• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pijakan dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah

BAB IV PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR

A. Dasar Pijakan dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah

Berbicara tentang dasar pijakan Hizbut Tahrir, Hizb lebih melihat penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana bulan Ramadhan adalah bulan Ibadahnya Kaum Muslimin. Hizbut Tahrir adalah partai yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Khilafah. Oleh

karena itu, Hizb turut berkepentingan dalam menentukan dalil syara‟ awal dan akhir bulan Ramadhan,

begitu juga dengan penentuan Syawal. Karena apabila tidak begitu maka dikhawatirkan akan terjadi keharaman dalam beribadah. Disana Hizb membandingkan dalil-dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dan Hizb berusaha mengambil dalil-dalil yang rajih. Dimana dalil yang rajih menurut pandangan Hizb itu adalah dalil Rukyatul Hilal. Yang menjadi dasar pijakan dan metode penetapan

adalah Rukyat Hilal, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:67

ي ص

Berikut adalah dalil-dalil Rukyat Hilal yang menjadi dasar pijakan Hizbut Tahrir:

Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah SWT berfirman:

ص ف َّ ا ش ف ق ا ا ِ َِ َ ق ا ف َا ض ش

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya

diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

66

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah. Jakarta. 21 Agustus 2010

67

َّ ا كَ ا ء إ اَص ا قإ ها ا َ َ هاَاإ ٰ إ َا ش خ ا إ ا

ض ص

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR al-Bukhari).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu

ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara‟ tidak hanya menjelaskan

status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu „ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan sabab, al-syarth, al-mâni‟, al-shihah wa al-buthlân, dan al-„azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara‟

menjelaskan bahwa ru‟yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru‟yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan

Sya‟ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:

̃ ث ح

:

ش ث ح

:

ق ي ح ث ح

:

ه يض ي

:

ي

:

ص ي ق

ق ، ي ه

:

ي ه ص ق

:

(

(

ي غ ف ، ي طف ي ص

يثاث ف ي

.

Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu

Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah berkata: ((Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan

bulan Sya‟ban menjadi 30 hari))”. (HR. Bukhari)68

68

ها ض ها ، ف ،ّ ، ها ث

:

َص ها َ آ

قف ، ض ك َ ها

:

ا ا َ ا ص ا

ا

ا

َ ا ﻄ

،

َغ إف

ا ق ف

.

”Diriwayatkan oleh Abdullah bin Muslimah, Maliki, Nafi‟, Abdillah bin Umar RA:

Bahwasannya Rasulullah SAW: Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari)69

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan

akhir Ramadhan didasarkan kepada ru‟yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak

wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung,

maka mereka wajib menyempurnakan Sya‟ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka

berpuasa.” (al-Nawawi, al-Majmû‟Syarh al-Muhadzdzab,6/269) Dalil-dalil di atas dipandang adalah hadits-hadits lebih kuat dan shahih. Karena dari perawi-perawi yang masyhur.

Kaitannya dengan matla‟ (tempat lahirnya bulan), Hizbut Tahrir memandang bahwa sebagian ulama Syafi‟iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah

dengan radius 24 farsakh dari pusat ru‟yah bisa mengikuti hasil ru‟yat daerah tersebut.

Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru‟yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru‟yat daerah lain.70

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib.

69

Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal 629

70

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010. Ditambah juga dari artikel Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, syabab.com

Hadits yang diriwayatkan Kuraib dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal

dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla‟. Menurut Jubir MHTI bahwa apabila dikaji

lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya: 1. Dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû‟ atau

mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu „Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah

menunjukkan sebagai Hadits marfû‟. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu‟ perlu dipertanyakan.

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu

Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara‟, yang darinya digali hukum-hukum

syara‟, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma‟shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara‟.

2. Perbedaan tempat yang telah ditentukan jaraknya oleh para ulama itu adalah berbeda-beda. Perbedaan jarak tersebut tidak didasarkan pada nash yang sharih. Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan

penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla‟. Dalam penetapan awal

dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu‟

kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu‟ -annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu‟-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits

yang diriwayatkan bil makna.”71

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu‟-annya, seperti Hadits:

71

َ َ ا َص َ ا ق ق َ ا

ا

ا ص ض ق ا ص

ا ك ف غ إف ا ﻄف

ا

ث

.

Dari Ibnu „Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah

kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh

hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu‟-annya. Dalam hadits-hdits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru‟yah hilal. Semua

perintah dalam hadits berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan hadits-hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ‟ah, berupa wâwu al-jamâ‟ah). Pihak yang diseru oleh hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan. Demikian juga, kata li ru‟yatihi (karena melihatnya). Kata ru‟yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata

itu termasuk dalam shighah umum, yang memberikan makna ru‟yah siapa saja. 72

Imam al-Syaukani73 menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk

satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. „Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap)

72

Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada 21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id

73

Imam Asy-Syaukani ini pada awalnya adalah pengikut Mazhab Zaidi (Mujtahid Mazhab), namun dikemudian hari beliau menjadi mujtahid Muthlak, (Tingkat Mujtahid ada tiga: Mujtahid Muthlak, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Masalah).

seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru‟yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya.”74

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah,

apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyatul hilal), maka ru‟yat ini

berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.

Imam al-Shan‟ani berkata, “Makna dari ucapan „karena melihatnya‟ adalah “apabila ru‟yah

didapati di antara kalian”, Hal ini menunjukkan bahwa ru‟yah pada suatu negeri adalah ru‟yah

bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak

berlakunya perbedaan mathla‟. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:

َغ

ا

َ ا َص َ ا ا ّف َ ا خآ ك ء ف ص ص ف اَ ش

ا ا َ َ

ا

ا ج ا ﻄ َ َ ا َص َ ا ف

ﻐ ا

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk

segera berbuka dan melaksanakan sholat „Ied pada keesokan harinya.” (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk

membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru‟yah hilal bulan Syawal dari beberapa

orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal

74

Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada 21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id

Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di

Madinah. Dari Ibnu „Abbas:

ض ث ف ا ق ا ا آ ِإ قف َ ها َص ِ َ ا إ ِ ا آ ء ج

ق ؟ها َاإ ٰ إ َا آ ّ آ قف

:

.

ق ؟هاا ا َ َ آ ّ آ ق

:

.

َ ا ف ِآ ا ق

ا غ ا ص ف

.

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah

melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk

berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla‟. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur

ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla‟.75 Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan

ditetapkan berdasarkan ru‟yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla‟.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla‟

(ikhtilâf al-mathâli‟). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka

wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh

75

ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru‟yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”76

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru‟yah hilal telah terbukti di salah satu negeri,

maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada

perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru‟yah hilal itu

memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla‟ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga Imam Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi‟i berpendapat lain. Mereka mengatakan, „Apabila ru‟yah hilal di suatu daerah telah terbukti,

maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib

berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla‟, yaitu

jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru‟yah ini, karena terdapat perbedaan mathla‟.”77

Al-Qurthubi78 menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal

76

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

77

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

78

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi adalah seseorang mufassir yang dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang Spanyol). Disanalah beliau mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al-Qur‟an Al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira‟at, Balaghah, Ulumul Qur‟an

dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih yang sudah mencapai

tingkatan ma‟rifatullah, beliau sangat zuhud terhadap kehidupan dunia bahkan dirinya selalu disibukkan oleh

urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab. Diantara guru-guru Imam Al-Qurthubi adalah :- Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki, wafatnya tahun 648 H.- Ibnu Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha‟uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi‟I, wafat pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira‟at.- Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Maliki Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Mufhim fisyarh Shahih Muslim.- Al-Hasan Al-Bakari, Al-Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk At-Taimi An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari, wafat pada tahun 656 H. Karya-karya Al-Qurthubi selain kitabnya yang berjudul Al-Jami‟li Ahkaam Al-Qur‟an, diantaranya adalah: At_Tadzkirah fi Ahwal Mauta wa Umur

Al-Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum

Muslimin, berpuasa berdasarkan ru‟yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”79

Tentang pendapat Mazhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasannya perbedaan mathla‟ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia)

harus mengikuti (ru‟yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru‟yat

mereka dapat diterima (syah) menurut Syara‟.”80

Tak jauh berbeda, menurut Mazhab HAnafi, apabila ru‟yat telah terbukti, disuatu tempat yang

jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.81 Sebagian pengikut Mazhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyum, menambahkan syarat, rukyat

itu harus diterima oleh seorang Khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti

rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a‟dham (khalifah).

Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu

negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim.”82

Ibnu Taimiyah dalam Majmû‟ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa

ru‟yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan

pengikut-pengikut madzhab Syafi‟i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla‟ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq

Akhirah, At-Tidzkar fi Afdhal Al-Adzkar, Al-Asnafi Syarh Asma‟illah Al-Husna, Syarh At-Taqashshi, Al-I‟llambi maa fi din An-Nashara min Al-Mafashid wa Al-Auham wa Izhhar Mahasin din Al-Islam, Qam‟u Al-Harsh bin A-Zuhd wa Al-Qana‟ah, Risalah fi Alqam Al-Hadits, Kitab Al-Aqdhiyyah, Al-Mishbah fi Al-Jam‟I baina Al-Af‟aal wa Ash-Shahhah, Al-Muqtabar fi Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas, Al-Luma‟ fi Syarh Al-Isyrinat An-Nabawiyah. Lihat juga El-Reihan Blog's.http://el-reihan.blogspot.com/2010/01/imam-qurthubi.html. di akses pada 22 Januari 2011

79

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

80

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

81

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

82

dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha‟if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya‟ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia

menyaksikan hilal pada waktu sore menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk

waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”83

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru‟yah wajib diikuti oleh kaum

Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali.

Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru‟yatuh hilal maka ru‟yah

tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Dari penjelasan di atas Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa:

1. Hadits Riwayat dari Kuraib adalah bukan hadits Marfu‟ karena bukan berdasarkan ucapan Rasulullah tapi ini adalah ucapan Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib.

2. Hizb berpandanngan bahwa ada peristiwa-peristiwa lain di masa Rasulullah yang justru malah sebaliknya, artinya Rasulullah justru tidak ingin perpedaan itu terjadi dikalangan kaum Muslimin. Perbedaan ini terjadi adalah suatu kewajaran pada saat itu karena alat komunikasi yang sangat terbatas. Kemudian perbedaan ini menyikapi justru memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa tidak dibesar-besarkan, khususnya pada saat itu.84

Intinya adalah Hizbut Tahrir memandang bahwa menggunakan mathla‟ dalilnya tidak ada.

83

Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010

84

Apabila mengaplikasikan konteks sekarang, dimana khususnya di Negara Indonesia yang

dominan menggunakan Madzab Syafi‟iyyun yang menentukan jarak lebih kurang berada

dalam radius 120 km atau kurang lebih 24 farsakh dan dalam jarak dibolehkannya menjama‟

dan mengqashar shalat. Demikian itu tidaklah sama dengan jarak yang ditempuh antara Syam dan Madinah, karena jarak untuk menempuh Syam ke Madinah membutuhkan waktu perjalanan sehari, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Kuraib di atas.

Untuk konteks Indonesia bisa kita ambil contoh yaitu penentuan awal bulan Ramadhan 1431 ini. Di Makasar tidak terlihat hilal namun terlihat di Jakarta, tapi Makasar mengikuti Jakarta, padahal jarak Makasar dengan Jakarta sudah menghabiskan waktu sehari sampai dua hari dalam perjalanan. Kalau memang benar-benar mengikuti Madzhab Syafi‟iyyun,

seharusnya puasa orang Makasar sudah berbeda dengan Jakarta. Namun itu tidak terjadi. Jadi apa faktor yang menyebabkan Makasar ikut Jakarta? Kalau kita menilik lagi ke hadits Rasulullah li ru‟yatihi (karena melihat hilal) adalah isim jenis yang diidhafatkan, sehingga termasuk lafadz-lafadz yang bersifat umum. Dan sabda beliau saw hatta tarau (hingga kalian melihat), dan idza ra‟aitum (jika kalian melihat), didalamnya ada dhamir jamak yang kembali pada sebuah isim, dan isim ini adalah jamak, sehingga dhamir tersebut mengacu pada keseluruhan. Sedangkan jamak itu termasuk lafadz-lafadz umum. Dlamir: tarau dan dlamir:

ra‟aitum termasuk lafadz-lafadz umum, sehingga melihat itu bersifat umum, bagaimanapun kondisi rukyat itu terjadi dari seorang Muslim maka mencakup seluruh kaum Muslim. Karena itu puasa menjadi wajib atas mereka semua saat itu. Pendapat ini merupakan hasil dari ulama

yang tidak berpegang pada matla‟ yaitu dengan pengambilan kesimpulan yang biasa agak

rumit, dan merupakan pendapat yang shahih.85

Berbicara tentang metodologi Hizbut Tahrir dalam menentukan awal dan akhir bulan Qamariyah. Pada dasarnya Hizbut Tahrir juga mempunya metodologi sendiri yaitu dalam kajian Ushul Fiqh dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an dan nash-nash Syara‟. Hal yang

berkaitan dengan penentuan awal bulan qamariyah ini, Hizb memperhatikan pandangan-pandangan ulama atau madzhab, Karena matla‟ bukan landasan untuk perbedaan.

Dalam kitab Al Fiqh Al Madzahib (Fiqih 4 Madzhab), Hizb mengambil pandangan rajih ini:

1. Hizb lebih berpandangan rukyat bukan hisab. Namun Hizb tidak meninggalkan hisab sama sekali, karena untuk melihat hilal butuh hisab juga, artinya untuk melihat apakah hilal itu masih jauh dari ufuk atau tidak, sehingga ketika ingin melihat hilal dengan rukyat sudah bisa ditentukan kapan mulai melihat hilal. Karena terkadang wujud hilal itu terhalang oleh asap atau debu yang disebabkan oleh cuaca kurang memungkinkan.

2. Hizbut Tahrir berpandangan bukan rukyat mathla‟ sebagaimana madzhab Syaf‟iyyah,

karena menurut Hizbut Tahrir rukyat mathla‟ ini adalah berdasar pada dalil yang lemah.

Karena dalil yang kuat itu adalah dalil yang telah dijelakan di atas. Hizbut Tahrir menyimpulkan perbedaan mathla‟ tidak mempengaruhi penentuan awal dan akhir bulan

Ramadhan.