• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotik peircean buku Gusdur menjawab perubahan zaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Semiotik peircean buku Gusdur menjawab perubahan zaman"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SEMIOTIK PEIRCEAN

BUKU GUSDUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam ( S.Sos.I )

Oleh :

Mukhtar Fauzi 106051001852

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

SEMIOTIK PEIRCEAN

BUKU GUSDUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam ( S.Sos.I )

Oleh

MUKHTAR FAUZI

NIM: 106051001852

Pembimbing

Rulli Nasrullah, M.Si

NIP: 19750318 200801 1 008

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan di bawah:

1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu pernyataan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3) Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil dari jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullh Jakarta.

Jakarta, 22 Maret 2011

Mukhtar Fauzi

(5)

i

SEMIOTIK PEIRCIAN BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN

Tradisi Komunikasi memperjelas wilayah pemaknaan (interpretations) sebagai bagian penting dari siklus pertukaran pesan. Semiotika adalah kajian yang mengukuhkan pemaknaan suatu tanda, simbol, dan ilustrasi pesan menjadi nyata dan terbaca. Tokoh utama dalam pengujian teori semiotika pada pembahasan ini adalah Charles Sanders Pierce, filsuf dengan orisinalitas tertinggi dari mazhab

American Communicology, dia juga dipandang sebagai tokoh argumentatif.

Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) adalah teori utama (grand theory) dalam kajian semiotika yang dikembangkan oleh Pierce. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika melakukan pembongkaran bahasa secara total dan menyeluruh, sehingga ditemukan suatu formula penggabungan dari struktur dan makna yang terkandung didalamnya.

Penjelasan ini memberikan ruang lingkup yang telah penulis batasi melalui perumusan pembahasan, analisa terhadap buku “Gus Dur Menjawab Perubahan

Zaman” menghasilkan dua rumusan masalah penting. Pertama, bagaimana

struktur sistem tanda pada bagian ketiga dalam buku tersebut mengemas tema kepemimpinan moral spiritual secara representasi yang melingkupi ide dan objek?

Kedua, apa makna yang terbangun dari representasi dan interpretasi (X=Y) yang terkandung pada bagian ketiga dari buku tersebut?

Charles Sanders Pierce mendefinisikan tanda sebagai kajian yang terdiri atas representations dan interpretations. Secara sederhana, semiotika mengungkap objek tanda dan menganalisanya sehingga menjadi ide (representasi), objek, dan (interpretasi). Pemaknaan objek tersebut yang menjadi konsentrasi pembahasan semiotika, bagaimana menafsirkan sesuatu dengan melihat dari simbol sebagai representasi dan berubah menjadi makna atau interpretasi. Sehingga tanda yang tersembunyi memiliki makna setelah di analisa.

Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa kesimpulan mendasar pada tema kepemimpinan moral spiritual. Pertama, tolerance atau sifat menerima perbedaan keyakinan dan pandangan, poin ini memberikan gambaran bagaimana Gus Dur melihat Indonesia sebagai wilayah heterogeneous (aneka ragam). Kedua,

moderate atau dapat menjaga keseimbangan antara ego pribadi dan kepentingan bersama. Jiwa kepemimpinan dituntut untuk mampu mengayomi dan memenuhi kepentingan publik. Ketiga, equitable atau kemampuan untuk dapat berlaku adil dan seimbang, memahami semua persoalan yang ada dengan kebijaksaan.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمرلا ها مسب

Maha suci Allah SWT yang menganugerahi setiap manusia, jalan yang berbeda. Maha indah karunia-NYA yang telah membekali masing-masing insan dengan potensi yang beraneka ragam. Pujian terlimpah meruah bagi keadilan-NYA yang mengesankan, yang senantiasa menuntun kita menemukan jalan terbaik.

Untaian shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW atas jasanya membina para ulama menyentuhkan wahyu ilahi kealam pikiran saya dan kita hingga teduh dalam iman.

Skripsi ini disusun sebagai proses akhir studi akademik penulis dan sekaligus salah satu syarat yang telah ditetapkan dalam menempuh program studi Strata Satu (S1), Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIK)– Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kebahagian yang sungguh tak teruntai melalui kata dalam penulisan skripsi ini hingga terselesaikan. Dengan kesadaran akan keterbatasan diri pada proses penyelesaian skripsi ini, yang tidak terlepas dari bantuan, dan kasih sayang banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(7)

iii

2. Drs. Jumroni, M.Si., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Dra. Umi Musyarofah, MA., sebagai Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan Dra. Asriati Jamil, M.Hum, , selaku Dosen Pembimbing Akademik Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Angkatan 2006 Kelas C.

3. Rulli Nasrullah, M.Si, selaku Pembimbing Skripsi, atas segala kesabaran dan kebijaksanaan, serta keluasan waktu dan wawasan keilmuannya telah memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Ketua beserta Staff Perpustakaan Umum dan Perpusatakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan perhatian dan pelayanan dalam menyediakan referensi-referensi selama proses perkuliahan dan dalam pembuatan skripsi ini.

5. Alm. K.H. Abdurrahman Wahid, selaku penulis atikel yang dibukukan dalam bukunya Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, yang telah dijadikan objek penelitian penulis. Semoga ketenangan di alam kubur menjadi hak nya.

(8)

iv

kasih yang tak terukur untuk beliau berdua. Semoga selalu sehat dan tidak lelah untuk menasehati dan mendoakan anak-anaknya.

7. Kakak-kakakku dan adikku, Nurul Huda, Wiwin Husniah Devi, Luthfiah Trini Hastuti, dan Luk Luk ul Hamidah. Yang telah memberikan pelajaran bagi penulis tentang perjuangan dan makna hidup. Juga keponak-keponakanku, Syahrul Ramadhan, Risya, Quaneisa Aisy Nasyiwa Mustofa, dan Nadia, yang penulis doakan menjadi anak-anak yang soleh dan solehah, yang penulis doakan menjadi individu-individu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat pada waktunya. 8. Ranita Erlanti Harahap, sosok wanita pemberi arti keseimbangan waktu,

pemberi arti kompetisi, pemberi arti pengendalian diri, pemberi arti kesabaran, pemberi arti untuk cita-cita masa depan, dan darimu aku belajar dari kenyataan. Karena lagi-lagi dari mulai liang rahim sampai liang kubur kita sama-sama diberi tugas untuk belajar, dan semoga apa yang kita cita-citakan menjadi kenyataan masa depan.

9. Rekan-rekan kerja di Harian Rakyat Merdeka, Div. Iklan dan Promosi, terima kasih untuk semangat, perhatian, pembelajaran, dan pengertiannya. 10.Semua sahabat-sahabatku, pengisi zaman dan harapan insan. Yang aku tak

bisa menyebutkan dalam lembaran-lembaran terbatas ini. Namun, sungguh tak mengurangi rasa sayang penulis dan terima kasih penulis ucapkan atas setiap pembelajaran dari keberagaman karakter kalian. Semoga kesuksesan, kebahagiaan, dan kebaikan selalu menyertai kita semua. Amin

(9)

v

semua pihak dapat dijadikan tabungan amal saleh pada kehidupan yang kekal nanti, dan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat baik untuk pribadi penulis maupun bagi mereka yang membutuhkannya. Karena hidup yang bermakna ialah hidup yang memberikan makna bagi orang lain.

Jakarta, Maret 2011

(10)

vi

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

3. Analisa Semiotika Model Charles Sanders Peirce ... 23

B. Media Massa ... 26 A. Sampul Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ... 50

(11)

vii

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dakwah bukanlah sekedar menyampaikan apa yang telah kita hafalkan dan kita pelajari di depan umum, tetapi juga menciptakan perubahan terhadap objek dakwah menuju kebaikan dan menimbulkan rasa aman, dan ketentraman kepada seluruh manusia, bukan malah menimbulkan rasa takut dan ngeri

dengan materi dakwah. Itulah tujuan dakwah sebenarnya menimbulkan rasa aman dan ketentraman. Sebagaimana yang yang diutarakan Nurcholis Madjid;

“pada dasarnya dakwah merupakan ajaran agama yang ditujukan sebagai rahmat untuk semua, yang membawa nilai-nilai positif seperti al-Amn (rasa aman, tentram, sejuk). Dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik, dan yang lebih baik. Ini pula yang menjadi dasar atas kewajiban berdakwah, terutama dalam menciptakan rasa aman dan

ketenangan.”1

Penggunaan media sebagai penopang dalam kegiatan dakwah seperti teknologi informasi dan komunikasi yang hingga kini terus mengalami perkembangan, seharusnya mampu dimanfaatkan oleh para pelaku dakwah agar kemasan pesan dakwah tidak terasa menjenuhkan (monoton). Untuk saat ini, penggunaan media cetak seperti majalah, surat kabar, buku, dan lain sebagainya telah banyak digunakan oleh para da‟i sebagai media dakwah.

Berangkat dari pernyataan Jalaluddin Rahmat, ungkapan di atas menginspirasi kita bahwa memang benar dengan tulisanlah sejarah juga

1 Nurcholis Madjid,

(13)

mempunyai kekuatannya. Begitu pula dakwah media tulisan mempunyai kekuatan tersendiri. Menarik untuk dikutip pendapat Jalaludduin Rahmat tentang kekuatan dakwah model ini;

“Dakwah yang tetap abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Barang kali karena itulah al-Qur‟an menjadi mushaf, yang tersimpan diantara dua jilid (bayna daffatain). Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan. Meskipun orang menilik dengan dunia maya dengan perkembangan teknologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikiran, tetap tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia (buku, pen.) bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dan dimana saja, dibaca dimana

saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.”2

Dengan kata lain, buku merupakan media yang potensial sebagai penunjang dakwah dengan keunggulan yang belum dimiliki media lain. Jamaluddin Al-Afghani sebagai salah seorang tokoh yag memainkan peran signifikan dalam pergumulan sejarah Islam pada abad ke-19 pun selalu mendorong murid-muridnya untuk menulis dan menerbitkan surat kabar guna membentuk pendapat umum.3

Pada masa ini beragam pilihan dalam cara berdakwah, namun dakwah

bi al-Qalam lah dengan eksistensinya sehingga banyak dipilih para praktisi, selain penjelasannya lebih mendalam (komprehensif), seorang da‟i bisa

menyebarkan pikiran, gagasan, dan ajarannya melalui lembaran-lembaran yang mudah diperoleh oleh semua orang. Dan mungkin dengan alasan ini pakar kajian semiotika Jacques Derrida memiliki anggapan bahwa tulisan memiliki arti penting. Mengenai hal tersebut, Alex Sobur mengutip asumsi Derrida.

2 Jalaluddin Rahmat,

The Road to Allah. (Bandung: Mizan, 2007), h. 16

3 Prof. Dr. Faisal Ismail,

Islam Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah

(14)

3

“Baginya, tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic”atau

sekedar inskripsi yang bersifat idiografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-rumput itu.4

Di antara para da‟i yang kerap berdakwah melalui media tulis, nama

Gus Dur sangat melekat tentunya dalam ingatan kita. Karena pemikiran-pemikiran semasa hidupnya tentang soal moral, agama, seni, dan negara sering ia tuangkan kedalam bentuk tulisan yang diterbitkan di media massa seperti surat kabar.

Artikel-artikel beliau yang terekam di berbagai surat kabar harian Nasional, semisal harian Kompas. Di antaranya, meliputi artikel-artikel yang berjudul “semata-mata dari sudut hukum agama”, (Kompas, 23/1/1991). Lalu “Individu, Negara, dan Ideologi”, (Kompas, 4/2/1994). diteruskan dengan artikel yang berjudul “Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut”, (Kompas, 5/1/1999). dan masih banyak lagi.5

Sehingga pada Oktober 1999. Beberapa artikel yang merupakan pendapat dan komentarnya yang ter-arsipkan oleh harian Kompas dituangkan ke dalam sebuah buku dengan judul “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”. Yang saat itu Gus dur menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.

4

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analsis Wacana, Semiotik,

dan Framing (Bandung: Rosda, 2006), h. 51-52

5 Abdurrahman Wahid,

(15)

Buku ini menjadi bukti bagi perhatian dan minat Gus Dur tentang Agama, ilmu, politik, dan kemasyarakatan. Selain itu juga komitmennya terhadap kemanusiaan, martabat serta hak-hak asasi. Keragaman isi dan pandangannya memperkuat posisinya sebagai cendekiawan, yakni cendekiawan yang terlibat aktif dalam perumusan Islam Indonesia. Karena memang hanya Gus Dur satu-satunya sosok ulama, budayawan, cendekiawan yang menduduki jabatan kekuasaan eksekutif tertinggi di negeri ini.

Buku setebal 181 halaman ini menyajikan bentuk orisinil (authentically) dari olah pikiran sekaligus olah hati Gus Dur. Beliau melihat persoalan dengan jarak yang sangat dekat dan karena itu bersikap kritis. Kedekatan dan pergaulan beliau dengan kekuasaan tidak mengekang pemikirannya dan tidak membungkam opininya, ia merdeka atas dirinya sendiri dan hal tersebut suatu hal yang terkadang sulit dilakukan oleh manusia pada umumnya terhadap lingkup sosial. Dengan bahasa, gaya dan caranya sendiri, ia akan mengatakan apa yang harus ia katakan, enak atau tidak enak. Sepintas ia mengingatkan kita kepada tokoh revolusioner sekaligus aktivis Islam pada abad ke-19, yakni Jamaluddin Al-Afghani yang mengabadikan hidup dan perjuangannya bagi kepentingan dan kebangkitan umat Islam terhadap imperialisme Barat. Al-Afghani adalah pencetus ide dan gerakan kesatuan politik dunia Islam yang dikenal dengan Pan-Islamismenya.

(16)

5

bagian kedua terhimpun pemikirannya tentang sikap soal kepemimpinan politik dan kepemimpinan dalam bidang moral-spiritual. Pada bagian akhir kita bisa mencermati tentang ajakannya untuk membangun tradisi politik yang demokratis sesuai dengan iklim Indonesia.

Mayoritas tulisan dalam buku ini menyangkut tentang sekitar politik Indonesia kontemporer, khususnya mengenai perkembangan politik menjelang dan sesudah jatuhnya Orde Baru (pemerintahan rezim Soeharto). Tema-tema seperti kepemimpinan politik, hubungan antara agama dan politik, hubungan antara individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikirannya. Kepedulian Gus Dur semasa hidupnya terhadap persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi adalah kerinduan kita semua yang menginginkan kehidupan yang lebih baik di negeri sendiri.

Sehingga pembacaan serta memahami kembali tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini bisa menjadi acuan yang baik untuk mengkaji dan menafsirkan perkembangan pemikiran Gus Dur yang terakhir, dan karena tema-tema yang ada dalam buku ini sebagaimana telah tersebut sebelumnya, masih sangat relevan pada kondisi Indonesia saat ini. Mengulang plato dalam percakapan antara Raja Mesir Thamus dan Dewa Thoth yang dikutip Derrida.

“…Terima kasih kepadamu dan untuk temuanmu, murid-muridmu akan leluasa membaca tanpa keuntungan memperoleh pengajaran seorang

guru.”6

6 Alex Sobur,

(17)

Perjalanan sejarah kita juga semakin memperjelas adanya dua peristiwa yang secara khusus telah mengubah perjalanan sejarah umat manusia. Yang pertama adalah ditemukannya penulisan dan tersebarnya kemelekhurufan. Membaca dan menulis mengaktifkan proses-proses berpikir linier di dalam otak, karena gagasan tersusun, dan bisa di analisis secara logis dalam hubungannya satu sama lain.7 Maka melakukan pembacaan naskah tercetak dari sudut lain atau dari sisi analisis memungkinkan kita memahami makna-makna yang tersirat.

Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis ingin mencoba mengangkat wacana pemikiran Gus Dur dalam bingkai semiotika Charles Sanders Pierce untuk mengungkap makna dari tanda yang termediasi melalui tulisan serta pesan dakwah apa yang terkandung dalam buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, buku yang berisi kumpulan artikel karya Gus Dur, dengan alasan tersebut penulis mengambil judul “Semiotik Peircean

Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar penulis terfokus pada permasalahan yang telah diteliti, maka objek kajian yang diteliti difokuskan pada bagian ketiga dari buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema “Kepemimpinan Moral Spiritual” pada dimensi teksnya untuk di analisis ke dalam bentuk

Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI).

7 Marcel Danesi,

(18)

7

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada apa yang telah dibatasi di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah:

a. Bagaimana struktur system tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI) pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual? b. Apa makna yang terkandung dalam buku Gus Dur Menjawab

Perubahan Zaman tema Kepemimpinan Moral Spiritual?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan menggunakan perangkat semiotika Charles Sanders Peirce terhadap kajian pada bagian ketiga buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual adalah untuk menganalisa bagaimana struktur system tanda yang termediasi dalam teks tersebut menjadi bentuk representasi „ide‟ (R), objek (O), dan interpretasi „makna‟

(19)

Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman pada bagian ketiga dengan tema

Kepemimpinan Moral Spiritual.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademis, sebagai karya ilmiah maka hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi baik bagi pengembangan khazanah pengetahuan dan keilmuan khususnya di bidang komunikasi dan dakwah, dalam kajian analisis semiotik teks media.

b. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu bagi peminat kajian bidang ini, terutama bagi mereka yang ingin mencoba memahami isi buku dari sisi lain (analisis).

D. Metodologi penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam hal penelitian ilmiah, metode adalah salah satu cara atau jalan yang menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang berkaitan dengan focus penelitian.8 Maka dalam hal ini peneliti menggunakan metode analisis semiotika analitik, yakni semiotic yang menganilisis sistem tanda. Untuk ketajaman analisa, maka pendekatan semiotik akan sangat membantu. Pendekatan semiotik yang penulis gunakan adalah pendekatan semiotik teori Charles Sanders Peirce untuk melihat bentuk sistem tanda representase, objek, dan interpretasi). Peirce menyatakan bahwa semiotic

8 Consuelo G. Selvilla,

(20)

9

berobjekkan tanda dan menganalisanya menjadi ide (Representasi), objek, dan makna (Interpretasi). Ide dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.9 Charles Sanders Peirce membagi tahapan dalam penganalisaan tanda ke dalam tiga tahapan, ia mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (secara harfiah berarti „sesuatu

yang melakukan representasi‟) yang merujuk ke objek (yang menjadi

perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai

interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu).

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian Analisis Semiotika Peircean Pada Tema Kepemimpinan Moral Spiritual Bagian Ketiga Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif yang berupa penjelasan mendalam yang bersumber tertulis atau lisan dari orang atau objek yang kita amati. Pendekatan kualitatif dalam komunikasi menekankan pada bagaimana sebuah pendekatan dapat mengungkapkan makna-makna dari konten komunikasi yang ada sehingga hasil-hasil penelitian yang diperoleh berhubungan pemaknaan dari sebuah proses terjadi.

Menurut Kristiyantono, penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi

9 Alex Sobur,

(21)

atau sampling bahkan keduanya sangat terbatas.10 Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan (observasi), atau dapat juga melalui dokumen baik berupa naskah, buku dan lain sebagainya.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, diantaranya adalah;

a. Observasi Teks

Secara semiotik, pesan adalah sebuah penanda; dan maknanya adalah tanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu orang atau alat ke pasangannya. Di dalamnya bia terdapat kumpulan naskah atau pelbagai jenis informasi lain (seperti kepada siapa itu ditujukan, apa bentuk isinya, dan sebagainya). Pesan bisa dikirim secara langsung dari pengirim ke penerima melalui penghubung fisik, atau bisa juga dikirimkan, secara sebagian atau seluruhnya, melalui media elektronik, mekanik, atau digital. Makna dalam pesan yang ingin dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka makna-makna lainnya.12

10 Kriyantono, Rachmat,

Panduan Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 58

11

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, pen. Muhammad

Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4

12 Marcel Danesi,

(22)

11

Sebuah teks tetaplah merupakan sebuah tanda. Itulah sebabnya, sebagai contoh, kita membaca dan mengingat novel dalam bentuk tunggal (X), bukan sebagai kumpulan kata-kata yang terdapat di dalamnya, yang memiliki makna atau satu kelompok makna tertentu (Y), yang kita turunkan darinya berdasarkan pada pelbagai pengalaman pribadi, sosial, atau jenis lain (X=Y).13

Alex Sobur dalam Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Framing mengatakan bahwa analisis semiotika sebagai sesuatu model ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai system hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”.

Semiotika dengan demikian adalah sebuah ranah keilmuan jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah ”benteng kebenaran”, yang di luar benteng

itu semuanya adalah ”musuh kebenaran”. Semiotika pada

kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan kita tahu bahwa logika ”interpretasi” bukanlah logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori ”benar” dan ”salah”. Logika semiotik

adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari pada yang lainnya.14 maka dasar dari analisis

13

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),

h. 27

14 Yasraf Amir Pialang, Membaca Tanda, Memahami Komunikasi, Kata Pengantar dalam

(23)

semiotika adalah interpretasi, karena analisis semiotika merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Yang menjadi menjadi masalah bukan benar atau tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam melakukan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan objek penelitian semiotik tersebut.

Maka dalam hal ini peneliti mengamati dan mengkaji data-data yang terdapat dalam buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman,

kemudian peneliti akan mulai menafsirkannya sesuai dengan kerangka analisis semiotik model Charles Sanders Pierce.

b. Dokumentasi

Pendokumentasian akan dilakukan peneliti dengan cara mencari dokumen-dokumen baik cetak maupun elektronik sekaligus mengumpulkan data-data dan sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Terutama karya-karya Gus Dur.

4. Subjek dan Objek Penelitian

(24)

13

E. Tinjaun Pustaka

Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan penulis menemui beberapa mahasiswa/i yang sebelumnya telah menulis masalah yang di latar belakangi dengan menggunakan analisis pendekatan semiotika, adapun pembahasan tersebut ialah analisis karya foto, dan iklan komersial.

Namun dalam segi isi atau konten permasalahan yang ditulis mahasiswa sebelumnya dalam tulisannya berbeda dengan isi atau konten permasalahan yang penulis teliti. Oleh karena itu, untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti “menduplikat” hasil karya orang lain, maka

penulis mempertegas perbedaan antara masing-masing judul masalah yang dibahas yaitu sebagai berikut;

1. Dijelaskan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap

Realitas Dalam Karya Foto Rd Zoelverdi” yang disusun oleh Sri

Rahmawati, Konsentrasi Jurnalistik-Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008. Berisikan tentang makna yang terkandung dalam karya foto terbaik Ed Zoelverdi yang menuliskan realitas kehidupan, suatu budaya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Charles Sanders Pierce.

(25)

tentang kumpulan opni Alm. Gus Dur yang di bukukan dengan judul “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”. Penelitian ini lebih difokuskan pada

dimensi struktur teks yang terbangun.

2. Dalam skripsi yang berjudul “Makna Foto Berita Perjalan Ibadah Haji,

Analisis Semiotika Karya Zarqoni Maksun Pada Gakeri Foto

Antara.co.id”, yang disusun oleh Fatimah, Konsentrasi Jurnalistik-Jurusan

Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008. Yang berisikan tentang makna foto Zarqoni Maksun pada Gakeri Footo Antara.co.id yang mengisahkan tentang perjalan haji, dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes, makna denotasi dan konotasi dari objek yang diteliti.

Perbedaan dari skripsi yang penulis adalah dari segi objek penelitian yaitu berupa foto dan teori yang digunakan dalam menganalisa dan mengkaji masalah. Perbedaan juga terjadi pada objek kajian yang penulis lakukan. Dalam penilitiannya penulis meneliti struktur teks bagian ketigs buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman dengan tema Kepemimpinan Moral Spritual, dan menggunakan kajian teori sturktur tanda model Charles Sanders Peirce.

3. Pada skripsi yang ketiga ini yang berjudul “Analisa Semiotika Kaedah

(26)

15

Perbedaan padan penilitian yang telah tersebut di atas dengan penelitian yang penulis teliti ialah pada objek kajiannya. Penulis meneliti struktur teks pada buku namun penlitian terdahulu yang penulis temukan meneliti visualisasi iklan di televise.

Dalam penulisan skripsi yang penulis buat ialah menganalisis makna yang terkadung pada struktur teks pada buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, bagian ketiga dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Dengan menggunakan metode penelitian model Charles Sanders Peirce dengan grand teorinya yaitu Representasi, Objek, dan Interpretasi (ROI).

F. Sistematika Penulisan

Berdasarkan pada kerangka penelitian di atas, maka sistematika penelitian dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN merupakan bab paling utama yang

bermaksud untuk menguraikan argumentasi tentang signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang masalah, pembatasn dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II TIJAUAN TEORITIS pembahasan dimulai dengan

(27)

model Peircian, dan penjabaran perkembangan media massa yang menjadi medium dari semiotika.

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU GUSDUR MENJAWAB

PERUBAHAN ZAMAN, pada bab ini diuraikan biografi

Alm. Gus Dur, latar belakang penulisan artikel sekaligus penyusunan buku, pembagian buku, serta kandungan buku.

BAB IV HASIL ANALISIS DATA menguraikan tentang inti

pembahasan bab ini yaitu menganalisa kerangka data melalui metode semiotic, dengan menggunakan grand teori yang dikembagkan oleh Pierce secara (Representasi, Objek, dan Interpretasi), pada bagian ketiga buku Gusdur Menjawab Perubahan Zaman, dengan tema Kepemimpinan Moral Spiritual

BAB V PENUTUP membahas kesimpulan dari penelitian dan saran

(28)

17

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Semiotika

1. Bahasa dan Linguistik

Menurut Ensiklopedia Indonesia kata ‟bahasa‟ berarti ”alat untuk

melukiskan sesuatu pemikiran, perasaan, atau pengalaman; alat ini terdiri dari kata-kata. Dalam perhubungan antara manusia dan manusia dipakai orang bahasa (kata-kata) itu sebagai simbol (lambang) yang objektif untuk

memaparkan sesuatu pemikiran atau perasaan yang subjektif”. Maka bila

dilihat dari sudut ilmu sosial, bahasa adalah dasar komunikasi antarmanusia. Tanpa bahasa, perhubungan antarmanusia seperti ini tidaklah mungkin1.

Bahasa adalah pranata sosial dan sistem nilai. Sebagai pranata sosial, bahasa merupakan ciptaan masyarakat secara bersama dan bukan oleh seorang individu, merupakan kontrak kolektif (harus diterima seluruhnya atau tidak sama sekali). Bahasa juga disebut sebagai sistem nilai, karena bahasa terdiri dari unsur-unsur yang dapat dibandingkan dan ditukarkan. Sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa berada di luar jangkauan kekuasaan individu. Jadi sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa merupakan sesuatu yang objektif2.

1

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004),

cet.ke-3, h. 274

2 St. Sunardi,

(29)

Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.

Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis.

2. Pengertian Semiotik

(30)

19

terdahulu menyebutnya semiologi; yang dsebutkan kemudian

menyebutnya ‟semiotika‟.3

Kata semiotika di samping kata semiologi sampai saat ini masih dipakai. Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.

Secara etimologis, Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti ”tanda” (Sudjiman dan Zoest, 1996:VVI) atau seme, yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1996:4)

semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan peotika (Kurniawan, 2001:49). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6). Sementara Van Zoest, mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara befungsinya, dan penerimaannya oleh

mereka yang mempergunakannya”.4

Sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi

mengandung pengertian yang persis sama. Istilah-istilah ini sebenarnya

3 Marcel Danesi,

Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 33

4 Alex Sobur,

(31)

lebih merujuk kepada pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun bila dilihat dari kenyataan dan popolaritasnya, istilah semiotika lebih populer dari pada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya.5

Keputusan untuk hanya menggunakan istilah semiotika (semiotics), adalah sesuai dengan resolusi yang diambil oleh komite internasional di Paris bulan januari 1969. Lalu kembali dikukuhkan pada tahun 1974 oleh

Association for Semiotics. Mulai dari sinilah semiotik menjadi bentuk tunggal dari semua peristilahan lama semiology dan semiotics.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna.6 Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan dan dibayangkan. Cabang ilmu ini semua berkembang dalam bidang bahasa kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.

Istilah semiotika yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatic Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk kepada

”doktrin formal tentang tanda-tanda.”7 yang menjadi dasar dari semiotika

adalah konsep tentang tanda; tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi

5 Alex Sobur,

Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-3, h. 12

6

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra , 2008), h.12

7 Alex Sobur,

(32)

21

yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan pikiran manusia dan seluruhnya terdiri dari tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak bisa menjalin hubungannya dengan realitas.8 Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.9

Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer dari pada semiologi.10

Meningkatnya popularitas semiotika pada akhir abad ke-20 sebagian besar berasal dari karya-karya fiksi yang ditulis oleh Umberto Eco. Keberhasilan novel-novel larisnya (The Name of the Rose, Foucault’s

Pendulum, The Island of the Day Before) merangsang rasa ingin tahu masyarakat terhadap semiotika dalam tahun-tahun terakhir. Upaya Thomas

8

Ibid 9

Ibid

10 Fahri Firdusi,

Semiotika: Tanda dan Makna, artikel diakses tanggal 4 Jaunari 2011 dari

(33)

A. Sebeok (1920-2001) yang merupakan profesor semiotika terkenal dari Indiana University juga cukup penting dalam menunjukkan relevansi semiotika kepada masyarakat luas. Akan tetapi, Roland Barthes-lah yang pertama kali memperkenalkan metode semiotika ke masyarakat umum pada tahun 1950-an sebagai alat untuk mendapatkan pemahaman yang tajam pada budaya termediasi kita.

Dalam artikel diaksea, Akhmad Muzakki, ”Kontribusi Manusia

Memahami Agama”, menyimpulkan bahwasanya, semiotika adalah ilmu

tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial, masyarakat, dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.11

Yasraf Amir Pilliang dalam pengantarnya yang berjudul ”Memahami Tanda Memahami Semiotika”, mengatakan:

”sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu tentang tanda, tentunya semiotika mempunyai prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Akan tetapi

pengertian ”ilmu” dan ”ilmu semiotika” tidak dapat disejajarkan

dengan ”ilmu alam” yang menurut ukuran-ukuran matematis yang

pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan ‟objektif” sebagai sebuah ”kebenaran tunggal”. Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan objektifitas macam

11 Ahmad Muzakki,

Kontribusi Semiotika Memahami Agama, artikel diakses tanggal 5 januari 2011 dari

(34)

23

itu. Melainkan dibangun oleh ”pengetahuan” yang lebih terbuka bagi aneka interpretasi. Semiotika dengan demikian adalah sebuah ranah keilmuan jauh lebih dinamis, lentur dan terbuka bagi berbagai bentuk pembacaan dan interpretasi, bukan sebuah ”benteng kebenaran”, yang di luar benteng itu semuanya adalah ”musuh kebenaran”. Semiotika pada kenyataannya adalah ilmu yang terbuka bagi berbagai interpretasi. Dan kita tahu bahwa logika ”interpretasi” bukanlah logika ”matematika”, yang hanya mengenal kategori ”benar” dan ”salah”. Logika semiotik adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya: interpretasi yang satu

lebih masuk akal dari pada yang lainnya.”12

Bila kita coba pahami maksud dari Yasraf Amir Pilliang di atas, maka dasar dari analisis semiotika adalah interpretasi, karena analisis semiotika merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Yang menjadi menjadi masalah bukan benar atau tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam melakukan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan objek penelitian semiotik tersebut.

3. Analisa Semiotika Model Charles Sanders Peirce

Aart van Zoest menuturkan Charles Sanders Pierce adalah salah seorang tokoh filsuf yang paling orisinil dan multidimensional, begitupun komentar Paul Cobley dan Liza Jansz (1999:20), Pierce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Pierce terkenal dengan teori tandanya. Di lingkup semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechta (2001:227),

12 Yasraf Amir Pialang,

(35)

seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.13

Teori dari Pierce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar sesuatu zat dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaiamana semuanya bertemu di dalam sebuah struktur.14

Charles Pierce juga mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri dari atas representament (secara harfiar berarti ‟sesuatu yang melakukan

representasi‟) yang merujuk kepada objek (yang menjadi perhatian

representamen), membangkitkan arti yang disebut interpreten (apa pun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu).15 Atau dengan kata lain semiotik berobjekkan tanda dan menganalisanya menjadi ide

(representasi), objek, dan makna (interpretasi).16 Hubungan antara ketiga dimensi ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis.

13 Alex Sobur,

Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cet.ke-3, h. 39

14 Alex Sobur,

Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet. Ke-4, h. 97

15 Marcel Danesi,

Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 36

16 Alex Sobur,

(36)

25

Di dalam teori semiotik, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik disebut sebagai representasi. Secara lebih tepat ini

didefinisikan sebagai penggunaan ‟tanda-tanda‟ (gambar, suara, kata, dan

sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik17. Ini kita bisa definisikan bahwa sesuatu yang bersifat fisik (X) yang mewakili sesuatu yang lain (Y), biak itu bersifat material atau konseptual, dalam cara tertentu (X = Y).

Sebuah teks tetaplah sebuah tanda. Itulah sebabnya, sebagai contoh, kita membaca sebuah novel dalam bentuk tunggal (X), bukan sebagai kumpulan kata-kata yang terdapat di dalamnya, yang memiliki makna atau sekelompok makna tertentu (Y), yang kita turunkan darinya berdasarkan pada pelbagai pengalaman pribadi, sosial, atau jenis lain (X = Y).18

Oleh karena itu tujuan penelitian semiotika adalah untuk menjelaskan makna hubungan (X = Y). X adalah sesuatu yang ada secara material. Itu bisa berupa kata, novel, acara televisi, atau artefak manusia lainnya. Sedangkan Y adalah makna artefak ini dalam semua dimensinya (pribadi, sosial, historis). Termasuk di dalamnya upaya penggambaran semua makna yang terdapat dalam Y adalah seluruh dan substansi dari

17 Marcel Danesi,

Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 3

18 Marcel Danesi,

(37)

metode-metode semiotika. Langkah ini pada umumnya disebut sebagai

‟interpretasi‟.19

B. Media Massa

1. Perkembangan Media Massa

Salah satu peradaban yang pertama kali melembagakan penulisan piktografik sebagai cara untuk merekam gagasan, mengikuti perjalanan transaksi bisnis, dan menyebarkan pengetahuan adalah peradaban Cina Kuno. Piktografi Cina bisa dilacak ke belakang sampai pada abad ke-15 SM. Secara lebih spesifik, ini disebut sebagai logografi, karena menggunakn simbol-simbol gambar untuk menampilkan kata-kata (tanpa melihat ejaannya).

Sistem piktografik kuno yang lain disebut sebagai tuilsan paku,

sistem dikembangkan oleh bangsa Sumeria-Babilonia sekitar 5000 tahun lalu. Bangsa Sumeria merekam representasi mereka pada lempeng-lempeng tanah liat, dan membuat penulisan menggunakan tulisan paku ini menjadi sangat mahal dan tidak praktis.

Sekitar tahun 2700-2500 SM, ditemukan penulisan piktografik lainnya di Mesir, yaitu penulisan hieroglif. Bangsa Mesir menggunakan papirus (sejenis kertas bentuk kuno yang terbuat dari sejenis alang-alang) untuk merekam tulisan-tulisan mereka. Selanjutnya pada sistem hieroglif ini berkembang unsur-unsur fonografik-fonograf adalah bentuk-bentuk

19 Marcel Danesi,

(38)

27

yang mewakili bagian-bagian kata seperti suku kata atau suara yang berdiri sendiri.

Sistem fonografik lengkap yang mewakili satu suara dinamakan alfabetik. Sistem alfabetik yang pertama muncul di daerah Timur Tengah dan disebarkan oleh bangsa Funisia (bangsa yang berada di daerah pantai timur Laut Tengah, yang sekarang adalah Libanon) ke Yunani. Sistem ini mengandung simbol-simbol konsonan saja. Ketika sampai di Yunani, simbol-simbol vokal ditambahkan dan menjadi sistem yunani sebagai sistem alfabetik utuh yang pertama. Seperti disebutan di atas, munculnya penulisan alfabetik mengakibatkan datangnya pergeseran paradigma sejati, karena memungkinkan masyarakat untuk menyimpan dan mengabadikan pengetahuan secara lebih stabil.20

2. Kertas dan Percetakan

Seperi sudah disebutkan di atas, bahan ringan yang pertama kali digunakan untuk merekam hasil tulisan adalah papirus yang dibuat dari sejenis alang-alang oleh bagsa mesir. Sejak awal abad ke-2 SM orang-orang eropa menulis pada lapisan tipis kulit hewan yang sudah disamak dan dinamakan perkamen atau vellum menggunakan pena yang terbuat dari bulu sayap burung. Perkamen tidak seringan papirus, tetapi lebih awet. Oleh sebab itu, hal ini memungkinakan disimpannya pengetahuan dalam waktu yang lebih lama. Banyak naskah dalam bentuk perkamen dan

20 Marcel Danesi,

(39)

buku dari abad pertengahan yang sekarang masih bisa ditemui. Akan tetapi perkamen sangat mahal, dan oleh karena itu keterbacaan hanya menjadi milik sedikit orang saja.

Kertas ditemukan oleh oleh orang-orang Cina pada abad ke-2 yang membuat dari serat-serat sutera. Kertas lebih ringan dari pada perkamen sehingga lebih mudah dibawa kemana-mana. Kertas juga relatif lebih murah. Akibatnya teknologi kertas menjadi peristiwa teknologi pertama yang memungkinkan diubahnya pencetakan menjadi medium massa.

Pada tahun 1450, seorang tukang cetak Jerman bernama Johan Gutenberg menyempurnakan teknologi mesin cetak, dan untuk pertama kalinya memperkenalkan peralatan mekanis yang bisa dipakai untuk mencetak dan membuat banyak salinan dokumen kertas. Munculnya mesin cetak, semakin banyak buku tersedia dan semakin banyak orang yang melek huruf. Kemelekhurufan (literasi) ini memunculkan kesempatan untuk berhadapan dengan gagasan-gagasan baru dan pemikiran bebas.

Munculnya pemikiran bebas ini mengakibatkan adanya revolusi dalam bidang agama, politik, sosial, dan ilmiah. Selain dari pada itu, karena buku-buku murah bisa bisa dikirim keseluruh penjuru dunia, maka para filsuf, seniman, pendidik, sejarawan, penyair, dan penulis cerita membaca dan saling menerjemahkan buku-buku sejawatnya. Secara singkat, penemuan mesin cetak merupakan peristiwa teknologi yang membuka bagi munculnya peradaban global.

Sebenarnya, para pelopor komputer bisnis meramalkan tentang

(40)

29

sampaisekarang terbukti salah, atau paling tidak prematur. Ironosnya bahwa kemudahan dalam membuat fotokopi, mencetak, dan mengirimkan dokumen yang dimungkinkan oeh teknologi digital membuat permintaan akan kertas menjadi semakin banyak, bukannya berkurang.21

3. Galaksi Gutenberg

Seperti yang sudah kia lihat di atas, buku yang dibuat pertama adalah keping-keping tanah liat. Buku-buku ini sulit dilihat dan disebarluaskan. Akan tetapi, dengan munculnya teknologi papirus yang muncul tidak lama kemudian, buku bisa dihasilkan dan disebarluaskan dengan lebihh mudah. Papirus adalah bahan alang-alang yang dibentuk menjadi lembaran panjang dan digulung pada sebuah batang.

Dalam abad ke-1 Masehi, metode pembuatan buku ini digantikan dengan codex, yaitu buku kecil yang diikat menggunakan cincin yang terdiri atas dua lembaran kayu atau lebih yang dilapisi malam yang bisa ditulis dengan benda berujung tajam. Tulisan di permukaannya bisa dihapus dan dihaluskan sehingga bisa dipakai berulang kali. Dalam Abad Pertengahan codex ini lebih banyak dipakai untuk mencatat naskah yang terkait dengan liturgi Kristen. Kemelekhurufan hanya menjadi tujaun untuk sedikit orang yang mendapat hak khusus saja. Hal ini berubah dengan munculnya teknologi kertas dan mesin cetak pada abad ke-15. Sejak buku bisa dibuat dengan cepat dan murah, semakin banyak orang yang menjadi terdidik dan melek huruf.

21 Marcel Danesi,

(41)

Mesin cetak juga membawa ke perubahan paradigma besar dalam evolusi budaya. Seperti yang kita lihat pada bagian pembukaan, McLuhan menamai tatanan dunia yang dibangkitkannya, yaitu Galaksi Gutenberg, yang dinamainya menurut tukang cetak Jerman, Johan Gutenberg (penemu mesin cetak modern). Melalui buku-buku dan artefak cetak lainnya (suratkabar, pamflet, dan sebagainya) setelah abad ke-15 kata-kata yang tertulis menjadi cara utama dalam menyimpan dan meneruskan pengetahuan dan gagasan. Mesin cetak, secara ipso facto menjadi inovasi teknologi yang membentuk tatanan dunia, atau metabudaya yang didasarkan atas kemelekhurufan, ketika gagasan mulai berkembang jauh dan meluas, melintasi batas-batas politik melalui media buku. Samapai sekarang ini, cara yang paling utama dalam menyemaikan gagasan baru adalah melalui barang cetakan.22

4. Buku

Karena buku adalah benda material, buku bisa disimpan di dalam ‟museum buku‟ yang dikenal dengan pepustakaan. Perpustakaan ini

berawal di Timur Tengah sekitar 3000-2000 SM –kira-kira pada waktu yang sama dengan mulai semakin besarnya peranan penulisan piktografik di zaman dahulu.

Salah satu perpustakaan kuno terbesar dibangun oleh orang yunani di Alexandria pada abad ke-3, sekitar abad ke-2 M perpustakaan umum

22 Marcel Danesi,

(42)

31

dan pribadi didirikan di banyak tempat di dunia zaman dahulu. Beberapa abad kemudian, naskah-naskah matematis dan ilmiah disalin dan diabadikan di dalam pelbagai perpustakaan oleh para sarjana Islam, dan mendorong bangkitnya kecendekiawanan dan akhirnya ke bangkitnya perguruan tinggi di akhir abad ke-11.

Bersama dengan bangkitnya kemelekhurufan, maka terkait dengannya muncullah kebutuhan untuk mengorganisasikan pengetahuan yang terdapat di dalam pelbagai buku. Hal ini mendorong ditemukannya

‟ensiklopedia‟, suatu istilah yang pada awalnya terkait dengan petunjuk

dalam seluruh cabang pengetahuan. Akan tetapi, pengekalan pengetahuan bukan satu-satunya fungsi yang dibawa oleh buku. Selama paling sedikit lima abad, buku ini juag dibuat sebagi suatu bentuk seni sastra dan sarana pengalihan perhatian massa. Karya-karya fiksi tak terhitung jumlahnya yang dikenal sebagai novel dan sampai kepada kita sejak zaman Abad Pertengahan sudah dibaca, dan akan terus dibaca, oleh jutaan manusia hanya untuk kenikmatan membacanya saja.

(43)

religius dan ilmiah, tetapi semakin banyak untuk tujuan pemahaman masyarakat dan pengalihan pikiran.

Ketika revolusi industri berlangsung, sejumlah besar buku bisa diterbitkan dengan ongkos yang relatif rendah, ketika teknologi percetakan dan kertas menjadi sangat efisien. Buku menjadi barang konsumsi massa. Ketika media lain menantang keberadaan buku yang terbuat dari kertas, buku memiliki ‟kekuatan bertahan‟ yang mengagumkan. Sampai sekarang

ini, buku masih menjadi sarana utama dalam penyebaran dan pengabdian pengetahuan, serta menjadi sumber ungkapan artisitik dan pengalihan pikiran secara massal.23

23 Marcel Danesi,

(44)

33

BAB III

GAMBARAN UMUM

BUKU GUS DUR MENJAWAB PERUBAHAN ZAMAN

A. Profil Gusdur

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang dimulai pada 20 Oktober 1999, dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September

(45)

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama

“Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”

adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang

berati “abang” atau “mas”. Gus Dur adalah putra pertama dari enam

bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

(46)

35

tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo.

(47)

Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Bapak Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

(48)

37

Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan „Gus‟.

Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak pada Tahun 1966-1970. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai „sosok berbau kiri‟ pada masa Orba. Sebelumnya pada Tahun 1964-1966, Gus dur mempelajari ilmu hukum di

Fakultas Syari‟ah (Kulliyah Al-syari‟ah) Universitas Al-Azhar Cairo.

Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai „cendekiawan‟ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.

(49)

ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.

Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai „anak kandung‟ NU.

Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

(50)

39

tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina.

DATA PRIBADI

Kewarganegaran: Indonesia

Tempat, Tanggal Lahir : Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940

Istri : Sinta Nuriyah

Anak :

1. Alissa Qotrunnada Munawaroh (P) 2. Zannuba Arifah Chafsoh (P)

3. Annita Hayatunnufus (P) 4. Inayah Wulandari (P)

ALAMAT

Rumah :

Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur Jakarta Selatan 12630 – Indonesia

1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Indonesia

1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia

JABATAN

Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia Rektor

PENGALAMAN JABATAN

1999-2001 Presiden Republik Indonesia

1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI

1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia

1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU

1980-1984 Katib Awwal PBNU

1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng

1972-1974

Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang

(51)

PENGALAMAN ORGANISASI

Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo - United Arab Republic

(Mesir) Wakil Ketua

AKTIVITAS INTERNASIONAL

2003-2009

Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan

Presiden

2003-2009

International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel

Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt

2003-2009

International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris

Presiden Kehormatan

2002-2099

International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New

York, Amerika Serikat

Anggota Dewan Penasehat Internasional

2002

Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat

Presiden

1994-2009

Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel

Pendiri dan Anggota

1994-1998

World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika

Serikat Presiden

1994

International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda Penasehat

1980-1983

The Aga Khan Award for Islamic Architecture Anggota Dewan Juri

PENGHARGAAN

2004

Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta,

Indonesia

(52)

41

Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia

2003

Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika

Serikat

2003

World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC),

Seoul, Korea Selatan

2003

Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail",

Kuala Lumpur, Malaysia

2002 Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.

2002

Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat

2000

Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World

peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat

2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International

1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia

1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina

1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir

1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia

DOKTOR KEHORMATAN

2003 Netanya University , Israel

2003 Konkuk University, Seoul, South Korea

2003 Sun Moon University, Seoul, South Korea

2002 Soka Gakkai University, Tokyo, Japan

2000 Thammasat University, Bangkok, Thailand

2001 Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand

2000 Pantheon Sorborne University, Paris, France

1999 Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand

Dan beliau wafat pada tanggal 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun, di Jakarta

B. Gambaran Umum Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman

(53)

individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikiran Gus Dur. Barangkali, buku ini adalah peneguhan kembali kepedulian Gus Dur terhadap persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi.

Pergelutan pemikiran Gus Dur yang sangat intens dalam dunia politik, membuatnya menjadi bagian dari perpolitikan itu sendiri. Dengan kata lain, Gus Dur bukan saja sebagai aktor politik, baik dalam kapasitas pemikir dan pemain, melainkan juga merupakan salah satu produk sistem politik yang berkembang selama ini. Dialektika hubungan antara aktor dan sistem politik tersebutlah yang pada gilirannya menghasilkan sosok dan buah pikiran serta perilaku khas yang oleh sebagian orang disebut "Gus Durian". Salah satu ciri gaya Gus Dur yang saya ketahui adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif.

(54)

43

dipakai oleh para elite Islam dan mencoba menggunakan pendekatan konstitusional. Kendati demikian, ia merasa tak terikat dengan "garansi-garansi" dan janji-janji lisan yang, konon, pernah dibuat oleh para pemimpiri politik tentang priailege politik bagi Islam dalam kehidupan bernegara, khususnya posisi presiden. Gus Dur justru memilih "kenyataan tertulis" dalam konstitusi yang "pada hakikatnya merupakan cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati". Dengan keputusan demikian, cara pandang politik lantas bergerak ke depan dan bukan ke belakang, sehingga jawaban yang kreatif bisa diberikan manakala muncul pertanyaan fundamental seperti apakah seorang nonmuslim dapat menjadi presiden di Indonesia yang mayoritas muslim itu. Gus Dur mengembalikan kepada apa yang tertuang secara tersirat kepada konstitusi karena ia merupakan landasan paling kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(55)

konflik-konflik horizontal yang berwarna SARA salah satu penyebabnya tak lain adalah formalisme dan politisasi agama yang cenderung menguat pada masa-masa terakhir pemerintahan Soeharto.

Gambar

GAMBARAN UMUM
GAMBARAN UMUM BUKU GUSDUR MENJAWAB
GAMBARAN UMUM

Referensi

Dokumen terkait

Para pengunjung peziarah makam Ali Mas’ud ini juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dari golongan tingkat atas sampai yang ke tingkat bawah tanpa mengurangi

• Peserta didik secara berkelompok dibimbing oleh guru untuk menggabungkan contoh gerakan-gerakan yang sudah diperagakan dipertemuan sebelumnya menjadi satu

(3) Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pengelola Barang dengan mengikutsertakan Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna

Desain penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman bagi peneliti dalam melaksanakan setiap langkah-langkah penelitian yang akan diambil agar proses penelitian

Saya takut jika pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak saya merasa semakin sakit atau nyeri.. Saya merasa tegang saat melihat tindakan pemasangan

Taylor kebudayaan didefinisikan sebagai kompleksitas yang meliputi kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan) dan segala bentuk kehidupan yang diperoleh dari

Terima kasih dihaturkan pula pada peserta Diskusi Kelompok Terfokus, ba ik dari kelompok gerakan perempuan maupun kelompok lintas budaya dan agama yang namanya