• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG

D. Mathla‟Menurut Mazhab Hanbali

1. Sejarah dan Pemikiran Imam Hanbali

Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, ia dilahirkan di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.256 Ayahnya wafat di kala Imam Ahmad ibn Hanbal masih kanak-kanak.257

253Ibnu Rusyd, Bidayatu ‟l-Mujtahid, Alih Bahasa, M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayatu „l-Mujtahid, Cetakan Pertama, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1990, hlm. 598

254

Hasan ayub, Loc.Cit.

255

Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 40

256

M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 221-222

257

Imam Ahmad ibn Hanbal sejak kecil sudah dapat menghafal al-Qur‟an, sudah biasa mempelajari dan

memikirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat didalamnya. Bahkan sejak kecil, ia pun sudah belajar dan mempelajari ilmu hadis.258

Pada usia 15 tahun Imam Ahmad ibn Hanbal mulai giat mempelajari ilmu hadis. Selama 7 tahun ia mempelajari hadis-hadis pada guru-gurunya di Baghdad. Untuk lebih memperkaya ilmu penegetahuannya tentang hadis, pada usia 18 tahun ia berangkat ke Bashrah, dan berguru pada ulama hadis di kota itu. Namun setelah satu satu tahun di Bashrah. Ia pergi ke Hijaz. Disana ia

bertemu dengan Imam Syafi‟i dan berguru padanya.259 Imam Ahmad ibn Hanbal juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antara gurunya yang lain adalah Yusuf al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Human dan Ibn Abbas. Imam Ahmad ibn Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan ia tidak mengambil hadis kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya ia berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama

Musnad Ahmad Hanbali.260

Dalam hal menggali atau menarik kesimpulan hukum

syari‟at serta dalam menetapkan fatwa-fatwanya. Imam Ahmad ibn Hanbal bersandar pada al-Qur‟an, Sunah Rasul, pernyataan para sahabat Nabi, serta hadis-hadis mereka, barulah ia menempuh qiyas apabila dalam keadaan darurat. Dan Imam Ahmad berbeda dari pendahulunya, ia lebih mengutamakan hadits dha‟if dari pada qiyas. Selagi ia memandang hadis itu benar dan ia yakin bahwa hadis itu tidak maudhu‟.261

Metode qiyas Imam Ahmad ibn Hanbal lebih luas dari pada metode qiyas yang ditempuh oleh para Imam

258 Ibid., hlm. 447 259 Ibid., hlm. 452 260

Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxxi

261

ahli Fiqh lainnya. Dalam metode qiyas nya ia tidak hanya melihat pada kesamaan atau kemiripan „illat saja, melainkan lebih jauh lagi, yaitu melihat pada hikmah yang terkandung dalam kasus pemecahan hukum. Sebab

„illat suatu ketentuan hukum adalah sebabnya,

sedangkan hikmah yang terkandung dalam pemecahan hukum adalah tujuannya. Yaitu kemaslahatan yang hendak diwujudkan dan kemudharatan yang hendak dihindarkan.262 Selain itu ia juga mengindahkan prinsip

istihsan,263 yaitu menetapkan hukum mengenai suatu kasus dengan ketetapan hukum yang berlainan dengan hukum yang ditetapkan pada kasus yang serupa, atas dasar pertimbangan kemaslahatan agama dan umat. Lain

halnya dengan Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa

istihsan adalah taladzdzudz (istihsan adalah suatu kenyamanan).264

Kemudian ia juga tidak mengabaikan prinsip

istihsab, yaitu tidak mengabaikan kenyataan. Apa yang berlaku di masa lalu, tetap berlaku di masa kini dan mendatang, selama tidak ada dalil (alasan yang nyata dan kongkrit) untuk dapat mengubahnya. Imam Ahmad ibn Hanbal juga berpegang pada prinsip dzari‟ah, yaitu cara, jalan, atau sarana yang mengakibatkan terjadinya suatu perbuatan. Dalam hal itu, ia memperluas pengertiannya. Bahwa cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Yakni apabila cara, jalan atau sarana yang mengakibatkan hal-hal yang haram. Maka hukumnya adalah haram, dan juga sebaliknya.265

262

Ibid., hlm. 490

263

Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas „illat nya untuk mengamalkan qiyas yang samar

„illat nya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan perpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. Lihat M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 190

264

Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 491

265

Pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal sangat

dipengaruhi oleh pemikiran gurunya yaitu Imam Syafi‟i,

dikemudian hari setelah Imam Ahmad ibn Hanbal menjadi seorang imam besar, ia berkata, “jika saya

ditanya mengenai masalah yang saya tidak mengetahui hadisnya, saya akan menjawab menurut pendapat

asy-Syafi‟i.”266

Dalam usia 77 tahun ia masih terus melanjutkan kegiatan mengajar, yang dalam usia setua itu, ia menderita sakit, makin hari makin keras. Pada masa hidupnya, ia merupakan ahli Fiqh satu-satunya. Tak lama kemudian ia wafat.267 Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada hari Jum‟at tanggal 12 bulan Rabi‟ul Awal tahun 241 H. jenazahnya dan di makamkan di Baghdad setelah

shalat Jum‟at.268

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa mazhab Hanbali merupakan sekumpulan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal di bidang hukum-hukum

syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanbali adalah ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mendasarkan mazhabnya pada

al-Qur‟an, Hadis Rasul yang dianggap sahih, al-Ijma‟, dan

al-Qiyas, Istihsan, Istihsab, dan Dzari‟ah.

Adapun sebagian orang yang terkenal

menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah

Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani‟ yang

terkenal dengan Atsram, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al-Marwazi, dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal dengan Ibnu Rahawaih Al- Marwazi.269

266 Ibid., hlm. 470 267 Ibid., hlm 550 268

Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 257

269

2. Mathla‟ Menurut Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa dalam menetapkan awal bulan Hijriah dapat ditetapkan berdasarkan oleh seorang mukallaf, adil dalam prilaku dan jiwanya, lelaki, perempuan atau budak belian. Dan tidak memadai keberhasilan rukyat seorang yang adil apabila ada penghalang, dan mensyaratkan keberhasilan rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.270

Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanbali

„Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala

Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila

telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah. Maka, seluruh penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla‟ hilal secara mutlak.271

Dijelaskan juga oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya pendapat jumhur ulama Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain yang dekat maupun jauh. Maka, seluruh orang wajib berpuasa termasuk bagi yang melihatnya.272

Ibnu Qudamah (Hanabilah) dalam kitabnya Al-Mughni bahwasannya umat Muslim sepakat atas wajibnya berpuasa di bulan Ramadan yang apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada hari tersebut dari bulan Ramadan, berdasarkan kesaksian orang-orang

270

Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 34-36

271

Abdurrahman Al-Jaziri, Loc.Cit.

272

yang terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa Ramadan bagi seluruh Muslim.273

Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya

fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas

ulama Hanabilah menetapkan perbedaan mathla‟ tidak berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadan, seluruh negara Islam wajib berpuasa bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang hisab rukyat, yaitu dengan argumentasi bahwa lafadz

ِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص ”berpuasalah kamu karena melihat hilal

dan berbukalah kamu karena melihat hilal”274

Khitab (sasaran) yang dituju adalah seluruh ummat, apabila salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua.275 Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas daerah kekuasaan.276

Sedangkan Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa hadis di atas menunjukkan wajibnya berpuasa bagi seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama‟ah)

maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.277

273Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi Fiqhi Al-Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 5

274

Hasan Ayub, Loc.Cit.

275

Sayyid sabiq, 1978, Op.Cit., hlm 172

276

Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 86

277

BAB IV

PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’

DALAM PERSPEKTIF ASTRONOMI

A. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

Penentuan awal bulan Hijriah sering menjadi persoalan dan perselisihan di kalangan umat Islam. Adanya perbedaan pendapat mengenai kapan tanggal satu bulan Hijriah selain bersumber pada perbedaan metode dan perbedaan sistem penentuannya, juga dapat terjadi karena adanya perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat (mathla‟).

Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ ini sudah ada sejak periode klasik. Hal ini bermula dari perbedaan apabila hilal berhasil dirukyat di suatu wilayah, maka apakah hasil rukyat di wilayah tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia, ataukah hanya diberlakukan untuk kaum Muslim di wilayah tempat keberhasilan rukyat tersebut saja, atau berlaku juga bagi wilayah yang berdekatan dari wilayah berhasilnya rukyat hilal.

Adanya perbedaan pendapat tentang masalah mathla‟

dalam mentukan kapan awal bulan Hijriah. Menurut penulis perbedaan mathla‟ ini merupakan hasil ijtihad yang disebabkan adanya perbedaan pemahaman di dalam menafsirkan hadis-hadis tentang penentuan awal bulan Hijriah atau hadis tentang hisab rukyat, yang masing-masing kelompok atau kalangan memiliki argumen yang didasarkan pada dalil-dalil yang dianggap kuat. Menurut penulis masing-masing pemahaman merupakan hasil ijtihad yang berpotensi benar dan salah.

Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanafi bahwa apabila telah ditetapkan rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah

sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah, semua penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa. Tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan

mathla‟ hilal secara mutlak.278 Mazhab Hanafi juga

menegaskan bahwa perbedaan mathla‟ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriah. 279 Apabila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadan, maka seluruh negara Islam wajib berpuasa bersama-sama dengan penduduk yang melihat hilal.280 Yaitu wajib berpuasa bagi semua manusia, baik penduduk bagian Timur berdasarkan rukyatnya, maupun penduduk bagian Barat. Atas dasar keumuman dari khitab lafaz "اْوُمُص" yang secara mutlak rukyat tersebut hukumnya diberlakukan secara umum. 281

Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki bahwasannya apabila telah ditetapkan rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah, semua penduduk di muka Bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan

mathla‟ hilal secara mutlak. 282 Sehingga perbedaan mathla‟

tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan jarak qashar shalat (masafah al-qasr).283 Apabila di suatu wilayah orang-orang belum berpuasa, kemudian ada berita bahwa di wilayah lain orang-orang sudah berpuasa karena melihat hilal, mereka yang tidak berpuasa itu wajib

278

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „Ala Madzhab Al-Arba‟ah, Juz I, Dar Al- Fikr, Beirut, 1990, hlm. 550

279

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid II, Dar Al- Fikr, Dimsyiq, 1996, hlm. 605

280

Al-Mabsuth Lisyaibany, Maktabah Syamilah, hlm. 350

281

Fathul Qadir, Maktabah Syamilah, hlm. 1790

282

Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit.,hlm. 550

283

mengqadha puasanya untuk hari tersebut berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang rukyat. 284

Mathla‟ menurut mazhab Hanbali bahwasannya apabila

telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah semua penduduk di muka Bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan

mathla‟ hilal secara mutlak.285 Apabila penduduk suatu

negara melihat hilal Ramadan, berdasarkan kesaksian orang-orang yang terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa Ramadan bagi seluruh Muslim berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang rukyat. 286

Berdasarkan berbagai uraian pendapat mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tentang batas geografis keberlakuan rukyat/mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah di atas bahwasannya mereka berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit bulan (mathla‟) itu tidaklah menjadi persoalan atau masalah. Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajiblah puasa bagi seluruh negeri. Mereka berpendapat demikian disebabkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang rukyat.

اَمُهْ َع ُها َيِضَر َرَمُع ِنْب ِّللا ِدْبَع ُثْيِدَح

.

ِْيَلَع ُها ىلَص ِها َلْوُسَر نَأ

َلاَقَ ف َناَ َمَر َرَكَ َملَسَو

:

َلَ ِْْا اُوَرَ ت ََح اْوُمْوُصَت َا

.

ََح اْوُرِطْفُ ت َاَو

284

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 644

285

Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit.,hlm. 550

286Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi Fiqhi Al-Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 5

ُُوَرَ ت

.

َُل اْوُرُدقاَف ْمُكْيَلَع مُغ ْنإَف

ُ

ْيِراَخُبْلا ُاَوَر

َ

287

Artinya: “Hadis „Abdullah bin „Umar r.a. bahwasannya Rasulullah saw, menyebut Ramadan, kemudian

beliau bersabda:”Janganlah kamu berpuasa

sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan janganlah kamu berhari raya sehingga kamu melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka

perkirakanlah.”288 (H.R. Bukhari)

اْوُمْوُص َملَسَو ِْيَلَع ها ىلَص ِِلا َلاَق ُلْوُقَ ي َُْع ها َيِضَر َةَرْ يَرُ َِِْا ْنَع

َةدِع اْوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َيُِغ ْنِإَف ِِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل

َْ ِ َ َ َناَبْعَش

ُ

ْيِراَخُبْلا ُاَوَر

َ

289

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan),

maka sempernukanlah hitungan bulan Sya‟ban itu

menjadi tiga puluh hari.”290

(H.R. Bukhari). Berdasarkan hadis di atas bahwasannya lafaz ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص

ِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan

berbukalah kamu karena melihat hilal”. Khitab (sasaran) yang dituju adalah seluruh umat Islam, maka apabila salah seorang Muslim menyaksikan hilal pada tempat manapun,

287

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub Al- Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 345. Hadits No 1906, Bab Puasa

288

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih Bahasa,

Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan Koleksi Hadits yang Disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993, hlm. 1-2

289

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa

290

Safuan Alfandi, Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162

itu berarti rukyat bagi semua umat Islam di muka Bumi. 291 Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. 292 Dasarnya, karena hadis Nabi ini tidak memberikan batasan keberlakuan rukyatul hilal itu. Jadi, mestinya berlaku untuk seluruh dunia.293

Sedangkan mengenai mathla‟ menurut mazhab Syafi‟i

bahwasannya apabila rukyatul hilal telah ditetapkan pada suatu wilayah, maka wilayah tersebut dan wilayah lain yang berdekatan dengan wilayah penetapan rukyatul hilal

diwajibkan untuk berpuasa atas dasar penetapan hilal di wilayah tersebut. Dan wilayah yang dekat itu memiliki

mathla‟ yang sama dengan wilayah ditetapkannya hilal,

dengan batasan jarak antara kurang lebih 24 farsakh.294 Sedangkan wilayah yang jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal tidak diwajibkan untuk berpuasa disebabkan adanya perbedaan mathla‟. 295 Bahkan sebagian Syafi‟iah

menyatakan apabila hilal terlihat pada suatu negeri maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya qashar shalat (masafah al-qasr).296 Dan apabila seseorang berpuasa

291

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm. 307

292

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007, hlm. 86

293

Thomas Djamaluddin, Hasil Hisab dan Rukyat Dapatkah Dipadukan,

Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hlm. hlm. 244

294

Wahbah al Zuhaily menjelaskan mengenai batasan jarak mathla‟

bahwa satu mathla‟ setara dengan 24 farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka jarak 1 mathla‟ tersebut adalah 24 × 5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak 1 mathla‟ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 × 24 = 115,8696 km.Satu farsakh kira-kira 5544 m, maka satu mathla‟ adalah 133,56 km. Lihat Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Alih Bahasa, Masdar Helmy, Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan Haji, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Media Utama, Bandung, 2006, hlm. 39

295

Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 550

296

Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,

Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin), Jilid I, Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 569-570

dan melakukan perjalanan ke wilayah lain, kemudian setelah masuknya hari ke 30 ia belum melihat hilal, maka ia tetap berpuasa bersama penduduk di wilayah tersebut dengan hukum sesuai keadaan wilayah yang dikunjungi. Dan seandainya kita berpergian ke suatu wilayah yang belum terlihat hilal, maka lebih utama untuk untuk tetap berpuasa. Maka ia tetap mendapatkan pahala puasa. 297

Berdasarkan pendapat yang sahih, pandangan sebagian

Syafi‟iah yang membedakan jarak dekat dan jauh berdasarkan ukuran jarak qashar shalat (masafahal-qasr) tidak bisa dijadikan dasar hukum.298 Atas dasar itu pendapat yang dipilih oleh golongan Syafi‟i ialah setiap wilayah memiliki rukyat masing-masing. Maka setiap Muslim tidak diwajibkan berpuasa sebab rukyatul hilal selain dari wilayah mereka. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kuraib.299

ٍرْ ُح ُنْب يِلَع اََ دَح

:

ٍرَفْعَ ُنْب ُ ْيِعاَْ ِإ اََ دَح

:

َِِْأ ُنْب ُدمَُُ اََ دَح

َةَلَمْرَح

:

ٌ ْيَرُك ِ َرَ بْ َأ

:

َةَيِواَعُم ََِإ ُْتَثَعَ ب ِثِراَْْا َتِْب ِ ْ َفْلا مُأ نَأ

ِماللاِب

.

َلاَق

:

َماللا ُتْمِدَقَ ف

.

اَهَ تَ اَح ُتْيَ َقَ ف

.

ُل َ ِ يَلَع ِهُتْساَو

ِماللاِب اَنَأَو َناَ َمَر

.

ِةَعْمُْاا َةَلْ يَل َلَ ِْْا اَْ يَأَرَ ف

.

ِر ِ َأ ِ َةَْ يِدَمْلا ُتْمِدَق َُُ

ِرْهللا

.

ٍاابَع ُنْبا ِ َلَأَ َف

.

َلَ ِْْا َرَكَ ُُ

.

َلاَقَ ف

:

َلَ ِْْا ُمُتْ يَأَر َََم

ِةَعُمُْاا َةَلْ يَل ُاَْ يَأَر ُتْلُقَ ف

.

َلاَقَ ف

:

ُاا لا َُأَر ُتْلُقَ ف ِةَعُمُْاا َةَلْ يَل َُتْ يَأَر َتْنَأ

اْوُماَصَو

.

ُةَيِواَعُم َماَصَو

.

َلاَق

:

ِتْب لا َةَلْ يَل َُْ يَأَر ْنِكَل

.

ََح ُمْوُصَن ُلاَ َ ن َ َف

ُاَرَ نْوَأ اًمْوَ ي َْ ِ َ َ َ ِمْكُن

.

َلاَق ِِماَيِصَو َةَيِواَعُم ِةَيؤُرِب يِفَتْكَت َاَأ ُتْلُقَ ف

:

297

Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84

298

Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 38

299

َا

.

َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِها ُلْوُسَر اَنَرَمَأ اَذَكَ

.

300

ُ

مل م اور

َ

Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail

bin Ja‟far memberitahukan kepada kami,

Muhammad bin Abu Harmalah memeberitahukan kepada kami, Kuraib memberitahukan kepadaku:

“ Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya

(untuk menghadap) Mu‟awiyah di Syam. Ia berkata, “Aku sampai ke Syam, lantas

menyelesaikan urusanku dan aku melihat hilal (bulan sabit) bulan Ramadhan telah terbit, sedangkan aku berada di Syam. Kami melihat

bulan itu pada malam Jum‟at. Aku sampai di

Madinah pada akhir bulan Ramadhan dan Ibnu Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia menyebutkan hilal tersebut, ia bertanya, „kapan kamu melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya lagi, „Apakah kamu melihatnya pada malam

Jum‟at?‟ Aku katakan,‟Orang-orang melihatnya,

kemudian mereka berpuasa dan Mu‟awiyah juga berpuasa‟. Kemudian ia berkata,‟Tetapi kamu

melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh

hari atau (sampai) kami melihatnya‟. Aku lalu berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab,

„Tidak, Rasulullah saw. memerintahkan kami

demikian‟.”301

(H.R. Muslim)

300

Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa

301

Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi, Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi (Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi), Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005, hlm. 556-557

Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini termasuk hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini diamalkan menurut pendapat ahli Ilmu bahwasannya untuk setiap wilayah berlaku rukyat masing-masing. Dan dalam kitab Fathul

„Alam syarah Bulughul Maram menjelaskan bahwa

berdasarkan hadis ini mengharuskan mengikuti rukyat bagi wilayah yang lebih dekat dengan wilayah berhasilnya rukyat, berikut wilayah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan wilayah itu.302

B. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla’ dalam Perspektif Astronomi

Pada dasarnya perbedaan pendapat mengenai mathla‟

dalam penentuan awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i

ialah terbagi menjadi dua pendapat. Pertama pendapat mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah, dan Hanabilah yang menghendaki mathla‟ approach global (kesatuan mathla‟

untuk seluruh wilayah Islam di muka Bumi). Sedangkan

mazhab Syafi‟i menghendaki mathla‟ approach parsial (adanya kesatuan mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan).

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat empat mazhab tentang mathla‟ yang berdasarkan ijtihadnya di dalam menafsirkan hadis-hadis tentang penentuan awal bulan Hijriah atau hadis tentang hisab rukyat. Maka pendapat empat mazhab tentang mathla‟ ini perlu diketahui secara astronomi.

Bahwa tidak seharusnya penetapan awal bulan Hijriah

Dokumen terkait