• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matriks IFE dan EFE

A. Faktor Internal Kekuatan (Strength)

5.5.2 Matriks IFE dan EFE

Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.

Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna

Faktor Strategis Internal Rata-rata

Skor

Bobot Rating

kekuatan

A Adanya asosiasi perikanan tuna 0.035 2 0.070

B Pelayanan perikanan satu atap 0.053 2 0.106

C Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0.059 2 0.119

D Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala

industri dan kecil

0.022 1 0.022

E Kelengkapan peraturan perundang-undangan

Indonesia

0.082 3 0.247

G Adanya estimasi jumlah tangkapan yang

diperbolehkan

0.101 3 0.304

H perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di

Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning

0.224 4 0.895

I Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup

besar

0.024 2 0.048

0.6

Kelemahan

K Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0.018 2 0.037

L System pendataan perikanan Indonesia masih belum

baik

0.034 2 0.068

M Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal

0.047 2 0.094

N Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0.028 2 0.055

O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0.096 4 0.382

P NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum

ditetapkan menjadi peraturan

0.071 3 0.212

Q Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam

meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia

0.094 3 0.283

R Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh

kapal-kapal penangkapan berukuran kecil

0.012 1 0.012

0.400

Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954.

Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah.

Faktor kedua adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian, kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174. Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga

kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action (IPOA) yang bersifat softlaw. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah menjadi hardlaw melalui CMM.

Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam level rata-rata.

Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna

Faktor strategis eksternal Rata-rata Skor

Bobot Rating

A

Peluang

Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.0198 1 0.020

B Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan 0.0282 2 0.056

C Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies 0.0594 3 0.178

D Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0.0438 2 0.088

E Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta

terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC

0.0798 3 0.239

F Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0.1998 4 0.799

G Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil

WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota

0.1692 3 0.508

0.6

Ancaman

H Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0.009 2 0.018

I Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna 0.116 4 0.466

J Transhipmen di tengah laut 0.013 2 0.026

K Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan

Indonesia

0.067 3 0.200

L Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0.087 2 0.174

M Pembatasan penggunaan rumpon 0.046 2 0.093

N Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat

sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat

0.039 2 0.078

P Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional

diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional

0.023 1 0.023

0.4

Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan.

Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar 0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di wilayah WCPFC.

Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga telah dikeluarkan.

Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2.954

menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima (V) seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan.

Total Rata-rata Tertimbang IFE

Kuat Rata-rata Lemah (3,0-4.0) (2,0-2,99) (1,0-1,99) Tinggi (3,0-4,0) Total Sedang Rata-rata (2,0-2,99) Tertimbang EFE Rendah (1,0-1,99) Gambar 31 Matriks IE

Dokumen terkait