• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Dalam bab dua ini dipaparkan mengenai tinjauan studi terdahulu yang berupa hasil penelitian sebelumnya dan landasan teori berupa kutipan teori-teori yang digunakan dalam penelitian. Selain itu, disertakan pula kerangka berpikir yang berisi penggambaran secara jelas kerangka pikir yang digunakan penulis untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti.

A. Kajian Pustaka

Penelitian yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan masalah yang diteliti sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Berikut penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian ini.

Skripsi Canggih Atmahardianto (2012), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang berjudul Register dalam Situs Komunitas Dunia

Maya Kaskus menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Karakteristik yang

pertama dalam penggunaan bahasa Indonesia pada register dalam situs komunitas dunia maya kaskus adalah (1) pelesapan afiks dalam bahasa Indonesia; (2) hibrida (antara afiks bahasa Indonesia dengan kosakata asing; dan (3) kontraksi atau pemendekan. Dalam penulisan singkatan terdapat beberapa pola singkatan, yaitu (1) singkatan yang menggunakan huruf awal kapital; (2) bentuk penggalan yang terdiri dari (a) penggalan suku kata pertama, (b) pengekalan suku terakhir, (c) pengekalan empat huruf pertama; (3) angka sebagai pengganti kata atau suku kata; (4) gabungan huruf dan angka. Ditemukan juga pola penulisan akronim sebagai

(2)

berikut: (1) akronim yang berasal dari huruf awal setiap kata, (2) akronim yang ditulis dengan huruf kecil. Dilihat dari bentuknya register dalam kaskus

digolongkan menjadi (1) berdasar satuan lingualnya dibedakan menjadi (a) kata, (b) frasa, dan (c) kalimat; (2) berdasarkan asal bahasanya dibedakan menjadi (a) register yang menggunakan bahasa Indonesia, (b) register yang menggunakan bahasa Jawa, dan (c) register yang menggunakan bahasa Inggris. 2. Kosakata khusus penanda register dapat digolongkan menjadi (1) menanggapi suatu thread;

(2) panggilan atau sapaan; (3) reputasi; (4) pangkat atau tingkatan; (5) koneksi dan istilah dalam internet. 3. Dalam penggunaan gaya bahasa ditemukan gaya bahasa (1) perbandingan yang dibagi menjadi (a) metafora, (b) personifikasi, dan (c) asosiasi; (2) pertentangan yang dibagi menjadi (a) paradox dan (b) antithesis; (3) sindiran yang dibagi menjadi (a) ironi, (b) sinisme, dan (c) sarkasme.

Skripsi Djuwita Utami (2010), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang berjudul Karakteristik Penggunaan Bahasa pada Status

Facebook menyimpulkan ada tujuh karakteristik penggunaan bahasa pada

facebook akun penulis. Tujuh karakteristik tersebut yaitu: (1) singkatan dan

akronim yang terbagi menjadi 6 jenis singkatan dan 2 akronim. Enam jenis singkatan tersebut yaitu: Singkatan yang menggunakan huruf awal kapital, bentuk penggalan, angka sebagai pengganti suku kata dan kata, gabungan huruf dan angka, singkatan yang mengubah beberapa huruf, dan singkatan yang menghilangkan unsur vokal dan konsonan. Dua jenis akronim yang ditulis dengan huruf kecil; (2) Penyisipan kosakata asing yang terdiri atas penyisipan kosakata bahasa Jawa, penyisipan kosakata bahasa Sunda, penyisipan dialek Jakarta, dan penyisipan kosakata bahasa Inggris; (3) Kata Fatis; (4) Slang; (5) Pemakaian afiks

(3)

commit to user

dialek Jakarta berupa Prefiks {N-}, Sufiks {-in}, Konfiks {N-|-IN}, Konfiks {di-|-in}, Konfiks {ke-|-an}, dan Sufiks {-an}; (6) Penggunaan emotikon dengan gaya Barat dan Asia Timur; dan (7) Perubahan huruf sebagai variasi penulisan. Selanjutnya disimpulkan pula faktor-faktor sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa pada status facebook dibatasi pada tingkat usia dan pendidikan. Tingkat usia berpengaruh pada topik yang dibicarakan, dan penulisan atau variasi pengetikannya, sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh pada pemilihan kosakata, penggunaan kosakata asing, pemakaian kosakata santun dan kasar, serta variasi topik yang dibicarakan.

Skripsi Nisone Ayu Constantya (2013), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang berjudul Tindak Tutur dan Prinsip Kesantunan

dalam Jual Beli Online di Facebook, menyimpulkan tiga hal pokok yang

merupakan jawaban isi perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Tiga hal pokok tersebut adalah mengenai realisasi tindak tutur ilokusi dalam jual beli online di facebook, realisasi pematuhan prinsip kesantunan dan realisasi pelanggaran prinsip kesantunan serta implikatur dalam jual beli di facebook.

Penelitian karakteristik penggunaan bahasa pada transaksi jual beli dengan tinjauan sosiolinguistik belum pernah dilakukan. Hal ini menjadi salah satu alasan penulis untuk melakukan penelitian secara mendalam terhadap permasalahan tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh penulis ini mempunyai perbedaan dengan penelitian-penelitian di atas. Meskipun ada persamaan dalam hal jenis data yang sama-sama termasuk dalam media online,

(4)

Pada skripsi Canggih Atmahardianto (2012) media online yang digunakan untuk penelitian adalah Kaskus sedangkan pada penelitian ini menggunakan toko online di situs jejaring sosial facebook dan twitter. Penelitian karakteristik tentang bahasa facebook juga sudah pernah dilakukan oleh Djuwita Utami (2010) namun dalam pembatasan masalah data pada penelitian tersebut berupa status para pengguna facebook. Sementara itu pada penelitian ini data yang dikumpulkan berupa penggunaan bahasa tertulis pada transaksi jual beli di toko

online facebook dan twitter. Selanjutnya juga sudah ada penelitian serupa dari

Nisone Ayu Constantya (2013) yang juga menggunakan objek bahasa pada transaksi jual beli di toko online. Akan tetapi, pada skripsi Tindak Tutur dan

Prinsip Kesantunan dalam Jual Beli Online di Facebook tersebut, penulis

menggunakan tinjauan pragmatik sebagai dasar analisis data.

Berdasarkan uraian di atas jelas sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sumber data pada penelitian ini mengkhususkan penggunaan data dalam percakapan transaksi jual beli pada

facebook dan twitter. Pengkhususan data tersebut tentu berpengaruh pada topik

pada percakapan yang ditemukan. Dalam penelitian ini topik percakapan khusus mengenai transaksi jual beli sehingga penggunaan bahasanya pun akan khusus membahas seputar produk dan cara bertransaksi. Sementara itu, pada penelitian Djuwita Utami (2010) dan Canggih Atmahardianto (2012) mengangkat beragam topik untuk diperbincangkan kecuali topik jual beli.

Perbedaan topik yang tercermin pada data inilah yang membedakan pengkajian rumusan permasalahan pada setiap penelitian. Penggunaan bahasa pada transaksi jual beli online memiliki karakteristik yang khusus sehingga hasil

(5)

commit to user

analisis data pada penelitian ini akan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hasil analisis pada penelitian ini khusus membahas secara mendalam karakteristik penggunaan bahasa, istilah-istilah khusus, dan faktor sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa pada transaksi jual beli di toko online. Selain itu, ada beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini namun belum dikaji secara mendalam pada penelitian sebelumnya. Oleh karena itu melalui penelitian ini permasalahan-permasalahan mengenai karakteristik penggunaan bahasa pada jual beli online akan dikaji lebih mendalam. Hal ini dikarenakan adanya kekhususan bahasa pada transaksi jual beli online yang berbeda dengan komunitas lain yang sudah diteliti sebelumnya.

B. Landasan Teori 1. Sosiolinguistik

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Beberapa rumusan yang dikemukakan mengenai sosiolinguistik sebagai berikut:

a. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Dimensi kemasyarakatan ini memberikan makna kepada bahasa sehingga menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan bahasa P.W.J Nababan (1984:2).

(6)

b. Hudson (1996:3) menjelaskan perbedaan antara kajian linguistik dan sosiolinguistik sebagai berikut:

That linguistics differs from sociolinguistics in taking account only of the structure of language, to the exclusion of the social contexts in which it is learned and used. The task of linguistics, according to this view, is to work out „the rules of language X‟, after which sociolinguists may enter the scene and study any points at which these rules make contact with society – such as where alternative ways of expressing the same thing are chosen by different social groups.

Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa linguistik hanya mengkaji pada struktur bahasa, dan terpisah dari konteks sosial dimana bahasa itu dipelajari dan digunakan. Tugas dalam linguistik, menurut pandangan ini adalah menyususn „aturan-aturan bahasa X‟, setelah itu ahli sosiolinguistik mempelajari aturan-aturan yang berhubungan dengan masyarakat pengguna bahasa tersebut, seperti cara mengekspresikan sesuatu yang sama namun dipilih oleh kelompok sosial yang berbeda.

c. Suwito mengungkapkan bahwa “sosiolinguistik merupakan studi

interdisiplin yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial.” Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya (1996:5).

d. Abdul Chaer dan Leonie Agustina mengungkapkan bahwa

(7)

commit to user

interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur” (2010:4).

2. Variasi Bahasa

a. Poedjosoedarmo (dalam Suwito, 1996:28) menyatakan variasi bahasa sebagai bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Variasi bahasa dapat berupa idiolek, dialek, ragam bahasa, register maupun unda-usuk. Peristiwa terjadinya variasi mungkin terdapat pada masyarakat luas maupun masyarakat kecil atau bahkan pada penggunaan bahasa seseorang. Pemakaian variasi bahasa akan disesuaikan dengan fungsi dan situasi.

b. Penggunaan bahasa yang bervariasi disebabkan oleh beberapa hal di antaranya penutur yang tidak homogen dan kegiatan interaksi sosial yang dilakukan. Berikut variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010: 61-72):

1) Variasi dari Segi Penutur

a) Idiolek. Variasi idiolek berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.

b) Dialek. Dialek yakni variasi bahasa dari sekelompok petutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.

c) Kronolek yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu, misalnya variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini.

d) Sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para

(8)

penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar,

slang, kolokial, jargon, argot dan ken.

2) Variasi dari Segi Pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam,

dan register. Variasi ini biasanya dibicarakan

berdasarkan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa suatu bidang kegiatan yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosa kata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.

3) Variasi dari Segi Keformalan

Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock

membagi variasi bahasa atas lima macam ragam (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010:70-73), yaitu ragam beku, ragam resmi atau formal, ragam usaha atau ragam konsultatif, ragam santai atau ragam kasual, dan ragam akrab atau ragam intim.

4) Variasi dari Segi Sarana

Variasi bahasa ini dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan dan dibagi menjadi ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.

3. Ragam Bahasa

a. Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia tidak terbatas jumlahnya.

Harimurti Kridalaksana membagi atas dasar pokok pembicaraan, medium pembicaraan, dan hubungan antar pembicara (1989:2-5).

1) Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan dibedakan

antara lain atas: ragam undang-undang, ragam jurnalistik, ragam ilmiah, ragam jabatan, dan ragam sastra.

2) Ragam bahasa menurut medium pembicaraan

dibedakan atas:

a) ragam lisan yang dibedakan atas: ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, ragam panggung, dan sebagainya

(9)

commit to user

b) ragam tulis, yang dibedakan atas: ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, ragam surat-menyurat, dan sebagainya.

3) Ragam bahasa dan hubungan antara pembicara

dibedakan atas: ragam resmi, ragam akrab, ragam agak resmi, ragam santai, dan sebagainya.

b. Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam ragam (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010: 70-73).

1) Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi.

2) Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.

3) Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah ragam yang

paling operasional. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan informal.

4) Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Ragam santai ini banyak menggunakan bentuk allegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan.

5) Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek dan dengan artikulasi yang sering kali tidak jelas.

c. Dalam makalah Bahasa Indonesia Baku dan Tak Baku pada Percakapan

Anak Jakarta Purwo (dalam Kushartanti, 2006:3) mengungkapkan

ciri-ciri bahasa bahasa tak baku sebagai berikut:

1) Penggunaan bentuk-bentuk fatis seperti dong, deh, sih, nih

2) Penggunaan bentuk pronominal persona seperti gue, gua, (e)lu

3) Adanya pemarkah dalam bentuk morfem. Ciri

morfologis yang menandai bentuk tak baku:

a) Ketiadaan morfem yang seharusnya ada pada ragam baku seperti, morfem {–ber}

(10)

b) Kehadiran morfem yang lain dari yang terdapat pada ragam baku, seperti morfem {–in}

c) Kehadiran morfem yang sama bentuk dengan yang terdapat pada ragam baku.

4) Adanya bentuk penggal, yang dalam ragam baku berupa

bentuk utuh

5) Adanya perubaham bunyi, dalam hal ini adalah

perubahan diftong pada bentuk baku menjadi bunyi lain

6) Adanya gabungan antara pemenggalan dan perubahan

bunyi

7) Adanya bentuk-bentuk leksikal yang berbeda dengan yang dipakai pada ragam baku. Ada dua bentuk yang ditemukan:

a) Bentuk leksikal tak baku yang mempunyai padanan dalam bentuk baku

b) Bentuk leksikal yang memiliki makna lebih dari satu dalam ragam baku

8) Letak {–in} yang tidak dapat ditemukan disembarang kata

4. Register

a. Halliday dan Ruqaiya Hasan mengungkapkan bahwa “register

merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya” (1992:56). Register adalah bahasa yang digunakan tergantung pada apa yang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register merupakan bentuk makna yang khususnya dihubungkan dengan konteks sosial tertentu, yang dalam buku Bahasa dan Konteks (1992) dijelaskan dengan istilah medan, pelibat, dan sarana. lRegister itu beragam yang di satu sisi, terdapat register yang berorientasi pada kegiatan, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yaitu yang kadang-kadang disebut “bahasa tindakan” dan terdapat pula register yang berorientasi pada bicara, yang kebanyakan isinya bersifat kebahasaan dan tidak banyak hal lain yang terjadi.

(11)

commit to user

b. Dalam buku Sociolinguistics (Second Edition), Hudson (1996:47)

memaparkan pengertian register dari beberapa ahli sebagai berikut:

The term register is widely used in sociolinguistics to refer to varieties according to use in contrast with dialects, defined as varieties according to user (Cheshire 1992, Downes 1994, Biber 1988).

Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa istilah register banyak digunakan dalam sosiolinguistik untuk merujuk pada variasi bahasa sesuai penggunaannya yang berbeda dengan dialek. Oleh karena itu dalam hal ini register dapat didefinisikan sebagai variasi penggunaan bahasa yang didasarkan pada penggunanya.

c. Holmes (dalam Dwi Purnanto, 2002:19) memahami register dengan

konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam

(style), yakni menunjuk pada variasi bahasa yang mencerminkan

perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebagian besar para sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda. d. Sunahrowi (2007) dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Vol. 12

| No. 1, yang berjudul Variasi dan Register Bahasa dalam Pengajaran

Sosiolinguistik, memaparkan “register merupakan penggambaran ragam

bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan formal dan tidaknya suatu situasi, profesi dan sarana bahasa.”

(12)

5. Alih Kode dan Campur Kode

a. P.W.J Nababan (1984:31-32) memaparkan alih kode mencakup kejadian

dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai) ke ragam lain (ragam informal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain, dan sebagainya. Campur kode merupakan keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu.

b. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Apabila alih kode itu terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode tersebut bersifat intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern Suwito (1996:80-90).

Dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Pada campur kode unsur-unsur bahasa lain yang menyisip telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.

(13)

commit to user

c. Abdul Chaer dan Leonie Agustina memaparkan alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sementara itu, dalam campur kode sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang teribat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (2010:124).

d. Iqbal Nurul Azhar (2011:15-17) menjelaskan alih kode sebagai keadaan bilingual. Penutur ada kalanya mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur. Hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Sementara itu, campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan, mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) campur kode de dalam (inner code-mixing), yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya; (2) campur kode ke luar (outer code-mixing), yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing.

(14)

commit to user

6. Interferensi

a. Suwito (1996:64) menyatakan bahwa interferensi merupakan peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi dalam diri penutur. Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peranan yaitu: bahasa sumber, bahasa penyerap dan unsur serapan. Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan:

1) Interferensi fonologis yang terjadi pada tatabunyi

2) Interferensi morfologi terjadi apabila dalam

pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Pembentukan seperti itu oleh Weinreich (1953) disebut bentuk baster (hybrid).

3) Interferensi struktural terjadi karena di dalam diri penutur terjadi kontak antara bahasa yang sedang diucapkannya dengan bahasa lain yang juga dikuasainya. 4) Interferensi unsuriah, yaitu penyerapan unsur-unsur kalimat dari sesuatu bahasa kedalam bahasa yang lain. Unsur-unsur serapan itu dapat berwujud kata, kelompok kata atau klausa.

5) Interferensi semantik dibagi menjadi beberapa jenis. Jika interferensi itu terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain,

penyerapan makna itu disebut perluasan. Jika

penggantian kata-kata disebabkan karena perubahan nilai maknanya disebut interferensi replasif.

b. Interferensi merupakan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur- unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Dilihat dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apapun dianggap sebagai suatu kesalahan yang dapat merusak bahasa. Hal ini disebabkan orang-orang yang berpaham purisme di Indonesia tentu tidak dapat menerima bentuk-bentuk kata jadian seperti ketabrak dan susunan kalimat seperti,

(15)

commit to user

usaha pengembangan bahasa, interferensi ini merupakan suatu rahmat, sebab hal tersebut merupakan suatu mekanisme yang sangat penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu bahasa untuk mencapai taraf sebagai bahasa yang sempurna untuk dapat digunakan dalam segala bidang kegiatan Weinreich (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010:120).

7. Afiksasi

Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem berubah bentuknya menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstatus kata berganti kategori), dan sedikit banyak merubah maknanya. Harimurti Kridalaksana (1989:28-31) mengungkapkan jenis-jenis afiks dalam bahasa Indonesia diklasifikasikan atas:

a. Prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar.

Contoh: {me-}, {di-}, {ber-}, {ke-}, {ter-}, {pe-}, {per-}, {se-}

b. Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar. Contoh: {-el-}, {-er-}, {-em-}, dan {-in-}

c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar. Contoh: {-an}, {-kan}, {-i}

d. Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar. Contoh: kopi – ngopi

e. Kofiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar; dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi. Contoh: {ke-an}, {pe-an}, {per-an}, dan {ber-an}

f. Superfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau dengan kata lain afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.

g. Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar. Contoh: me-kan, me-i, memper-kan, memper-i, ber-kan, ter-kan, per-kan, pe-an, dan se-nya

(16)

8. Bentuk Kependekan

Bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia muncul karena terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat. Harimurti Kridalaksana (1989:161-163) mengklasifikasikan bentuk-bentuk dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

a. Singkatan yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf maupun yang tidak dieja huruf demi huruf.

1) Pengekalan huruf pertama tiap komponen.

Misalnya: H = Haji, AA = Asia-Afrika, RS = Rumah Sakit. 2) Pengekalan huruf pertama dengan pelesapan konjungsi,

preposisi, reduplikasi dan preposisi, artikulasi dan kata. Misalnya: IKIP = Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 3) Pengekalan huruf pertama dengan bilangan, bila berulang.

Misalnya 3D = Dilihat, Diraba, Diterawang. 4) Pengekalan dua huruf pertama dari kata.

Misalnya: Ny = nyonya, Wa = Wakil.

5) Pengekalan tiga huruf pertama dari sebuah kata. Misalnya: Okt = Oktober.

6) Pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: sekr = sekretaris, Sept = September. 7) Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir kata.

Misalnya: Ir = Insinyur.

8) Pengekalan huruf pertama dan huruf ketiga. Misalnya: Gn = Gunung.

9) Pengekalan huruf pertama dan terakhir dari suku kata pertama dan huruf pertama dari suku kata kedua.

Misalnya: Kpt = Kapten.

10)Pengekalan huruf pertama kata pertama dan huruf pertama kata kedua dari gabungan kata.

Misalnya: VW = Volkswagen.

11)Pengekalan huruf pertama dan diftong terakhir dari kata. 12)Pengekalan dua huruf pertama dari kata pertama dan huruf

pertama kata kedua dalam suatu gabungan kata. Misalnya Swt = Swatantra.

13)Pengekalan huruf pertama suku kata pertama dan huruf pertama dan terakhir suku kata kedua dari suatu kata. Misalnya: Bdg = Bandung, tgl = tanggal.

14)Pengekalan huruf pertama dari tiap suku kata. Misalnya: hlm = halaman.

15)Pengekalan huruf pertama dan huruf keempat dari suatu kata. Misalnya: DO = depot.

(17)

commit to user

16)Pengekalan huruf yang tidak beraturan. Misalnya: Kam = keamanan.

b. Akronim dan Kontraksi

Akronim merupakan proses pemendekan yang

terbentuk atas penggabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia. Pembentukan akronim hendaknya memperhatikan jumlah suku kata akronim. Pembentukan akronim disarankan agar tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata dalam Indonesia. Selain itu, akronim juga dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata dalam bahasa Indonesia yang lazim. Sementara itu, kontraksi yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem.

c. Penggalan

Penggalan yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem.

1) Penggalan suku pertama dari suatu kata. Misalnya: Dok = Dokter.

2) Pengekalan suku terakhir suatu kata. Misalnya: Pak = bapak.

3) Pengekalan tiga huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: Dep = Departemen.

4) Pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata. Misalnya: Prof = Profesor.

5) Pengekalan kata terakhir dari suatu frasa. Misalnya: ekspres = kereta api ekspres. 6) Pelesapan sebagian kata.

Misalnya: bahwa sesungguhnya = bahwasanya.

9. Toko Online

Belanja online dalam survei Potret Belanja Online di Indonesia

(Kominfo, 2013:49) didefinisikan sebagai “aktifitas pembelian produk atau jasa secara online.” Banyaknya kegiatan belanja online mendorong munculnya beragam online shop atau toko online, yakni suatu toko yang menyediakan beragam produk dan jasa untuk dijual melalui media internet. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kominfo pada tahun 2013, hasil survei menunjukkan hampir separuh (47%) dari pengguna internet menggunakan internet untuk

(18)

berbelanja online. Namun di Indonesia, perempuan cenderung lebih banyak melakukan belanja online sebesar 49% dibandingkan dengan laki-laki sebesar 44% (Kominfo, 2013:21).

Survei Kominfo (2013:27) memperlilhatkan bahwa menghemat waktu menjadi salah satu alasan mengapa seseorang melakukan transaksi jual beli di toko online. Faktor lain yang juga menjadi alasan adalah faktor ketersediaan akses internet 24 jam secara penuh dan kenyamanan dalam berbelanja. Hampir semua jenis produk pernah dibeli secara online. Akan tetapi, Kominfo (2013:31), memaparkan bahwa fashion (pakaian, tas, sepatu, dsb) merupakan jenis produk yang paling banyak dibeli secara online oleh sebagian besar (79%) pelaku belanja

online. Dalam survei ini juga dikemukakan, jejaring sosial seperti facebook paling

banyak digunakan untuk media transaksi jual beli online yakni sebesar 34%. Setiap toko online menerapkan sistem aturan tidak tertulis yang berkaitan dengan etika berbelanja online yang sudah dipahami bersama oleh penjual dan pembeli. Hal ini berkaitan dengan pemberian informasi pelaksanaan transaksi jual beli online (seperti pemberian nomor rekening bank dan alamat lengkap) yang dilakukan di luar tampilan pada media online. Ketika pembeli tertarik dan ingin membeli sebuah produk maka transaksi akan dilanjutkan menggunakan media yang lebih rahasia, seperti SMS, telepon, dan BBM. Hal ini dilakukan demi menjaga kerahasiaan dan keamanan informasi agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga media online seperti halnya

facebook dan twitter hanya bersifat sebagai wadah berkomunikasi dan pemberian

(19)

commit to user

10. Facebook

Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sesama

mahasiswa Universitas Harvard, Eduardo Saverin, Andrew McCollum, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes. Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama oleh beberapa pihak administrasi universitas di Amerika Serikat dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain (Madcoms, 2009:1).

Pada September 2012, facebook memiliki lebih dari satu miliar pengguna aktif, lebih dari separuhnya menggunakan telepon genggam. Facebook menjadi salah satu sarana efektif dalam berkomunikasi dan saling bertukar informasi. Seiring dengan maraknya pertumbuhan situs jejaring sosial di dunia, facebook ini juga dilirik oleh pelaku belanja online untuk memasarkan produknya. Penjual akan mengunggah barang yang ia tawarkan kemudian disebarkan melalui fitur unggah foto. Bentuk penawaran ini merupakan perkembangan dari media katalog yang tadinya disebarkan dalam bentuk media cetak per bulan, kini disebarkan melalui media katalog online yang penawarannya dapat diperbarui kapan saja. Tidak heran sekarang banyak bermunculan online shop yang menjual beragam produk dan jasa melalui facebook. Melalui media jejaring sosial ini dimungkinkan adanya interaksi antara penjual dan pembeli melalui fitur komentar. Dengan demikian menggunakan facebook sebagai sarana jual beli dapat menjangkau lebih banyak orang di pelbagai wilayah.

(20)

11. Twitter

“Twitter berasal dari bahasa Inggris yang artinya berkicau sehingga

twitter dapat diartikan sebagai layanan jejaring sosial yang dapat membantu

seseorang mengatakan apa saja yang dirasakan dan dilakukan untuk diketahui banyak orang” (Duwi Priyatno, 2010:1). Twitter memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal dengan sebutan kicauan (tweet). Twitter didirikan pada bulan Maret 2006 oleh Jack Dorsey, dan situs jejaring sosialnya diluncurkan pada bulan Juli.

Twitter mengalami pertumbuhan yang pesat dan dengan cepat meraih

popularitas di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan posisi twitter naik ke peringkat kedua sebagai situs jejaring sosial yang paling sering dikunjungi di dunia, dari yang sebelumnya menempati peringkat dua puluh dua. Tingginya popularitas penggunaan twitter menyebabkan layanan ini telah dimanfaatkan untuk pelbagai keperluan dalam pelbagai aspek, misalnya sebagai sarana protes, kampanye politik, sarana pembelajaran, sarana promosi, dan sebagai media komunikasi darurat. Seperti halnya pada facebook, jual beli secara online juga popular di kalangan pengguna twitter.

Twitter juga menyediakan fitur mengunggah foto yang disertai

keterangan atas foto tersebut sehingga memudahkan kegiatan promosi. Seperti pada facebook, melalui twitter penjual dan pembeli juga dapat saling berinteraksi malalui fitur mention sehingga proses jual beli online terasa lebih mudah karena jangkauan yang luas tanpa mengenal jarak dan waktu.

(21)

commit to user

C. Kerangka Pikir

Permasalahan Penggunaan Bahasa yang unik ditemukan pada TJBO

Karakteristik Penggunaan Bahasa

- Alih Kode dan

Campur Kode - Afiksasi - Interferensi Morfologi - Bentuk Kependekan (Singkatan, Akronim, dan Penggalan) - Penggunaan Huruf,

Angka, dan Tanda

- Penggantian Tulisan

- Istilah-istilah Khusus dalam Transaksi Jual Beli di Toko Online

- Istilah dalam Media yang Digunakan untuk Transaksi Jual Beli Online

- Sapaan Khusus

- Tingkat Pendidikan

- Tingkat Ekonomi

Simpulan karakteristik penggunaan bahasa pada transaksi jual beli di toko online Tinjauan Sosiolinguistik Kuesioner Istilah-istilah Khusus pada Penggunaan Bahasa

Faktor sosial yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa

(22)

Kerangka pikir dimulai dari permasalahan yang ditemukan penulis di lapangan. Penulis menemukan penggunaan bahasa yang unik pada transaksi jual beli di toko online. Data utama yang berupa data tulis tersebut kemudian dikumpulkan. Setelah menentukan teori yang tepat, yakni teori sosiolinguistik sebagai dasar analisis, serta melakukan pembatasan masalah, selanjutnya dirumuskan tiga permasalahan. Khusus pada rumusan masalah kedua dilakukan teknik kuesioner karena berkaitan dengan istilah khusus yang digunakan dalam jual beli online.

Pada rumusan masalah pertama, hal-hal yang dianalisis dalam karakteristik penggunaan bahasa pada jual beli di toko online adalah alih kode dan campur kode, afiksasi, interferensi morfologi, bentuk kependekan (singkatan, akronim, dan penggalan), penggunaan huruf, angka, dan tanda, penggantian tulisan. Pada rumusan masalah kedua, yakni istilah-istilah khusus, ada tiga hal yang dianalisis, yakni istilah-istilah khusus dalam transaksi jual beli di toko

online, istilah dalam media yang digunakan untuk transaksi jual beli online, dan

sapaan khusus. Pada rumusan masalah ketiga faktor sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa pada transaksi jual beli online meliputi tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. dilakukan pengumpulan data penunjang melalui teknik kuesioner. Ketiga rumusan masalah yang dianalisis menjadi suatu bentuk karakteristik penggunaan bahasa pada transaksi jual beli di toko online.

Referensi

Dokumen terkait

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

Tidak ditemukannya perbedaan prestasi siswa ditinjau dari gaya belajarnya ini, menurut Abd Wahab dalam Awang dkk., (2017) dikarenakan prestasi belajar siswa tidak hanya

Reputasi underwriter adalah skala kualitas underwriter dalam penawaran saham perusahaan. Untuk mengukur reputasi underwriter dengan menggunakan peringkat

Dari hasil implementasi, pengujian, dan analisis sistem QR Code pada device mobile Android untuk proses pengelolaan data inventaris barang di PTIIK, dapat

Mengidentifikasi kekurangan butir data yang tidak lengkap agar ketika digunakan untuk pelayanan pasien berikutnya, data yang belum lengkap tersebut sudah dilengkapi.Dengan

Lebih spesifik menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly (Dalam Wibowo 2013:363) mengatakan bahwa “Tujuan utama program penghargaan adalah untuk menarik orang yang cakap untuk

Produk degradasi dikosongkan dari lambung ke dalam usus halus, karena produk dari pepsin hanya sebagian dibelah, mereka ialah  polipeptida. Molekul-molekul ini terlalu

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat