• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata yang Berlabuh

Dalam dokumen Cerpen (Halaman 32-38)

Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang.

Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya.

Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa

tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali.

Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana. Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu sudah letih.''

Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya. ''Nanti saja.

Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.''

Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan

kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan

kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru.

Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada. ''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''

''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu. Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!

''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli.

''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya.

Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu mayat

yang terhampar di kakinya. ''Ia tak ada di sana !''

Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin. Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret.

''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya. Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak

menyampaikan pesan pada Abdullah. ''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.''

Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah. Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu. Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu.

Abdullah menggeram.

Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada yang dapat menghalangi langkahku.

Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh, Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya?

Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan tenaga. Lalu mendengus.

Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar.

Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang.

''Mau kemana engkau, Abdullah?''

Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat. Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis. Hatinya basah.

''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh meruapi telinganya.

Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih yang mengisi udara.

''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta, Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya.

Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup seluruh

hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang terkatup.

Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di fajar subuh.

Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.

Keluarga R

WAKTU menyempurnakan segalanya. Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak ada yang abadi. Juga di rumah seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala, sembilan mulut, sembilan perut di rumah itu. Kami sebut keluarga R karena namanya semua diawali huruf R. Mulai Rus'ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas tujuh anak yang berleret susun paku: Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam, Rismun, Rusmin, dan Ramena.

Keluarga R dapat pula kita tandai dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari rata-rata kepala manusia, serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan tak pernah mengatup, perut bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya denganku, dan Rismun sang adik, ditambah perangai balaku baruak alias nakal, rakus, bandel, kurang ajar tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai mengarah perilaku itu, kendati masih tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang terlihat direbut, dipurukkan ke mulut. Ramena yang berumur beberapa bulan pun demikian. Tidak henti menggeliat, meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar ibu, tiap kali bayi serupa kera itu dibawa ibunya atau Rosmalia main ke rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi Ramena tetap meliuk-liuk seolah terbuat dari karet. Rustam dan Rismun, bukan cuma lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di pohon jambu, mangga atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung melihat ibu memasak. Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang dimasak diangkat dari

penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru ibu, tidak jarang dengan menokok tangan keduanya. "Basuh tangan dulu!," Dua bersaudara itu terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu menyendok dua piring nasi, sayur, sekerat ikan, atau kentang goreng balado.

Sedang lahap-lahap begitu kadang aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya tergeragap, menyeringai menampakkan taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan selesai makan ngeluyur beriringan bak beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku muncul saat mereka dicegah mencomot sesuatu. Selain kubentak, kusepak. "Rakus!," Keduanya lagi-lagi menyeringai, kabur, tetapi tak lama mencogok kembali. Ngehek benar!

Hanya saja, ibu dan ayah tak suka aku begitu. "Kenapa harus kasar dan marah-marah," tegur ayah. "Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah dan tidak suka kepada sesama!"

"Kasihan," ibu menambahkan. "Lagi pula, takkan mengurangi kalau kita beri."

Memang tidak mengurangi. Mangga atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang diminta Rustam juga potongan potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku tak digunakan. Ibu sesekali memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku menengok kepala bak jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain, tidak pernah Rustam tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun. Keduanya sama, cuma nama saja dibolak-balik.

Satu-satunya yang meredam rasa gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu Ainah langsung terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan berkembang biak di situ. Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku cukup mendesiskan "ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga bisa kusalin seutuhnya, hingga ke titik-koma.

Tetapi itu tetap tak membuatku cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang jalan itu; mengantar gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa saja sebagai pengganjal perut. Ada saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa mereka?"

"Menyanyi!" "Menyanyi?"

"Menyanyi. Ngobrol. Tertawa-tawa!"

Itu lagi kebiasaan sekaligus keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak Rus'ad dan nyonya, kemudian mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak ada apa-apa.

Pernah, usai magrib, aku tak dapat mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan ke rumah seberang jalan itu. Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara orang menyanyi, bercakap-cakap, diselingi gelak tawa. Lantas senyap, terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di ambang pintu. Berpasang-pasang mata terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku. Kemudian Bu Rakena senyum-senyum menghampiri.

Pulangnya, iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam kulekapkan kuping ke dinding. "Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau tidak Rusmin, tentu Rismun. Bisa juga Rustam.

"Sabar, sabar. Semua dapat. Semuanya diberi." "Tapi aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!" "Adik dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!"

Sesampai di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa bumbu.

ANGGOTA keluarga R kemudian lenyap satu-satu. Mula-mula Ridwan, anak pertama, yang suka senyum serta penyapa. Konon dibawa famili ke Jakarta. Menyusul Ruslan, ke Medan, juga dibawa keluarga. Di tempat kami wujud kekerabatan seperti itu. Mereka yang merantau, apalagi jaya, menjelma lokomotif penarik bagi yang lain. Jadi wajar bila Anda jumpa orang daerahku di mana pun kapan pun di pelbagai belahan dunia. Mereka pasti tidak sendiri di sana.

Lalu kepala keluarga, Rus'ad, lenyap. Tapi tak lama, sekitar lima-enam bulan. Barangkali penguasa tahun '66 juga berpikir, tak mungkin tukang gerobak seperti Pak Rus'ad ancaman bagi negara, sehingga ia dilepas kembali setelah di bui. Jika pun ikut-ikutan organisasi pasti agar lebih mudah dapat minyak tanah, sabun, atau gula; seperti ayah masuk koperasi.

Tetapi Pak Rus'ad tidak balik ke profesi semula pulang dari bui. Alih profesi jadi anak-ula , alias kernet lepas bus jurusan Bukittinggi --terkadang ikut bus ayah. Tubuhnya tambah kurus, kepalanya makin mirip jerangkong, keluar penjara. Dengan kondisi begitu bisa-bisa dia yang didorong

gerobak disarati berkarung-karung beras, kelapa, minyak goreng, sayur-mayur, entah apa lagi. Masa itu, pedagang di kota kami mengandalkan gerobak bertenaga manusia mengangkut mata dagangan dari stasiun ke pasar atau sebaliknya. Sejumlah orang bergiat dalam jasa ini, tetapi tidak seorang pun bertubuh kerempeng dan berkepala besar bagaikan jerangkong.

Sementara itu, Rosmalia dan Rustam lenyap saat Pak Rus'ad di penjara. Rosmalia dibawa famili entah ke Dumai, Rumbai, Duri, tidak kuketahui. Yang tahu dan merasa kehilangan abangku, Zein. Selain sama-sama kelas satu SMA, sekelas pula, Zein ada hati pada Rosmalia. Itu sebabnya Zein oposan kami di rumah selain ibu dan ayah.

Tapi Zein berlebihan. Mati-matian dia bela keluarga R. Juga kelewat sensitif. Misalnya, kalau aku mengacungkan lidi sate kota kami yang terkenal sedap itu dengan menggoyang-goyangnya, Zein langsung membelalak. "Tidak baik begitu!" dia bilang. "Kalau rezeki Pak Rus'ad sebaik ayah tentu anak-anaknya sehat seperti kita!"

Rosmalia sebenarnya manis. Bahkan cantik, dengan kulit halus warna gading, suara dan senyum lembut, bola mata hitam-bulat tidak berputar-putar liar. Tapi seperti saudara-saudara serta orang tuanya, tubuh Rosmalia lurus saja, panjang, dan memang mirip lidi sate.

Ke mana raibnya Rustam diajak famili, tidak kuketahui. Mungkin ke Bandung , Semarang , Surabaya , sungguh tak terang. Aku juga tak bernafsu mengetahui. Sebagai kawan Rustam

hanyalah mentimun bungkuk, ada tapi tidak masuk hitungan --kecuali ada ulangan. Selain itu, setahun setelah kepergiannya, tamat SD, giliranku lenyap dari kota kami. Ikut, sekaligus disekolahkan abang sulung yang sudah mandiri di Jakarta .

Hari-hariku selanjutnya sarat dengan kesibukan sekolah, kuliah, bekerja, lantas menikah. Keluarga R sesekali saja teringat. Misalnya jumpa relasi bernama Risman, Rasmin, Rismuji. Dan kalaupun ingat tidak merangsang tanya bila aku pulang sesekali ke kota kelahiran. Sampai satu hari tiga puluh tiga tahun sesudah kepergianku, mataku bagai terganjal tidak dapat berkedip menatap seorang pemakalah dalam suatu seminar di Bandung. Rustam Rus'ad, PhD ekonomi lulusan universitas kenamaan di Amerika Serikat!

Memang sulit dipercaya. Tapi ketika moderator membaca biodatanya, perlahan mataku berkedip lagi. Ia memang Rustam si mentimun bungkuk, keluarga jerangkong. Namun mulutnya tidak lagi menerowong. Dan meski bagian depan kepalanya botak bagai kepalaku, karena usia, kini tak mirip jerangkong. Malah serasi dengan tubuhnya yang bugar berisi, membuatku teringat kembali ucapan abangku Zein yang telah tiada, mati muda.

Kudekati dia saat rehat. Dan bila aku masih tertegun-tegun, Rustam langsung terbelalak. Sekejap kemudian didekapnya aku erat-erat. "Mandius! Mandius!‖ ujarnya dengan suara bergetar, dan serak. Kepada orang-orang yang terpana di sekitar kami, ia lalu berucap: ―Saudara saya! Sahabat baik waktu kecil!" Alamak!

PULANG libur ke kota kelahiran bersama istri, anak-anak, dan calon menantu, kuceritakan pertemuan itu kepada ibu. "Jumpa aku si Rustam di Bandung," kataku.

"O, ya," balas Ibu. "Memang di Bandung dia. Abangnya si Ruslan sekarang di Batam, pengusaha hotel. Adiknya Rusmin, jadi dosen di Medan."

Betapa ajaib sang waktu memburai-burai nasib, sekaligus menatanya kembali. Kutoleh rumah seberang jalan itu melalui jendela yang lebar terbuka. "Siapa sekarang penghuninya?"

"Anak si Ridwan nomor tiga," sahut Ibu. "Si Ridwan pun kerap pulang setelah pensiun dari departemen luar negeri. Selalu singgah dia kemari."

Dari Ibu pula kutahu Rismun sudah meninggal dunia. Bukan jatuh dari tembok pekarangan kami, tetapi helikopter, pulang survei minyak di lepas pantai Pulau Pagai. Rismun insinyur perminyakan. Rosmalia istri wali kota di Sumatra. Dan ibu mereka, Rakena, bersama Ramena. Ramena sendiri, yang sejak kecil dibawa abangnya Ridwan ketika tugas di sejumlah negara Eropa, guru balet di Paris; menikahi pria bule, punya anak satu. Tentu bukan karena namanya serupa nama Rumania, atau orang-orang Eropa Timur.

"Senang hidup si Rakena itu sekarang, telah dua kali naik haji," ujar ibu. "Tapi Tuhan punya rencana lebih sempurna, buru-buru memanggil suaminya, seperti juga ayahmu."

Sebagaimana ayah, Pak Rus'ad telah wafat. Jauh lebih dulu dari ayah, kira-kira setahun sekeluar penjara. Walau lima-enam bulan saja di bui, agaknya tidak kuat batin dan tubuhnya yang tipis-kerempeng bak jerangkong menanggung derita.

Dalam dokumen Cerpen (Halaman 32-38)

Dokumen terkait