• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mathla ‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah

BAB II KONSEP MATH LA’

C. Mathla ‟ dalam Penentuan Waktu Ibadah

Ada beberapa teks nash baik yang berasal dari Al-Qur‟an maupun Hadits Nabi Muhammad

SAW yang menjelaskan tentang waktu-waktu sholat. Bila dalam Al-Qur‟an penetapan waktu

sholat yang lima waktu itu disebutkan secara implisit maka di dalam hadits Nabi saw penetapannya disebutkan secara eksplisit.31 Adapun beberapa teks nash itu sebagai berikut:

ق ي ٰ ص

Sesungguhnya sholat itu adalah fadhu yang ditentukan waktunya atau orang-orang yang

beriman.” (QS. An-Nisa, 4: 103)

ٰ ض ف ط ح ف ي ء ۖ غ ق ش ط ق ح ح

…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari, dan sebelum

terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu dimalam hari, dan pada waktu-waktu d isiang hari, supaya kamu merasa tenang.” (QS. Thaha, 20: 130)

ش ﻔ ء ق ۖ ﻔ ء ق ي ق غ ٰ ش ٰ ص ق

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah

pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.

Al-Isra‟(17): 78)

ٰ ح ف ي

Dan bertasbihlah kepadaNya pada beberapa saat dimalam hari dan terbenam bintang-bintang di waktu fajar.” (QS. Ath-Thuur, 52: 49)

Dalam tafsir Al-Mishbah, kata ( ) li dûlûk terambil dari kata ( ) dalaka yang bila dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, maka ia berarti tenggelam, atau menguning, atau tergelincir dari tengahnya. Ketiga kata itu ditampung oleh kata tersebut, dan dengan demikian ia mengisyaratkan secara jelas dua kewajiban sholat, yaitu Zuhur dan Maghrib, dan secara tersirat ia mengisyaratkan juga tentang sholat Ashar, karena waktu Ashar bermula

31

Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 1428 H/2007 M), hal.29

begitu matahari menguning. Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat diatas yang menghinggakan perintah pelaksaann sholat sampai ( ي ق غ)ghasaq al-lail, yakni kegelapan malam. Demikian tulis Al-Biqậ‟i. Ulama Syiah kenamaan, Thâbâthâbâ‟I, berpendapat bahwa

kalimat ( ي ق غ ش ) mengandung empat kewajiban sholat, yakni ketiga yang disebut al-Biqa‟I dan sholat Isya‟ yang ditunjuk oleh ghasaq al-lail. Kata (ق غ) ghasaq pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa dipenuhi oleh kegelapan. 32

Waktu shalat ini dijelaskan juga dalam hadits Rasulullah SAW.

ها ض ها

ا

ها

ص

َ ها َ

ق

׃

ا ا ا ا ق

ص ا ض ، ﻄ ا ّ ا

ّ ا ، ص ص ا ق

ا ص ق

ّا ﻐ ، ﻐ ا

ّ ا ا ص ا ق

ء

ﻄ ﻷا ا ﻒ ص ا

،

ﻄ ص ا ا ص ق

ّ ا ﻄ ا

ﻄ ش ق ﻄ َإف اَص ا ّ ف َّ ا ط ا إف ،

.

ا

“Dari Abdullah bin Amru R.A, bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda, “Waktu zhuhur apabila tergelincir matahari, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum dating waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama matahari belum menguning. Dan waktu shalat Maghrib selama syafaq belum terbenam (mega merah). Dan waktu shalat Isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu subuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. Maka jika matahari telah terbit, janganlah kamu melakukan shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan.” (HR. Muslim)33

Bila diperhatikan dari landasan normative di atas maka awal waktu shalat senantiasa didasarkan pada perjalanan matahari harian sebagai akibat dari adanya rotasi bumi dari Barat ke Timur. Oleh karena itu waktu sholat relative terhadap peredaran semu matahari.

32

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ”pesan, Kesan dan Kesaksian Al-Qur‟an”, cet.VIII. (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal.533-534

33

Muhammad Nashirudin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim Buku I, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2003), cet.I, hal. 170

Waktu shalat dari hari ke hari, dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu shalat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu matahari relative terhadap bumi. Pada dasarnya, untuk menentukan waktu shalat, diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian. Letak geografis suatu tempat bisa dicari dengan atlas atau GPS (Global Posisioning Sistem), waktu dan tanggal adalah tanggal tertentu yang akan kita tentukan waktu shalatnya dan ketinggian adalah data tinggi matahari pada waktu shalat yang akan ditentukan.34

ا َصف َّ ا ا ا إ

Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.”(HR. at-Thabrani)

Praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika melakukannya, dan bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat pun sah. Jika tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian melihat jam, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Karena Allah SWT telah memerintahkan untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya.35

Adapun kaitan mathla‟ dengan waktu shalat, yaitu:

34

Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, hal.97

35

Denny Asseifff, “Penentuan Awal-Akhir Ramadhan, artikel diakses pada 27 Juli 2010 dari file:///C:/Documents and Settings/Microsoft/Desktop/MATLA/penentuan-awal-akhir-ramadhan.html

Perlu diketahui bahwa penjelasan syara‟ tentang pelaksanaan ibadah adakalanya

mengaitkan penetapannya dengan jam (misalnya: waktu shalat, pelaksanaan puasa untuk imsak dan ifthar dan lain-lain), bisa juga dengan hari (misalnya: shalat jum‟at, puasa sunnah

Senin-Kamis), ada pula yang ditetapkan dengan tanggal Qamariyah (misalnya: penetapan hari Arafah, Idul Fitri dan Idul Adha dan lain-lain). Jadi dalam ibadah yang penentuannya adalah jam dan atau hari, maka hal ini terkait erat dengan peredaran matahari. Misalnya untuk penetapan waktu-waktu shalat, sebagaimana firman Allah SWT:

ش ﻔ ء ق ۖ ﻔ ء ق ي ق غ ٰ ش ٰ ص ق

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah

pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.

Al-Isra‟(17): 78)

Sedangkan penetapan awal dan akhir Ramadhan, syara‟ memberikan tuntunan untuk mengaitkannya (hanya) dengan (peredaran) bulan,36 sehingga tidak bisa di analogikan bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadhan diperbolehkan karena dalam shalatpun negeri satu dengan negeri yang lainnya memiliki perbedaan waktu.37

Jadi dalam menentukan pelaksanaan ibadah seperti waktu shalat, imsak dan ifthar dan lain-lain, itu semua ditentukan oleh peredaran matahari, sedangkan dalam menentukan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah ditentukan oleh peredaran bulan.

36

Bulan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur, begitu pula bumi mengelilingi matahari berama-sam bulan dalam arah yang sama. Perputaran bulan mengelilingi bumi (revolusi), menentukan bentuk-bentuk bulan yang bisa dilihat dari permukaan bumi. Kadang-kadang terlihat sabit/hilal, perbani, benjol, penuh (purnama) sampai kebulan mati, kemudian kembali ke bentuk semula dan seterusnya, yang masing-masing telah tertentu posisinya di luar angkasa.

37

Nasyrah Hizbut Tahrir, Hukum Perbedaan Penentuan Hari Raya Qurban (Idul Adha), 22 Maret 1999, hal.4