• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam Undang-Undang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara (vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Jika dilihat dari prosedur atau mekanisme pembuatannya berbeda satu sama lainnya. Undang-undang pembuatannya dilakukan secara bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Sedangkan Perppu pada akhirnya melibatkan peran DPR, namun merupakan hak prerogatif Presiden.

Sebagai peraturan darurat, materi muatan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengandung pembatasan-pembatasan. Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara).52 Menurutnya tidak boleh Perppu dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat.

52

Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra53 pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945 dapat disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN—meskipun dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak memberi peluang bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara sepihak melalui Perppu. Walaupun UUD Tahun 1945 menganut prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, namun penetapan APBN dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan.

Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni :54

a) memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige);

b) tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan;

c) tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat; d) diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya

mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.

Selain itu, hal yang berkaitan dengan asas peraturan perundang-undangan tentang materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011:

53Ibid.

54

a. Asas pengayoman ialah setiap materi muatan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusian ialah setiap materi muatan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional.

c. Asas kebangsaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic dengan menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Asas kekeluargaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

c. Asas kenusantaraan ialah setiap peraturan perundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum.

d. Asas bhineka tunggal ika ialah setiap materi muatan peraturan perundang harus memperhatikan keragaman penduduk.

e. Asas keadilan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara.

f. Asas kesamaan ialah kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ialah materi muatan peraturan perundangan tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan latar belakang seperti agama, ras, suku, golongan, gender, atau status sosial.

g. Asas ketertiban ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

h. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud sebelumnya, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (vide Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011).

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain (vide PenjelasanPasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011) :

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

3. Sifat PERPPU

Perppu ini memiliki sifat provisional (sementara) karena jangka waktunya terbatas, maka secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya (vide Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan

“persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011). Jadi waktu antara diundangkannya suatu Perppu dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama—atau dengan kata lain sifat provisional (sementara) Perppu itu karena waktunya begitu singkat.

Oleh sebab itu, Marida Farida Indrati Soeprapto berpendapat bahwa Perppu kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan Undang-Undang karena belum disetujui oleh DPR.55 Meskipun sebenarnya

55

Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-Undang.

Saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undang-Undang, saat itulah biasanya Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena Perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum disetujui oleh DPR.

Sifat provisional (sementara) Perppu karena pembatasan jangka waktu dan perlu persetujuan DPR mengandung makna:56 a. kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa

kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai sarana;

56

b. Materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU, karena itu harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU;

c. Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip-prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.

4. Syarat “Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan

PERPPU

Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan

martial law” atau “emergency legislation”.57 Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan “legislative act” atau

Undang-Undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen. Oleh karena itu, kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau “emergency legislation”.

Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir

Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii)

57

ada kemendesakan (emergency).58 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.

Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa”, berpendapat:

“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan

Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal -ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian

”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung

58

di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi

peraturan pemerintah.”59

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga meliputi:60

a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau “reasonable necessity”;

b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan

c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapatmengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu

noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan Presiden secara subjektif menilai

keadaan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sehingga

pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan

59

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal 210.

60

istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang.61 Oleh sebab itu Perppu juga mengandung pembatasan.

Pertama, Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, maka Presidenlah yang secara subjektif menentukan kegentingan yang memaksa.62 Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang

61

I Gde Pantja Astawa, dalam Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus

Putusan Final MK. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hal 582.

62 Jika ditelaah, penggunaan istilah “keadaan bahaya” pada Pasal 12 UUD 1945 dan

istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” pada Pasal 22 UUD 1945 memiliki

perbedaan. Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya. Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. Namun Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan suatu Perppu. Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara. Lihat Jimly

terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut.63

63

Dokumen terkait