• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerpen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cerpen"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Persahabatan Sunyi

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di

persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.

Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.

Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.

Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.

Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu. Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik. "Cepat pergi!"

(2)

LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.

Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan

meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal. MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.

Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.

Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya. Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari.

Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa

(3)

krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.

Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.

SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.

"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.

Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.

BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.

Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.

(4)

Percintaan Kepompong

Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat

kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa.

"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..

Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.

Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya. "Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."

Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.

Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.

Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.

"Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga. "Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu," katanya.

"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"

"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu." "Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."

"Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."

Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam

kepompong cintamu," kataku akhirnya.

Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.

(5)

Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku

bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai.

Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami

menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.

"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.

Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.

"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.

"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."

"Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin

merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"

"Kau memang lelaki yang luar biasa." "Luar biasa bodohnya, maksudmu?" "Ha ha ha…!"

Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi

mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?

Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.

Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."

Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.

(6)

Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh

kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?

Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama.

Aku makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer. Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu jabatan di jajaran direksi.

"Syukurlah," pikirku.

Makin hari kamipun makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di kantornya.

Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih seketika.

"Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?" tanyaku.

"Ya," katanya. "Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai."

"Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?"

"Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia."

Aku kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal, kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa berkata-kata lagi di depan

keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak dari kursinya dan mengucapkan "selamat tinggal" tanpa secercah senyumpun di bibirnya!

(7)

Safrida Askariyah

Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.

Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati—wanita yang tidak mau dijajah.

Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya.

Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada di ujung.

Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik. Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.

"Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki.

Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida.

Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah. Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi.

Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari hari itu.

Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya. "Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida. Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu. Bahkan semenjak dahulu.

"Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.

Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.

Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah.

Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di

sampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula di rumoh dapu?

Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai ajal itu seperti di depan gerbang.

Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.

Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu. Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari

(8)

"Sudah cukup mandi jih mak..."

"Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan 'geli...geli...'

Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida. Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu.

"Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega.

Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulunya.

Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi.

Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling meminta KTP Bapak.

"Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar.

"Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak gentar.

"Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!" sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya.

"Periksa rumah ini!"

Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya!

Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama di sumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana.

Sebagian tentara pergi ke rumah samping, ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran ke rumoh Safrida.

"Ada GAM di sini...!" Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan...

"Dor...Dor..." tubuh Bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya terlebih dahulu.

"Bapak...Bapak..." Mak histeris.

"Dor...Dor...." Mak terkulai tak berdaya. Tembakan di mana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida.

"Masyik...Masyik...." Ronta Safrida.

"Beuk kapeulaku cucoe long...." Masyik berusaha menarik tubuh cucunya itu. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, langsung terjungkang ke tanah. "Kamu cantik juga, ya?" tentara itu membabi buta.

"Bek...Bek...." Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret ke semak-semak.

"Barang bagus, ya?"

"Ya nih...Tapi aku duluan ya...Ha...ha..." Setan itu terpingkal-pingkal. "Ayo sayang..."

"Jangan...." Safrida menjerit panjang. Tak ada penolongnya.

Safrida menimba lagi air di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya.

Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh di depan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.

(9)

Tapi, suatu hari datang panglima GAM ke kampung. Berapi-api menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida panas bukan main. Dendamnya membara. Ia ingin menuntut balas.

Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu diubah. Tak lagi inong balee, tapi Askariyah.

Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat. Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah mahir menggunakan senjata.

Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering terlibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak.

Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintahan. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Digoda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali-dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikit pun.

Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi.

Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangannya gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintahan sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah.

Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia waswas bila hujan turun.

Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak payed, Galinggeng, menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima sagoe, perjuangan GAM sudah melencang dari syariat. Ah, benarkah itu? tanya hati Safrida.

Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit. Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira. Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kesumat tak raib. Bagusnya menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat.

Rosmawati lewat dengan menggamit lengan dua anaknya. Kembali Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, Rosmawati berhenti di balik pagar dan menyapa.

"Aceh ka damai Da, seunang that hatee long...."

Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini tak berarti apa-apa.

Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini tak bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang

diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula.

(10)

Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya yang sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis?

Damai itu hanya di selembar atau beberapa kertas. Sementara perih jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai dengan duka di sekujuran tubuh?

Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam. Tak lama, butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat tak kering.

(11)

Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta

Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta .

Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar.

Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap

disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.

Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya.

Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.

Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula. Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya

'tsunami'.

Tsunami adalah air bah hitam yang berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang listrik. Mengerikan!

Tsunami itu telah meratakan sejajar tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski, saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat -- salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit.

Empat hari baru usia bencana itu, manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu sisi rumah pun.

Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami.

Terpaku Nek Yam menatap pemandangan langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya.

Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.

Baru tersentak Nek Yam tatkala mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan.

Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda generasi itu. Untung Nek Yam

mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap dalam bahasa itu.

Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang dari Jakarta.

Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.

(12)

Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam. Saat perjumpaan untuk kali kedua dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup teterbangkan juga.

Hari ke sembilan setelah tsunami, pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak.

Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi ada. "Mungkin saya akan tinggal di pengungsian." Untuk kedua kalinya, gadis muda itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu.

"Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam.

Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan.

"Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar.

"Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam.

Tak menunggu ulang untuk ketiga kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di kepala Nek Yam.

Nek Yam diajak ke Jakarta!

Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama di perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan.

Tiba di Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai rumahnya

"Rumah Non Leni seperti istana." Seru itu hanya berbalas senyum pelan dari bibir perempuan muda itu.

Selama di Jakarta Nek Yam dibawa jalan-jalan ke mana saja yang Nek Yam mau oleh gadis muda itu. Nek Yam sudah pergi ke Monas, ternyata Monas jauh lebih cantik dari yang ia tengok di teve. Juga Nek Yam sudah pergi ke Bundaran HI, banyak sekali mobil di bundaran itu rupanya. Tak lupa Nek Yam menyempatkan untuk berfoto-foto di tempat-tempat yang telah dikunjunginya itu. Pun telah dibeli aneka barang oleh gadis itu untuk Nek Yam. Beragam baju dan rok yang bagus-bagus dan tentu saja mahal, telah kuasa dimiliki oleh Nek Yam. Bahkan rok yang sedikit di bawah lutut, sudah pernah dicoba oleh tubuh wanita itu. Dan, Nek Yam merasa bahwa dirinya jauh kelihatan awet muda kala memakai rok itu.

Rasa bahagia tak terhingga merayap di hati renta itu. Waktu tiga bulan telah Nek Yam habiskan di Jakarta. Tak terasa sedikit pun. Roda waktu seolah berputar cepat sekali. Banyak pengalaman baru yang sudah didapatkan Nek Yam selama rentang waktu tersebut berada di kota mimpinya itu. Termaktub salah satunya yang paling berkesan buatnya, tatkala dia mendapat perhatian yang luar biasa dari orang banyak begitu tahu kalau dirinya berasal dari Aceh.

Bukan hal yang jarang ketika Nek Yam bersama Non Leni pergi ke supermarket atau ke tempat lainnya, tubuh Nek Yam segera dipeluk oleh ibu-ibu yang tak dikenalnya sama sekali. Sebab mereka tahu kalau Nek Yam berasal dari Serambi Mekkah.

(13)

Puas sudah hati Nek Yam. Jakarta , kota angannya bahkan semenjak dari masa daranya dulu, telah berhasil ditaklukkan dalam tempo sekarang. Dan, Nek Yam merasa, puasnya cukup sudah, tiba masa baginya untuk balik kembali ke kampung halamannya. Sebab dari semula, Nek Yam memang tak pernah berminat untuk menatap di kota itu, hanya sekadar mengunjungi saja. Tak lebih dari itu. Diantar oleh gadis muda yang membawanya dulu, dengan tetap menumpang pesawat terbang kelas paling ekslusif, Nek Yam bertolak ke tanah kelahirannya.

Sumringah betul nenek tua itu manakala kakinya terjejak kembali di tanah Aceh yang masih amburadul itu. Setelah turun dari pesawat, lekas menumpang kenderaan umum, gadis muda itu mengantar Nek Yam ke camp pengungsian yang berlokasi di Darusallam seperti permintaan Nek Yam sendiri. Katanya, ada kerabatnya di sana .

Sesampai di camp pengungsian Darusallam, Nek Yam yang hari itu memakai baju berlengan pendek warna pink, serta dipadu dengan rok pendek bewarna merah menyala, sontak segera

menjadi pusat perhatian banyak orang. Penampilannya memang mencolok sekali di antara mereka. Bisik-bisik menjalar cepat. Banyak yang kenal dengan Nek Yam nyatanya. Lirih-lirih pelan yang mendengungkan nama Nek Yam kerap terdengar, meski tak terlalu gamblang.

Mata kabur Nek Yam menatap sosok tergopoh-gopoh yang teramat di kenalnya menuju ke arahnya. " Nek Yam, pajan trok? " wanita paruh baya itu tampak bahagia sekali. Namun saat diperhatikan seksama penampilan sosok di depannya, senyum yang sudah terekah lepas, tiba-tiba raib cepat. " Keujeut meunoe droe neuh? " desak wanita itu lagi, masih heran. Nek Yam terbisu. Tak sepotong huruf pun keluar dari mulutnya.

" Peue yang terjadi dengon droe neuh ?" ulang tanya wanita itu lagi.

Kali ini Nek Yam mengeryitkan kening, simbol bahwa dia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicaranya. Nek Yam berlagak tak bisa lagi berbahasa Aceh.

" Bajee droe neuh keujeut meunoe? " rasa heran perempuan itu belum terjawab setitik pun. Masih berbalas bisu dari mulut Nek Yam.

" Han jeut lee bahasa Aceh nyeuh? " agak menerka nada itu.

Nek Yam masih tak menjawab juga. Dalam hati saja dia mengangguk dan menjawab lontar tanya si Munah.

(14)

Pembuat Kubah dan Tukang Pos

IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.

Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.

Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.

"Kosong?"

"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.

"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut. "Banyak surat diantar hari ini?"

"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."

"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."

"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."

"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."

Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.

Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.

"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.

"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."

"Sejak muda membuat kubah?"

"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."

"Maksud Bapak?"

"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa." "Wah!"

"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua

menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"

Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan,

mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.

"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.

(15)

"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."

"Tidak pernah Bapak tanya?"

"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."

Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."

"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"

"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"

"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok." "Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.

Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng. Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.

"Hebat!" puji si tukang pos muda. "Ya?"

"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.

"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."

"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor." "Dan ikhlas," ujar si tukang pos.

"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.

Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?

"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"

"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.

(16)

Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.

Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.

"Wah. Kosong, Pak Kubah!" "Kosong?"

"Kosong. Tapi mungkin besok."

"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."

"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.

Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.

Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar.

Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.

Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"

" Surat ?"

"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"

Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan.

(17)

Mawar Biru Untuk Novia

UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.

Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.

Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.

―Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?‖ ―Aku yakin. Aku pernah melihatnya.‖

―Bukan dalam mimpi?‖

―Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.‖

Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia. ―Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.‖ Novia berusaha meyakinkan.

Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan

kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.

―Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!‖ tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.

―Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.‖ ―Tapi, Novia pernah melihatnya.‖

―Bunga kertas kali!‖

―Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.‖

―Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?‖

Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?

(18)

NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. ―Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‗jadi!' maka ‗jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?‖ pikirnya.

―Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,‖ teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.

Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau: ―Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?‖

―Minta tolong apa, Pak?‖

―Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.‖

Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.

―Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.‖

―Bapak mau pulang sekarang?‖

―Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?‖

Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.

―Bapak tinggal di kampung apa?‖ ―Di kampung seberang.‖

―Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?‖

―Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.‖

Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya ―Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,‖ kilah lelaki gembel itu.

(19)

TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.

―Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.‖

Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya: ―Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.‖

Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.

Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.

SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .

Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.

Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, ―Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.‖ Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.

―Mana bunga itu, Sayang,‖ katanya lirih. ―Ini.‖

Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.

―Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.‖

Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.

(20)

Angin Menabuh Daun-daun

Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong, beku di dekat Bapak.

Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat

menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.

Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya. Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu.

Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa sanggup

memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis.

Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan. Guru-guru di sekolah

membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.

Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap, berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan aspirasi di sana . Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.

(21)

Sudah hari keempat Putri dan teman-temannya terlantar. Beberapa guru memang tampak hadir di sekolah, tapi mereka tetap enggan memberi pelajaran. Mereka hanya duduk-duduk di ruang guru. Berbincang dengan raut muka tegang. Mereka tetap berkeras agar pemerintah segera membayar rapel gaji mereka yang terus-menerus ditunda. Murid-murid bingung. Kalau begini jadinya, pihak mana yang harus disalahkan?

"Teman-teman, sudah beberapa hari ini kelas kita melompong tanpa guru. Rasanya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kita harus melakukan sesuatu."

"Tapi, tindakan apa yang bisa kita lakukan?"

"Saya yakin kita semua sudah mengerti masalah apa yang menimpa guru kita, bukan?" Sebagian dari mereka mengangguk mengiyakan.

"Kita semua tahu, menekuni profesi sebagai pendidik di negeri ini begitu dilematis. Tidak usahlah saya jelaskan panjang lebar. Ini sudah jadi rahasia umum. Apalah artinya gaji guru dibanding kebutuhan hidup mereka? Belum lagi potongan di sana-sini. Kalau dulu, kita menganggap guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, tapi sekarang, kita telah melihat kenyataan bahwa guru tak jauh beda dengan sapi perah."

Rapat terus bergulir. Ketika jam istirahat tiba, seisi kelas membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berunding mencari jalan keluar. Ternyata membahas apa yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas murid kepada guru bukanlah masalah yang mudah.

Dari sekian banyak usulan, semuanya mengerucut pada satu kesimpulan. Anak-anak itu bermaksud menyumbangkan uang kas kelas pada guru mereka. Sejumlah uang itu tentulah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup seorang guru. Tapi masalahnya, dari sekian banyak guru di sekolah itu, siapakah yang lebih berhak menerima pemberian itu?

Sejak perceraian yang menyakitkan itu terjadi, Bapak memuntahkan esedihannya lewat tulisan. Dia seperti kesurupan kalau sudah di depan mesin tik. Jemarinya melompat-lompat begitu liar, seliar ide dan imajinasi yang ada di benaknya. Dia benar-benar produktif berkarya. Putri memutuskan ikut Bapak. Biarlah dua adiknya yang masih kecil ikut Ibu. Putri ingin belajar pada Bapak

bagaimana menghayati hidup dengan sederhana dan bersahaja. Diam-diam, Putri pun bercita-cita ingin seperti Bapaknya.

Angin menabuh daun-daun. Terik matahari begitu menyengat. Debu-debu beterbangan dibawa angin. Musim kemarau seakan enggan bersahabat pada manusia di muka bumi.

Dari balik bingkai jendela, Putri memandangi daun-daun yang menguning dan berguguran di halaman rumahnya, dihalau angin kemarau. Putri mendesah gamang. Aduhai, lihatlah daun-daun itu. Seburuk apa pun mereka diperlakukan cuaca, mereka akan kembali menjadi humus yang menyuburkan. Tapi, kenapa kadangkala hidup tak sesuai dengan apa yang diharapkan?

Putri hanya mengurung diri dalam kamar ketika Bapak sedang meladeni beberapa tamunya. Sayup-sayup didengarnya percakapan antara Bapak dengan mereka. Hati gadis belia itu seperti disayat-sayat.

"Pak Sukri, kami harap Bapak berkenan menerima pemberian kami ini, sebagai rasa simpati kami semua terhadap perjuangan Bapak."

(22)

"Kami mohon Bapak tidak berkecil hati. Tidak ada maksud kami melecehkan profesi Bapak. Kami tahu Bapak adalah guru dengan idealisme tinggi. Kami juga tahu, kami tidak akan pernah bisa membalas jasa Bapak. Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih kami." Sungguh, ingin rasanya Putri menjerit sekuatnya. Tapi sebisa mungkin dia tahan. Putri tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan ini. Putri ingin lari sejauh mungkin. Lari dari kepedihan yang menghimpit jiwanya. Ah, hidup memang kejam. Sesengit apa pun meladeninya, tetap saja mereka terpojok. "Tuhan, seperti apakah posisi kami di hadapanMu sesungguhnya?" gugat Putri dalam hati. Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Dia merasa matanya sembab dan bengkak. Rupanya sejak sore tadi dia tertidur beralaskan bantal yang basah oleh airmata. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih berkutat menyelesaikan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong membeku di dekat Bapak. Tiba-tiba suara mesin tik berhenti. Menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Bapak melirik Putri yang berdiri di dekatnya. Dari balik kaca mata tebal itu, Putri masih dapat melihat jendela hati Bapak yang kuyu. Mungkin, dia sedang sebisa mungkin menahan rasa sedih dan kecewa. Ah, betapa ketabahanku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketabahan Bapak. Putri mendesah samar. Dengan suara tersendat-sendat seperti caranya mengetik, Bapak menceritakan kedatangan teman-teman Putri sore tadi. Putri benar-benar bingung. Mulutnya serasa terkunci.

"Kamu masih percaya bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Putri?" tanya Bapak di penghujung ceritanya. Suaranya berat dan gamang. Pertanyaan itu membuat Putri terkejut. Dia tidak menyangka Bapak akan bertanya seperti itu. Ragu-ragu ditatapnya Bapak. Tapi Bapak malah balik menatap Putri dengan mimik menunggu. Putri hafal tatapan itu. Tatapan seorang guru yang menunggu jawaban dari muridnya. Putri gugup, menelan ludah seperti menelan sebutir paku. Pak Guru Sukri masih menunggu jawaban dari muridnya.

Puti diam. Pak Sukri pun diam. Detik-detik berlalu dalam kebisuan. Tak ada angin berembus. Sunyi menciptakan jarak yang terasa panjang dan menyakitkan.

"Mulai detik ini, belajarlah untuk melupakannya, anakku. Itu cuma omong kosong," pinta Pak Sukri pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya terasa getir dan parau. Sangat parau.

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya bangunan-bangunan irigasi terbuat dari pasangan batu. Karena pasangan batu tidak dapat menahan gaya tarik bila terjadi penurunan fundasi yang tidak merata,

Pada hasil penelitian, Model utilitas konsumen untuk pembelian kayu jati jenis A1 yaitu sebagai berikut: ketika harga produk 1 naik (variabel lain konstan), maka utilitas produk

Penelitian keempat Fauzan (2009) dengan Judul Alokasi Penyaluran Dana Pembiayaan Pada UMKM Oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Cabang Tangerang menghasilkan kebijakan

Causal Loop Diagram JurusanTeknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa2. JurusanTeknik Industri Universitas Sultan

Keterkaitan antara teori perilaku dengan variabel penelitian ini mengenai pengaruh Kepercayaan dan Kualitas Informasi terhadap Keputusan Pembelian konsumen marketplace

Membayar uang pendaftaran khusus bagi calon siswa yang berdomisili di luar kota Blitar, sedangkan siswa yang berdomisili di kota Blitar bebas uang pendaftaran

Permukaan atas meja dapat terbuat dari material apapun juga, asalkan kemungkinan pantulanbola setinggi 220 sampai 250 mm dengan menggunakan bola standar (sebaiknya yang

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Widodo (2010) dengan judul: “Pengaruh Struktur Aktiva, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Pertumbuhan Penjualan, Beban Pajak