• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA Oleh:

Dalam dokumen M01257 (Halaman 54-63)

Landasan Demokrasi

4.2. Materi Semiloka Pendidikan Politik Bagi Masyarakat Desa

4.2.1. PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA Oleh:

Daru Purnomo 4

”Saya tidak menyangka ternyata di jawa masih ada desa yang sangat tersisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan, dalam pikiran saya kondisi itu hanya dijumpai di desa-desa luar pulau jawa” demikian salah satu komentar seorang mahasiswa yang berasal dari luar jawa dalam suatu diskusi ringan, dimana mahasiswa yang bersangkutan menceritakan hasil kunjungan di salah satu desa di Jawa Tengah

A.Pendahuluan

Berdasarkan hasil sementara sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 menunjukkan bahwa prosentase penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan pedesaan masih tetap tinggi dibandingkan dengan kawasan perkotaan. Namun disisi kebijakan pembangunan, masyarakat yang tinggal di kawasaan pedesaan di Indonesia berada pada pihak yang kurang beruntung baik dari sisi kebijaksanaan makro maupun mikro sehingga proses produksi dari kapitalisasi cenderung tidak berkembang secepat apa yang terjadi di daerah perkotaan, migrasi sumber daya manusianya cenderung ke daerah perkotaan. Secara umum ini menyebabkan respon terhadap proses pembangunan di pedesaan tidak optimal.

Berbagai permasalahan yang menghambat pembangunan desa pada dasarnya telah banyak studi yang mengindikasikan bahwa selain faktor internal dari desa itu sendiri yakni meliputi unsur desa dan potensinya (fisik dan non fisik), juga dipengaruhi oleh arah kebijakan pemerintah dalam menentukan keberpihakan pembangunan wilayah pedesaan. Unsur desa yang meliputi karakteristik desa sebagai suatu wilayah, penduduuk/masyarakat desa itu sendiri dan tata kehidupan yang ada di desa; adalah merupakan satu kesatuan hidup atau ”living unit”. Maju mundurnya desa sangat tergantung pada tiga unsur ini yang dalam kenyataan ditentukan oleh faktor usaha manusia /human efforts dan tata geografi/ geographical setting. Suatu daerah dapat bermakna bagi penduduknya apabila ada “human efforts” untuk memanfaatkan daerahnya. (mutu panggung tidak hanya ditentukan oleh kualitas panggungnya, tetapi ditentukan oleh pemain-pemainnya). Atas dasar unsur-unsur desa tersebut, maka wilayah pedesaan memiliki suatu potensi yang seharusnya dikenali dan digali serta dikembangkan oleh

4

Staff Pengajar Tetap Pada Progdi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

masyarakat desa itu sendiri. Pemahaman secara komprehensif akan potensi desa merupakan salah satu jaminan agar desa dapat dikembangkan secara serasi dengan kondisi desa. Potensi desa ini meliputi baik potensi fisis (tanah, air, iklim, ternak, dan manusia) dan potensi nonfisis (masyarakat desa, lembaga-lembaga sosial, dan aparat desa).

Faktor keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan desa, merupakan faktor yang strategis yang mempengaruhi arah pembangunan. Kemana arah kebijakan pembangunan dilakukan akan sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang dibangun dalam pemerintahan. Berdasarkan setting politik pada era reformasi (Undang-undang No. 32 tahun 2004), maka arah kebijakan pembangunan dibangun berdasarkan pilar demokrasi yang meliputi, unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Berkaitan dengan topik ini, maka bahasan akan difokuskan pada salah satu unsur dalam sistem politik kita, yakni bagaimana mengoptimalkan peran partai politik dalam pembangunan desa. Teba tulisan ini berkaitan dengan peran dan fungsi partai politik, realitas pelaksanaan peran dan fungsi partai politik, dan revitalisasi peningkatan peran partai politik dalam mendorong pembangunan desa.

Partai Politik: Pengertian dan Fungsi

Partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang demokratis. Hal ini dikarenakan partai politik menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang demokratis. Ada beberapa pengertian mengenai partai politik, antara lain seperti,

“A group whose members propose to act in concert in the competitive struggle for power” (Joseph schumpeter),

“Any political group identified by a given label that present at election, and is capable of placing through elections candidates for public office” (Giovanni Sartori),

“Permanent organizations which contest elections, usually because they seek to occupy the decisive decisions of authority within the state” (Hague, Harrop, Breslin).

Sementara Sigmund Neumann menyatakan bahwa partai politik sebagai organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing

untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Dengan demikian partai politik itu merupakan jembatan perantara yang besar yang menghubungakan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas (Neumann, dalam Budiarjo 1981). Pengertian dari Neumann menunjukan bahwa partai politik hanya terdapat dalam sebuah masyarakat atau negara yang menganut paham demokrasi. Hal ini bisa ditunjukan lewat persaingan yang dilakukan oleh partai politik, dimana persaingan itu dilakukan dalam pemilhan umum.

Dalam rangka membicarakan partai politik, maka kita tidak dapat melepaskan pembicaraan mengenai kelompok kepentingan (interset group). Hal ini antara lain disebabkan oleh karena partai politik tidak begitu mudah untuk dapat dibedakan dengan kelompok kepentingan yang terorganisir. Sebagaimana diketahui bahwa kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang terdiri dari sekolompok individu yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan yang sama; dan mereka kerja sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi tercapainya kepentingan, tujuan dan keinginan mereka. Akan tetapi umumnya kelompok kepentingan ini berafiliasi dengan partai politik tertentu untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka dan imbalannya kelompok kepentingan melakukan mobilisasi massa untuk mendukung partai politik tersebut.

Partai politik yang baik harus mampu menjalankan fungsi-fungsi yang melekat dalam dirinya. Sebagian ahli menyebutkan bahwa fungsi partai politik adalah Serving as Intermediaries, Nominating Candidates, Contesting elections and Channeling, Organizing the government, Providing Public Accountability, Managing Conflict (John Bibby, 1992). Namun pada umumnya partai politik itu mempunyai fungsi:1. Sosialisasi politik, 2. rekruitmen politik, 3. komunikasi politik, 4. artikulasi dan agregasi kepentingan, 5. partisipasi politik, 6. pengatur konflik, 7. mengkritik rejim yang berkuasa.

Partai politik Sebagai Sarana Artikulasi dan Agregasi Kepentingan

Proses untuk merumuskan dan kemudian menyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat kepada pihak penguasa dinamakan artikulasi kepentingan (interst articulation). Berbagai pendapat, aspirasi maupun kepentingan

yang ada dalam masyarakat yang disalurkan oleh partai politik kepada pihak penguasa (pemerintah) tersebut dapat berwujud tuntutan-tuntutan dan dapat pula berwujud dukungan-dukungan. Baik tuntutan dan dukungan ini lantas disalurkan kepada pemerintah. Apabila terdapat tuntutan-tuntutan dan dukungan-dukungan dari masyarakat yang ada kesamaan-kesamaan atau pun menyangkut masalah-masalah yang sama maka tuntutan dan dukungan itu dijadikan satu. Proses pengabungan tuntutan dan dukungan ini dinamakan agregasi kepentingan

(interest agregation).

Dalam sebuah sistem politik demokrasi, artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan yang dilaksanakan oleh partai politik pada hakekatnya merupakan input atau masukan bagi sistem politik itu sendiri. Input atau masukan tersebut kemudian disalurkan atau disampaikan kepada badan-badan yang mempunyai wewenang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga negara.

Badan-badan yang mempunyai wewenang itu pada umumnya diwakili oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Badan-badan tersebut mengolah setiap input yang masuk untuk dijadikan output, yaitu kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat segenap warga negara. Bentuk kebijakannya bisa berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun kebijkan-kebijakan umum lainnya. Bagaimana DPR/DPRD yang merupakan representasi dari masyarakat melalui partai politik mendapatkan input dari masyarakat ? Berkaitan dengan salah satu fungsi utamanya, yaitu fungsi representasi, maka seharusnya pada saat masa reses mereka kembali ke konstituen (masyarakat yang diwakilinya) untuk mendapatkan referensi berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat

Fungsi representasi adalah fungsi utama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR /DPRD), bahwa anggota DPR merupakan perwakilan dari masyarakat di daerah pemilihannya. Oleh karena itu, segala permasalahan yang muncul di masyarakat daerah pemilihan Anggota DPR, haruslah terwakili ketika para Anggota DPR bersidang. Tahukan Anda bahwa Anggota DPR punya kewajiban untuk datang ke daerah pemilihannya? Mereka datang, tentu dengan kewajiban menyerap aspirasi dan membantu menyelesaikan persoalan warganya. Pernahkah anda dikunjungi oleh anggota DPR/DPRD yang merupakan daerah pilihan anda ? Tahukah bahwa anda memiliki hak untuk meminta bertemu dan menuntut anggota DPR/DPRD daerah pilihan anda ? Kapankah mereka seharusnya mengunjungi anda ?

Dalam melaksanakan fungsi representasi maka setiap empat bulan sekali ada jadwal reses. Lama masa reses sekitar satu bulan. Dalam masa ini, mereka diwajibkan melakukan kunjungan ke daerah pemilihan. Selain itu, mereka juga melakukan kunjungan kerja Komisi dan atau kunjungan kerja atas nama Alat Kelengkapan DPR. Kunjungan atas nama Alat Kelengkapan DPR ini bisa dilakukan di dalam negeri maupun ke luar negeri. Ditinjau dari sisi relasi perwakilan, masa reses yang disediakan bagi anggota DPR, sejatinya adalah waktu untuk berkomunikasi langsung dengan konstituen. Waktu itu adalah hak konstituen. Artinya konstituen mempunyai hak untuk menuntut bagi anggota DPR untuk bertemu dalam rangka menyampaikan permasalahan-permasalahan dan aspirasi yang ada di daerah pilihannya. Kegiatan reses sendiri, merupakan kilas balik dari tugas dan fungsi Dewan sebagai refresentasi keterwakilan masyarakat. Dengan demikian, kegiatan reses bagi anggota Dewan harusdan wajib dipergunakan secara optimal. Dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat. demi terwujudnya tatanan perencanaanya, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang ada di daerah yang diwakilinya. Dalam konteks perencanaan pembangunan kita mengenal adanya Musrenbang dari tingkat dusun, desa hingga kabupaten. Reses juga dapat dimaknai sebagai bagian tidak terpisahkan dari musrenbang itu sendiri. “Reses dilaksanakan untuk menghimpun aspirasi yang belum terakomodir dalam musrenbang,”

Realitas Peran Parpol

Kita semua menyadari bahwa instrumen kelembagaan yang paling strategis dalam mengembangkan pemberdayaan politik masyarakat menuju kedewasaan politik adalah partai politik (parpol), hal ini bisa dipahami karena partai politik merupakan jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mengembangkan sistem kepartaian yang mampu menghasilkan partai politik yang profesional yang dapat menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan bertanggung jawab, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat pada partai. Adanya partai politik yang baik diharapkan dapat berpengaruh terhadap kokohnya integrasi nasional, tingginya partisipasi, besarnya legitimasi, maupun efektifnya penyelesaian konflik. Bagaimana dengan kondisi parpol saat ini di Indonesia ?

Namun patut disayangkan, kondisi riil kepartaian yang sekarang tidak dibangunan demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa kedepan, sebab partai-partai yang ada hanya berpikir

bagaimana bisa meraih suara sebanyak-banyaknya dan bisa berkuasa selama-lamanya. Sudah bukan rahasia apabila partai-partai sekarang mendasarkan diri pada basis massa pemilih tradisional yang mudah dimobilisasi, dan hal ini tidak disadari telah mempengaruhi tingkat kohesivitas dan harmoni sosial dalam masyarakat di tingkat grassroot. Sebagai contoh bagaimana kerasnya persaingan dalam memperebutkan massa pemilih warga nahdiliyin yang merupakan komunitas Islam terbesar. Celakanya, masing-masing parpol berupaya keras untuk dapat mengamankan basis massanya dengan berbagai cara, sementara upaya untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik bagi massa tidak pernah dilakukan, dan pada akhirnya tidak jarang berujung pada konflik massa di tingkat grassroot tersebut.

Hal ini tidak pernah disadari atau bahkan terpikirkan oleh para elit partai politik bahwa upaya mengeksploitasi pemilih dengan cara demikian tidak kondusif bagi keutuhan serta keharmonisan bangsa. Sebab sudah tidak bisa kita pungkiri dalam kenyataan keseharian bahwa kesesuaian darah, keturunan, adat kebiasaan, agama memiliki sebuah kekuatan yang dapat melakukan paksaan dan kadang-kadang lebih kuat dari persamaan yang dimiliki secara nasional. Oleh karena itulah tidak salah apabila Geertz mengingatkan pada kita bahwa negara baru akan mengalami kesukaran dalan membangun suatu sistem politik yang baik apabila negara itu terbangun atas ikatan-ikatan primordial (primordial attachment). Sementra kondisi riil kepartaian kita sekarang ini umumnya masih bersandar pada ikatan-ikatan primordial ini, atau dengan perkataan lain sebagaimana pernah dijelaskan oleh Herbert Feith sebagai politik aliran. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa keterikatan dari pengaruh adat istiadat, bahasa, ras, daerah, hubungan darah, dan agama pada saat ini masih mempunyai daya tarik tinggi untuk dijadikan komoditas politik bagi parpol. Rasa keterikatan semacam itu sering disebut pula sebagai “sub-national culture value” atau pengaruh kebudayaan politik sub nasional.

Akibat pola kepartaian yang demikian, maka dapat diprediksikan pemimpin-pemimpim yang muncul hasil pemilu tidak akan mempunyai sikap kenegarawanan, lemah visi nasionalitasnya, sempit wawasannya bahkan tidak mengerti apa arti dari masa depan bangsanya. “Hanya satu tujuannya, bagaimana agar terus berkuasa…berkuasa…dan terus…berkuasa”. Akhirnya demi kekuasaan segala cara-pun dihalalkan. Dan realitas yang terjadi, di era kepartaian kita sekarang ini banyak partai yang terjebak dan harus berperan sebagai eksekutif, ini “salah kaprah”. Kenapa? Karena fungsi partai adalah mengagregasikan kepentingan masyarakat dan memperjuangkannya agar menjadi keputusan politik. Dengan demikian

kepentingan, kebutuhan dan harapan masyarakat bukan harus dipenuhi oleh partai politik, tapi oleh pemerintah sebagai pelaksana (eksekutif) yang menjalankan keputusan politik. Karena pola yang terbalik ini telah menyebabkan partai politik termasuk kader-kadernya terpogram untuk berlomba mencari income dari proses politik agar dapat memenuhi kepentingan, keinginan dan harapan konstituennya tersebut. Akibat dari keadaan ini para kader, anggota dewan, sampai pengurus partai politik yang tertanam dalam benaknya adalah bagaimana memperbanyak “gaji” politik. Keadaan ini berpengaruh buruk pada perkembangan politik di negara kita, karena proses politik menjadi disederhanakan, politik identik dengan uang sebagai contoh money politics

dalam proses pemilu. Kalau dalam pemilu sudah berhambur uang, maka para wakil yang terpilih bukan berpikir untuk rakyatnya melainkan bagaimana menarik uang yang telah dikeluarkannya, dan pada akhirnya para anggota dewan lebih mencintai “uang rakyat” dari pada “rakyat yang punya uang”. Dan apabila para anggota dewan sudah mencintai uang rakyat, maka penyakit kronis bangsa yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap menggerogoti atau bahkan semakin parah. Logika demikian bukan tanpa dasar sebab seperti yang diungkapkan oleh James E. Alt dan K. Alic Chrystal bahwa “the love of money is the root of evil” (Political Economics, 1983). Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa elit politik kita sering mem-(barter) idealisme politiknya dengan “setumpuk uang”, sementara disisi lain ada sebahagian rakyat yang mau menukarkan hak politik dengan “selembar uang”. Alhasil demokrasi yang seharusnya diartikan sebagai “kedaulatan rakyat” berubah menjadi “kedaulatan uang”.

Lalu siapa yang salah dengan kondisi ini ? Di sisi yang lain, sikap elite politik yang seperti itu bisa jadi merupakan cermin dari ketidakpedulian konstituen terhadap wakilnya di DPR. Padahal sesungguhnya posisi konstituen memiliki landasan yang kuat untuk melakukan kontrol terhadap mereka. Pertama, baik anggota DPR maupun partai politik dibiayai dari APBN. Tidak hanya anggota DPR, Parpol setiap tahunnya menerima dana bantuan dari negara sesuai dengan jumlah kursi yang mereka punya di DPR dan DPRD. Sehingga, dalam kapasitas sebagai warga negara, bukan konstituen, menuntut akuntabilitas kinerja anggota dewan dan partai politik adalah sah dan di legalkan oleh undang undang. Di sisi lain, dilihat dari konteks relasi politik dalam kapasitas sebagai konstituen, menuntut profesionalitas kinerja elite parpol adalah bagian dari hak politik seseorang. Karena pada saat pemilu, konstituen telah memberikan suaranya. Dengan dua landasan tersebut, melakukan pengawasan terhadap kinerja anggota DPR

serta elite politik lainnya bisa dilakukan bukan hanya karena hak sebagai konstituen namun juga hak sebagai warga negara.

PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA

LEGISLATIF EKSEKUTIF PARPOL LSM KELOMPOK KEPENTINGAN

KEBIJAKAN

RAKYAT

TUNTUTAN DUKUNGA N OUTPUT SOSIALISASI ASPIRASI IMPLEMENTASI (EKSEKUTIF) Pertanggung jawaban Kontrol dari rakyat

Daftar Pustaka

1. Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin, (1988) Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

2. Amal, Ichlasul, Dr., (1988) Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta.

3. Almond, Gabriel and Sidney Verba, (1963)The Civic Culture, PrencetonUniverity Press, Princeton, N.J.

4. Budiarjo, Miriam, (1992) Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta. 5. Easton, David, (1953) The Political System, Alfred A Knopt, Yew York.

6. Emmerson, Donald K., (1976) Indonesia’s Elite: Political Cultural andCultural Politics, Ithaca: Cornell Univeersity Press.

7. Huntington, Samuel, And Joan M. Nelson, (1976) No Easy Choice: PoliticalParticipation In Developing Countries, Harvad University Press, USA.

8. Nurjaman, Asep, (1998) Kepolitikan Orde Baru Dalam Prespektif StrukturalDan Kultural, UMM Press, Malang:.

9. Suwondo, Kutut. 2002. Perubahan Pola Pemerintahan dan Kepemimpinan Lokal. Forsa Pustaka, Salatiga

10.Suwondo, Kutut. 2005. Otonomi Daerah dan Perkembangan Civil Society di Aras Lokal. Fisipol UKSW, Salatiga

Dalam dokumen M01257 (Halaman 54-63)

Dokumen terkait