• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi dan Tolok Ukur Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dalam Konstitusi di Indonesia T2 322012008 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi dan Tolok Ukur Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dalam Konstitusi di Indonesia T2 322012008 BAB II"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

22 BAB II

EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA

A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Dalam teori mengenai jenjang norma hukum, “Stufentheorie”,

yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).29 Teori tersebut juga tercermin dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011).

Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.30 UU 12/2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011, antara lain: penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis

29

Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.cit, hal. 57.

30

(2)

peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan pada posisi kedua setelah UUD 1945.31

Secara umum Undang-Undang tersebut memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis, yaitu: asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan undangan, perencanaan peraturan perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-perundang-undangan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, dan pengundangan peraturan perundang-undangan, penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.32

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan

31

Achmad Edi Subiyanto, Menguji Konstitusionalitas Peraturan Pemerintah

(3)

sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang tersebut, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan pancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.33

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.34 Berikut ini adalah hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurutUU 12/2011, yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

33

Ibid.

(4)

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.35

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut kedudukan Perppu disejajarkan dengan Undang-Undang dan posisinya di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang tersebut menjadi tanda tanya besar, bahwa TAP MPR harus difungsikan tetapi hanya sebatas peraturan yang sudah ada dan tidak bisa melakukan keputusan sendiri agar ada fungsi kinerjanya. Semua perubahan tersebut menandakan adanya peningkatan kinerja peraturan perundang-undangan secara demokratis dan signifikan yang semula lebih bersifat konservatif berubah dengan pelan tapi pasti menjadi hierarki yang lebih demokratis dan sesuai dengan kewenangan yang ada.

Dalam sejarah sistem ketatanegaraan, sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2011, Indonesia telah mengalami perubahan mengenai dasar pembentukan dan hierarki peraturan perundangan-undangan dari masa ke masa. Perubahan hierarki tersebut termasuk posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

35

(5)
[image:5.516.69.452.160.641.2]

Untuk mempermudah mengetahui dasar perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan, di bawah ini diberikan tabel hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tabel 2.1

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Masa Hierarki

Masa di bawah

UUD 1945

(Sebelum

Perubahan) Periode 17 Agustus 1945-27 Desember 1949

1. UUD 1945;

2. Undang-Undang/PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; dan

4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat juga banyak produk hukum yang diberlakukan yakni :

1. Penetapan Presiden; 2. Peraturan Presiden; 3. Penetapan Pemerintah; 4. Maklumat Pemerintah; 5. Maklumat Presiden; 6. Pengumuman Pemerintah. Masa di bawah

Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1950

Pada masa berlakunya Konstitusi RIS tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai hierarki Peraturan Perundang-undangan. Mengenai penentuan jenis Peraturan yang mana yang lebih tinggi tingkatannya lebih didasarkan pada praktek ketatanegaraan yang berlaku sebelumnya (pada waktu berlakunya UUD 1945). Jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada masa di bawah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut :

1. Konstitusi RIS;

2. Undang-Undang (berdasarkan Pasal 127)/UU Darurat (berdasarkan Pasal 139);

(6)

Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 menentukan Jenis Peraturan-peratuan Pemerintah Pusat ialah :

a. Undang-Undang dan PERPPU; b. Peraturan Pemerintah;

c. Peraturan Menteri. Masa di bawah

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

1. UUDS 1950;

2. Undang-Undang/UU Darurat; dan 3. Peraturan Pemerintah.

Selain ketiga jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang berlaku yakni:

1. Peraturan Menteri; 2. Keputusan Menteri; dan 3. Peraturan Tingkat Daerah. Masa di bawah

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Setelah Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959

Dengan dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945 maka jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku seperti pada awal berlakunya UUD 1945 yakni :

1. UUD 1945;

2. Undang-Undang/PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; dan

4. Peraturan yang berasal dari Zaman Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Namun kemudian berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua DPR-GR tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara, mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ditentukan sebagai berikut:

1. Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah; 3. PERPPU.

Masa TAP MPRS No. XX/1966

1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR;

3.Undang-Undang/PERPPU; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden;

(7)

- Peraturan Menteri; - Instruksi Menteri; - Dan lain-lainnya. TAP MPR No.

III/2000

1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. PERPPU;

5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. UU No. 10/2004 1. UUD 1945;

2. Undang-Undang/PERPPU; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah, yang meliputi: - Perda Provinsi;

- Perda Kabupaten/Kota; - Peraturan Desa.

UU No. 12/2011 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang/PERPPU 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Sumber: diolah penulis

B. PERPPU Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia

Bentuk peraturan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 selain Undang-undang, ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau PERPPU. Dasar hukum bentuk peraturan perundang-undangan ini ialah ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan:

(8)

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.36

Di dalam konstitusi sebelum Amandemen antara 17 Agustus 1945 sampai 1950 terdapat beberapa jenis peraturan perundangan meliputiUndang-undang (Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1)), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 22).37 Hal ini memperlihatkan jika Presiden selaku pemerintah dapat membuat Perppu dalam keadaan kegentingan yang memaksa dan Perppu sudah diakaui sejak konstitusi masa Republik Indonesia pertama.

Lain halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 dikenal bentuk peraturan perundangan semacam Perppu ialah Undang-undang Darurat. Ketentuan mengenai Undang-undang Darurat terdapat dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950:

Pasal 139 Konstitusi RIS

(1) Pemerintah atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan

36

Pasal 22 UUD 1945. 37

C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata

Negara Dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Perkembangan Kemerdekaan

(9)

pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

(2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut.38

Pasal 96 UUDS 1950

(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.

(2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan derajat Undang-undang; Ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut.39

Jika dikomparasikan antara Perppu yang diatur dalam UUD Tahun 1945 dengan Undang-undang Darurat dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 ada perbedaan.40 Pertama, kewenangan atau otoritas dalam pembuatan Perppu dalam UUD Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden. Sedangkan untuk membuat Undang-Undang Darurat menurut konstitusi RIS dan UUDS 1950 merupakan wewenang pemerintah. Kedua, terlihat dari dasar legitimasi diterbitkan Perppu menurut UUD Tahun 1945 adalah “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Sedangkan dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dasar legitimasi dikeluarkan Undang-undang Darurat

adalah “karena alasan keadaan yang mendesak”.

38

Lihat Pasal 139 Konstitusi RIS. 39

Lihat Pasal 96 UUDS 1950. 40

Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti

(10)

Mengenai persamaan antara Perppu dengan Undang-undang Darurat antara lain: keduanya mempunyai fungsi sama sebagai peraturan perundangan yang diterbitkan eksekutif dalam keadaan tidak normal (crisis) untuk mengatasi keadaan darurat (emergency). Persamaan selanjutnya Perppu maupun Undang-undang Darurat mempunyai kekuataan hukum atau derajat yang setara dengan Undang-undang.41

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka memang terdapat perbedaan dan persamaan Perppu di masa Republik Indonesia pertama UUD Tahun 1945 dengan Konstitusi RIS atau UUDS 1950. Keduanya merupakan peraturan perundangan dikeluarkan oleh eksekutif dalam keadaan tidak normal, dan mempunyai kekuatan hukum atau derajat sama dengan Undang-undang. Namun perbedaannya terletak pada kewenangan atau otoritas pembuatan peraturan perundangan dan dasar legitimasi diterbitkannya peraturan perundangan.

Secara normatif Perppu merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan posisi Perppu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia disebabkan oleh karena dinamika politik pada masa tersebut. Dalam UU 12/2011,

41Ibid,

(11)

posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang dan berada di bawah TAP MPR. Jika dilihat keberadaan Perppu dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Perppu menempati posisinya di bawah Undang-Undang. Akan tetapi bila dilihat posisi Perppu dalam TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, UU 10/2004 dan UU 12/2011, kedudukan atau posisi Perppu sejajar dengan Undang-Undang. Adapun salah satu pertimbangan disejajarkannya antara Undang-Undang dengan Perppu adalah karena materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang.42

Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 12/2011.Untuk mewujudkan mekanisme checks and balance antara Presiden dan DPR, terdapat kriteria normatif yang harus dipenuhi dalam penetapan Perppu sebagaimana pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945. Perppu harus mendapat persetujuan DPR di persidangan berikutnya, jika DPR tidak menyetujui maka Perppu haruslah dicabut.43

42

Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

43

(12)

Keberadaan Perppu sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena mengingat dalam keadaan tidak normal, Presiden haruslah bertindak cepat dan sigap untuk mengatasi keadaan tersebut—kemudian dalam keadaan kembali normal Presiden harus membicarakan bersama dengan DPR dengan kemungkinan disetujui menjadi Undang-undang ataupun sebaliknya dilakukan pencabutan.

C. Kekuasaan Legislasi Presiden

Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945).

(13)

memang harus demikian adanya guna menghindari implikasi yuridis berupa duplikasi kekuasaan kelembagaan negara. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 memang harus dirumuskan bahwa Presiden bukan sebagai pemegang kekuasaan, sebab Presiden sebagai lembaga yang menjalankan undang- undang, karena itu Presiden dari perspektif

kekuasaan tepat diberikan “Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada DPR”.

Kemudian, perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan mengamandemen Pasal 20 UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD 1945).

(14)

antara DPR dan Presiden yang diputuskan dalam rapat Paripurna DPR-RI adalah tindakan pengesahan yang bersifat materiil, sedangkan pengesahan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut adalah pengesahan yang bersifat formil.44 Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ayat (5) yang menentukan jika dalam waktu 30 hari sejak mendapat persetujuan dari Presiden, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang. Sehingga bisa dipastikan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama pasti akan menjadi undang-undang.45

Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam menetapkan Perppu yang derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

44

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,

(15)

Menurut pendapat Monstesquieu yang dikutip oleh Sumali46, prinsipnya kekuasaan legislatif yang diharapkan sebagai satu-satunya badan yang membuat peraturan perundang-undangan (wet materielezin). Namun dalam praktiknya terbatas pada Undang-undang (wet formele zin) saja, untuk peraturan perUndang-undang-Undang-undangan di luar Undang-undang dan UUD cenderung melekat pada kekuasaan eksekutif. Kewenangan eksekutif untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang dan UUD masih dalam koridor yang ditentukan dalam Undang-Undang dan UUD.

Presiden merupakan produsen hukum terbesar, karena Presiden paling mengetahui banyak dan memiliki akses terluas, terbesar memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam proses pembuatan hukum. Presiden paling mengerti mengapa, untuk siapa, berapa, kapan, dimana, dan bagaimana peraturan tersebut dibuat. Presiden mempunyai keahlian serta tenaga ahli paling banyak memungkinkan proses pembuatan peraturan.47

Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa:

“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan

undang-undang sebagaimana mestinya”. Pasal tersebut memberikan

46

Sumali, Op.cit, hal 71.

47

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, PT

(16)

penjelasan bahwa, selain selaku kepala eksekutif Presiden mempunyai kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden mempunyai hak dalam peraturan perundang-undangan membentuk peraturan pelaksana undang-undang yang diperlukan untuk memperlancar kelangsungan pemerintahan negara.

Presiden mempunyai kekuasaan di bidang peraturan perundang-undangan yang bervariasi, yaitu kekuasaan legislatif artinya Presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, kekuasaan reglementer artinya membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang atau menjalankan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan terakhir kekuasaan eksekutif yang didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan dengan keputusan Presiden.48 Praktiknya kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh kepala negara atau kepala pemerintahan ditambahkan adanya kekuasaan untuk mengatur—karena delegasi kewenangan mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan Undang maupun secara langsung oleh Undang-Undang Dasar. Fungsi pengaturan terlihat dalam pembentukan undang-undang dengan persetujuan DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD Tahun 1945, pembentukan Peraturan Pemerintah

48

(17)

berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD Tahun 1945.49

[image:17.516.67.451.185.641.2]

Tabel 2.2

Kekuasaan Legislasi PresidenBerdasarkan UUD Tahun 1945 jo

UU No 12 Tahun 2011 Kekuasaan

Legislasi Presiden

UUD Tahun 1945 UU No 12 Tahun 2011

Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR

Pasal 5 ayat (1): Presiden berhak mengajukan

Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR.

Pasal 43 ayat (1): Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.

Pasal 47 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga

pemerintah

non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

Pasal 50 ayat (1): Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Pasal 50 ayat (3): DPR

mulai membahas

Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud

49

(18)

pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.

Ikut serta membahas rancangan undang-undang dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama.

Pasal 20 ayat (2): Setiap rancangan undang-undang

dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Pasal 20 ayat (3): Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak

boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan

Perwakilan Rakyat masa itu.

Pasal 65 ayat (1): Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang

ditugasi.

Pasal 69 ayat (3): Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,

Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Mengesahkan Undang-Undang

Pasal 20 ayat (4): Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

Pasal 20 ayat (5): Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari

Pasal 72 ayat (1): Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Pasal 73 ayat (1): Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan

(19)

semenjak rancangan undang-undang

tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Pasal 73 ayat (2):Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Pasal 22 ayat (1): Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Pasal 22 ayat (2): Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

Pasal 22 ayat (3): Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah

Pasal 1 angka 4: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang

ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Pasal 11: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.

(20)

itu harus dicabut. Pasal 52 ayat (3): DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Pasal 52 ayat (4): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Pasal 52 ayat (5): Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

Menetapkan Peraturan Pemerintah

Pasal 5 ayat (2): Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya.

Pasal 1 angka 5: Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Pasal 12: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang

(21)

Pasal 24: Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27: Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga

pemerintah

non-kementerian sesuai dengan bidang tugasnya.

Menetapkan Peraturan Presiden

Pasal 4 ayat (1): Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Pasal 1 angka 6: Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

atau dalam

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Pasal 13: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 30: Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.

(22)

Berdasarkan tabel sebelumnya, maka Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU), ikut serta membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.

Kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) didasarkan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan:

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang”. Menurut pendapat Bagir Manan, kewenangan Presiden

(23)

Undang-undang, menetapkan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa.50

D. Hakikat PERPPU Di Indonesia

1. Mekanisme Pembentukan PERPPU

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

adalah peraturan yang dibentuk Presiden dalam “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa”, proses pembentukannya berbeda

dengan pembentukan Undang-Undang—meskipun memiliki materi muatan yang sama. Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu

sebagai suatu “noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat

hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa.51 Pasal 22 UUD Tahun 1945memberikan penjelasan bahwa, peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hierarki, fungsi dan materi muatan sama dengan Undang-Undang, hanya saja dalam pembentukannya berbeda dengan Undang-undang.

Dalam Pasal 53 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan: “Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti

50

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan

UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta, 2009, hal 101. 51

(24)

Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tata cara penyusunan perundangan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menyatakan bahwa:

Pasal 57

Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Pasal 58

(1) Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut sebagai Pemrakarsa.

(2) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait.

Pasal 59

Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) kepada Presiden untuk ditetapkan.

Pasal 60

(25)

Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menjelaskan bahwa apabila dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden menugaskan penyusunan Rancangan Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut sebagai Pemrakarsa—berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga terkait. Kemudian, rancangan Perppu yang telah selesai disusun disampaikan oleh menteri kepada Presiden untuk ditetapkan. Setelah mendapatkan penetapan dan diundangkan oleh Presiden, Perppu dapat langsung berlaku mengikat umum, akan tetapi harus diajukan ke DPR untuk dimintakan persetujuan.

Gambaran mekanisme pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam perundang-undangan, dapat ditemukan dalam Pasal 52 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 52

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

(26)

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-udang.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang.

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-undang tentang pecabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

(7) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

(8) Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-undang tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Berdasarkan paparan sebelumnya, maka mekanisme pembentukan Perppu berjalan lebih singkat dibandingkan dengan pembentukan UU, mengingat pembentukanya dalam keadaan tidak normal dan ditetapkan oleh Presiden tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat karena

(27)

2. Materi Muatan PERPPU

Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam Undang-Undang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara (vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Jika dilihat dari prosedur atau mekanisme pembuatannya berbeda satu sama lainnya. Undang-undang pembuatannya dilakukan secara bersama-sama antara Presiden dengan DPR. Sedangkan Perppu pada akhirnya melibatkan peran DPR, namun merupakan hak prerogatif Presiden.

Sebagai peraturan darurat, materi muatan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengandung pembatasan-pembatasan. Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Menurut pendapat Bagir Manan, materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara).52 Menurutnya tidak boleh Perppu dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, territorial, negara, dan hak dasar rakyat.

52

(28)

Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra53 pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945 dapat disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN—meskipun dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak memberi peluang bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara sepihak melalui Perppu. Walaupun UUD Tahun 1945 menganut prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, namun penetapan APBN dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan.

Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni :54

a) memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige);

b) tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan;

c) tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat; d) diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya

mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.

Selain itu, hal yang berkaitan dengan asas peraturan perundang-undangan tentang materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) jo Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011:

53Ibid.

54

(29)

a. Asas pengayoman ialah setiap materi muatan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusian ialah setiap materi muatan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional.

c. Asas kebangsaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic dengan menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Asas kekeluargaan ialah setiap materi muatan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

c. Asas kenusantaraan ialah setiap peraturan perundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum.

d. Asas bhineka tunggal ika ialah setiap materi muatan peraturan perundang harus memperhatikan keragaman penduduk.

(30)

f. Asas kesamaan ialah kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ialah materi muatan peraturan perundangan tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan latar belakang seperti agama, ras, suku, golongan, gender, atau status sosial.

g. Asas ketertiban ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

h. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ialah setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud sebelumnya, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (vide Pasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011).

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain (vide PenjelasanPasal 6 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011) :

(31)

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

3. Sifat PERPPU

Perppu ini memiliki sifat provisional (sementara) karena jangka waktunya terbatas, maka secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya (vide Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Yang dimaksud dengan

“persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan (vide Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011). Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011). Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12 Tahun 2011). Jadi waktu antara diundangkannya suatu Perppu dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama—atau dengan kata lain sifat provisional (sementara) Perppu itu karena waktunya begitu singkat.

Oleh sebab itu, Marida Farida Indrati Soeprapto berpendapat bahwa Perppu kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan Undang-Undang karena belum disetujui oleh DPR.55 Meskipun sebenarnya

55

(32)

Undang-Undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Undang-Undang dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah Undang-Undang.

Saat suatu Perppu telah disetujui oleh DPR dan dijadikan Undang-Undang, saat itulah biasanya Perppu dipandang memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena Perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang sama meski Perppu belum disetujui oleh DPR.

Sifat provisional (sementara) Perppu karena pembatasan jangka waktu dan perlu persetujuan DPR mengandung makna:56 a. kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa

kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai sarana;

56

(33)

b. Materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU, karena itu harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU;

c. Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip-prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.

4. Syarat “Kegentingan Yang Memaksa” Dalam Penerbitan

PERPPU

Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu disebut dengan

martial law” atau “emergency legislation”.57 Jika dipandang dari

segi isinya peraturan tersebut merupakan “legislative act” atau Undang-Undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen. Oleh karena itu, kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau

emergency legislation”.

Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir

Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii)

57

(34)

ada kemendesakan (emergency).58 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.

Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa”, berpendapat:

“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan

Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal -ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian

”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung

58

(35)

di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi

peraturan pemerintah.”59

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, syarat materiil yaitu keadaan memaksa untuk menetapkan Perppu dibagi menjadi tiga meliputi:60

a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau “reasonable necessity”;

b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; dan

c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapatmengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.

Pasal 22 UUD Tahun 1945 menyatakan Perppu sebagai suatu

noodverordeningsrecht” Presiden—artinya terdapat hak Presiden

untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa. Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan Presiden secara subjektif menilai

keadaan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sehingga

pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan

59

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Op.cit, hal 210.

60

(36)

istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting, dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang.61 Oleh sebab itu Perppu juga mengandung pembatasan.

Pertama, Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, maka Presidenlah yang secara subjektif menentukan kegentingan yang memaksa.62 Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang

61

I Gde Pantja Astawa, dalam Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus

Putusan Final MK. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hal 582.

62 Jika ditelaah, penggunaan istilah “keadaan bahaya” pada Pasal 12 UUD 1945 dan

istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” pada Pasal 22 UUD 1945 memiliki

perbedaan. Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya. Pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya itu. Namun Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan suatu Perppu. Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara. Lihat Jimly

(37)

terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut.63

63

Gambar

Tabel 2.1 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Kekuasaan Legislasi PresidenTabel 2.2  Berdasarkan UUD Tahun 1945 jo

Referensi

Dokumen terkait

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Lokasi penelitian di lakukan di wilayah hukum Sektor Kecamatan Panca Lautang di bawah Polres Sidrap dengan menggunakan pendekatan Sosiologis Hukum. Penelitian

d- 2ukum komunikasi e)ekti) yan& keempat* adalah Clarity Selain (ah7a pesan harus dapat dimen&erti den&an (aik* maka hukum keempat yan& terkait

Poedjosoedarmo (dalam Suwito, 1996:28) menyatakan variasi bahasa sebagai bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing- masing memiliki pola-pola yang

Dalam uapaya meningkatkan kualitas, aktifitas dan peran serta organisasi Pemuda Panca Marga (PPM) Tasikmalaya terhadap pembangunan Bangsa dan Negara disegala bidang

“Dalam hal terdapat alasan yang jelas menduga bahwa suatu kendaraan air yang berlayar di laut teritorial suatu negara, selama melakukan lintas, telah melakukan

Oleh karena itu penulis akan membantu membuat sebuah “Aplikasi Pengolahan Data Pemesanan, Persediaan dan Pembayaran Keripik Menggunakan PHP ( PHP Hypertext

Pengiriman merupakan sebuah proses bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari produk sayuran dataran tinggi yang berada dalam satu jalar rantai pasok. Manajemen pengiriman