• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH (Perspektif Astronomi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH (Perspektif Astronomi)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

(Perspektif Astronomi)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

MERI FITRI YANTI NPM : 1321010015

Program Studi : Ahwal Al-Syakhshiyah

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN

INTAN

LAMPUNG

(2)

PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH

(Perspektif Astronomi)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

MERI FITRI YANTI NPM : 1321010015

Program Studi : Ahwal Al-Syakhshiyah

Pembimbing I : Dr. H. Khairuddin, M.H.

Pembimbing II : Rohmat, S.Ag., M.H.I.

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN

INTAN

LAMPUNG

(3)

ABSTRAK

PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH

(Perspektif Astronomi) Oleh

MERI FITRI YANTI

Penentuan awal bulan Hijriah sering menimbulkan polemik karena setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan zulhijah. Perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan mathla‟.

Persoalan mathla‟juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah?. Dan bagaimana pendapat empat mazhab tentang

mathla‟ dalam perspektif astronomi?. Adapun tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah. Dan untuk mengetahui bagaimana mathla‟ menurut pendapat empat mazhab dalam perspektif astronomi.

(4)

klasifikasi, ferifikasi, dan sistematisasi data. Lalu data dianalisis secara kulitatif dengan metode berpikir induktif.

Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab terbagi menjadi dua pendapat yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menghendaki mathla‟ approach global (kesatuan mathla‟ untuk seluruh wilayah Islam di muka Bumi). Mazhab Syafi‟i menghendaki mathla‟ approach parsial (adanya kesatuan

mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga

(5)
(6)
(7)

MOTTO

ا ْورطْفاو هت ْ رل ا ْوم ْوص سو هْ ع ه ص بنلا لاق ل ْوق هْنع ه ضر ةرْ ره ْ با ْنع ا ْو مْك ف ْ كْ ع بغ ْنإف هت ْ رل نْ نابْ ة ع

. ( راخبلا هاور )

1

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: “Berpuasalah bila

kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah

hitungan bulan Syakban itu menjadi tiga puluh hari. (H.R. Bukhari). 2

1

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa

2

(8)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin. Dengan menyebut nama Allah

SWT Tuhan Yang Maha Penyayang, penuh cinta kasihnya yang telah memberikan saya kekuatan, dan yang telah menuntun dan menyemangatiku menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi sederhana ini kupersembahkan sebagai tanda cinta, sayang, dan hormat tak terhingga kepada:

1. Murobbil Jismi yaitu Bapak dan Ibu (Muhammad Subki dan Misbahul Munawwarah) tercinta yang dengan tulus ikhlas merelakan separuh kehidupannya untuk merawat dan mendidikku dan selalu memberi kasih sayang serta meneguhkan keyakinanku dikala aku tersesat dan putus asa. 2. Murobbir Ruhi yaitu para Kyai, Dosen, Guru, dan Ustadz

yang telah mengajarkan ilmu untuk menuju kemuliaan di sisi Allah SWT.

3. Adik-adikku tercinta (Ahmad Saiful Anwar dan Abdullah Khairul Azzam) yang selalu mendukung untuk kesuksesanku.

4. Seluruh rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu.

5. Almamaterku tercinta Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung.

RIWAYAT HIDUP

(9)

Pendidikan dimulai dari pendidikan dasar pada Madrasah Ibtidaiyah Syuabul Hikmah Srimenanti, pada tahun 2001, tamat pada tahun 2007. Melanjutkan pendidikan Menengah Pertama pada Madrasah Tsanawiyah Futuhiyyah 1 Bukit Kemuning, tamat pada tahun 2010. Melanjutkan pada jenjang menengah pada Madrasah Aliyah Futuhiyyah 1 Bukit Kemuning, selesai pada tahun 2013. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan tinggi, pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Bandar Lampung, mengambil Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah pada

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT

Tuhan pencipta alam semesta dan segala isinya yang telah memberikan kenikmatan Iman, Islam, dan Ihsan. Sehingga skripsi dengan judul “Pendapat Empat Mazhab Tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah” (Perspektif Astronomi) dapat diselesaikan. Shalawat beriring salam disampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia. Semoga kita mendapatkan syafa‟at-nya pada hari kiamat nanti.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada program Strata Satu (SI) Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) dalam bidang ilmu syari‟ah.

Dalam penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag., selaku Rektor IAIN Raden Intan Lampung;

2. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum serta para Wakil Dekan di lingkungan Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung; 3. Bapak Marwin, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan dan Bapak

Gandhi Liyorba Indra, S.Ag., M.Ag. selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah IAIN Raden Intan Lampung;

4. Bapak Dr. H. Khairuddin, M.H. selaku pembimbing I, dan Bapak Rohmat, S.Ag., M.H.I. selaku pembimbing II yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan;

(11)

6. Seluruh dosen, asisten dosen dan pegawai Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung yang telah membimbing dan membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;

7. Ayah, Ibu, Adik, serta sahabat-sahabat terimakasih atas do‟a, dukungan, dan semangatnya. Semoga Allah senantiasa membalasnya dan memberikan keberkahan kepada kita semua;

8. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum juga Perpustakaan Institut yang telah memberikan informasi, data, referensi, dan lain-lain;

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum Angkatan 2013, serta adik-adik AS khususnya.

10.Untuk semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan teman-teman yang kukenal semasa hidupku. Jazakumullah

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna yang disebabkan dari keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca demi upaya penyempurnaan tulisan ini kedepannya.

Akhirnya diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (skripsi) ini dapat menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman.

Bandar Lampung, 20 Maret 2017

Penulis,

Meri Fitri Yanti

(12)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Alasan Memilih Judul ... 2

C. Latar Belakang Masalah ... 3

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

F. Metode Penelitian ... 13

BAB II : PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH A. Pengertian dan Dasar Hukum Bulan Hijriyah ... 17

B. Metode dan Sistem Penentuan awal Bulan Hijriyah ... 25

C. Konsep Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah ... 42

BAB III : PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH A. Mathla‟Menurut Mazhab Hanafi ... 56

B. Mathla‟ Menurut Mazhab Maliki ... 64

C. Mathla‟ Menurut Mazhab Syafi‟i ... 70

D. Mathla‟Menurut Mazhab Hanbali ... 79

BAB IV : PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG

MATHLA’ DALAM PERSPEKTIF

(13)

A. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah ... 85 B. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam

Perspektif Astronomi ... 92

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 95 B. Saran ... 96

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Untuk memperjelas pokok bahasan diperlukan penjelasan atau definisi yang terkandung dalam judul skripsi ini. Yang memiliki beberapa istilah pokok sebagai berikut :

Empat Mazhab, Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut istilah, mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh.3 Sedangkan yang dimaksud dengan empat mazhab ialah mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi‟i, dan mazhab Hanbali.4

Mathla‟ ( ٌ َ ْ َ ) ialah lafaz bahasa Arab yang berarti waktu atau tempat terbit atau muncul, kata kerjanya ( - َ َ َط

ُ َ ْ َ ) yaitu terbit atau muncul.5 Maksudnya waktu atau

tempat munculnya Bulan, Bintang dan Matahari. Sedangkan dalam kamus fiqh kata mathla‟ ialah batas geografis keberlakuan rukyat.6

Bulan Hijriah adalah perhitungan kalender dengan menggunakan peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Yang merupakan tahun penanggalan dalam Islam. Penggunaan perhitungan tahun seperti ini dimulai dari hijrah Nabi beserta kaum muslimin ke Madinah.7

“Perspektif adalah sudut pandang, pandangan. Yaitu pandangan dari sudut satuan bahasa sebagaimana satuan itu

3

Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 149

4

Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Building, Jakarta, 2009, hlm. 265

5

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1997, hlm. 921

6

Ahsin W. Alhafidz, Op.Cit, hlm.148

7

(15)

berhubungan dengan yang lain dalam suatu sistem atau jaringan.”8

Astronomi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit dengan didasarkan kepada penelitian ilmiah, dengan pengetahuan itu kita dapat memperoleh data yang akurat guna menentukan perhitungan tahun, bulan, gerhana dan lain-lain yang bersifat ilmiah.9

Berdasarkan beberapa penjelasan istilah pokok di atas penulis tegaskan kembali bahwa judul atau tema yang akan dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah (Perspektif Astronomi). Yang ruang lingkup bahasannya mencakup tentang batas geografis keberlakuan rukyat (mathla‟) dalam penentuan awal bulan Hijriah menurut pendapat empat mazhab yakni mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi‟i, dan mazhab Hanbali.10 Selanjutnya berbagai pendapat empat mazhab tentang batas geografis keberlakuan rukyat (mathla‟) dalam penentuan awal bulan Hijriah tersebut penulis analisis dengan menggunakan atau pun berdasarkan pandangan astronomi.

B. Alasan Memilih Judul

Beberapa hal alasan menarik, sehingga memotivasi penulis untuk memilih dan membahas judul ini yaitu : 1. Alasan Obyektif

Alasan obyektif yang membuat penulis tertarik untuk membahas judul ini di antaranya:

a. Problematika dalam penetapan awal bulan Hijriah sering memunculkan perdebatan di kalangan umat. Khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Khususnya di Indonesia

8

Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hlm. 864

9

M. Said Jamhari dan Faisal, Ikhtisar Ilmu Falak tentang Penentuan Waktu-waktu Shalat, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1998, hlm. 1

10

(16)

sendiri selain memiliki banyak metode dan aliran dalam penentuan awal bulan Hijriah, juga salah satu penyebab lainnya yaitu karena adanya perbedaan tentang mathla‟. Mengingat hal ini sangat berkaitan erat dengan salah satu kewajiban (ibadah), membuat penulis tertarik untuk membahasnya.

b. Karena penulis menginginkan pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang terjadinya perbedaan tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab dan juga berdasarkan astronomi.

2. Alasan Subyektif

Alasan subyektif yang membuat penulis tertarik untuk membahas judul ini di antaranya:

a. Pokok bahan dalam penulisan skripsi ini relevan dengan disiplin ilmu yang penulis pelajari pada Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah. b. Literatur dan bahan-bahan yang dibutuhkan

dalam penulisan skripsi ini tersedia di perpustakaan, sehingga memudahkan penulis untuk membahas judul ini.

C. Latar Belakang Masalah

Setiap kehidupan umat manusia membutuhkan kalender atau penanggalan sebagai pengatur dan pembagi waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak ibadah umat Islam yang terkait dengan waktu. Seperti ibadah haji, ibadah puasa Ramadan dan sebagainya.

(17)

waktu yang disebut penanggalan atau kalender. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. al-Isra‟ ayat 12 :11











































( أرسإا 12 : )

Artinya: Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhan-mu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.12 (al-Isra‟ : 12)

Dalam ayat ini dapat difahami bahwa Allah menjadikan malam dan siang sebagai dua tanda kekuasaan-Nya, lalu juga menerangkan bahwa Ia menghapuskan tanda malam dengan menjadikan tanda siang itu terang benderang, ayat ini dimaksudkan agar manuisa dapat mencari karunia Tuhannya, dan agar manusia dapat menggali pikirannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) yang saat ini lebih terkenal dengan sebutan kalender.

Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan atau kalender ini adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di

11

Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al-Ghuraba, Jakarta Pusat, 2008, hlm. 7

12

(18)

Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Dalam penggunaannya dari acuan dua benda langit tersebut terdapat tiga jenis penanggalan atau kalender yang dipakai oleh umat manusia. Pertama, solar system (kalender syamsiah), yaitu sistem penanggalan atau kalender berdasarkan peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Kedua, lunar system (kalender kamariah), yaitu sistem penanggalan atau kalender berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu sistem penanggalan atau kalender

lunar yang disesuaikan dengan matahari.13

Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan sistem kalender solar, sedangkan kalender Hijriah dan Jawa merupakan sistem kalender lunar. Adapun kalender

lunisolar seperti kalender Imlek, Saka, Buddha, dan Yahudi.14 Kalender Hijriah atau Kamariah inilah yang kemudian dibutuhkan dan dipakai oleh umat Islam untuk menentukan penetuan waktu seperti hari-hari besar Islam, dan acuan dalam melaksanakan kewajiban ibadahnya. Sistem kalender Hijriah ini didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi, sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah ayat 189 :





























































)

رق لا

:

189

(

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.

Katakanlah: “bulan sabit adalah tanda-tanda

waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Dan

13

Rohmat, Ilmu Falak II Penentuan Awal Bulan Qomariyah dan

Syamsiyah, Seksi Penerbitan Fakultas Syari‟ah, Lampung, 2014, hlm. 1-2

14

(19)

bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.15 (al-Baqarah: 189)

Al-Qur‟an di atas menjelaskan tentang hikmah bahwa bulan sabit (hilal) merupakan tanda bagi manusia untuk mengetahui waktu penunaian setiap urusan keduniaan, sekaligus kompas dalam hal ibadah yaitu untuk mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya seperti ibadah puasa dan haji.16

Demikian pula dijelaskan secara teologis bahwa perjalanan waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran benda-benda langit, terutama Bulan. Berdasarkan firman Allah swt. dalam Q.S.Yunus ayat 5:

















































)

سنو

:

5

(

Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat)bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan

15

Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29

16

As-Sayyid Mahmud Syukri Al Alusi, Ma Dalla „Alaihi Al-Qur‟an

(Min Ma Ya‟dhadu Al Hai‟ah Al Jadidah Al Qawimah Al Burhan, Alih

(20)

yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.17(Yunus : 5)

Penentuan awal bulan Hijriah seringkali menimbulkan polemik diantara kalangan umat Islam dikarenakan setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan kapan masuk awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah seringkali terdapat perbedaan dalam penentuannya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam memahami dan mengaplikasikan hadis Rasul yang berbunyi:

َملَسَو ِْيَلَع ها ىلَص ِِلا َلاَق ُلْوُقَ ي َُْع ها َيِضَر َةَرْ يَرُ َِِْا ْنَع

َناَبْعَش َةدِع اْوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َيُِغ ْنِإَف ِِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص

َْ ِ َ َ

.

ُ

يِراَخُبلا ُاَوَر

َ

18

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan),

maka sempernukanlah hitungan bulan Sya‟ban itu

menjadi tiga puluh hari.19 (H.R. Bukhari).

Berdasarkan hadis di atas inilah yang menjadi pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana berpangkal pada zahir hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat.20

17

Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 208

18

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa

19

Safuan Alfandi,Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162

20

(21)

Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah disebabkan ada yang bersumber pada perbedaan metode serta perbedaan sistem penentuannya, ada pula yang bersumber pada perbedaanmathla‟.

Dalam hal perbedaan metode pada garis besarnya terdapat dua macam metode penentuan awal bulan Hijriah. Pertama, metode rukyat, adalah usaha melihat hilal dengan mata telanjang pada saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Hijriah. Apabila hilal terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu bulan baru, sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat, maka tanggal satu bulan baru ditetapkan jatuh pada malam hari berikutnya, bilangan hari dari bulan yang sedang berlangsung digenapkan menjadi 30 hari (diistikmalkan). Kedua, metode hisab, adalah penentuan awal bulan Hijriah yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi. 21

Pada metode hisab terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Kamariah. Di antaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak,22 sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak

21

Rohmat, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah/Hijriyah, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 44-46

22 Ijtima‟

adalah istilah dalam ilmu falak yang diambil dari bahasa Arab yang artinya berkumpul. Istilah lainnya adalah iqtiran yaitu merupakan pertemuan atau berkumpulnya dua benda yang berjalan secara aktif,

sedangkan dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan sebutan konjungsiyang diambil dari bahasa inggris conjungtion. "Ijtima‟ merupakan

(22)

mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.23

Dalam perbedaan sistem penentuan dalam menetapkan awal bulan Hijriah ada dua sistem yang berkembang dalam masyarakat, yaitu: pertama, sistem hisab, pada sistem hisab ini, ada ahli hisab yang dalam menetapkan masuknya bulan baru berpedoman kepada

ijtima‟ qablal ghurub, wujudul hilal, dan imkanur rukyat. Kedua, sistem rukyat, pada sistem rukyat ini dalam menetapkan tanggal satu bulan Hijriah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah, harus berdasarkan rukyat. Hasil hisab menurut golongan ini merupakan alat bantu atau sarana untuk melakukan rukyat. 24 Maka rukyat harus didasarkan pada hasil hisab yang valid dan akurat (qath‟i). Hisab dan rukyat saling menguatkan. 25

Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah selain disebabkan karena adanya perbedaan metode dan adanya sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan mathla‟. Perbedaan

mathla‟ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada

mathla‟ approach global, mathla‟ approach parsial, dan

ada yang berpedoman pada mathla‟ wilayatul hukmi.

23 Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,

Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18

24

Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal Bulan Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat dan Upaya Penyatuannya, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2015, hlm. 26-28

25

Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar

(23)

Mathla‟ approach global merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal, di wilayah manapun dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Sedangkan mathla‟ approach parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan umat Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriah untuk seluruh permukaan planet Bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan. 26

Adapun mathla‟ wilayatul hukmi menjadikan batasan negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum. Misalnya Indonesia, konsekuensinya apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Indonesia, dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak berdasarkan ketetapan pemerintah. 27

Persoalan mathla‟ dalam penetapan awal bulan Hijriah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i.

Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit bulan (ikhtilafu al-mathali) itu tidak menjadi soal atau tidak berlaku. Artinya, bila ada satu orang di sebuah negeri melihat hilal, maka semua negeri Islam di dunia ini wajib berpuasa dengan dasar

26

Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 56-58.

27

Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat (telaah syari‟ah,

(24)

rukyat orang itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan”. Ini adalah pernyataan yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam. Siapa saja di antara mereka, dimana saja tempatnya, rukyatnya berlaku untuk mereka semua.28

Adapun Mazhab Syafi‟i berpendapat jika penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain sebagainya tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.29 Karena adanya perbedaan mathla‟ bulan di antara jarak yang jauh yang kemungkinan terjadi minimal 24 farsakh (1 farsakh kira-kira 5544 m = 133,056 km).30 Bahkan Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini

(ulama Syafi‟iah) dalam kitabnya Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin) 31 dan Muhammad ibn Muhammad Abi Hamid al-ghazali (ulama Syafi‟iah) dalam kitabnya Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhab al-Imam Asy-Syafi‟i

menyatakan bahwa apabila hilal terlihat pada suatu negeri maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya qashar shalat (masafah al-qasr). 32 Namun Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa berdasarkan pendapat yang sahih, pandangan sebagian Syafi‟iah yang membedakan jarak dekat dan jauh berdasarkan ukuran jarak qashar

28

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm. 207

29

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Alih Bahasa, Maskur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff,

Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. 198

30

Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Juz II, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1996, hlm. 605

31

Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,

Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin), Jilid I, Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 569-570

32

(25)

shalat (masafahal-qasr) tidak bisa dijadikan dasar hukum.33

Sayyid Sabiq kemudian menyatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh golongan Syafi‟i ialah setiap wilayah memiliki rukyat masing-masing. Maka mereka tidak diwajibkan berpuasa sebab rukyatul hilal selain dari wilayah mereka.34

Berdasarkan perbedaan pendapat tentang tempat timbulnya Bulan (mathla‟) di kalangan empat mazhab tersebut, penulis mengambil judul “Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah (Perspektif Astronomi)”

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang hendak dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟

dalam penentuan awal bulan Hijriah ?

2. Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam perspektif astronomi?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan sehingga penulis melakukan penelitian ini. Adapun penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah.

b. Untuk mengetahui bagaimana mathla‟ menurut pendapat empat mazhab dalam perspektif astronomi.

33

Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 38

34

(26)

2. Kegunaan Penelitian

Ada beberapa kegunaan sehingga membuat penulis tertarik untuk membahas judul ini di antaranya:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis penelitian ini adalah:

1) Memberikan informasi tentang wacana perbedaan pendapat tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab.

2) Memberikan kontribusi secara ilmiah dalam menetralisir kontroversi pemahaman tentang penentuan awal bulan Hijriah.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah:

1) Penelitian ini diharapkan dapat difungsikan sebagai penambahan wacana yang berkaitan dengan masalah hukum Islam dan dapat menjadi landasan positif bagi masyarakat. 2) Bagi penulis sebagai bahan latihan dalam

mengembangkan wacana dan latihan akademik yaitu untuk menciptakan suatu karya ilmiah terutama terhadap khazanah ilmu hukum Islam.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research)35

yaitu penelitian yang difokuskan terhadap penelitian bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, yaitu al-Qur‟an, hadis, kitab atau buku tentang empat mazhab, dan astronomi yang menjelaskan tentang penentuan awal bulan Hijriah, juga teks-teks hukum

35

(27)

yang memperbincangkan tentang penentuan awal bulan Hijriah. Khususnya tentang mathla‟.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitik.36 yaitu peneliti

memaparkan secara sistematis materi pembahasan dari berbagai sumber untuk kemudian dianalisis dengan cermat guna memperoleh hasil sebagai kesimpulan dari kajian tentang Pendapat Empat Mazhab tentang

Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

(Perspektif Astronomi). 3. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian library research sehingga menggunakan metode pengumpulan data secara dokumentatif.37 dengan menelusuri kitab-kitab,

buku-buku atau karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan topik kajian, penelusuran terhadap literatur-literatur tersebut diambil atau didapat dari sumber data primer, data sekunder dan data tersier.

a. Sumber Data Primer, adalah merupakan sumber data38 atau merupakan bahan-bahan yang mengikat

dalam pembahasan ini yang harus ditelaah yakni kitab, buku atau literatur asli dalam hal ini adalah al-Qur‟an, hadis, kitab atau buku tentang empat mazhab dan astronomi yang membahas tentang penentuan awal bulan Hijriah khususnya yang menjelaskan tentang mathla‟.

b. Sumber Data Sekunder, adalah merupakan bahan-bahan yang menjelaskan sumber data primer yaitu seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang mendukung tema pembahasan atau hasil dari

36

Cholid Narbuko dkk, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 45

37

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,

PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 75

38

(28)

karya ilmiah.39 Dalam hal ini adalah data

pendukung seperti pendapat para ulama serta referensi pendukung lainnya yang membahas tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah.

c. Sumber Data Tersier, adalah merupakan sumber data yang menjelaskan sumber data primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia bibliografi dan indeks dan dalam hal ini adalah kamus hukum, ensiklopedi hukum dan beberapa jurnal hukum yang memiliki hubungan emosi atau substansi.

4. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah melakukan analisis terhadap data dengan metode dan cara-cara tertentu yang berlaku dalam penelitian.40

Pengolahan data umumnya dilakukan dengan cara:

a. Editing Data: pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan data lain.

b. Klasifikasi Data: mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasi data yang diperoleh kedalam pola tertentu atas permasalahan tertentu untuk mempermudah pembahasan.

c. Ferifikasi Data: mengelompokkan data dan memahami maksud dari sumber-sumber data yang diperoleh.

d. Sistematisasi Data: menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasa berdasarkan urutan masalah.

39

S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif, Tarsito, Bandung, 1998, hlm. 26

40

(29)

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan cara untuk menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.41

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan menggunakan metode deduktif yaitu analisis yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan khusus, dalam hal ini adalah merupakan al-Qur‟an, hadis, kitab-kitab atau buku-buku serta literatur penentuan awal bulan Hijriah yang bersifat umum mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.

41

(30)

BAB II

PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Bulan Hijriah

Kalender atau penanggalan adalah sistem pengorganisasian satuan waktu untuk tujuan penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang.42 Kalender berkaitan erat dengan peradaban manusia, karena berperan penting dalam penentuan waktu. Seperti berburu, bertani, bermigrasi, peribadatan, dan perayaan-perayaan. Suatu kegiatan sering kita catat dan kita dokumentasikan dengan menunjuk hari, tanggal dan tahun tertentu yang kebanyakan rangkaian kegiatan tersebut kita menggunakan sistem kalender Masehi tanpa mengaitkannya dengan kalender yang berlaku bagi umat Islam, padahal Islam memiliki kalender sendiri yang dikenal dengan kalender Hijriah.

Bulan Hijriah atau disebut juga bulan Kamariah yaitu sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi yang dikenal dengan metode qamariyah

atau lunar system, atau dikenal juga dengan tahun Candra.43 Masyarakat Arab Jahiliah sudah menggunakan sistem penanggalan yang mengacu kepada pergerakan Bulan ini. Namun, mereka belum mempunyai pangkal perhitungan tahun yang tetap. Maka untuk mengingat suatu kejadian mereka memakai suatu peristiwa penting yang masyhur sebagai pangkal hitungan tahun. Misalnya tahun Gajah karena adanya peristiwa penyerbuan raja Abrahah ke Mekah dengan mengendarai Gajah.44

42

Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 115

43 Rohmat, “Eksistensi Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Lampung dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah” Jurnal Al-Adalah, Vol. 5, No. 2, edisi Desember 2006, hlm. 676

44

Arfan Muhammad, Pedoman Ilmu Falak (hisab urfi, hakiki dan kontemporer serta tehnik rukyat dengan teknologi), Bahan Kuliah Ilmu Falak

(31)

Sistem penanggalan yang mengacu kepada pergerakan Bulan atau disebut juga kalender Hijriah ini sebenarnya sudah digunakan oleh bangsa Arab di zaman pra-Islam, dan juga oleh kelompok-kelompok tertentu dari bangsa Yahudi, begitu pula di India dan Cina, akan tetapi dalam bentuk lain.45

Pada zaman sebelum Rasulullah saw, bangsa Arab tidak murni menggunakan kalender Hijriah. Akan tetapi setiap tiga tahun menambahkan satu bulan tambahan untuk menyesuaikan dengan musim. Sistem kalender campuran itu biasa disebut dengan sistem qamari syamsiah (luni solar calendar) yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari.46 Namun, setelah kerasulan Nabi Muhammad saw, turunlah perintah Allah untuk menghapus sistem campuran tersebut dan menggantikannya dengan sistem Kamariah murni (kalender lunar yang murni). Hal ini tercantum dalam al-Qur‟an Surat at-Taubah ayat 36-37: 47











































































Ibrahimy Sukorejo Situbondo, Untuk Kalangan Mahasiswa Sendiri, 2006, hlm.16

45

Muhammad Jamaluddin el-Fandy, On Cosmic Verses In The Quran, Alih Bahasa, Abdul Bar Salim, Al-Quran Tentang Alam Semesta, Cetakan Keenam, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 106

46

Rohmat, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah/Hijriyah (analisis ushul fiqh dan astronomi), Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 19-20

47

(32)







































































ُ

ةَبْو تلا

:

37

-36

َ

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah

adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (36)

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(37)”. 48 (Q.S. at-Taubah Ayat 36-37).

Berdasarkan ayat di atas, Allah telah menetapkan bahwa peredaran Bumi mengitari Matahari mempunyai batasan

48

(33)

waktu dalam satu tahunnya yakni dua belas kali lunasi (datangnya hilal), yang mana satu tahun Syamsiah adalah 365, 2422 hari, sedangkan satu tahun Hijriah adalah 354 hari, karena satu bulan dalam tahun Hijriah adalah 29, 5306 hari. jadi satu tahun Hijriah sebelas hari lebih pendek dari pada tahun Syamsiah.49

Ayat di atas juga menjelaskan untuk memakai kalender

lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi‟.50 Yakni bulan tambahan yang mana penambahan bulan itu untuk menyesuaikan dengan musim. Dalam prakteknya,

annasi‟ (mengulur atau menambah bulan) biasa dilakukan

dengan menambah satu bulan tambahan setiap tiga tahun untuk menggenapkan selisih hari antara tahun Syamsiah dan Hijriah yang sebelas hari.51

Setelah wafatnya Rasulullah saw, kalender Hijriah kemudian mulai di berlakukan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Dua tahun setelah Umar bin Khattab memerintah, beliau menemukan sebuah dokumentasi yang tertulis bulan Syakban dengan tanpa menyebutkan tahunnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bulan Syakban yang mana?.52

Berdasarkan permasalahan ini, muncullah gagasan khalifah untuk menentukan sistem kalender Islam. Setelah bermusyawarah, maka ditetapkanlah bahwa kalender Islam itu dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad saw. bersama sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Penetapan tersebut atas dasar pertimbangan bahwasannya di Madinah Islam mulai nampak keberadaannya, dan mulai terbentuk

49

Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 21

50

Rohmat, Ilmu Falak II (Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan Syamsiyah), Seksi Penerbitan Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 102

51

Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 22

52

Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal Bulan Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat dan Upaya Penyatuannya,

(34)

pemerintahan yang islami. Sistem penanggalan yang ditetapkan oleh khalifah Umar ini yang kemudian di kenal dengan istilah kalender Hijriah.53

Adapun nama-nama bulan pada Kalender Hijriah yaitu: Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah.

Lamanya satu bulan Hijriah didasarkan pada waktu yang berselang antara dua ijtimak, yaitu rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ukuran waktu tersebut disebut satu periode bulan sinodis/the synodic month/ syahr al-iqtironi.

Satu periode bulan sinodis ini bukanlah waktu yang diperlukan oleh bulan yang mengelilingi bumi atau satu kali putaran penuh, melainkan waktu yang berselang antara dua posisi sama yang dibuat oleh Bumi, Bulan dan Matahari. Waktu tersebut lebih panjang dari waktu yang diperlukan oleh Bulan dalam mengelilingi Bumi sekali putaran penuh.54 Waktu yang diperlukan oleh Bulan dalam mengelilingi Bumi satu kali putaran penuh disebut satu periode bulan sideris/ the siderical month/ syahr an-nujumi yaitu memakan waktu selama 27 hari 7 jam 43 menit 11,6 detik.55

Ketentuan syara‟ ataupun dasar hukum tentang bulan Hijriah telah dijelaskan dalam nash al-Qur‟an dan juga hadis. Adapun ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan bulan Hijriah yaitu:                                                    

ُ

ةرقبلا

:

189

َ

53 Ibid. 54

Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 16-17

55

(35)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”56 (al-Baqarah : 189)                                     

ُ

سنوي

:

5

َ

Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinardan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”57(Yunus : 5)

Berdasarkan ayat di atas bahwasannya Allah swt. menciptakan siang dan malam dan juga mengatur pergantiannya secara teliti sebagai tanda atas kekuasaan-Nya, dan pengertian itu berguna bagi manusia untuk kehidupan mereka sehari-hari.58 Juga dengan silih bergantinya siang dan malam, manusia dapat mengetahui

56

Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29

57

Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 208

58

Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya,

(36)

dan menghitung bilangan hari-hari, bulan dan tahun dan dapat pula menentukan waktu beribadah dan hubungan muamalah.59                                                                 ) َبْوَتلا : 36 (

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah

adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” 60 (At-Taubah:36)

Berdasarkan ayat di atas maksudnya ialah sesungguhnya bilangan bulan itu ada 12 bulan di dalam ketetapan Allah, akibat pengaturan peredaran bulan dan penentuan orbit-orbitnya, sejak Dia menciptakan langit dan bumi menurut tatanan yang kita ketahui, seperti adanya malam dan siang hingga sekarang, dan menjelaskan tentang bulan-bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab),

59

Ibnu Katsir, Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Salim Bahreisy Dan Said Bahreisy, jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 16

60

(37)

maksudnya bulan haram yaitu pada bulan-bulan ini diharamkan untuk mengadakan peperangan.61

Ketentuan syara‟ ataupun dasar hukum tentang bulan Hijriah dijelaskan juga dalam nash hadis Rasulullah saw. adapun hadis yang berkaitan dengan bulan Hijriah diantaranya yaitu:

ىلَص ِها َلْوُسَر نَأ اَمُهْ َع ُها َيِضَر َرَمُع ِنْب ِّللا ِدْبَع ُثْيِدَح

َلاَقَ ف َناَ َمَر َرَكَ َملَسَو ِْيَلَع ُها

:

َاَو َلَ ِْْا اُوَرَ ت ََحاْوُمْوُصَتَا

َُلاْوُرُدقاَف ْمُكْيَلَع مُغ ْنإَف ُُوَرَ ت ََحاْوُرِطْفُ ت

ُ

ْيِراَخُبْلا ُاَوَر

َ

62

Artinya: “Hadis „Abdullah bin „Umar r.a. bahwasannya Rasulullah saw, menyebut Ramadan, kemudian

beliau bersabda:”Janganlah kamu berpuasa

sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan janganlah kamu berhari raya sehingga kamu melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka

perkirakanlah.”63

(H.R. Bukhari)

َملَسَو ِْيَلَع ها ىلَص ِِلا َلاَق ُلْوُقَ ي َُْع ها َيِضَر َةَرْ يَرُ َِِْا ْنَع

َناَبْعَش َةدِع اْوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َيُِغ ْنِإَف ِِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص

َْ ِ َ َ

ُ

ْيِراَخُبْلا ُاَوَر

َ

64

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun

61

Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Alih Bahasa, Hery Noer Ali Dkk., Terjemah Tafsir al-Maraghi, Cetakan Pertama, Penerbit Toha Putera, Semarang, 1987, hlm. 192-193

62

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub Al- Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 345. Hadits No 1906, Bab Puasa

63

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih Bahasa, Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan Koleksi Hadits yang

Disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993, hlm. 1-2

64

(38)

bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Syakban itu

menjadi tiga puluh hari.”65

(H.R. Bukhari).

Berdasarkan hadis di atas inilah yang menjadi pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana berpangkal pada zahir hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat.66

Secara umum hadis di atas ini menunjukkan bahwa siapa saja yang telah melihat bulan (hilal), maka kaum muslimin wajib mengikuti rukyat tersebut, karena lafaz (kamu) dalam hadis itu bisa diartikan dengan seluruh umat Islam yang akan berpuasa. Namun menurut para ahli Fiqh hadis ini lebih menunjukkan geografi orang yang melakukan rukyat, bukan untuk seluruh umat Islam. Namun demikian, jumhur ulama menyatakan bahwa apabila beberapa daerah dipimpin oleh satu kepala negara, sekalipun berjauhan, maka apabila kepala negara telah mengumumkan dimulainya puasa dengan rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah kekuasaannya maka seluruh umat Islam di negara tersebut wajib mengikuti pengumuman atau ketetapan pemerintah tersebut.67

B. Metode dan Sistem Penentuan Awal Bulan Hijriah

1. Perbedaan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriah

Penentuan awal bulan Hijriah adalah suatu hal yang sangat penting dan sangat diperlukan ketepatannya bagi umat Islam, sebab pelaksanaan ibadah dalam ajaran Islam banyak yang dikaitkan dengan metode penanggalan ini. Sejak zaman Rasulullah saw. dalam

65

Safuan Alfandi, Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162

66

Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 91-92

67

(39)

perjalanannya hingga sekarang, umat Islam telah melakukan kegiatan untuk menentukan awal bulan Hijriah. Kegiatan penentuan awal bulan Hijriah ini telah mengalami berbagai perkembangan, baik yang menyangkut metode maupun yang lainnya. Perkembangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan penafsiran dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi. Di samping itu, juga disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya yang ada hubungannya dengan penentuan awal bulan Hijriah.68

Adapun metode dalam menetapkan awal bulan Hijriah pada garis besarnya terbagi menjadi dua macam metode, pertama metoderukyat, kedua metode hisab.69 \

a. Metode Rukyat

Rukyat adalah bentuk masdar dari lafaz bahasa Arab yang asal kata kerjanya adalah

ىَرَ ي

-

ىَأَر

yang

artinya melihat. 70 Yang maknanya berarti ْوَأ ِْ َعْلِاب ُرَظ لا

ِ ْقَعْلِاب “melihat dengan mata atau dengan akal”.

Namun, pengertian rukyat dengan makna tersebut jarang sekali digunakan, kata rukyat merupakan istilah yang dipakai oleh para ahli Fiqh atau masyarakat luas untuk pengertian bulan baru (hilal) yang ada hubungannya dengan awal bulan Hijriah.71

Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk72 barat sesaat setelah Matahari terbenam,

68

Departemen Agama RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Editor, Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004, hlm. 23

69

Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm.44

70

Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit., hlm. 460

71

Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 112

72

(40)

tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan Bulan yang mengarah ke Matahari. 73 Penegasan ini memang diperlukan sebab terkadang kita melihat di ufuk timur sebelum matahari terbit, rupanya seperti hilal, tetapi ini bukan hilal melainkan bulan usia hari terakhir, sebelum terjadi ijtimak.74

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa rukyat merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah untuk menetapkan kapan awal bulan dimulai.75

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

rukyatul hilal merupakan pengawasan dengan mata terhadap adanya hilal pada akhir bulan Hijriah guna menentukan hari apakah jatuhnya tanggal satu bulan yang baru.76

dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seseorang pengamat memilih lokasi di pinggir laut tanpa pulau atau gunung yang menghalangi pemandangannya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di pinggir laut lepas. Lihat Farid Ruskanda, 100 masalah hisab dan rukyat, (telaah syari‟ah, sains dan teknologi),Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 22-23

73

Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung,

2016, hlm. 26

74

Panitia seminar nasional sehari penetuan awal bulan qamariyah antara hisab dan rukyat, Op.Cit., hlm. 8

75

Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 42

76

(41)

Al-Qur‟an juga menjelaskan tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Yakni dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 189:

                                                   

ُ

ةرقبلا

:

189

َ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan

sabit. Katakanlah: “Bulan sabit adalah

tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.77 (al-Baqarah : 189)

Berdasarkan ayat di atas bahwasannya mengungkapkan mengenai pertanyaan para Sahabat kepada Nabi tentang penciptaan ahillah. Atas perintah Allah swt, kemudian Rasulullah menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan ini muncul karena hilal telah tampak oleh para Sahabat.78

Apabila sesaat setelah Matahari terbenam hilal dapat dilihat maka, sejak Matahari terbenam sore itu sudah terjadi pergantian bulan Hijriah. Bila

77

Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29

78

(42)

terlihatnya itu setelah Matahari terbenam pada hari ke-29 bulan Ramadan misalnya, maka sejak Matahari terbenam hari itu dinyatakan sudah tanggal satu bulan Syawal.79

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid mengenai batas awal dan akhir bulan Hijriah apabila hilal tidak dapat atau tidak berhasil dilihat. Menurut Ibnu Umar, apabila hilal tidak berhasil dilihat di awal Ramadan, maka hari itu disebut

Referensi

Dokumen terkait

1. Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada imkan rukyat, sekalipun tidak ada laporan rukyatul hilal. Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab

Pada dasarnya, para pegiat ilmu falak FPI yang terkumpul dalam Lajnah Falakiyah FPI sudah mengenal berbagai metode hisab rukyat penentuan awal bulan Kamariah,

Meskipun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menggunakan sistem penentuan awal bulan yang berbeda, sehingga menurut Izzudin 8 , Nahdlatul Ulama disimbolkan sebagai Mazab Rukyat

PERHITUNGAN PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIYA ( Hisab Hakiki). Mata Kuliah

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah dengan metode rukyat al hilal, perukyah tidak akan terlepas dari hisab (perhitungan) untuk menentukan di mana posisi hilal, baik

Namun, penganut Aboge di Desa Kembang sampai sekarang masih menggunakan kaidah Aboge dalam menentukan perhitungan awal bulan Kamariah, karena mereka mayakini

Mursyid tarekat Naqsabandiyah, Syafri Malin Mudo juga tidak menutup diri untuk mempelajari metode hisab rukyah yang lain dalam penentuan awal bulan kamariah,

7 Pemahaman tentang ketinggian hilāl di Indonesia secara umum terbagi menjadi 4 macam, pemahaman pertama tinggi hilāl adalah kriteria astronomi terlepas dari masalah fase Bulan yang