• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rudy Badrudin

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan berbagai negara, baik negara maju maupun negara sedang berkembang secara teoritis dapat dipelajari dengan teori pertumbuhan ekonomi. Ada dua pengelompokkan teori pertumbunan dan pembangunan ekonomi, yaitu kelompok mashab historis dan mashab analitis (Arsyad, 1999: 45-69).

Mashab historis adalah suatu pandangan tentang teori pembangunan ekonomi yang melihat pembangunan ekonomi berdasarkan suatu pola pendekatan yang berpangkal pada perspektif sejarah. Metode kajian mashab ini bersifat induktif empiris. Dalam alam pikiran mashab ini fenomena ekonomi

adalah produk perkembangan menyeluruh dan dalam tahap tertentu dalam perjalanan sejarah. Beberapa teori pembangunan ekonomi historis antara lain adalah teori yang dikemukakan oleh Friedrich List, Bruno Hilderbrand, Karl Bucher, dan Walt Whitman Rostow. Mashab analitis adalah suatu pandangan tentang teori pembangunan ekonomi yang mengungkapkan proses pertumbuhan ekonomi secara logis dan konsisten, tetapi sering bersifat abstrak dan kurang menekankan kepada aspek empiris. Metode kajian mashab ini bersifat deduksi teoritis. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi analitis antara lain adalah Adam Smith, David Ricardo, Robert Solow dan Trevor Swan (Solow-Swan), Sir Roy F. Harrod dan Evsey Domar (Harrod-Domar), Nicholas Kaldor, Arthur Lewis, dan Ranis-Fei.

Salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang sejak tahun 1950-an adalah teori pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik yang dikemukakan oleh Solow-Swan Menurut teori pertumbuhan ekonomi Solow-Swan, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Berdasarkan penelitian Solow (1957), dikemukakan bahwa peran dari kemajuan teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pandangan ini didasarkan kepada anggapan yang mendasari analisis Klasik, yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh dan kapasitas perlatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan demikian, seberapa perkembangan perekonomian akan tergantung pada pertambahan penduduk, akumulasi kapital, dan kemajuan teknologi. Teori pertumbuhan Neo-Klasik ini didasarkan kepada fungsi produksi yang dikembangkan oleh Charles Cobb dan Paul Douglas (fungsi produksi Cobb-Douglas) yang diformulasikan sebagai berikut:

Q = T La Kb (persamaan 1) keterangan:

Q = tingkat output pada tahun tertentu T = tingkat teknologi pada tahun tertentu L = jumlah tenaga kerja pada tahun tertentu K = jumlah stok barang modal pada tahun

tertentu

a = persentase perubahan output yang diciptakan oleh perubahan 1% tenaga

kerja

b = persentase perubahan output yang diciptakan oleh perubahan 1% modal Penelitian yang dilakukan oleh Purnamawati (Purnamawati dan Badrudin, 2004: 192) menunjukkan bahwa (a) intensitas penggunaan input dalam kegiatan ekonomi di Kabupaten Sleman lebih banyak menggunakan input modal K daripada input tenaga kerja L atau bersifat padat modal (capital intensive) dengan elastisitas input modal K sebesar1,0427) dan (b) uji statistik H0 yang menyatakan bahwa nilai koefisien regresi variabel L adalah nol diterima sedang H0 yang menyatakan bahwa nilai koefisien regresi variabel K adalah nol ditolak sehingga disimpulkan bahwa nilai PDRB Kabupaten Sleman tahun 2001 secara signifikan hanya dipengaruhi oleh variabel modal. Hal ini berarti faktor modal sebagai penggerak investasi mempengaruhi nilai PDRB sebagai proxi variabel kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sleman.

Krisis moneter yang terjadi beberapa waktu yang lalu berpengaruh terhadap struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di Indone-sia, tak terkecuali Kabupaten Sleman. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman tahun 1998 atas dasar harga konstan tahun 1993 sebesar Rp1.496,863 milyar. Kondisi tersebut mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi Sleman pada tahun 1998 turun sebesar 7,99%, padahal tahun sebelumnya (1997) mencapai 3,54%. Penurunan terjadi pada hampir semua

sektor, kecuali sektor listrik, gas, dan air bersih (Bagian Humas Kabupaten Sleman, 2001: 31).

Pemerintah Kabupaten Sleman berencana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Sleman dengan mengembangkan perekonomian akar rumput, yakni kegiatan ekonomi yang berbasis pada masyarakat dan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar usaha pengembangan perekonomian tersebut dapat te-rea-lisasi maka diperlukan sumber pembiayaan untuk kebutuhan investasi. Pemerintah Kabupaten Sleman berupaya menggali dana pem-bangunan secara optimal dari berbagai sumber, baik dari sumber pemerintah daerah melalui APBD maupun dari sumber masyarakat investor. Jenis investasi yang dilakukan di Kabupaten Sleman dikelompokkan ke dalam investasi fasilitas yang meliputi investasi Penanaman Modal Asing atau PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri atau PMDN dan investasi nonfasilitas. Nilai dan rincian investasi di Kabupaten Sleman pada tahun 2001 sampai dengan 2005 ditunjukkan pada Tabel 2.

Perkembangan jumlah unit usaha yang menanamkan investasinya di Kabupaten Sleman berdasarkan jenis PMA dan PMDN selama tahun 2001-2005 adalah PMA meningkat 10% sedang PMDN menurun 2,33%. Perkembangan jumlah unit usaha jenis PMA dan PMDN ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3. Manfaat per jenis investasi (investasi fasilitas PMA, investasi fasilitas PMDN, dan investasi non fasilitas) bagi masyarakat Sleman ditunjukkan dengan Tabel 2

Nilai dan Rincian Investasi di Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005 (dalam Rp)

dampaknya terhadap peningkatan angka pendapatan per kapita dari tahun 2001 sampai dengan 2005 yang absolutnya selalu meningkat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, nampak rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah mencapai

Rp4,922,954,-Tabel 3

Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005

Sumber: BPS Kabupaten Sleman, Sleman Dalam Angka, Tahun 2006.

Gambar 2

Perkembangan Jumlah Unit Usaha Investasi PMA di Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005

Gambar 3

Perkembangan Jumlah Unit Usaha Investasi PMDN di Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005 Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa:

H1: investasi fasilitas PMA berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman.

H2: investasi fasilitas PMDN berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman.

H3: investasi non fasilitas berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman.

Pengujian hipotesis dilakukan melalui 1 tahap yaitu menggunakan uji univariat, dalam hal ini peneliti mencari t-test untuk mengetahui signifikan tidaknya pengaruh masing-masing jenis investasi terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. Dalam penelitian ini a ditetapkan sebesar 5%. Model analisis ini adalah sebagai berikut:

Y/kapita = α + β1IFPMA + e (persamaan 2) Y/kapita = α + β2IFPMDN + e (persamaan 3) Y/kapita = α + β3INF + e (persamaan 4) keterangan:

Y/kapita = pendapaan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman.

IFPMA = investasi fasilitas PMA IFPMDN = investasi fasilitas PMDN INF = investasi non fasilitas

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan data nilai dan rincian investasi di Kabupaten Sleman pada Tabel 2, maka dapat dihitung kontribusi investasi fasilitas PMA dan PMA terhadap investasi fasilitas yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4

Kontribusi Investasi Fasilitas PMA dan PMDN terhadap Investasi Fasilitas di Kabupaten Sleman,

Tahun 2001-2005 (dalam %)

Tahun Investasi Fasilitas Investasi Fasilitas

PMA PMDN 2001 57.41% 42.59% 2002 55.66% 44.34% 2003 63.12% 36.88% 2004 61.16% 38.84% 2005 71.70% 28.30% rata-rata 61.81% 38.19% Sumber: P2KPM Kabupaten Sleman. Investasi di

Kabupaten Sleman Tahun 2006. Data diolah dari Tabel 2.

Nampak pada Tabel 4, selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman, rata-rata kontribusi investasi fasilitas PMA sebesar 61,81% per tahun dan investasi fasilitas PMDN sebesar 38,19% per tahun. Berarti rata-rata kontribusi investasi fasilitas PMA lebih besar daripada investasi fasilitas PMDN. Berdasarkan data nilai dan rincian investasi di Kabupaten Sleman pada Tabel 2, maka dapat dihitung pertumbuhan investasi fasilitas PMA dan PMDN per tahun yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5

Pertumbuhan Investasi Fasilitas PMA dan PMDN di Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005 (dalam %)

Tahun Investasi Fasilitas Investasi Fasilitas

PMA PMDN 2001 21.95% 1.86% 2002 -9.24% -2.53% 2003 34.73% -1.19% 2004 -9.16% -1.28% 2005 55.34% -3.44% rata-rata 18.73% -1.32% Sumber: P2KPM Kabupaten Sleman. Investasi di

Kabupaten Sleman Tahun 2006. Data diolah dari Tabel 2.

Nampak selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman, rata-rata pertumbuhan investasi fasilitas PMA sebesar 18,73% per tahun dan investasi fasilitas PMDN sebesar -1,32% per tahun. Berarti rata-rata pertumbuhan investasi fasilitas PMA lebih besar daripada investasi fasilitas PMDN. Besarnya rata-rata kontribusi dan pertumbuhan investasi fasilitas PMA yang lebih besar daripada investasi fasilitas PMDN di Kabupaten Sleman diduga disebabkan investor asing relatif tidak ada permasalahan dengan faktor modal sehingga otonomi daerah yang mulai berlaku per 1 Januari 2001 bagi in-vestor asing dipandang sebagai peluang bisnis untuk meraup return on invesment. Bagi investor lokal, faktor modal masih menjadi permasalahan sehingga otonomi daerah yang mulai berlaku per 1 Januari 2001 belum dipandang sebagai peluang bisnis untuk meraup

re-turn on invesment karena bunga pinjaman yang masih

relatif tinggi sebagai dampak krisis ekonomi tahun 1998. Berdasarkan data nilai dan rincian investasi di Kabupaten Sleman pada Tabel 2, maka dapat dihitung kontribusi investasi fasilitas (PMA dan PMDN) dan investasi non fasilitas terhadap total investasi yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6

Kontribusi Investasi Fasilitas (PMA dan PMDN) dan Investasi Non Fasilitas terhadap Total Investasi di Kabupaten Sleman, Tahun 2001-2005 (dalam %) Tahun Investasi Fasilitas Investasi

(PMA+PMDN) Non Fasilitas

2001 65.03% 34.97% 2002 61.99% 38.01% 2003 60.22% 39.78% 2004 56.43% 43.57% 2005 58.63% 41.37% rata-rata 60.46% 39.54% Sumber: P2KPM Kabupaten Sleman. Investasi di

Kabupaten Sleman Tahun 2006. Data diolah dari Tabel 2.

Nampak selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman, rata-rata kontribusi investasi fasilitas (PMA dan PMDN) sebesar 60,46% per tahun dan investasi non fasilitas sebesar 39,54% per tahun. Berarti rata-rata kontribusi investasi fasilitas (PMA dan PMDN) lebih besar daripada investasi non fasilitas.

Berdasarkan data nilai dan rincian investasi di Kabupaten Sleman pada Tabel 2, maka dapat dihitung pertumbuhan investasi fasilitas PMA dan PMDN per tahun yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 7

Pertumbuhan Investasi Fasilitas (PMA dan PMDN) dan Investasi Non Fasilitas di Kabupaten Sleman,

Tahun 2001-2005 (dalam %) Tahun Investasi Fasilitas Investasi

(PMA+PMDN) Non Fasilitas

2001 12.50% 10.87% 2002 -6.38% -1.79% 2003 18.80% 22.30% 2004 -6.25% 0.04% 2005 32.51% 27.53% rata-rata 10.24% 11.79% Sumber: P2KPM Kabupaten Sleman. Investasi di

Kabupaten Sleman Tahun 2006. Data diolah dari Tabel 2.

Nampak selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman, rata-rata pertumbuhan investasi fasilitas (PMA dan PMDN) sebesar 10,24% per tahun dan investasi non fasilitas sebesar 11,79% per tahun. Berarti rata-rata pertumbuhan investasi fasilitas (PMA dan PMDN) lebih kecil daripada investasi non fasilitas. Hal ini disebabkan karena kontribusi investasi fasilitas (PMA dan PMDN) selama tahun 2001-2005 cenderung semakin menurun sedang kontribusi investasi non fasilitas selama tahun 2001-2005 cenderung semakin meningkat (Tabel 6).

Hasil pengujian hipotesis untuk mengetahui signifikan tidaknya pengaruh masing-masing jenis investasi terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman pada tingkat signifikansi sebesar 0,05 adalah sebagai berikut (Subiyakto, 2004: 53):

Tabel 8

Berdasarkan Tabel 8 nampak nilai koefisien betta persamaan 1 adalah 0,000001043 dengan nilai P value = 0,0775 yang berarti tidak signifikan pada a = 0,05. Ini berarti bahwa investasi fasilitas PMA tidak berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. Nilai koefisien betta persamaan 2 adalah -0,000017303 dengan nilai P value = 0,0052 yang berarti signifikan pada a = 0,05. Ini berarti bahwa investasi fasilitas PMDN berpengaruh (negatif) terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. Nilai koefisien betta persamaan 3 adalah 0,000001269 dengan nilai P value = 0,0020 yang berarti signifikan pada a = 0,05. Ini berarti bahwa investasi non fasilitas berpengaruh (positif) terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. PEMBAHASAN

Pengujian terhadap H1 yang menyatakan bahwa investasi fasilitas PMA berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman tidak terbukti. Ini menunjukkan bahwa jenis investasi fasilitas PMA tidak berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman karena investasi PMA yang masuk ke Kabupaten Sleman belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kabupaten Sleman, misalnya persyaratan keahlian ketenagakerjaan antara yang dibutuhkan PMA dengan yang ditawarkan oleh pencari kerja dari Kabupaten Sleman tidak sama. Banyak PMA di Kabupaten Sleman membutuhkan persyaratan keahlian ketenagakerjaan yang justru dapat dipenuhi oleh masyarakat di luar Kabupaten Sleman sehingga masyarakat Kabupaten Sleman tidak mampu memperoleh manfaat secara langsung keberadaan PMA tersebut.

Pengujian terhadap H2 yang menyatakan bahwa investasi fasilitas PMDN berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman terbukti secara negatif. Ini menunjukkan bahwa jenis investasi fasilitas PMDN berpengaruh negatif terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman karena investasi PMDN yang masuk ke Kabupaten Sleman belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kabupaten Sleman, misalnya persyaratan keahlian ketenagakerjaan antara yang dibutuhkan PMDN dengan yang ditawarkan oleh pencari kerja dari Kabupaten Sleman tidak sama. Banyak PMDN di

Kabupaten Sleman membutuhkan persyaratan keahlian ketenagakerjaan yang justru dapat dipenuhi oleh masyarakat di luar Kabupaten Sleman sehingga masyarakat Kabupaten Sleman tidak mampu memperoleh manfaat secara langsung keberadaan PMA tersebut bahkan mengalami penurunan pendapatan per kapita. Persyaratan pemerintah Kabupaten Sleman yang menyatakan bahwa 70% tenaga kerja suatu PMDN merupakan penduduk Kabupaten Sleman memang terpenuhi pada kondisi awal PMDN tersebut beroperasi. Namun, sejalan dengan beroperasinya PMDN pada waktu-waktu berikutnya akhirnya 70% tenaga kerja yang semula merupakan penduduk Kabupaten Sleman pada akhirnya PMDN di Kabupaten Sleman justru malah menurunkan pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman.

Pengujian terhadap H3 yang menyatakan bahwa investasi non fasilitas berpengaruh terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman terbukti secara positif. Ini menunjukkan bahwa jenis investasi non fasilitas berpengaruh positif terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman karena investasi non fasilitas yang masuk ke Kabupaten Sleman dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kabupaten Sleman. Investasi non fasilitas merupakan jenis investasi yang tidak memperoleh fasilitas dari pemerintah seperti investasi PMA dan PMDN namun kegiatannya banyak berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat luas sehingga mempunyai multiplier effect yang cukup besar di masyarakat Kabupaten Sleman.

Sekalipun jenis investasi non fasilitas tidak memperoleh fasilitas dari pemerintah, namun pemerintah Kabupaten Sleman sebagai organisasi pemegang mandat daerah akan melakukan resources allocation dan resources reallocation bersama-sama dengan pemerintah pusat dalam rangka mengatur potensi kekayaan daerah baik tangible maupun intangible bagi kemaslahatan masyarakat Sleman. Allocation dan

re-allocation potensi kekayaan daerah pada pihak

penerima mencakup (Subiyanto, 2005: 2): 1) hak eksploitasi kekayaan alam; 2) hak melakukan distribusi barang/jasa; 3) hak atas penguasaan pasar; 4) hak pemanfaatan potensi intellectual property right; 5) hak pemanfaatan tanah; dan 6) hak produksi

Allocation dan reallocation potensi kekayaan

perijinan kepada masyarakat. Di samping itu, dalam

allocation dan reallocation potensi kekayaan daerah,

pemerintah Kabupaten Sleman memandang perlu melakukan distribusi dan redistribusi hasil-hasil pengelolaan potensi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat Sleman. Allocation dan reallocation potensi kekayaan daerah dapat diberikan kepada organisasi swasta dan perorangan, organisasi pemerintahan yang dibentuk berdasarkan konstitusi negara, dan organisasi pelaksana pemerintah pusat.

Tabel 2 menunjukkan bahwa selama 5 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman, rata-rata pertumbuhan jenis nilai investasi yang terbesar adalah investasi non-fasilitas sebesar 11,79% per tahun. Salah satu jenis investasi non-fasilitas di Kabupaten Sleman adalah investasi dalam bidang perumahan yang dilakukan oleh para pengembang

estate. Pemberian ijin kepada para pengembang real-estate pada hakekatnya merupakan bentuk realloca-tion dan redistribusi potensi kekayaan daerah yang

berupa hak pemanfaatan tanah. Dalam memberikan ijin tersebut, pemerintah daerah perlu memperhatikan keuntungan bagi investor dan kemaslahatan masyarakat Sleman. Hal ini berarti, ijin yang diajukan oleh para pengembang real-estate maupun perijinan lainnya tidak harus disetujui oleh pemerintah Kabupaten Sleman manakala hal itu tidak menimbulkan kemaslahatan bagi masyarakat Sleman.

Peningkatan investasi di atas harus diikuti dengan adanya peluang untuk men-dapatkan keuntungan bagi investor dan manfaat bagi masyarakat Sleman, terutama golongan ekonomi lemah. Hal ini sesuai dengan arahan pemerintah Kabupaten Sleman yang berencana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Sleman dengan mengembangkan perekonomian akar rumput. Penolakan ijin oleh pemerintah Kabupaten Sleman kepada calon investor merupakan bentuk strategi pengendalian investasi dan dibenarkan sebagai bentuk perlindungan kepada in-vestor lama yang telah menjadi pioner investasi di Kabupaten Sleman sehingga pasar tetap stable. Inves-tor pioner perlu dilindungi karena invesInves-tor tersebut mempunyai risiko kegagalan investasi yang lebih besar pada awal mereka melakukan investasi daripada calon investor yang datangnya lebih akhir yang tinggal menjalankan investasi dengan pasar yang sudah terbentuk.

Data menunjukkan bahwa selama tahun 2000-2004 rata-rata jumlah pemohon Ijin Perubahan Peruntukan Tanah (IPPT) non-pengeringan yang ditolak sebanyak 6,37% per tahun (BPPD Kabupaten Sleman, 2005: 4). Alasan penolakan karena tata ruang tidak sesuai, kondisi calon lokasi tempat investasi adalah lingkungan pertanian, dan tidak sesuai dengan permohonan. Calon investor yang ingin berinvestasi di Kabupaten Sleman seharusnya memperhatikan kekhasan daerah tempat investasi. Hal ini mempertimbangkan bahwa Kabupaten Sleman merupakan daerah resapan, lumbung beras bagi penduduk Propinsi DIY, daerah lindung bencana, dan sebagai daerah cagar budaya. Berdasarkan data jumlah pemohon IPPT yang ditolak hanya sebanyak 6,37% menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Sleman mempunyai arah kebijakan dalam mengendalikan kegiatan investasi di Kabupaten Sleman melalui

real-location dan redistribusi potensi kekayaan daerah

dengan memperhatikan kepentingan investor dan kemaslahatan masyarakat Kabupaten Sleman. SIMPULAN

Berdasarkan jenis investasi yang masuk ke Kabupaten Sleman, investasi non fasilitas terbukti secara statistik merupakan investasi yang berpengaruh positif terhadap pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. Ini menunjukkan bahwa jenis investasi non fasilitas berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Sleman. Investasi non fasilitas yang masuk ke Kabupaten Sleman dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kabupaten Sleman dan mempunyai

multi-plier effect yang cukup besar bagi masyarakat

Kabupaten Sleman. Sebagai organisasi pemegang mandat daerah yang akan melakukan resources

allo-cation dan resources realloallo-cation bersama-sama

dengan pemerintah pusat dalam rangka mengatur potensi kekayaan daerah baik tangible maupun

intan-gible bagi kemaslahatan masyarakat Sleman, pemberian

ijin oleh pemerintah Kabupaten Sleman kepada inves-tor non fasilitas pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk reallocation dan redistribusi potensi kekayaan daerah untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Kabupaten Sleman.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan, Ed. 4, BP STIE YKPN. Yogyakarta.

__________.1999. Pengantar Perencanaan dan

Pembangunan: Ekonomi Daerah. BPFE.

Yogyakarta.

Badrudin, Rudy. 2000. “Pengembangan Wilayah Propinsi DIY (Pendekatan Teoritis)”. Jurnal

Ekonomi Pembangunan. FE UII. Yogyakarta.

Bagian Humas Kabupaten Sleman. 2001. Selintas Hasil

Pembangunan Kabupaten Sleman.

BPPD Kabupaten Sleman. 2006. Laporan Tahunan. BPS Kabupaten Sleman. 2006. Sleman Dalam Angka. Purnamawati, Astuti dan Rudy Badrudin. Desember

2004. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman, Propinsi DIY, Tahun 2001. Jurnal Akuntansi & Manajemen (JAM). Vol. XV. No. 3: 183-193.

P2KPM Kabupaten Sleman. Investasi di Kabupaten

Sleman Tahun 2006.

Subiyakto, Haryono. 2004. Praktikum Statistika

dengan Microsoft Excel for Windows. BP STIE

YKPN. Yogyakarta.

Subiyanto, Ibnu. 23 Nopember 2005. Kemampuan Keuangan Daerah yang Terbatas, Strategi Pengembangan Kapasitas, dan Program Prioritas. Makalah Lokakarya “On Good

Gov-ernance Best Practices in Kabupaten/Kota”,

Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BPRR) dan United Nation Development Programme (UNDP). Banda Aceh.

Vol. 3, No. 2, Juli 2009 Hal. 119-131

ABSTRACT

This research aims to test the entreprenurial behavior model. Subject in this research is micro enterprise en-trepreneur in DIY and East Java. Sample selection is performed based on purposive sampling, there are 344 responder which have been fulfilling the conditions needed. Data collecting conducted by disseminating questionare. The analyzed use the Structural Equation Model (SEM). Result of research shows that the model is fit. Entrepreneurial attitude, subjective norms and self efficacy have influence to entrepreneurial behav-ior through intention. Self efficacy by parsial don’t have significant effect to entrepreneurial behavior and antrepreneurial intention.

Keywords: entrepreneurial attitude, subjective norms,

self efficacy, entrepreneurial intention, entrepreneurial behavior

MODEL EMPIRIS PERILAKU BERWIRAUSAHA USAHA KECIL

Dokumen terkait