• Tidak ada hasil yang ditemukan

Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Fiqih

BAB III HIZBUT TAHRIR DAN CORAK PEMIKIRANNYA DALAM BIDANG

B. Corak Pemikiran Hizbut Tahrir dalam Bidang Fiqih

Adapun corak pemikiran Hizbut Tahrir dalam dalam fikih adalah sebagaimana dikatakan oleh Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir tidak mempunyai bidang fikih tersendiri, karena dalam hal ibadah mahdhah Hizbut Tahrir tidak mempunyai kepentingan didalamnya khususnya dalam penetapan awal dan akhir bulan qamariyah ini, menurut Hizbut Tahrir itu adalah keputusan kepala Negara (Khalifah). Namun Hizbut Tahrir mempunyai metodologi sendiri dalam menggali (istinbâth) hukum-hukum Islam yaitu yang disebut dengan Ushul Fiqh.

1. Abdul Wahab Khalaf, telah menemukan ta‟rif Ushul Fiqh sebagai berikut:

َا

ا ا ق ا

َّ ا اﻄصاا ف ق ا صا ف

ا َص

ا َص َا

ا ا ق ا

ا َ ص َ ا َ ا َ ا َ َّ ا

ﻷا

َ ص َ ا َ ا َ ا َ َّ ا

ﻷا

ا

.

Ilmu ushul fiqh menurut istilah syara‟ agama satu ilmu dengan undang-undang (mempunyai undang-undang) dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan antara undang-undang itu kepada faedah hukum syara‟ yang akan diamalkan yang diambil dari dalil yang tafshili atau terinci/terurai, atau dianya (ilmu ushul fiqh) adalah kumpulan dari beberapa undang-undang dan beberapa pembahasan yang akan menghubungkan dengannya (kaedah dan pembahasan) kepada mengambil faedah hukum-hukum syara‟ yang akan diamalkan dari dalil-dalilnya yang terinci.” 46

Adapun Ushul Fiqh Hizbut Tahrir sebagaimana dikatakan di atas adalah sebagai berikut:

45

Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam IndonesiaPertautan Negara, Khilafah, Msyarakat Madani Dan Demokrasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet.I. hal.387-388

46

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma‟lul (hukum yang terdapat illat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham.

Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta‟ala :

ق َ ا ثك ق

ّ ا ق

"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu…" (QS.Hud (11):91) Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci.47

Namun secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai fiqh, sebab istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya (istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I‟tiqad.

Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses didapatnya otoritas dalam hukum-hukum operasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya rinci.

Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta‟adul dan tarajih terhadap dalil- dalil. Tapi ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan landasan

47

ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.48

Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti

mutlaknya perintah, larangan, perbuatan Nabi, ijma‟ shahabat serta qiyas. Dengan begitu

dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah :

ٰ َص ا ا قآ

“...dan dirikanlah shalat...” (QS. An-Nur (24): 56)

ۖ ٰ ِ ا ا ق ا

“…dan janganlah kalian mendekati zina…”(QS. Al Isra'(17):32)

Shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka‟bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci, spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.49

Diantara ushul fiqh di atas dengan ushul fiqh yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, pada intinya tidak ada perbedaan diantara definisi ushul fiqh di atas.

Adapun metodologi istimbath Hizbut Tahrir akan dijelaskan dalam metode At-Ta‟âdul wa At-Tarâjih, sebagai berikut:

48

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, Hal. 6

49

Apabila terjadi pertentangan diantara dalil-dalil, dan sebagian tidak lebih baik dari yang lain, jika seperti itu disebut dengan at-ta‟âdul.50 At-ta‟âdul tidak akan terdapat pada dalil-dalil yang bersifat qath‟i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash/dalil yang bersifat qath‟i. Begitu juga tidak akan terjadi pertentangan antara dalil yang qath‟i dengan dalil yang zhanni, karena yang qath‟I harus didahulukan terhadap yang zhanni. Ta‟âdul ini tidak akan terjadi antara dalili-dalil yang zhanni dilihat dari sisi fakta pensyari‟atan (al-wâqi‟ at-tasyri‟), meskipun dilihat dari perkiraan mantiq (al-fardli al-manthiqi) bias saja terjadi. Namun hal ini bertentangan dengan fakta pensyari‟atan. Sebab dalil-dalil yang zhanni apabila bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan salah satu diantaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bias mengamalkannya; atau mengamalkan dalil zhanni yang manapun juga.51

Berdasarkan penjelasan diatas maka sebenarnya tidak terdapat di antara dalil-dalil syara‟. Sedangkan tarjih secara bahasa adalah pemindahan dan memenangkan52, mencondongkan (at-tamyîl) dan mengalahkan (at-taghlîb), yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil terhadap yang lainnya agar bisa diamalkan sebagaimana para shahabat merajihkan khabar

„Aisyah RA yaitu sabda beliau SAW:“Apabila telah bertemu dua khitan maka wajib mandi”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad). Atas khabar Abu Said Al Khudzri,yaitu sabda beliau SAW:

“Bahwa air itu dengan air”.(Hadist dikeluarkan oleh Ahmad).

Karena istri Nabi SAW dianggap paling tahu dengan perbuatan beliau dalam hal-hal yang seperti ini dibanding dengan laki-laki yang lain. Maka ijma‟ ini membolehkan terikat dengan tarjih.

50

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal 675

51

„Atha bin Khalil, Ushul Fiqh “Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis”, cet.II. (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, Muharram 1429 H/2008 M),. Hal.380.

52

Tarjih itu dikhususkan pada dalil dzanni, yakni khabar ahad, dan tidak terjadi pada yang

qath‟i. Garis besar tarjih diantara dalil-dalil dzanni dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama: apabila ada dua nash yang bertentangan maka ditarjih diantara salah satu dari keduanya atas yang lain, jika tidak memungkinkan mengamalkan keduanya, apabila memungkinkan meski hanya hanya satu segi dan tidak pada segi yang lain, maka tidak melakukan tarjih.53 Misalnya adalah sabda beliau SAW:“Maukah kalian aka beritahu saksi yang sebaik-baik saksi? Yaitu yang menyampaikan kesaksian sebelum dimainta”. (Hadits dikeluarkan oleh Muslim). Sabda beliau bertentangan dengan sabda beliau SAW:“Kemudian tersebar luas kebohongan, sampai-sampai seorang laki-laki itu bersaksi padahal tidak

diminta memberikan kesaksian.” (Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah).54

Maka hadits pertama mengandung pengertian terkait dengan hak Allah, sedangkan hadits yang kedua terkait dengan hak manusia.55

Kedua: apabila terjadi pertentangan antara dua nash, tapi sepadan dalam kekuatan dan keumuman, dan diketahui yang datang belakangan diantara keduanya. Maka yang datang belakangan itu menasakh yang sebelumnya. Tapi apabila tidak tahu dan tidak diketahui mana diantara keduanya yang lebih dahulu dan mana yang datang belakangan maka ditarjih salah satunya terhadap yang lain apabila keduanya adalah dalil dzanni, apabila keduanya merupakan dalil qath‟i maka tidak terjadi petentangan diantara keduanya karena ta‟âdul tidak terjadi pada dalil-dalil yang qath‟i.56

Apabila tidak sepadan baik dalam kekuatan maupun keumuman, tapi salah satunya qath‟i sedangkan yang lain dzanni, atau salah satu dari keduanya umum sedangkan yang lain khusus,

53

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

54

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

55

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677

56

disini dapat dilakukan tarjih. Tapi apabila keduanya tidak sama dalam kekuatan, artinya salah satunya qath‟i dan yang lain dzanni maka ditarjih yang qath‟i dan beramal dengan yang qath‟i tersebut dan meninggalkan yang dzanni, baik apakah keduanya umum ataupun khusus, atau yang qath‟i khusus sedangkan dzanni umum. Maka apabila yang qath‟i tersebut adalah umum sedangkan yang dzanni itu khusus maka beramal dengan yang dzanni. Tapi apabila keduanya tidak selevel dalam umum dan khusus, yaitu salah satunya lebih khusus dibanding dengan yang lain secara mutlak, maka dikuatkan yang khusus atas yang umum, dan beramal dengannya yang merupakan paduan antara dua dalil. Tapi apabila tidak sepadan pada keumumannya yaitu umum dan khusus antara keduanya pada satu segi saja. Maka dicari tarjih antara keduanya pada bentuk yang lain untuk mengamalkan yang paling kuat. Karena khusus itu mengharuskan yang paling kuat. Maka telah ditetapkan seperti itu untuk masing- masing dari keduanya khusus pada satu segi terkait yang lain. Maka jadilah masing-masing dari keduanya lebih kuat atas yang lain. Misalnya adalah sabda beliau Alaihish-shalatu wassalam: “Barangsiapa yang lupa shalat, atau karena tertidur, maka hendaknya dia shalat

ketika dia ingat”.(Hadits dikeluarkan oleh Ad Darimiy).57

Maka antara hadits tersebut dengan larangan beliau Alaihis-salam untuk shalat pada waktu- waktu yang dimakruhkan adalah umum dan khusus pada satu segi, karena khabar yang pertama adalah umum pada waktu-waktu yang khusus untuk sebagian shalat yaitu qadha‟. Sedangkan yang kedua adalah umum pada shalat yang dikhususkan untuk sebagian waktu, yakni waktu yang dimakruhkan. Maka tarjih dilakukan pada bentuk yang sebelumnya.

Ketiga: tarjih demi hukum, terjadi dengan beberapa perkara:

Yang pertama: dikuatkan khabar yang menetapkan untuk hukum pokok atas khabar yang mengangkat untuk hukum tersebut. Seperti sabda beliau SAW: “Barangsiapa yang

57

menyentuh dzakarnya maka hendaknya dia berwudhu”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.)58 Dengan apa yang diriwayatkan secara marfu‟ dengan lafadz: “Apakah kami berwudhu apabila menyentuh dzakarnya?, beliau bersabda: dzakar itu adalah sepotong daging dari

dari kalaian atau tubuh kalian”.(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad).59

Maka dikuatkan nash yang membatalkan. Karena yang menetapkan hukum itu lebih dikuatkan dibanding yang mengangkat hukum, karena dua sebab: pertama, bahwa beramal dengan yang mengangkat hukum artinya menasakhnya, dan itu tidak boleh kecuali dengan qarinah yang menjelaskan tentang naskh. Disini tidak ditemukan qarinah yang menunjukkan nasakh. Kedua, bahwa beramal dengan yang menetapkan hukum itu berarti menjadikan sahnya shalat secara yakin dengan tiadanya perbuatan yang diduga membatalkan, berbeda dengan mengangkat hukum maka itu menjadikan sahnya shalat yang sifatnya dzanni karena adanya dugaan bahwa itu bertentangan. Dan keberadaan sah shalat yang yakin itu lebih didahulukan dibanding yang sifatnya dzanni. Bersabda beliau „Alaihis-salam: “Tinggalkan

apa yang meragukan untuk mengambil yang tidak mertagukan”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad).60

Kedua: khabar yang menunjuk pada pengharaman lebih dikuatkan atas khabar yang menunjuk pada yang mubah, berdasarkan sabda beliau SAW: “Tinggalkan yang meragukan

untuk mengambil yang tidak meragukan”. (Hadits dikeluarkan oleh Ahmad).61

Ketiga: khabar yang menunjuk pada pengharaman sepadan dengan yang menunjuk pada yang wajib.

58

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.678

59

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, ha.679

60

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.679

61

Keempat: khabar yang menunjukkan pada yang wajib itu lebih dirajihkan atas khabar yang menunjuk pada yang mubah.

Kelima: khabar yang menunjukkan pada yang haram itu lebih rajih atas khabar yang menunjuk pada yang makruh.

Keenam: dalil yang menunjukkan atas suatu kwajiban itu lebih dikuatkan atas dalil yang menunjuk pada yang mandub.

Ketujuh: dalil yang memetapkan itu lebih didahulukan atas dalil yang menafikan. Seperti khabar Bilal yang menyatakan bahwa Nabi SAW masuk rumah dan shalat, sedangkan khabar Usamah menyatakan bahwa beliau masuk rumah dan tidak shalat, maka khabar Bilal dikuatkan.62

Kedelapan: dalil yang menafikan had (sanksi) itu lebih dikuatkan atas dalil yang menetapkan had (sanksi). Dalil atas hal tersebut ada tiga perkara:

a. Hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Hindarkan

had dari kaum Muslim semampu kalian”. Demikian pula apa yang diriwayatkan dalam Musnad Abu hanifah:“Jauhkanlah had dengan syubhat”.

b. Bahwa had itu adalah dharar. Padahal Rasulullah SAW bersabda:“Tidak berbahaya dan

tidak membahayakan”. (Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim).

c. Sabda beliau SAW: “Bahwa sesungguhnya Imam salah dalam mema‟afkan itu lebih baik

dibanding dengan salah dalam memberikan sanksi”. (Hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi).63

Empat: khabar ahad dikuatkan terhadap qiyas yang illatnya diambil dari dalil atau yang diistimbathkan dengan suatu istimbath, atau dengan qiyas. Karena khabar ahad adalah wahyu

62

An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.680

63

yang dzahir dalalahnya atas suatu hukum dalam pengungkapan pada hukum, sedangkan illat diambil secara dalalah, atau di istimbathkan atau diqiyaskan, itu semua adalah bagian dari mafhum,dan dengan qarinah bahwa ini adalah termasuk hal-hal yang datang melalui wahyu, dan dzahir dalalah dari nash itu lebih didahulukan atas mafhum yang merupakan bagian dari apa yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan illat sharahah, diambil berdasarkan hukum nash yang illah tersebut datang melalui nash tersebut. 64

Diantara hasil istimbath Hizbut Tahrir yaitu berupa ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum- hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya telah dihimpun dalam berbagai buku dan selebaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Berikut nama-nama buku yang telah diterbitkan oleh Hizb:

1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam)

2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam) 3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)

4. Nizhamul Ijtima‟I fil Islam (Sistem Pergaulan di Dalam Islam) 5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)

6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir) 7. Daulah al-Islamiyah (Negara Islam)

8. Syakhshiyah al-Islamiyah (Kepribadian Islam, tiga jilid)

9. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir) 10. Nadlarat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pandangan Politik Hizbut Tahrir).

11. Muqaddimah ad-Dustur (Pengantar Undang-Undang Dasar Negara Islam). 12. Al-Khilafah (Sistem Khilafah).

13. Kaifah Hudimat al-Khilafah (Persongkokolan Meruntuhkan Khilafah).

64

14. Nizham al-„Uqubat (Sistem Sanksi). 15. Ahkam al-Bayyinat (Hukum Pembuktian).

16. Naqdlu al-Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritik Terhadap Sosialis Marxis). 17. At-Tafkir (Hakekat Berpikir).

18. Sur‟atu al-Badihah (Kecepatan Berpikir) 19. Fikru al-Islamiy (Pemikiran Islam).

20. Naqdlu an-Nadlariyatu al-Iltizami fi al-Qawanini al-Gharbiyyah (Kritik Terhadap Teori Stipulasi Undang-Undang Barat).

21. Nida Har (Seruan Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam).

22. Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla (Politik Ekonomi Yang Agung). 23. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan di Negara Khilafah).

Dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizbut Tahrir hanya bersandar kepada wahyu, yakni al-Qur‟an dan as-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh

kaduanya, berupa ijma‟ Sahabat dan Qiyas. Karena hanya keempat rujukan itu saja yang hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath‟iy (pasti).65

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Hizbut Tahrir sangat hati-hati dalam menggali segala sesuatu. Hizbut Tahrir tidak ingin pemikirannya tercampuri oleh pemikiran yang memang bersumber dari hawa nafsu manusia. Sehingga ketika menghukumi sesuatu semata-mata bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah, ijma‟ Sahabat dan Qiyas.

65

Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir” (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), cet.I. hal.35