• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan awal bulan qamariyah dalam perspektif hizbut tahrir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan awal bulan qamariyah dalam perspektif hizbut tahrir"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH

DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

JUMIATIL HUDA

NIM. 106044101412

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini menyatakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari ini terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Jakarta, 24 Maret 2011

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tiada hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat, dan taufiq-Nya sehingga memberikan kemampuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta seluruh umatnya hingga akhir zaman. Seorang suri tauladan yang mesti kita contoh sebagai teladan yang berorientasi kepada kepentingan umat.

Ungkapan terima kasih yang tiada terkira dari penulis kepada pihak-pihak yang turut membantu dan sangat berjasa dalam proses pelaksanaan penulisan skripsi ini.

Dengan penuh ikhlas dan hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Program Studi Peradilan Agama.

3. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, dan Ibu Dr.Hj.Mesraini, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan yang berharga dalam menyusun skripsi ini. 4. Kedua orang tua yang penulis cintai, sayangi serta hormati, mereka adalah Muhammad Arifin

(6)

Indah Armayeni S.E, serta keponakan-keponakan yang sangat penulis sayangi, semoga kalian menjadi generasi Islam yang mulia (harapan bunda kepada kalian), amin.

5. K.H. TG. Drs. Mukhtar Abdul Witri (alm) yang merupakan Kiyai sewaktu penulis masih di Pondok Dar El Hikmah Pekan Baru Riau. Beliau telah banyak memberikan nasehat dan tausiyah serta beliau juga menjadi penasehat IKAPDH (Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Darel Hikmah) Jakarta selama masa hidup beliau. Jazakumullah bil Jannah. Semoga Allah senantiasa memberikan kemuliaan di akhirat kepada beliau, amien.

6. Kak Syurthoh Rasyidah S.T, yang telah membantu membimbing penulis dalam mengerjakan skripsi. Jazakumullah bil Jannah. Semoga kakak diberikan kemudahan, kelancaran, kesabaran dalam menjalankan amanah yang Allah titipkan pada kakak, amien.

7. Mbak Hanin dan dedek Kaisy yang imut, yang telah mengarahkan dalam mengerjakan skripsi. Beserta kakak-kakak dan teman-teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu khususnya di Hizbut Tahrir yang telah membantu memberikan ide-ide dalam penyusunan skripsi. Jazakumullah bil Jannah. Semoga semuanya diberikan balasan yang berlipat ganda sebagai

investasi di akhirat kelak, amin ya Rabbal‟alamin.

8. Kepada rekan-rekan satu perjuangan di kelas Peradilan Agama B angkatan 2006, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kotribusi dalam menyusun skripsi. 9. Kepada teman-teman di rumah binaan (Rubin) Al Ghuraba yang telah bersedia menemani hingga

(7)

10.Kepada sobat-sobat dan rekan-rekan seperjuangan di IKAPDH khususnya angkatan X umumnya kakak-kakak dan adek-adek Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah Jakarta, Jazakumullah bil Jannah.

Mudah-mudahan apa yang penulis sajikan ini di ridhoi Allah SWT sehingga karya ini dapat bermanfaat baik bagi diri penulis, keluarga dan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Amin.

Jakarta, 24 Maret 2011 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Studi Review Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KONSEP MATHLA’ ... 12

A. Pengertian ... 12

B. Pendapat Ulama Tentang Mathla‟ ... 13

C. Mathla‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah ... 24

BAB III HIZBUT TAHRIR DAN CORAK PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG IBADAH ... 29

A. Sejarah Ringkas Hizbut Tahrir ... 29

B. Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Fiqih ... 35

BAB IV PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR ... 48

(9)

B. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia ... 62

C. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di Indonesia) ... 68

D. Pandangan Hizbut Tahrir Mengenai Keharusan Adanya Institusi Politik Pemersatu Umat (Khilafah) Untuk Menyatukan Umat Secara Global …… 75

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran-Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT yang telah menciptakan bintang-bintang di langit (ada 100.000 juta bintang di dalam tata surya kita), dan menjadikan matahari bintang yang paling dekat ke bumi

(cahayanya mencapai bumi dalam 499.0121, sedang sinar yang diterima bumi 6 juta kali dari yang ditangkap bintang-bintang lain). Dialah Allah SWT yang menjadikan bintang-bintang bersinar dan menjadikan bulan terang, menyerap dan menyemburkan kembali sinar yang diterimanya dari matahari. Dialah Allah SWT Yang Maha Pencipta menentukan garis edaran atau manzilah-manzilah bagi masing-masing matahari maupun bulan yang dengan itu kita dapat mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) termasuk di dalamnya perhitungan waktu awal bulan.

Agama mengajarkan manusia untuk memanfaatkan regularitas fenomena alam itu untuk berzikir, mengingat dan bersyukur atas berbagai karunia dan limpahan rahmat Yang Maha Pencipta. Agama menuntun memilih acuan sehingga manusia tak perlu berdebat untuk memberikan inisial atau nilai awal dalam menggunakan sebagian fenomena fase bulan dan alam, bila dibebaskan manusia boleh saja memilih apa saja sebagai acuan dan hal itu akan hanya menimbulkan kekacauan.2

Khususnya dalam menentukan awal bulan Qamariyah, kita sering mengalami adanya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan serta perbedaan berhari Raya Qurban (Idul Adha). Perbedaan ini baik di kalangan umat Islam Indonesia maupun antar umat Islam Indonesia dengan di luar negeri, seperti Malaysia atau Saudi Arabia. Perbedaan tidak

1

Abdurrahman Al Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali “Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir

Ramadhan, (Jakarta: INSAN Citra Media Utama,tth), Hal.1.

(11)

jarang menimbulkan keresahan, bahkan lebih dari itu kadang-kadang menimbulkan pertentangan fisik di kalangan umat Islam. Sudah barang tentu perbedaan seperti ini

merugikan persatuan dan ukhuwah umat Islam.3

Berkenaan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda:

̃ ث ح

:

ش ث ح

:

ق ي

ح ث ح

:

ه يض ي

:

ي

:

ص ي ق

ق ،

ي ه

:

ي ه ص

ق

:

(

(

ف ، ي طف ي

ص

يثاث

ف ي ي غ

.

“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu

Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan

bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)4 Rasulullah SAW juga bersabda:

ه ث ح

:

ه يض

ه ، ي ه ، ث ح

:

ق

ي ه ص ه

:

(

(

ف ،

ح

ص اف ، ي

ش ش

يثاث

ف ي غ

)

.)

“Diriwiyatkan oleh „Abdullah Bin Muslamah, Malik, „Abdillah bin Dinar, „Abdillah bin

Umar ra. Bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda: “Bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan 30.”(HR. Bukhari)5

Perbedaan jatuhnya awal dan akhir Ramadhan tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan antara kelompok hisab dan kelompok rukyat saja, melainkan sering pula terjadi disebabkan adanya perbedaan intern kalangan yang berpegang pada rukyat dan perbedaan

3

Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta: tp,2004), hal.1

4

Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, (Beirut-Libanon: Darul Kitab

„Alamiyyah, 1419 H/1998 M), hal.630

5

(12)

intern kalangan yang berpegang hisab. Perbedaan intern kalangan yang berpegang pada rukyat antara lain disebabkan dua hal. Pertama, karena adanya perbedaan tentang mathla‟. Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia, sebab

hadits Nabi: “Berpuasalah kamu jika melihat hilal...” adalah ditujukan untuk umat Islam di dunia. Pendapat ini dipegang Komisi Penyatuan Kalender Internasional. Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang mengitsbatkan hasil rukyat tersebut. Pendapat lainnya mengatakan bahwa hasil rukyat di suatu tempat hanya berlaku untuk daerah-daerah di mana posisi hilal memungkinkan dirukyat. Kedua, karena berbedanya penilaian terhadap keabsahan hasil

rukyat. Ini dapat disebabkan karena diragukannya “adalah” (keadilan) orang yang berhasil

melihat hilal bisa dirukyat. 6

Dari penjelasan di atas bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan itu terjadi. Peneliti ingin melihat yang menjadi penyebab perbedaan itu pada point pertama yaitu perbedaan tentang mathla‟, maksudnya adalah perbedaan pandangan para ulama tentang mathla‟ yang terbagi menjadi dua macam yaitu Ikhtilaful Matoli‟ dan Ittihadul Matoli‟.

Mengenai ikhtilaful matoli‟/mathali‟ --yang digunakan sebagian orang sebagai alasan (untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri)-- itu tidak lain merupakan manath (fakta untuk penerapan hukum) yang berkaitan dengan terbitnya hilal dan telah dibahas oleh para ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal pada malam yang sama ke seluruh penjuru negara Khilafah Islamiyah yang amat luas wilayahnya, disebabkan komunikasi yang sangat terbatas. Dalam konsep perbedaan

matla‟ (ikhtilaful mathla‟), setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km memiliki

6

(13)

mathla‟ sendiri. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tapi tidak terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu. Begitu juga, penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Sidoarjo dan seterusnya. Dengan konsep mathla‟ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla‟.7

Permasalahan perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha ini hampir tiap tahun terjadi, khususnya di negeri mayoritas Muslim ini, Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa permasalahan perbedaan itu terjadi pada masa dulu –Khilafah Islamiyah- kemungkinan besar adalah disebabkan oleh sulitnya menyampaikan informasi ke negeri yang lain. Ini sangat menarik bagi penulis, karena seiring dengan berkembangnya zaman semakin canggih alat untuk menyampaikan informasi ke daerah-daerah dan negeri-negeri Muslim lainnnya. Namun, mengapa perbedaan ini terus terjadi di kalangan kaum Muslimin itu sendiri? Seharusnya dengan alat yang canggih itu mampu menyatukan kaum Muslimin seluruh dunia, tapi itu tidak terjadi. Ini yang membuat penulis semakin terus ingin mengkaji.

Namun anehnya fenomena yang sama tidak terjadi di belahan dunia Islam lainnya seperti Timur Tengah dan Afrika. Kalaupun terdapat perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, itu hanya terjadi antar negara bukan di satu negara sebagaimana kejadian di Indonesia.8

Setelah penulis perhatikan bahwa banyak di antara ormas Islam khususnya di Indonesia, hanya Hizbut Tahrir yang tsiqah dengan konsep Khilafah, karena dengan Khilafahlah umat

7

Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali”Telaah Kritis Perbedaan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan”, (Jakarta: INSAN Citra Media Utama) hal.100-101

8

L. Supriadi, “Perbedaan Penentuan Awal Bulan Ramadhan dalam Tinjauan Fikih Islam”, artikel diakses

(14)

Islam bisa bersatu, seperti dalam hal ibadah, terutama dalam penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 9, 10 Dzulhijjah merupakan perkara penting, karena menyangkut kewajiban ibadah tertentu dan keharaman melakukan ibadah lainnya. Karenanya pijakan yang dipergunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah tersebut haruslah berdasarkan dalil-dalil terkuat atau pandangan ulama.

Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian ini dengan mengambil judul

skripsi yaitu: “PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DALAM PERSPEKTIF

HIZBUT TAHRIR (Studi Kasus Hizbut Tahrir Indonesia dalam Penentuan Awal Akhir Ramadhan).

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Pemikiran Hizbut Tahrir dalam bidang ibadah, khususnya puasa, dimana puasa mencakup rukun puasa, syarat-syarat puasa, dan lainnya termasuk penentuan awal bulan puasa. Sementara yang ingin dibahas dalam pemikiran ini dibatasi pada penentuan awal puasa menurut Hizbut Tahrir.

Dari pembatasan masalah tersebut maka permasalahannya adalah bagaimana penentuan awal bulan puasa menurut Hizbut Tahrir yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa metode dan dasar hukum yang digunakan Hizbut Tahrir dalam menetapkan awal bulan Qamariyah khususnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah?

2. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir tentang hisab di Indonesia?

3. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir mengenai keharusan adanya institusi politik pemersatu umat (Khilafah) untuk menyatukan umat secara global?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

(15)

1. Untuk mengetahui metode dan dasar hukum yang digunakan oleh Hizbut Tahrir dalam menetapkan awal bulan Qamariyah.

2. Untuk mengetahui pandangan Hizbut Tahrir tentang hisab di Indonesia.

3. Untuk mengetahui pandangan Hizbut Tahrir mengenai keharusan adanya institusi politik pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.

Selain dari tujuan yang diatas, manfaat dari dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat

Untuk memberikan informasi mengenai metode dan dasar yang dipakai Hizbut Tahrir dalam penetapan awal bulan Qamariyah.

2. Fakultas

Memberikan sumbangsih hasil penelitian guna memperkaya khazanah kemajemukan metode penentuan awal bulan Qamariyah dalam ilmu falak di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta menambah literatur kepustakaan khususnya mengenai Hizbut Tahrir.

3. Penulis

Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada tingkat Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Studi Review Terdahulu

1. Alfina Rahil Ashidiqi (105044101398), Mahasiswi Peradilan Agama, 2009. Dengan judul

(16)

penanggalan Jawa. Di mana komunitas Aboge memahami perhitungan Aboge sebagai interpretasi dari surat Yunus ayat 5. Rujukan kitab yang menerangkan sistem Aboge adalah Kitab Primbon Sembahyang dan Mujarrab, yang ditulis oleh H. M. Idris bin Yahya. Penelitian yang dibuat oleh Alfina jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian dan penafsiran Hizbut Tahrir dalam menetukan awal bulan Qamariyah.

2. Hiton Bazawi (104044101398), Mahasiswa Peradilan Agama, 2009. Dengan judul “Peran Pemerintah Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah (Tinjauan Kaidah Fiqhiyyah). Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan peranan pemerintah juga tanggapan Ormas Islam dalam menetapkan awal bulan Qamariyah yang ditinjau dari sudut kaidah Fiqhiyahnya. Sedangkan jenis data penelitian yang dilakukan lebih bersifat kualitatif. Penelitian ini lebih melihat kepada kaedah-kaedah fiqhiyah. Dalam skripsi ini, penulisnya menginginkan dengan kaedah-kaedah fiqhiyah hendaknya umat Islam mampu bersatu dalam hal ibadah mahdhah di bawah peran pemerintah. Penelitian yang dibuat oleh Hiton jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian dan penafsiran Hizbut Tahrir dalam menentukan awal bulan Qamariyah.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Tipe Penelitian

Dari sudut tujuan, penelitian bersifat deskriptif. Maksudnya, penelitian ini berupaya menggambarkan pandangan Hizbut Tahrir dalam menetukan awal bulan qamariyah, sedangkan jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Artinya penelitian ini mengambil dari kedalaman informasi.

(17)

Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder. Data primer pada skripsi ini adalah hasil wawancara kepada tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dan data-data atau dokumen yang berkaitan dengan Hizbut Tahrir. Adapun data sekunder adalah sebuah literatur yang berhubungan dengan ilmu falak secara umum atau literatur lain yang akan memberikan informasi tambahan pada judul yang diangkat dalam skripsi. Yaitu buku, majalah, jurnal, artikel dan lain sebagainya.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah: a. Wawancara yaitu penulis melakukan wawancara kepada tokoh Hizbut Tahrir, untuk

menggali lebih dalam tentang bagaimana penafsiran Hizbut Tahrir dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Hizbut Tahrir sendiri yang menentukan tokoh siapa yang akan diwawancarai, yaitu juru bicara dari Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia dan para anggotanya.

b. Dokumentasi pengumpulan data melalui studi kepustakaan. 3. Teknik pengolahan data

a. Seleksi data: setelah memperoleh data dari hasil wawancara dan dokumentasi yang bersifat tertulis. Dari data tersebut diperiksa kembali satu persatu, dan diambil data yang berkaitan dengan penelitian agar tidak terjadi kekeliruan.

b. Klasifikasi data: setelah data diperiksa lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian di analisa untuk selanjutnya.

4. Teknik Penulisan

(18)

F. Sistematika Penulisan

Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

Bab Pertama, berisi tentang Pendahuluan, Latar Belakang Masalah, Perumusan dan pembatasan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Studi Review Terdahulu, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, berisi tentang Konsep Mathla‟, Pengertian, Pendapat Ulama Tentang Mathla‟ dan Mathla‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah.

Bab Ketiga, berisi tentang Hizbut Tahrir dan Corak Pemikirannya dalam Bidang Fiqih, Sejarah Ringkas Hizbut Tahrir dan Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Ibadah.

Bab Keempat, berisi tentang Dasar Pijakan dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah, Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia, Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di Indonesia), Pandangan Hizbut Tahrir mengenai Keharusan Adanya Institusi Politik Pemersatu Umat (Khilafah) Untuk Menyatukan Umat Secara Global.

(19)

BAB II

KONSEP MATHLA

A. Pengertian Mathla’

Sebelum menjelaskan pendapat para ulama tentang perbedaan mathla‟, akan lebih baik menjejelaskan terlebih dahulu tentang makna kata mathla‟. Dibawah ini terdapat beberapa pengertian.

1. Mathla‟( ط ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna yaitu waktu atau zaman

munculnya bulan, bintang atau matahari.9 Contoh penggunaan kata ini adalah seperti di dalam QS. Al-Qadr (97): 5

ٰ

ح

ٰ

ط

׃

٥

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.

2. Sementara Mathli‟ ( ط ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna yaitu tempat munculnya bulan, bintang dan matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam QS. Al-Kahfi (18): 9010

ﻎ ح

ط

ش

׃

“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur).”

Jadi, kata mathla‟ dengan kata mathli‟ sama-sama bisa digunakan, tidak ada perbedaan dalam penggunaannya, yaitu waktu atau tempat munculnya bulan, bintang dan matahari. Karena bulan, bintang atau matahari akan muncul pada tempat dan waktu yang sama, namun yang berbeda itu adalah ketika ketiganya itu dilihat dari bumi. Sedangkan yang dimaksud dengan mahtla‟ secara istilah adalah terbitnya hilal (bulan sabit, awal terbitnya bulan) untuk penentuan awal bulan Ramadhan, yang merupakan bulan pelaksanaan ibadah puasa dan bulan

9

Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan”, artikel diakses pada 25 Juli 2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/pengertian matla.htm

10

Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan”, artikel diakses pada 25 Juli

(20)

Syawal sebagai tanda berakhirnya Ramadhan. Jadi untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan termasuk bulan Syawal serta Idul Adha adalah hanya berpatokan pada terbitnya

hilal.11

B. Pendapat Ulama Tentang Mathla’

Ulama berbeda pendapat tentang mathla‟. Perbedaan ini sebenarnya bukan fenomena baru di dalam masyarakat Islam. Perbedaan ini sudah terjadi semenjak zaman sahabat.12

Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa hidupnya Ibnu Abbas, yaitu ketika Kuraib pergi ke Syam. Bahwasannya pada waktu itu Ummu Fadhl mengutus Kuraib untuk menemui Muawiyah di Syam. Setelah tiba di Syam, pada waktu itu bulan Ramadhan telah datang, dan dia melihat hilal di malam Jum‟at, lalu sebulan kemudian dia datang ke Madinah pada akhir bulan tersebut. Di Madinah dia bertemu dengan Abdullah bin Abbas, kemudian Ibnu Abbas bertanya kepada Kuraib dan Kuraib menceritakan tentang hilal. Lalu Ibnu Abbas bertanya

lagi,”kapan kalian melihat hilal? Kuraib menjawab, kami kami melihatnya pada malam

Jum‟at”. Lalu Ibnu Abbas bertanya lagi,”Engkau melihatnya sendiri? Kuraib berkata lagi: Ya

betul, dan orang-orang pun melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Muawiyah pun berpuasa pula. Kemudian Ibnu Abbas berkata: Tetapi kami melihat pada malam Sabtu, dan kami terus berpuasa sampai genap tiga puluh hari, atau hingga kami melihat hilal Syawal. Kuraib

bertanya: Apakah engkau tidak merasa cukup dengan ru‟yat Muawiyah dan puasanya? Ibnu

Abbas menjawab: Tidak, sebab begitulah Rasulullah SAW memerintahkan kami. Memang perbedaan ini tidak bisa dipungkiri, karena kalau boleh melihat lagi ke zaman Rasulullah dan

11

Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, (Jakarta: PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1999), hal.49

12

(21)

para sahabat, perbedaan itu terjadi tidak lain diantaranya dikarenakan keterbatasan alat komunikasi.13

Berkaitan dengan mathla‟ di kalangan ulama dikenal dua istilah Ikhtilaful Mathali‟

(perbedaan matla‟/tempat atau waktu terbitnya hilal)14

. Yang dimaksud dengan Ikhtilaful

mathali‟ disini ialah perbedaan terbitnya matahari atau bulan di dua tempat yang berjauhan seperti Jakarta dan Surabaya. Kebalikan kata ikhtilaful mathali‟ adalah Ittihadul Mathali‟ yang artinya ialah kesatuan atau persamaan terbitnya matahari atau bulan di dua tempat yang berdekatan seperti Jakarta dan Bekasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟ dalam masalah puasa Ramadhan dan Idul Fitri ialah: Bila berhasil rukyatul hilal pada awal

malam tanggal 29 Sya‟ban di Jakarta umpamanya, kemudian hasil rukyat tersebut dilaporkan

kepada Hakim di Jakarta dan diterima, lalu Hakim menetapkan bahwa malam itu adalah malam Ramadhan berdasarkan rukyat tersebut maka penetapan Hakim di Jakarta tersebut berlaku hanya bagi daerah Jakarta itu sendiri, dan daerah yang berdekatan dengan Jakarta itu sendiri, dan daerah-daerah yang berdekatan dengan Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Kerawang, Cikampek dan lain-lain yang tergolong daerah ittihadul matoli‟ dengan Jakarta. Tetapi tidak berlaku untuk daerah yang di anggap ikhtilaful matoli‟ dengan Jakarta seperti: Surabaya, Kalimantan, Bali dan lain-lain. Demikian pula bila hal tersebut terjadi pada malam 29 Ramadhan untuk penetapan Idul Fitri.15

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal menentukan tempat terbitnya hilal. Berikut uraian tentang kedua istilah mathla‟ tersebut:

13

Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur‟an dan Hadits, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), cet.I. hal.46

14

Abdurrahman Al-Baghdady, Umatku Saatnya Bersatu Kembali, (Jakarta Timur: Insan Citra Media Utama), hal.100

15

(22)

1. Ikhtilaful Matali‟ (Perbedaan Tempat atau Waktu Terbitnya Hilal)

Ulama berbeda pendapat dalam memahami term ikhtilaful mathla‟ dan berbeda pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal menentukan tempat terbitnya hilal, yaitu:

a. Pendapat pertama, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟ ialah perbedaan dua tempat dengan ukuran jarak perjalanan yang membolehkan mengerjakan shalat qashar, yaitu kira-kira 85 km. Jadi hasil rukyat itu di Jakarta, maka hasil rukyat tersebut hanya berlaku untuk Jakarta dan daerah-daerah yang berada di dalam jarak 85 km dari Jakarta.16

b. Pendapat kedua, jauh itu bisa dibedakan berdasarkan perbedaan matla‟, seperti: Perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain; sedangkan yang dekat, seperti antara jarak 2 kota dalam satu negara.

c. Pendapat ketiga, jika iklimnya berbeda maka berarti jaraknya jauh, namun jika iklimnya sama maka jaraknya dekat.

d. Pendapat keempat, ukuran jauh itu di ukur dengan masalah qashar (jarak yang boleh meringkas shalat). Jika boleh mengqashar shalat berarti jaraknya jauh, jika tidak boleh maka jaraknya dekat.17

e. Menurut pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi‟I (Syafi‟iyah), dihitung dalam jarak kurang lebih 24 farsakh (berada dalam radius ± 120 km). Adapun penduduk daerah yang jauh (lebih dari radius 120 km), maka daerah tersebut tidak wajib mengikuti keputusan daerah yang di luar dari jarak yang telah ditentukan.18

16

Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, Hal. 78

17

Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, Hal. 50

18

Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal Dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh

(23)

Adapun kelompok yang mengatakan adanya perbedaan matla‟ (ikhtilful mathali‟), sehingga penduduk negeri tidak wajib berpuasa berdasar ru‟yatul hilal penduduk negeri yang lain, mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:

ا ق َا

ث

(

ق

:

خ̃اا ق ، خآ

:

ثَ

ج ا

إ

)

َ

(

ا

)

ك

:

ث

ا ض ا َ َ

،

ا ا ا آ ف َّ آ ، ض ا َ َ

ا ، َّ ا

ق ق َّ

إ

قف ا ا ك َث َ ا

ف َّ ا خٰآ ف

ا

ق َث

:

آ قف ؟ ا ا آ

َ ا آ قف

ص ا ص ، َ ا آ ، قإ ؟ آ قف

ا

قف ؟ ص

اآ ، قف ا آ ثاث ِ َ ص ا اف

:

آ ا ٰ ،ا

َ

ها َص ها

.

ف

َّش

.

“Diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah, Ibnu Hujrin (Yahya

bin Yahya berkata: kami mengabatkan dan dia berkata kepada orang-orang yang terakhir:

Hadits dari Ismail Wahwa bin Ja‟far) dari Muhammad (Wahwa bin Abi Harmalah) dari

Kuraib: “Saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana,

maka saya melihat hilal di malam jum‟at. Di akhir bulan saya kmebali ke Madinah. Maka ibnu Abbas bertanya kepada saya “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Kami

melihatnya pada malam Jum‟at. “Ibnu Abbas berkata: ”Apakah kamu sendiri yang

melihatnya? ”Aku menjawab: “Benar, dan orang-orang lain melihat juga. Karenanya

Mu‟awiyah ada orang-orang disana berpuasa. “Kata Ibnu Abbas: “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari atau

kami melihat bulan sendiri. “Aku berkata: ”Tidaklah Anda mencukupi dengan rukyat Mu‟awiyah dan puasanya? “Ibnu Abbas menjawab: ”Tidak”. Demikianlah kami diperintahkan Rasulullah.” (Yahya bin Yahya ragu-ragu dalam lafazh hadits, cukup bagi kita atau cukup bagi kamu).19

Tindakan Abdullah bin Abbas tidak mengikuti awal Ramadhan yang ditetapkan pemerintah di Syam, dimana Madinah waktu itu termasuk daerah kekuasaan Syam kemudian

berkata: “Demikian itulah Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kita”, maka tindakan

19

(24)

tersebut, menurut ilmu Mustolahul Hadits dimasukkan Hadits juga, sebab ada kata-kata

bahwa “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita”. Karena hal tersebut termasuk Hadits Nabi SAW, maka hal tersebut menjadi perhatian para ulama untuk diikuti. Tetapi kata-kata

Abdullah bin Abbas yang berbunyi: “Demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kita.”

Adalah kata-kata yang Mujmal, yakni tidak sepenuhnya jelas, sehingga para ulama berbeda pendapat dalam mentafsirkannya, yakni alasan-alasan apa yang menyebabkan penetapan hasil rukyat di Syam tidak berlaku bagi orang-orang yang tinggal di Madinah? Pendapat-pendapat para ulama itu antara lain:

a. Karena antara Syam dan Madinah itu berbeda mathla‟nya.

b. Karena antara Syam dan Madinah di waktu itu tidak ada penghubung cepat yang dapat memberi berita rukyat dalam waktu satu malam, sehingga penetapan rukyat pada malam itu di Syam tidak akan dapat dikerjakan oleh orang-orang Madinah pada pagi harinya. Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa diantaranya yang menggunakan alasan bahwa

antara Syam dan Madinah adalah berbeda matla‟nya adalah Mazhab Syafi‟i.20

Ulama Syafi‟i

memahami hadits Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya.21

Adapun Pendapat segolongan kecil ulama. Mereka berpegang kepada Hadits oleh Ahmad, Muslim dan At Turmudzi dari Kuraib, hadits yang dijelaskan di atas. Para ulama dalam menanggapi hadits Kuraib mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah

20

Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, hal.80

21

(25)

dijelaskan satu persatu oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari22. Diantara lain adalah:

a. Yang diikhbarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyat mereka sendiri, tak dapat mereka ikuti rukyat dari negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad, Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka yang berempat ini menurut nukilan ibn Mundzir.23

b. Tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyat negeri lain, terkecuali dibenarkan oleh Khalifah (Kepala Negara), karena seluruh daerah yang di bawah kekuasaannya

dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibn Majisun.24

c. Jika negeri itu berdekatan satu sama lain, dipandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah wajib diikuti rukyat itu oleh negeri-negeri yang lain. Inilah pendapat yang dipilih Abuththayib dari kalangan Syafi‟iyah dan Asy Syafi‟i sendiri menurut nukilan Al -Baghawy.25

2. Ittihadul Mathla‟ (Persamaan Waktu Dan Tempat Terbitnya Hilal)

22

Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, cet.II (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006), Buku no.2, hal.70

23

Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari:

“Bagi tiap-tiap negeri ru‟yah (melihat hilal) tersendiri. Dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas terdapat keterangan yang mendukung pendapat ini. Ibnu Munazdir juga meriwayatkan pendapat tersebut dari Ikrimah, Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Sementara Imam At-Tirmizdi menukilnya dari para ahli ilmu dan tidak menukil pendapat selain itu. Al Mawardi juga meriwayatkannya sebagai salah satu pendapat dalam mazhab

Syafi‟i.” Hal.70

24

Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari:

“Ibnu Al Majisyun berkata: Apabila hilal terlihat disuatu negeri, maka puasa hanya diwajibkan begi mereka yang tinggal di negeri tersebut; kecuali apabila hal itu sampai kepada Imam, lalu sang Imam menetapkan agar orang-orang memulai puasa, sebab negeri itu ditinjau dari kedudukan Imam sama seperti satu negeri dimana

ketetapannya berlaku untuk semua negeri.” Hal.70-71

25

(26)

Ulama berargumentasi ittihadul mathla‟ yaitu dengan banyak hadits yang memerintahkan berpuasa karena melihat hilal dan sebab berbuka, dan jika sebab sudah terwujud maka akibat pun akan terwujud, yakni puasa dan berbuka.

̃ ث ح

:

ش ث ح

:

ق ي

ح ث ح

:

ه يض ي

:

ي

:

ي ق

ق ،

ي ه ص

:

ي ه ص

ق

:

(

(

، ي طف ي

ص

يثاث

ف ي ي غ ف

.

“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar

Abu Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah

hitungan bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)26

Bila hilal awal bulan Ramadhan telah terlihat dalam suatu negeri, maka menurut pendapat kebanyakan ahli fikih, diantaranya para ahli fiqh dari Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menentukan wajib berpuasa bagi penduduk semua negeri. Karena mereka berpendapat bahwa perbedaan tempat terbitnya matahari atau bulan (ikhtilaful mathla‟) tidak menjadi masalah. Berdasarkan hal ini, apabila penduduk suatu negeri melihat datangnya bulan Ramadhan, maka wajib puasa bagi penduduk semua negeri Islam bersama-sama penduduk negeri yang melihatnya. Oleh karena itu penduduk Mesir, Irak, Kuwait dan lainnya wajib berpuasa, disebabkan bulan telah terlihat oleh penduduk Suria.

Begitu juga sebaliknya.27 Hal ini berdasarkan pengertian umumnya sabda Nabi saw.

ي

طف

ي

ص

Berpuasalah kamu ketika melihatnya dan berbukalah kamu ketika melihatnya”. (HR. Bukhari)

26

Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630

27

(27)

Dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa, Ibnu Abidin (1198-1252 H/1714-1836 M), ulama fiqih Mazhab Hanafiyah, menyatakan bahwa munculnya hilal pada setiap daerah dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat di ingkari; apalagi jika daerah itu saling berjauhan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW

menyatakan: “Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadhan), maka berpuasalah kamu dan jika

kamu melihat (hilal) bulan (syawal), maka berbukalah kamu”. Hadits itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika suatu penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk daerah Islam. Disinilah tejadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara (sekalipun wilayahnya luas) itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan di mulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan disuatu daerah, maka pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim diseluruh negara itu. Misalnya, daerah Aceh telah melihat hilal secara meyakinkan dan pemerintah mewajibkan memulai awal puasa berdasarkan penglihatan itu, maka seluruh umat Islam Indonesia wajib melaksanakan puasa pada hari itu. Ketentuan itu disepakati oleh ulama fikih karena dalam kaedah fikih disebutkan,

Keputusan Hakim (Pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat.28

Pendapat Ibnu Abidin ini ada sedikit berbeda dengan mazhab Hanafiyah, yakni dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Kitab Raddul Mukhtar juz II halaman 393 sebagai berikut:

(

ي

)

آ ظ ش

ي اف

يف ط فا خ ح

يف ا ﻔي

آ ح يغ يحضأ قح يف

ي

ي ق خآ يف

.

أ

ي

ق ط

ص يف

ي ط فا خ

ط

يحضا فا

.

ف

28

(28)

ش

ي يف يحضأ

ف

ق ي

ص ق

ش ث ي ي

.

Dari uraian Ibnu Abidin diatas dapat dipahami bahwa masalah pelaksanaan shalat Idul Adha tidak sama dengan masalah penetapan awal Ramadhan dan Syawal/Idul Fitri (yang menurut Jumhur tidak dikenal adanya sistem mathla‟). Sebab dalam penetapan awal bulan awal Ramadhan dan Syawal/Idul Fitri masalahnya adalah puasa, sedangkan disini (bulan Dzulhijjah/Idul Adha) masalahnya adalah soal shalat dan qurban. Jadi dalam hal ini kembali kepada mathla‟ masing-masing, sebagaimana waktu shalat maktubah dimana masing-masing negeri berlaku waktu setempat.29

Ulama Hanafiyah yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam mengartikan Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 185, “Jika kamu telah melihat bulan, maka hendaklah kamu berpuasa...”. juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam dimanapun mereka berada. Dengan demikian perbedaan matla‟ bagi Mazhab Hanafiyah tidak ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal dan hari Wukuf di Arafah.

Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam menentukan awal bulan Ramadhan, awal Syawal maka daerah lain wajib mengikuti daerah yang telah melihat itu. Alasan mereka adalah karena hadits Rasulullah SAW yang

dikemukakan di atas tidak membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya.30

Dari penjelasan di atas menjelaskan bahwa ketiga mazhab (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) sepakat bahwa tidak ada perbedaan mathla‟ dalam penentuan awal dan akhir

29

Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, hal 34

30

(29)

Ramadhan dan pelaksanaan Idul Adha. Namun Ibnu Abidin (ulama fiqih Mazhab Hanafiyah) berbeda dalam masalah pelaksanaan Idul Adha.

C. Mathla’ dalam Penentuan Waktu Ibadah

Ada beberapa teks nash baik yang berasal dari Al-Qur‟an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang waktu-waktu sholat. Bila dalam Al-Qur‟an penetapan waktu sholat yang lima waktu itu disebutkan secara implisit maka di dalam hadits Nabi saw penetapannya disebutkan secara eksplisit.31 Adapun beberapa teks nash itu sebagai berikut:

ق

ي

ٰ ص

Sesungguhnya sholat itu adalah fadhu yang ditentukan waktunya atau orang-orang yang

beriman.” (QS. An-Nisa, 4: 103)

ٰ ض

ف ط ح ف ي ء

ۖ

غ ق ش ط ق

ح ح

…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari, dan sebelum

terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu dimalam hari, dan pada waktu-waktu d isiang hari, supaya kamu merasa tenang.” (QS. Thaha, 20: 130)

ش ﻔ ء ق ۖ ﻔ ء ق ي ق غ ٰ ش

ٰ ص ق

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah

pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.

Al-Isra‟(17): 78)

ٰ ح ف ي

Dan bertasbihlah kepadaNya pada beberapa saat dimalam hari dan terbenam bintang-bintang di waktu fajar.” (QS. Ath-Thuur, 52: 49)

Dalam tafsir Al-Mishbah, kata ( ) li dûlûk terambil dari kata ( ) dalaka yang bila dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, maka ia berarti tenggelam, atau menguning, atau tergelincir dari tengahnya. Ketiga kata itu ditampung oleh kata tersebut, dan dengan demikian ia mengisyaratkan secara jelas dua kewajiban sholat, yaitu Zuhur dan Maghrib, dan secara tersirat ia mengisyaratkan juga tentang sholat Ashar, karena waktu Ashar bermula

31

(30)

begitu matahari menguning. Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat diatas yang menghinggakan perintah pelaksaann sholat sampai ( ي ق غ)ghasaq al-lail, yakni kegelapan malam. Demikian tulis Al-Biqậ‟i. Ulama Syiah kenamaan, Thâbâthâbâ‟I, berpendapat bahwa kalimat ( ي ق غ ش ) mengandung empat kewajiban sholat, yakni ketiga yang disebut al-Biqa‟I dan sholat Isya‟ yang ditunjuk oleh ghasaq al-lail. Kata (ق غ) ghasaq pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa dipenuhi oleh kegelapan. 32

Waktu shalat ini dijelaskan juga dalam hadits Rasulullah SAW.

ها ض

ها

ا

ها

ص

َ

ها َ

ق

׃

ا ا ا

ا ق

ص ا ض

،

ا

ّ ا

ّ ا

،

ص

ص ا ق

ا ص ق

ّا ﻐ

،

ﻐ ا

ّ ا ا ص ا ق

ء

ﻷا

ا ﻒ ص ا

،

ص ا ا ص ق

ّ ا ﻄ

ا

ﻄ ش

ق ﻄ َإف اَص ا ّ ف َّ ا ط ا إف ،

.

ا

“Dari Abdullah bin Amru R.A, bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda, “Waktu zhuhur apabila tergelincir matahari, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum dating waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama matahari belum menguning. Dan waktu shalat Maghrib selama syafaq belum terbenam (mega merah). Dan waktu shalat Isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu subuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. Maka jika matahari telah terbit, janganlah kamu melakukan shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan.” (HR. Muslim)33

Bila diperhatikan dari landasan normative di atas maka awal waktu shalat senantiasa didasarkan pada perjalanan matahari harian sebagai akibat dari adanya rotasi bumi dari Barat ke Timur. Oleh karena itu waktu sholat relative terhadap peredaran semu matahari.

32

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ”pesan, Kesan dan Kesaksian Al-Qur‟an”, cet.VIII. (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal.533-534

33

(31)

Waktu shalat dari hari ke hari, dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu shalat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu matahari relative terhadap bumi. Pada dasarnya, untuk menentukan waktu shalat, diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian. Letak geografis suatu tempat bisa dicari dengan atlas atau GPS (Global Posisioning Sistem), waktu dan tanggal adalah tanggal tertentu yang akan kita tentukan waktu shalatnya dan ketinggian adalah data tinggi matahari pada waktu shalat yang akan ditentukan.34

ا َصف َّ ا ا ا إ

“Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.”(HR. at-Thabrani)

Praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika melakukannya, dan bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat pun sah. Jika tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian melihat jam, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Karena Allah SWT telah memerintahkan untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya.35

Adapun kaitan mathla‟ dengan waktu shalat, yaitu:

34

Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, hal.97

35

(32)

Perlu diketahui bahwa penjelasan syara‟ tentang pelaksanaan ibadah adakalanya

mengaitkan penetapannya dengan jam (misalnya: waktu shalat, pelaksanaan puasa untuk imsak dan ifthar dan lain-lain), bisa juga dengan hari (misalnya: shalat jum‟at, puasa sunnah Senin-Kamis), ada pula yang ditetapkan dengan tanggal Qamariyah (misalnya: penetapan hari Arafah, Idul Fitri dan Idul Adha dan lain-lain). Jadi dalam ibadah yang penentuannya adalah jam dan atau hari, maka hal ini terkait erat dengan peredaran matahari. Misalnya untuk penetapan waktu-waktu shalat, sebagaimana firman Allah SWT:

ش ﻔ ء ق ۖ ﻔ ء ق ي ق غ ٰ ش

ٰ ص ق

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah

pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.

Al-Isra‟(17): 78)

Sedangkan penetapan awal dan akhir Ramadhan, syara‟ memberikan tuntunan untuk

mengaitkannya (hanya) dengan (peredaran) bulan,36 sehingga tidak bisa di analogikan bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadhan diperbolehkan karena dalam shalatpun negeri satu

dengan negeri yang lainnya memiliki perbedaan waktu.37

Jadi dalam menentukan pelaksanaan ibadah seperti waktu shalat, imsak dan ifthar dan lain-lain, itu semua ditentukan oleh peredaran matahari, sedangkan dalam menentukan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah ditentukan oleh peredaran bulan.

36

Bulan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur, begitu pula bumi mengelilingi matahari berama-sam bulan dalam arah yang sama. Perputaran bulan mengelilingi bumi (revolusi), menentukan bentuk-bentuk bulan yang bisa dilihat dari permukaan bumi. Kadang-kadang terlihat sabit/hilal, perbani, benjol, penuh (purnama) sampai kebulan mati, kemudian kembali ke bentuk semula dan seterusnya, yang masing-masing telah tertentu posisinya di luar angkasa.

37

(33)

BAB III

GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR

A. Sejarah

Hizbut Tahrir didirikan oleh Syakh Taqiyyudin an-Nabhani. Dia dilahirkan di Ijzim, masuk wilayah Haifa. Nama lengkapnya adalah Muhammad Taqiyyudin bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementerian Pendidikan Palestina. Pendidikan awalnya diterima dari ayahnya. Di bawah bimbingan sang ayah, sudah hapal al-Qur‟an seluruhmya sebelum usia 13 tahun. Dia juga mendapat fiqih dan bahasa Arab. Dia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya. Ibundanya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Dia juga dibimbing dan diasuh oleh kakeknya yaitu Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muhammad Nashiruddin an-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawann dan

ulama besar.38

Bersama Daud Hamdan, Ghanim Abduh, Dr. Adil Nablusi dan Munir Syaqir, an-Nabhani mengajukan pendirian Hizbut Tahrir secara resmi, namun permintaan ini ditolak. Karena itu, sampai sekarang (1997) Hizbut Tahrir melakukan segala aktivitasnya tanpa pengakuan resmi pemerintah (Yordania).39

Hizbut Tahrir berdiri dalam rangka memenuhi seruan Allah dalam firman Allah SWT QS. Ali-Imran ayat 104:

ح ﻔ

ۚ

ي ف

ي ي

ي

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

38 Yahya A, “Subject:

Biografi Singkat Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani”. Artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/biografi SYEKH TAQIYYUDIN...htm

39

(34)

Di dalam ayat ini Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim agar diantara mereka ada

suatu kelompok (jama‟ah) yang bergerak dalam dua aktivitas:

a. Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam. b. Menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah kemungkaran.

Membentuk jama‟ah disini ditunjukkan sekedar dengan adanya thalab (seruan dari Allah).

Namun demikian, terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut adalah kewajiban. Sehingga aktivitas yang telah ditentukan oleh ayat agar dilaksanakan oleh kelompok terpadu tersebut, -yakni dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar -hukumnya wajib atas kaum muslimin.

Tentang jama‟ah itu harus berbentuk partai politik, maka dapat dilihat dari segi bahwa ayat di atas memerintahkan kaum Muslim agar diantara mereka ada sekelompok orang yang

membentuk suatu jama‟ah. Cakupan aktivitas jama‟ah ini telah ditentukan (dibatasi), yaitu

dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar.

Sedangkan cakupan aktivitas amar ma‟ruf nahi munkar meliputi seruan terhadap ada

penguasa agar mereka berbuat ma‟ruf (melaksanakan syari‟at Islam-pen) dan melarangnya

berbuat munkar (melaksanakan sesuatu tidak bersumber dari syari‟at-pen). Bahkan aktivitas inilah yang menjadi bagian terpenting dalam amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu mengawasi para penguasa serta menyampaikan nasehat kepadanya. Aktivitas ini tergolong aktivitas politik, malahan aktivitas politik yang sangat penting, yang menjadi ciri utama dari aktivitas partai politik. Dengan demikian ayat ini menunjukkan adanya kewajiban untuk mendirikan partai politik.

(35)

dakwah kepada Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar, yang dilakukan sesuai dengan hukum Islam -tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok-kelompok dan partai-partai Islam.

Partai Islam adalah partai yang berasaskan akidah Islam. Partai yang mengambil dan menetapkan ide-ide,hukum-hukum dan pemecahan yang Islami. Thariqah (metode) operasionalnya adalah thariqah Rasulullah saw. Oleh karena itu, kelompok-kelompok kaum

muslim berdiri di atas selain Islam.40

Hizbut Tahrir mendefinisikan dirinya sendiri sebagai partai ideologis (mabda‟i)41, ideologinya adalah Islam, politik adalah aktivitasnya dan Islam adalah mabda‟nya. Hizbut Tahrir beraktivitas di tengah-tengah dan bersama umat untuk mengambil Islam sebagai permasalahan utama dan memimpin umat guna mengembalikan Khilafah dan hukum-hukum Allah ke dalam realitas. Hizbut tahrir merupkan kelompok politik; bukan kelompok spiritual,

40

Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir” (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), cet.I, hal. 4-7

41

(36)

kelompok ilmiah, kelompok pendidikan atau kelompok sosial. Pemikiran Islam merupakan ruh bagi tubuhnya. Pemikiran Islam merupakan inti dan rahasia kehidupannya.

Banyak laki-laki dan perempuan bergabung dalam Hizbut Tahrir tanpa memandang kenyataan dia sebagai orang Arab atau non Arab, berkulit putih atau hitam. Ia merupakan partai bagi kaum Muslim untuk mengemban Islam. Para anggota Hizbut Tahrir mengadopsi aturan-aturannya tanpa memandang kebangsaan mereka, warna kulit dan mazhab mereka. Hizbut Tahrir memandang semuanya dengan pandangan Islam. Metode pengikatan anggotanya dalam Hizbut Tahrir terjadi dengan meyakini akidah Islam, matang dalam tsaqâfah42 kepartaian serta mengadopsi pemikiran-pemikiran dan pandangan Hizb. Seseorang itu sendirilah yang mewajibkan dirinya untuk bergabung dengan Hizb, yaitu ketika ia melebur di dalamnya dan ketika ia berinteraksi dengan dakwah bersama Hizb; mengadopsi pemikiran-pemikiran dan konsepsi-konsepsi Hizb.43

Artinya bahwa siapapun yang ingin bergabung dengan Hizb dalam rangka menyebarkan Islam atau dengan kata lain adalah mendakwahkan gagasan Islam yang diadopsi Hizb, maka di dalamnya sama sekali tidak melihat profil seseorang tersebut, dalam artian Hizb hanya

42

Tsaqafah adalah pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan

istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan). Misalnya sejarah, bahasa, fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimental lainnya. Sedangkan Tsaqafah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan aqidah Islam sebagai sebab dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung aqidah Islam dan membahas tentang aqidah, seperti ilmu tauhid. Bisa juga pengetahun yang bertumpu pada aqidah Islam, fiqih, hadits dan tafsir. Juga pengetahuan yang terkait dengan dari pemahaman yang terpancar dari aqidah Islam berupa hukum-hukum, seperti pengetahuan-pengetahuan yang mengharuskan ijtihad dalam Islam, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, musthalah hadits dan ilmu Ushul. Lihat, Taqiyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam (Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyah), (Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008) cet.I. hal.383 dan 386. Lihat, Tsaqafah adalahsekumpulan pengetahuan yang mempengaruhi akal dan sikap seseorang terhadap fakta (benda maupun perbuatan), seperti masalah hukum, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Tsaqafah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hadharah. Sebab tsaqafah adalah pemikiran-pemikiran yang menjelaskan sudut pandang dalam kehidupan. Lihat, Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, cet.IV. Edisi Bahasa Indonesia, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010),hal.184,. Lihat, Hadharah adalah sekumpulan (mafahin) ide yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup. Lihat, Taqiyuddin an Nabhani, Nizham al Islam, terj Abu Amin, dkk., Perturan Hidup dalam Islam, cet.III., (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah 2003), hal. 92.

43

(37)

melihat keyakinannya saja karena apabila keyakinan seseorang berbeda dengan Hizb, dalam arti agama maka Hizb tidak akan membuka peluang baginya kecuali orang tersebut mau bertaubat masuk Islam. Karena dalam memperjuangkan Islam dengan segala perangkat aturannya tidak mungkin ada di dalamya terdapat seseorang yang berkeyakinan lain atau disebut juga non-Islam.

Dalam usianya kurang lebih setengah abad, Hizb yang berpusat di Kota Timur Tengah itu, telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ia tidak hanya berkembang di negara-negara konsentrasinnya, seperti Yordania, Palestina, Irak, Syria, Saudi Arabia, Kuwai, Yaman, Uzbekistan, Turki, Mesir, Sudan dan Libia, tetapi ikut juga menyebar ke negara-negara lain. Pada tahun 1994 di London, Inggris, Hizb telah menyelenggarakan Konferensi Khilafah Islâmiyah. Di Indonesia terselenggara juga konferensi yang sama pada tahun 2001. Di negara lainnya, seperti Jerman, Prancis, Austria, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Malaysia, Azerbeijan, Pakistan, Dagestan, Hizb giat melakukan berbagai kegiatan.

Partai ini masuk ke Indonesia sekitar 1980 melalui Ustad Abdurrahman al-Baghdhadi, seorang warga Australia yang mempelajari dan menjadi kader Hizb di Libanon. Paham gerakan ini kemudian dipelajari oleh KH. Abdullah bin Nuh, seorang ulama Bogor. Pada awal perkembangnya, para pengikut gerakan ini kebanyakan mahasiswa dan generasi muda lainnya. Anggota-anggotanya hingga saat ini sudah menyebar ke berbagai kota besar, seperti di Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Halmahera.44

Dalam konteks Indonesia, Hizb baru pada tingkat gerakan moral politik yang dilakukan dalam berbagai kegiatan terutama melalui tablik akbar dan demonstrasi, dua hal ini merupakan cara Hizb menyuarakan gagasan politik Islamnya. Menurut salah seorang pengurusnya, Hizb tidak akan menjadi partai politik untuk saat ini di Indonesia, tetapi akan

44

(38)

berjuang secara ekstrapralementer. Kelembagaan politik Indonesia menurutnya menyulitkan sekaligus tidak efektif bagi Hizb untuk memperjuangkan gagasan Khilafah Islamiyah, bahkan

muncul “ketakutan” akan terjerumus ke dalam kepentingan-keentingan politik yang sesaat

yang justru akan mengurangi bobot perjuangan Islam di masa depan.45

B. Corak Pemikiran Hizbut Tahrir Dalam Bidang Fiqih

Adapun corak pemikiran Hizbut Tahrir dalam dalam fikih adalah sebagaimana dikatakan oleh Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir tidak mempunyai bidang fikih tersendiri, karena dalam hal ibadah mahdhah Hizbut Tahrir tidak mempunyai kepentingan didalamnya khususnya dalam penetapan awal dan akhir bulan qamariyah ini, menurut Hizbut Tahrir itu adalah keputusan kepala Negara (Khalifah). Namun Hizbut Tahrir mempunyai metodologi sendiri dalam menggali (istinbâth) hukum-hukum Islam yaitu yang disebut dengan Ushul Fiqh.

1. Abdul Wahab Khalaf, telah menemukan ta‟rif Ushul Fiqh sebagai berikut:

َا

ا ا ق ا

َّ ا اﻄصاا ف ق ا صا ف

ا َص

ا َص َا

ا ا ق ا

ا َ ص َ ا َ ا َ ا َ َّ ا

ﻷا

َ ص َ ا َ ا َ ا َ َّ ا

ﻷا

ا

.

Ilmu ushul fiqh menurut istilah syara‟ agama satu ilmu dengan undang-undang (mempunyai undang-undang) dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan antara undang-undang itu kepada faedah hukum syara‟ yang akan diamalkan yang diambil dari dalil yang tafshili atau terinci/terurai, atau dianya (ilmu ushul fiqh) adalah kumpulan dari beberapa undang-undang dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan dengannya (kaedah dan pembahasan) kepada mengambil faedah hukum-hukum syara‟ yang akan diamalkan dari dalil-dalilnya yang terinci.” 46

Adapun Ushul Fiqh Hizbut Tahrir sebagaimana dikatakan di atas adalah sebagai berikut:

45

Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam IndonesiaPertautan Negara, Khilafah, Msyarakat Madani Dan Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet.I. hal.387-388

46

(39)

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma‟lul (hukum yang terdapat illat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham.

Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta‟ala :

ق َ ا ثك ق

ّ ا ق

"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu…" (QS.Hud (11):91) Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci.47

Namun secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai fiqh, sebab istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya (istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I‟tiqad.

Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses didapatnya otoritas dalam hukum-hukum operasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya rinci.

Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta‟adul dan tarajih terhadap dalil-dalil. Tapi ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan landasan

47

(40)

ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.48

Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti

mutlaknya perintah, larangan, perbuatan Nabi, ijma‟ shahabat serta qiyas. Dengan begitu

dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah :

ٰ َص ا ا قآ

“...dan dirikanlah shalat...” (QS. An-Nur (24): 56)

ۖ ٰ ِ ا ا ق ا

“…dan janganlah kalian mendekati zina…”(QS. Al Isra'(17):32)

Shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka‟bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci, spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.49

Diantara ushul fiqh di atas dengan ushul fiqh yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, pada intinya tidak ada perbedaan diantara definisi ushul fiqh di atas.

Adapun metodologi istimbath Hizbut Tahrir akan dijelaskan dalam metode At-Ta‟âdul wa At-Tarâjih, sebagai berikut:

48

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, Hal. 6

49

(41)

Apabila terjadi pertentangan diantara dalil-dalil, dan sebagian tidak lebih baik dari yang lain, jika seperti itu disebut dengan at-ta‟âdul.50 At-ta‟âdul tidak akan terdapat pada dalil-dalil yang bersifat qath‟i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash/dalil yang bersifat qath‟i. Begitu juga tidak akan terjadi pertentangan antara dalil yang qath‟i dengan dalil yang zhanni, karena yang qath‟I harus didahulukan terhadap yang zhanni. Ta‟âdul ini tidak akan terjadi antara dalili-dalil yang zhanni dilihat dari sisi fakta pensyari‟atan (al-wâqi‟ at-tasyri‟), meskipun dilihat dari perkiraan mantiq (al-fardli al-manthiqi) bias saja terjadi. Namun hal ini bertentangan dengan fakta pensyari‟atan. Sebab dalil-dalil yang zhanni apabila bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan salah satu diantaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bias mengamalkannya; atau mengamalkan dalil zhanni yang manapun juga.51

Berdasarkan penjelasan diatas maka sebenarnya tidak terdapat di antara dalil-dalil syara‟. Sedangkan tarjih secara bahasa adalah pemindahan dan memenangkan52, mencondongkan (at-tamyîl) dan mengalahkan (at-taghlîb), yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil terhadap yang lainnya agar bisa diamalkan sebagaimana para shahabat merajihkan khabar

„Aisyah RA yaitu sabda beliau SAW:“Apabila telah bertemu dua khitan maka wajib mandi”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad). Atas khabar Abu Said Al Khudzri,yaitu sabda beliau SAW:

“Bahwa air itu dengan air”.(Hadist dikeluarkan oleh Ahmad).

Karena istri Nabi SAW dianggap paling tahu dengan perbuatan beliau dalam hal-hal yang seperti ini dibanding dengan laki-laki yang lain. Maka ijma‟ ini membolehkan terikat dengan tarjih.

50

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal 675

51

„Atha bin Khalil, Ushul Fiqh “Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis”, cet.II. (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, Muharram 1429 H/2008 M),. Hal.380.

52

(42)

Tarjih itu dikhususkan pada dalil dzanni, yakni khabar ahad, dan tidak terjadi pada yang

qath‟i. Garis besar tarjih diantara dalil-dalil dzanni dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama: apabila ada dua nash yang bertentangan maka ditarjih diantara salah satu dari keduanya atas yang lain, jika tidak memungkinkan mengamalkan keduanya, apabila memungkinkan meski hanya hanya satu segi dan tidak pada segi yang lain, maka tidak

melakukan tarjih.53 Misalnya adalah sabda beliau SAW:“Maukah kalian aka beritahu saksi yang sebaik-baik saksi? Yaitu yang menyampaikan kesaksian sebelum dimainta”. (Hadits dikeluarkan oleh Muslim). Sabda beliau bertentangan dengan sabda beliau SAW:“Kemudian tersebar luas kebohongan, sampai-sampai seorang laki-laki itu bersaksi padahal tidak

diminta memberikan kesaksian.” (Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah).54

Maka hadits pertama mengandung pengertian terkait dengan hak Allah, sedangkan hadits

yang kedua terkait dengan hak manusia.55

Kedua: apabila terjadi pertentangan antara dua nash, tapi sepadan dalam kekuatan dan keumuman, dan diketahui yang datang belakangan diantara keduanya. Maka yang datang belakangan itu menasakh yang sebelumnya. Tapi apabila tidak tahu dan tidak diketahui mana diantara keduanya yang lebih dahulu dan mana yang datang belakangan maka ditarjih salah satunya terhadap yang lain apabila keduanya adalah dalil dzanni, apabila keduanya merupakan dalil qath‟i maka tidak terjadi petentangan diantara keduanya karena ta‟âdul tidak terjadi pada dalil-dalil yang qath‟i.56

Apabila tidak sepadan baik dalam kekuatan maupun keumuman, tapi salah satunya qath‟i sedangkan yang lain dzanni, atau salah satu dari keduanya umum sedangkan yang lain khusus,

53

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

54

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

55

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

56

(43)

disini dapat dilakukan tarjih. Tapi apabila keduanya tidak sama dalam kekuatan, artinya salah satunya qath‟i dan yang lain dzanni maka ditarjih yang qath‟i dan beramal dengan yang qath‟i tersebut dan meninggalkan yang dzanni, baik apakah keduanya umum ataupun khusus, atau yang qath‟i khusus sedangkan dzanni umum. Maka apabila yang qath‟i tersebut adalah umum sedangkan yang dzanni itu khusus maka beramal dengan yang dzanni. Tapi apabila keduanya tidak selevel dalam umum dan khusus, yaitu salah satunya lebih khusus dibanding dengan yang lain secara mutlak, maka dikuatkan yang khusus atas yang umum, dan beramal dengannya yang merupakan paduan antara dua dalil. Tapi apabila tidak sepadan pada keumumannya yaitu umum dan khusus antara keduanya pada satu segi saja. Maka dicari tarjih antara keduanya pada bentuk yang lain untuk mengamalkan yang paling kuat. Karena khusus itu mengharuskan yang paling kuat. Maka telah ditetapkan seperti itu untuk masing-masing dari keduanya khusus pada satu segi terkait yang lain. Maka jadilah masing-masing-masing-masing dari keduanya lebih kuat atas ya

Referensi

Dokumen terkait

Pasien dengan ARDS, yang sering terlihat pada COVID-19 yang berat kadang- kadang berkembang menjadi kerusakan paru permanen atau fibrosis/scar. Pada CT scans, NORMAL = paru

Hasil dari sampling 4 jenis tanaman, selanjutnya dilakukan proses isolasi untuk mendapatkan bakteri yang diinginkan dan berikut ini adalah sumber akar tanaman dan

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”Keefektifan Teknik Diskusi Model Time Token untuk Meningkatkan Kemampuan Mengemukakan Pendapat pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri

1. Struktur rangka kolom menerus dengan sambungan kaku. Struktur rangka kolom kaku dengan pin joint sebagai alat sambungan pada balok. Struktur rangka dengan pin joint

Sedangkan mengenai persyaratan dasar kewilayahan dalam Pembentukan Daerah menurut Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pemekaran Kabupaten Pringsewu mempengaruhi peningkatan daya layan daya layan kasar dan daya layan potensial sedangkan daya layan aktual tidak mengalami kenaikan yang

Tentunya tidak hanya hal diatas yang harus di buat dalam sebuah bisnis waralaba, Anda harus mengetahui SOP mana yang tidak perlu di berikan kepada penerima waralaba, dan SOP