• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual

BAB III : GAMBARAN UMUM

B. Materi Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual

Tampak Depan Tampak Belakang

B. Materi Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual

Materi yang terdapat dalam tema Kepemimpinan Moral Spiritual pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman terdiri dari empat judul di dalamnya. Yang akan terurai sebagai berikut;

1. Judul pertama ialah “PERJALAN ROMO YANG BIJAK”, pada judul ini

Alm. K.H. Abdurrahman Wahid menceritakan tentang pengalaman persahabatannya dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong selama lebih dari

51

dua puluh tahun. Yang masing-masing dari mereka mempunyai keyakinan dalam beragama yang berbeda. Namun, perbedaan berkayakinan itu tidak menjadi penghalang bagi Gu Dur, Romo Mangun, dan Ibu Gedong melakukan pengabdian kemanusian. Persamaan pandangan inilah yang membuat mereka bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi Gus Dur, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain.

2. “GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN”, ini merupakan judul kedua dari tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Pada judul ini Alm. K.H. Abdurrahman Wahid berkisah tentang kedekatannya dengan K.H. Hamim Jazuli alias Gus Miek, seseorang yang dianggap oleh kebanyakan orang mempunyai kekuatan supernatural, juga cara dakwah yang unik.

3. Judul ketiga dari tema Kepemimpinan moral spiritual ialah “IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ”. Beliau merupakan generasi kelima yang menjabat sebagai Rais Aam PBNU (pimpinan tertinggi NU), yang dinilai mempunyai karakter unik dalam sikap dan kepemimpinannya saat itu, sehingga mampu menemukan keberhasilan dalam visi dan misinya saat mengembangkan PBNU sampai akhir hayatnya.

4. Pada judul terakhir “TUAN GURU FAISAL, POTRET KEPRIBADIAN

NU” tema Kepemimpinan Moral Spiritual ini di tutup dengan kenangan serta kerinduan sekaligus kehormatan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid pada sosok kepemimpinan generasi kedua di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat itu dipimpin oleh Tuan Guru Faisal. Dalam konteks inilah Alm.

K.H. Abdurrahman Wahid merekam sosok kepribadian ulama semaca Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya pada NU yang tiada habis-habisnya. Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan NU tersebut.

C. Sistem Tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI)

1. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 83 Kompas, Kamis, 11 Februari 1999.

PERJALANAN ROMO YANG BIJAK

Pada malam itu, kami bertiga mengobrol di halaman Candi Dasa, Karangasem, Bali. Ibu Gedong, Romo Mangun dan saya sendiri menjadi peserta diskusi bebas itu, yang berlangsung hampir tiga jam lamanya. Kami bertiga, saat itu, membicarakan masalah yang sederhana saja, konsep tentang wali (saint). Dari perbincangan itu kami bertiga mendapati bahwa ada kesamaan diantara kami bertiga mengenai konsep wali, hanya istilahnya saja yang berbeda, yang satu menggunakan bahasa Sansakerta, satunya lagi bahasa Latin, dan yang lainnya bahasa Arab.

Baik agama Hindu, Katolik maupun Islam, memandang wali sebagai orang suci yang memiliki Beberapa sifat yang membedakannya dari orang lain, yakni pengetahuan metafisis melebihi orang biasa, ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan oleh mereka, ataupun pengerbonan mereka pada kepentingan kemanusiaan. Persamaan pandangan inilah yang membuat kami bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi saya, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain.

Dari pertemuan di Candi Dasa, lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu, timbul rasa saling menghormati satu dengan yang lain. Saya tidak pernah memikirkan perbedaan dari Romo Mangun dan Ibu Gedong, melainkan justru persamaan antara kami bertiga yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan. Mungkin Karena inilah sikap keterbukaan, dan saling pengertian, dan empati mejadi bagian dari hubungan kami bertiga. Bagaimanapun unsur yang mempersatukan kami bertiga jauh lebih banyak dari yang memisahkan.

53

Ketika saya berpindah dari Jombang ke Jakarta, segera saya melihat betapa dalamnya rasa cinta kasih Romo Mangun pada umat manusia. Hal iu tampak dalam sikapnya terhadap mereka yang nasibnya malang, pendidikannya kurang, dan mereka yang tingkat ekonominya rendah. Bagi mereka, Romo Mangun adalah hiburan yang menguatkan hati dikala susah, tetapi juga membawa harapan kemajuan dalam hidup. Mereka terdorong untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi karena simpati yang diperlihatkannya oleh Romo Mangun dan kehangatan cinta kasihnya yang diberikan kepada sesama umat manusia.

Sosok Romo Mangun adalah pribadi yang mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan manusia. Dalam diri Romo Mangun, keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam sekat-sekat ritual agama atau symbol-simbol semata. Lebih dari itu, cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia, karena dia telah menyentuh dan menyapa setiap manusia.

Hal itu, tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga dalam karya tulisnya. Kombinasi antara keterusterangan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh akan masa depan yang baik merupakan modal utamanya. Hal ini tidak hanya tampak pada karya-karya satranya melainkan juga dalam kupasan-kupasannya mengenai sejarah modern bangsa kita dalam kolom-kolomnya. Karya-karya tulis itu memperlihatkan keagungan jiwa manusia yang tahu benar apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga tentang kehidupan yang menderanya dan janji kehidupan yang lebih baik yang menunggunya di masa depan.

Prinsip-prinsip di atas tampak dalam novel-novel yang ditulisnya, terutama tentang masyarakat jawa masa lampau. Dunia Roro Mendut dan Pronocitro dalam kupasan Romo Mangun yang sangat tajam, ternyata adalah dunia kita juga dengan segala kemelut dan permasalahannya. Ketegeran jiwa Roro Mendut adalah juga ketegaran jiwa Romo Mangun yang memperjuangkan kemerdekaan umat manusia atau yang menentang militerisme.

Keyakinannya akan proses memberikan keyakinan padanya bahwa setiap zaman membawakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan oknum-oknum ABRI dikupasnya dalam berbagai kolom bersama-sama kepengecutan sebagian perwira maupun ketololan sejumlah politikus. Semua itu disajikan dengan bahasa yang halus, namun tajam. Sindiran-sindirannya membuat setiap orang yang berpikiran cerdas dan peka merasa malu. Dalam hal ini, seolah Romo Mangun menjadi wakil masyarakat yang terlupakan dan tertinggalkan.

Disamping ketajaman batin dan kepekaan nuraninya yang tinggi, sosok Romo Mangun juga menjadi simbol kesederhanaan. Sebagai seorang tokoh yang sudah bertaraf internasional, Romo Mangun tidak

pernah menampakkan sikap ketokohannya dalam performance dan penampilannya. Sikap glamour dan berlebihan hampir tidak tampak dari Romo Mangun. Sikapnya yang demikian seolah mengajarkan kita akan pentingnya makna kesederhanaan dan pentingnya pengekangan diri untuk tidak hanyut dalam setiap predikat yang disandang dan prestasi yang diraih, apalagi kedudukan.

Kini Romo Mangun telah tiada. Kita kehilangan salah seorang tokoh humanis, seorang kritikus sosial yang andal sekaligus seorang pejuang agama yang gigih. Dunia terasa kosong tanpa kehadirannya. Akan tetapi, kita yakin akan datangnya seorang yang memperjuangkan cita-citanya. Kita semakin kaya dengan pengabdian dan karya-karyanya semoga kita akan semakin bertambah kaya dengan pengganti-penggantinya.

Terima kasih Romo Mangun dan selamat jalan. Cita-cita dan perjuanganmu menjadi lentera dan cambuk bagi kita di sini.

a. Representasi (ide)

Pada judul ini Alm. KH. Abdurrahman Wahid mengkemas ide melalui tulisannya yang bercerita tentang kenangan semasa hidupnya bersama Romo Mangun. Diantara ide-ide itu yang pertama ialah tentang konsep wali (saint) sebagai tema diskusi saat itu, kata wali bisa kita dapati pada paragraf pertama alinea kelima dan keenam, juga di paragraf kedua alenia kesatu. Lalu ide yang kedua yang terkodekan dalam teks ini ialah tentang konsep pluralisme, yang menjadi alasan terkuat untuk Romo Mangun mewujudkan rasa cinta kasihnya kepada setiap umat manusia (pengabdian kemanusiaan), kupasan dari ide ini bisa disimak pada paragraf tiga, empat, dan lima.

b. Objek

Ialah sosok Romo Mangun sendiri, karena memang kisah ini lebih intens membahas tentang kehidupan Romo Mangun yang terekam oleh Alm. KH. Abdurrahman Wahid. Walaupun memang sesekali Gus Dur mengangkat kisah Ibu Gedong.

55

c. Interpretasi

Dengan diskusi atau pun dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Diskusi atau pun dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Pengejawantahan ini akan menjadi satu konsep yang nyata apabila sikap toleransi dan pluralisme menjadi suatu tindakan bukan angan-angan. Yang kita bisa sama-sama perhatikan bahwa memang tokoh-tokoh ini (Alm. Romo Mangun dan Alm. KH. Abdurrahman Wahid) telah mencontohkannya dalam dunia nyata pada perhatian dan kecintaanya yang tinggi kepada umat manusia, juga kesederhanaan penampilan dan peformence sebagai simbol dari ketidak hanyutan mereka pada setiap predikat dan prestasi yang diraih, apalagi kedudukan.

2. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 88 Kompas, Minggu, 13 Juni 1993, halaman: 1

GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN

Tiga tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek disebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju arah selatan dan hanya dapat kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke

barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, “Di situ nanti Kiai Achmad akan dimakamkan. Demikan juga saya. Dan nantinya

sampeyan.” Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal Al-Qur‟an. Saya katakana kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al-Qur‟an. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika K.H. Achmad Shiddiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiai Achmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah K.H. Achmad Siddiq.

Hal-hal seperti inilah yang sering kali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa K.H. Hamim Jazuli alias Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan supernatural. Sesuai dengan “tradisi” penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint).

Kemampuan supernatural Kiai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan eskatologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul’adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimiliki, Gus Miek lalu memperoleh status orang kramat. Banyak “kesaktian” ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema‟an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur‟an oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi, orang bersabar mendengarkan bacaan Al-Qur‟an, untuk mengamini doa yang

dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan AlQur‟an secara utuh,

biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau’izah hasanah(petuah yang baik) dari tokoh karismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren,

tertuang dalam rutinitas sema‟an dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan

modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotek, night club, coffe shop dan “arena persinggahan perkampungan” orang-orang tuna susila.

57

Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, Karena di kedua tempat itu ia berperan sama, memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang sedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema‟an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elite lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.

*

Dua tahun yang lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, agar saya teruskan perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan

tidak “merugikan” kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya

pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua tahun yang lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih tetap efektif.

Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli dari pada saya. Bahwa dengan “menggendong” beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar ranting.

Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan kehidupan gebyar. Untuk beberapa bulan, hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya.

Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik Negara. Tugas pemimpin agama adalah menjaga keutuhan bangsa dan Negara dan berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.

Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas Koran di rumah Pak Syafi‟I Ampel di kota Surabaya, atau pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.

Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediir. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.

Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat “kesalahan” keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, Karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai sema‟an.

Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek supernatural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena dia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyeleneh (khariqul’adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyeleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk dimata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh.

a. Representasi (ide)

Pada judul ini “GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN”, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid banyak mentransferkan idenya melalui

tanda “teks” tentang kemampuan supernatural Gus Miek atau KH.

Hamim jazuli juga predikat orang keramat yang disandang olehnya, yang membuatnya menjadi tokoh karismatik. ide ini kita bisa cermati

59

pada paragraph ketiga alinea tiga, lalu paragraph keempat alinea pertama dan keempat, paragraph kelima alinea pertama, dan pengukuhan tersebut masih terasa kental pada paragraph keenam belas yang menjadi paragraph terakhir dari judul ini.

b. Objek

Objek dalam tulisan ini sudah tentu Alm. K.H. Hamim Jazuli “Gus

Miek”. Sebagai seorang tokoh agama yang karismatik dari daerah

Tambak, desa Ploso, Kediri.

c. Interpretasi (makna)

Setiap orang yang mengenal Gus Miek memang cenderung mempercayai bahwa K.H. Hamim Jazuli atau Gus Miek memiliki kemampuan supernatural. Reputasi yang seperti inilah, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan Gus Miek “Sema‟an” (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Qur‟an oleh para penghafalnya). Selain acara-acara keagamaan yang sering ia jalani, Gus Miek pun menempuh da‟wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam. keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Kedua pendekatan dakwah seperti inilah yang membuat Gus Miek diberikan predikat supernatural, karena memang tidak banyak tokoh agama yang mampu dan berani dengan metode seperti Gus Miek. super karena dia mampu mengatasi jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama

manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanya kebaikan bagi manusia.

Namun Gus Miek pun hanya manusia biasa bukan malaikat yang mempunyai kekurangan dibalik kelebihannya. Kedekatannya dengan orang-orang besar dan pemimpin nasional membuatnya terlalu memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang besar tersebut. Ini membuktikan bahwa lagi-lagi Gus Miek pun hanya manusia biasa yang bisa khilaf dan lupa juga mempunyai nafsu pada hal-hal keduniawian. Sekaligus menjadi perunungan untuk kita mampu berpikir secara objektif bahwa dibalik kelebihan selalu akan ada kekurangan, sehingga tidak mudah terjebak pada pengkultusan.

3. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 95 Kompas, Sabtu, 26 Januari 1991, halaman: 4

IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ

Sudah sejak beberapa bulan sejumlah ulama berfirasat tajam mengingatkan penulis; bahwa NU akan kehilangan lagi seseorang ulama besar. Bahkan Kiai Dahnan Trenggalek agak eksplisit: NU jangan bergantung hanya kepada satu orang, siapa pun orangnya. Bahkan Kiai seampuh Kiai Achmad Shiddiq pun hanya seorang manusia belaka, yang dapat dipanggil Tuhan sewaktu-waktu.Kiai Hamim Jazuli Ploso (Kediri), alias Gus Miek, memberi isyarat tanggal 16 Desember 1998, agar NU mempersiapkan calon Rais Aam baru.

Karenanya, sewaktu mendengar Kiai Achmad (begitu penulis senantiasa menyebutnya, tanpa menyebut nama ayahnya Kiai Shiddiq) masuk rumah sakit, penulis sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima berita yang terburuk sekalipun. Namun dikala kabar itu datang, ia tetap saja merupakan pukulan palu godam yang meremukkan hati dan menggoncangkan jiwa. Hanya dengan disiplin baja, penulis mampu tetap menahan diri untuk tetap bersikap tenang dan berlaku normal seperti biasa. Padahal keinginan hati langsung berangkat ke Surabaya, lalu langsung ke

Dokumen terkait