

Pada masa kerajaan Kediri (tahun 800 Masehi) Bahasa Jawa mengalami perkembangan yang pesat karena pengaruh bahasa Sanskerta. Sang Prabu Jayabaya yang bertakhta pada tahun 839 dengan Caka “Arum Gandaning Brahmana” mengarang Pustaka Raja Purwa. Bab 8 pada buku tersebut berjudul Serat Mahadarma, berisi cerita tentang riwayat nenek moyang dari tahun 701-800 caka. Serat Mahadarma ditulis pada daun rontal yang dilengkapi dengan gambar-gambar. Bentuk gambar meniru relief Candi Penataran yang memuat cerita Ramayana. Pada saat itulah lahir wayang Purwa.

Dalam Serat Mahadarma terdapat 19 riwayat. Sang Prabu menyuruh Mpu Kanwa menyelesaikan bagian 9 yang berisi cerita tentang perkawinan Raden Arjuna dengan Dewi Sumbadra dan kemudian dengan Dewi Srikandi. Serat tersebut dinamai Serat Sapanti Parta, juga disebut Lakon Partakrama (853 Caka). Pada tahun 854 Caka Empu Kanwa diminta menulis bagian sebelas Serat Mahadarma yang berisi riwayat Raden

Arjuna bertapa di Gunung Indrakila sampai diangkat menjadi raja di Suralaya. Cerita ini disebut sebagai lakon Arjuna Wiwaha atau Mintaraga.

Serat Mahadarma yang berupa cerita bergambar itu direntangkan pada tali menurut urutan sejarahnya. Untuk menyimpannya dimasukkan ke dalam peti kecil berukir. Pada hari ulang tahun Sang Prabu, wayang tersebut diperlihatkan kepada sanak keluarga dan isinya diceritakan sendiri oleh Sang Prabu. Pada saat itu Sang Prabu bertindak sebagai dalang yang menuturkan kisah pada wayang yang dikeramatkan.

Seiring berjalannya waktu, gambar pada daun rontal dirasa oleh Sang Prabu ukurannya terlalu kecil. Kemudian Sang Prabu memerintahkan memperbesar gambar pada sehelai kulit sapi.Kulit sapi tersebut dibersihkan bulunya kemudian dipotong kecil-kecil berukuran 30 x 40 cm. Tiap lembaran gambar diukir tembus, dan sisa kulit sekeliling gambar dihilangkan. Tiap tiap gambar diberi pegangan dari bambu. Setelah berjumlah 50 lembar diberi nama Wayang Purwa dengan Caka “Candraning Wayang Wolu” (tahun 861 Caka). Disebut wayang purwa karena ceritanya diambil dari serat Pustaka Raja Purwa. Sedangkan bentuk-bentuk gambar mencontoh relief Candi Penataran di Jawa Timur. Purwa juga berarti Timur. sehingga dapat disimpulkan bahwa wayang purwa adalah ciptaan Sang Prabu Jayabaya dari Negeri Mamenang, Kediri, Jawa Timur.

Pada saat itu pertunjukan wayang belum diiringi dengan gamelan, melainkan hanya diiringi dengan lagu “Sekar Ageng” atau tembang

kidung. Wayang yang sedang diceritakan dipegang dan ditempelkan pada layar putih dan disorot lampu, sehingga dari belakang layar tampak bayangannya. Bayangan itulah yang dilihat oleh sanak keluarga dan kaum kerabat raja serta para abdi dalem. Dengan demikian yang dilihat adalah gerak-gerak bayangan gambar wayang. Pada zaman itu belum ada “sabet”, yaitu gerak-gerak tokoh wayang, karena tangan-tangan para tokoh masih menjadi satu dengan badannya. Sejak itu wayang purwa berkembang menjadi tontonan rakyat hingga zaman kerajaan Singasari.

Pada zaman Majapahit (tahun 1166 Caka) wayang purwa hanya digemari oleh orang-orang desa. Prabu Brawijaya lebih suka pada wayang beber, yaitu wayang yang digambarkan pada sehelai kertas daruwang pranaraga. Satu lembar kertas memuat beberapa tokoh dalam satu cerita. Gambar wayang telah berwarna. Tiap lembar wayang digulung dan disimpan. Jika akan diceritakan kembali gulungan kertas “dibeber” (dibentangkan), sehabis diceritakan kemudian digulung kembali.

Perubahan besar pada wayang mulai terjadi ketika agama Islam masuk di Indonesia pada abad XV yang bertepatan dengan berdirinya Kerajaan Demak. Pada zaman itu, ketika Raden Patah memerintah kerajaan, ia berminat sekali pada permainan wayang. Raden Patah sering menjadi dalang wayang beber. Tetapi para wali yang membawa ajaran Agama Islam membuat perubahan pada wayang. Perubahan utama adalah pada :

a. Bentuk-bentuk tokoh wayang yang semula mendekati naturalis diubah bentuknya menjadi bentuk simbolis-artistis, karena dalam agama Islam tidak diperbolehkan adanya penggambaran tokoh secara naturalis. (Widya Dharma Nol. 16, Oktober 2005:78). Dalam penggambaran yang baru ini, bentuk wayang menjadi imajinatif dalam arti tidak seperti bentuk manusia. Seluruh anggota badan lengkap dan fungsional tetapi tidak proporsional. Walaupun tidak proporsional akan tetapi Sangat serasi, sehingga menimbulkan kesan yang indah sekali (Ensiklopedi wayang Indonesia I 1997:25).

b.Penegasan waktu pertunjukan wayang yang ditetapkan pada malam hari mulai bakda isya' hingga menjelang subuh (7-8 jam). Hal ini didasari karena seni wayang dilandasi oleh nilai-nilai agama sejak zaman Hindu hingga Islam, maka pertunjukan wayang menjadi sangat kental nuansa religiusnya. Waktu pertunjukan dimaksud secara religius merupakan saat yang tepat untuk mendekatkan diri pada Tuhan, berbicara dan memikirkan hal-hal yang baik seraya memohon ridho Allah (Ensiklopedi wayang Indonesia I 1997:25).

Peristiwa lahirnya wayang purwa kulit di demak ditandai dengan

Caka “Sirna Suci Caturing Wong” (tahun 1440 Caka). Menurut

Sastroamijoyo (1964:20-22) Sunan Kalijaga menciptakan Kayon atau Gunungan dengan Caka “Guru Dadi Sucining Jagad“ (tahun 1443 Caka). Selain itu Sunan Giri menciptakan tokoh wayang kulit yang pertama. Dari situlah wayang kulit disebut “ringgit”, artinya Sunan Giri yang nganggit

(mencipta). Wayang ciptaan sunan Giri adalah Sang Hyang Girinata artinya Sunan Giri yang menata atau yang mengatur. Sang Hyang Girinata juga disebut Pramesti Guru dengan Caka “Dewa Dadi Ngecis Bumi” (tahun 1541 Caka).

Demikianlah, wayang kulit purwa pada zaman Demak oleh para Wali dan pujangga Jawa direkayasa dan dibesut sedemikian rupa sehingga selain merupakan sarana hiburan yang menarik juga mampu dipakai sebagai sarana komunikasi massa dan dakwah agama Islam. Nilai-nilai wayang semakin diperkaya lagi dengan nilai-nilai yang bersumber dari Agama Islam. Demikian cermatnya para Wali dan pujangga Jawa saat itu dalam mengembangkan budaya wayang dan seni pedalangan sehingga seni budaya ini menjadi bernuansa Islami dan dapat selaras dengan perkembangan masyarakat pada masa itu.

Berangkat dari perubahan besar tersebut, wayang terus berkembang pada zaman kerajaan Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta. Boneka wayang pada zaman Mataram telah mengalami banyak perubahan.Wayang sebelum zaman Mataram, hanya ditatah pada bagian pakaiannya saja. Pada zaman ini muncul tatahan baru yang disebut tatahan “gempuran”, yaitu tatahan yang indah dan detail sampai ke rambut, serta peralatan pakaian sampai kain dodot, ditambah dengan hiasan keris, kecuali wayang dagelan dan wayang ricikan. Dua yang terakhir ini hanya ditatah secara “gayaman” yang ketelitiannya tatahannya kurang detail. Selanjutnya boneka wayang memperoleh bentuk

seperti sekarang ini yang menjadi lengkap sekali (berjumlah antara 200-300 tokoh). Meskipun bersumber cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana yang notabene berasal dari India, tetapi telah banyak tokoh yang diciptakan oleh seniman Indonesia yang makin memperkaya dan memperjelas identitas keindonesiaannya. Dapat diambil sebagai contoh tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong dll.) yang tidak ditemukan dalam kisah Mahabarata di India, atau tokoh Antareja, Antasena, Wisanggeni, Gandamana, dll.

Selanjutnya secara teknis kriya (seni pembuatan wayang), juga telah terjadi perkembangan yang luar biasa. Boneka wayang kulit yang terbuat dari kulit binatang (umumnya kulit kerbau atau sapi) pada perkembangan terakhir telah ditatah halus dengan model tatah “krawangan” atau tatah tembus. Tatah trawangan ini dimaksudkan agar bila disorot dengan lampu wayang dapat menerawang. Tatahan tersebut diperindah dengan sunggingan, yaitu pewarnaan dengan cat dan “prada” warna emas.

Pada mulanya wayang dimaksudkan sebagai bayangan dari roh-roh leluhur. Tetapi pada zaman kerajaan Demak boneka wayang kulit tidak lagi dimaksudkan sebagai bayangan roh nenek moyang, sebab hal itu adalah larangan dalam agama Islam. Sejak saat itu boneka wayang kulit dimaksudkan sebagai lambang watak manusia. Kria tatah dan sunggingnya makin disempurnakan, bentuk tokoh diubah dan diimajinatifkan sehingga

bentuk tiap-tiap tokoh sangat sesuai dengan perwatakan yang digambarkan.

Tatahan kria wayang kulit disebut gempuran, artinya tatahan tembus untuk semua bagian badan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut beserta seluruh pakaiannya. Hal ini dimaksudkan agar ketika diwayangkan dapat menghasilkan bayangan penuh pada layar putih, sehingga seluruh bentuk tokoh wayang terbayang jelas. Selain daripada itu, tatahan gempuran akan membuat wayang menjadi lebih indah.

Mengenai pewarnaan / sunggingannya, digunakan warna-warna hitam, putih, coklat, biru, kuning, emas, dan hijau. Warna-warna itu disunggingkan dengan tatanan warna nuansa / gradasi. Wayang dibuat bertangan panjang sebagai usaha distorsi dan untuk memudahkan ketika memainkan, karena hanya tangan yang dapat digerakkan secara leluasa. Pakaian dan perhiasan pada tokoh wayang dimaksudkan untuk mendukung dan menguatkan perwatakan dari tokoh yang disimbolkan.

Tokoh ksatria, putri, raksasa, bidadari, pendeta, dewa, dan lain sebagainya memiliki tempat dan kedudukan masing-masing. Oleh karena itu setiap tokoh dalam wayang kulit memang merupakan suatu gambaran atau lambang perangai, lambang watak, dan lambang budi. Watak keras dan kasar, watak angkara, watak halus, dan sebagainya memiliki gambaran tersendiri dan khas dari dunia pewayangan. Artinya semua yang ada dalam diri wayang mempunyai arti khusus.

1. Nilai Falsafah Dalam Kisah Wayang

Bahwa wayang dapat bertahan sekian lama salah satunya adalah karena kandungan nilai falsafahnya. Wayang tidak hanya tampil sebagai sarana hiburan (tontonan) semata, tetapi juga memiliki nilai budaya yang merupakan acuan moral luhur (tuntunan) menuju terwujudnya akhlaqul karimah. Wayang yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai keutamaan hidup yang terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang. Dalam setiap kisahnya selalu saja ada nilai budaya yang hendak dilestarikan. 2. Penyebab Wayang Kalah Menarik Dibanding Hiburan Modern

Bahwa saat ini pertunjukan wayang kulit tidak dapat bersaing dengan hiburan modern sebagai pemberi tontonan dan tuntunan, Menurut YB. Adimassana (Pelestarian Wayang Lewat Format Pendidikan Formal, Widya Dharma, Majalah Ilmiah Kependidikan, Vo. 16, No. 1, Oktober 2006) dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya diantaranya adalah :

a. Durasi pertunjukan wayang dirasa terlalu panjang untuk ukuran orang zaman sekarang. Pada masa lalu mungkin bukan hal yang aneh apabila diadakan pagelaran wayang semalam suntuk. Masih tetap banyak penonton yang bersedia mengikuti hingga akhir acara. Hal itu dipengaruhi oleh kesibukan masyarakat pada saat itu yang belum begitu banyak. Kehidupan berjalan belum

begitu bergegas. Belum banyak orang yang bekerja dengan dikejar deadline. Lain halnya dengan zaman sekarang, dimana kehidupan sudah semakin sibuk, waktu digunakan dengan sangat berhemat. Menikmati hiburan hingga semalam suntuk adalah hal yang kurang masuk akal pada saat ini ;

b. Pertunjukan wayang memerlukan biaya yang mahal dan kerepotan yang tinggi (tidak praktis). Dalam pertunjukan wayang, selain dalang yang menyampaikan jalan cerita dan menggerakkan wayang kulit, ada pula peran pengiring yaitu sinden (penyanyi) dan waranggono (pemain musik) yang secara bersama-sama menyuguhkan sebuah hiburan. Kerepotan dialami diantaranya dari persiapan penampilan agar kerja sama dalang dengan pengiring dapat berjalan rapi, persiapan panggung / tempat pementasan, persiapan kostum bagi dalang dan pengiring, berbagai ritual yang harus dijalani agar pementasan berlangsung lancar, dan lain-lain. Segala kerepotan itu pada akhirnya bermuara pada tingginya biaya pementasan wayang kulit.

c. Bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang kulit semakin tidak dimengerti oleh generasi muda dan anak-anak. Generasi muda dan anak-anak saat ini merupakan konsumen hiburan yang populasinya lebih banyak dari pada generasi tua. Sementara generasi muda dan anak-anak ini telah hidup dan dibesarkan dalam pergaulan modern yang mulai jarang

menggunakan Bahasa Jawa dan Kawi (yang merupakan bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang). Maka menjadi tidak mengherankan bahwa generasi muda dan anak-anak sekarang semakin kurang mengerti dengan pementasan wayang kulit

d. Semakin berperannya agama dan sekolah sebagai pendidik nilai-nilai bagi anak-anak membuat peran pertunjukan wayang kulit sebagai penyaji “tuntunan” (nilai-nilai) makin tergusur dan kurang dinikmati;

e. Dapat ditambahkan pula bahwa materi (misalnya ceritanya, nama-nama tokohnya, kegiatannya, tampilan tokohnya) yang disampaikan dalam wayang adalah materi yang cenderung serius, kuno, dan kurang bisa mengikuti arus model yang sedang populer untuk ukuran anak muda pada saat ini. Kita tidak akan pernah bisa menemukan tokoh Arjuna bermain basket dalam kisah Mahabarata. Atau tokoh Parikesit berulah cerdik-konyol seperti Crayon Sinchan. Atau Tokoh Gatotkaca memainkan musik heavy metal setelah keluar dari Kawah Chandradimuka.

Sedangkan faktor eksternalnya adalah membanjirnya produk hiburan asing yang tampil lebih menarik, lebih up to date, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan irama hidup manusia zaman sekarang.

Selanjutnya, bila dibandingkan dengan produk hiburan asing tersebut akan tampak bahwa meskipun wayang lebih unggul di bidang

kandungan nilai-nilai moral dan estetika klasik, wayang kalah di bidang :

1. kepraktisan (baik dalam cara penyampaian maupun durasi waktu),

2. keakraban bahasa penyampaian,

3. harga pementasan (harga yang harus dikeluarkan untuk menikmati pertunjukan wayang cukup mahal), dan

4. materinya yang kalah populer (dalam bahasa yang umum digunakan dalam keseharian: kurang gaul).

Keempat hal tersebut di atas membuat mempelajari / menikmati wayang menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi anak-anak. Mereka lebih senang menikmati Naruto, bahkan mempelajari Naruto (misalnya menghafal jurus-jurusnya, mencari tahu senjata rahasianya, meneliti siapa musuh Naruto yang paling menakutkan, dan lain-lain) karena bagi mereka Naruto itu terasa menyenangkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dave V. Jones (2007) dalam ”Menggabungkan Teknologi dan Pengajaran” yang menyebutkan : jika sesuatu menyenangkan, kita ingin melakukannya lagi dan lagi. Anak-anak belajar permainan baru yang mereka senangi dengan sangat tekun. Ketekunan adalah salah satu syarat untuk belajar.

Dokumen terkait