• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia

BAB IV PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR

B. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab di Indonesia

Dilihat dari sisi semangat para ulama yang ada di Indonesia dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan yang berdasarkan hukum syara‟, kesungguhan mereka sangat pantas

85

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 dan lihat juga Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur‟an Dan Hadits, Edisi Bahasa Indonesia, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001), cet.I., hal.45-46

dihargai, namun pemerintah hanya mengakomodir saja. Dimana seharusnya pemerintah punya statement untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, artinya pemerintah punya kewenangan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan setiap tahunnya dan mampu menyatukan apabila terjadi perbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Namun ini tidak terjadi. Ini menunjukkan tidak konsisten pemerintah dalam menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan. Kemudian apabila terjadi perbedaan pemerintah membiarkan itu dan tidak menegurnya. Ini akibat diterapkannya sistem demokrasi. Dimana sistem demokrasi ini berprinsip bahwa rakyat boleh melakukan apa saja, termasuk dalam menentukan awal bulan Qamariyah ini. Dan itu sudah dianggap lumrah.86

Menurut Ratu Erma R. apabila hisab satu-satunya dijadikan sebagai metode dalam menentukan awal bulan dan akhir bulan Qamariyah, maka itu adalah sutu hal yang keliru

menurut hukum Syar‟i, bila mereka menetapkan hanya menggunakan hisab saja. Karena nash rukyat sudah jelas. Namun hisab bisa digunakan dalam estimasi dan penunjang keilmuan dalam melihat keadaan hilal sebelum melakukan rukyat dan tidak bisa digunakan satu-satunya penetapan.87

HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir sekarang) menegaskan :

ق

ا ج

ا

ا

ف

ص ا

ﻄ ا

ا

طقف

ا ا

ف

ص ص ا

"Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash."

86

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

87

Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.

Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar'i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya.

Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa :

"Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab."

Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.

Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi'in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.88

Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah "perkirakanlah dengan ilmu hisab." Sebab menurut Ibnu Suraij

88

M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id

sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi "fa-akmilu al-iddah" (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.

Pendapat tersebut kurang dapat diterima HTI. Alasannya, sabda Nabi "perkirakanlah" (faqduruulah), artinya yang tepat bukanlah "hitunglah dengan ilmu hisab", melainkan "sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari". Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).89

Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan Qamariah, namun HTI berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan "masuknya waktu" sebagai sebabnya, di mana "masuknya waktu" itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.90

Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat.

89

M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id

90

Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath'i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan).

Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat 'adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar'i (al-bayyinat asy-syar'iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab. Kedua, syara' telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar'i (bukan secara waqi'i / faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.91 Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki (perhitungan

astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nash syara‟, baik Al-Qur‟an maupun As -Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar‟iyyah fi

al-‟ibadat) telah menyalahi ketentuan syara‟. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi

lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa

91

M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id

pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali‟ (kesatuan mathla').92

C. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal (Khususnya Rukyat yang di