• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Hizbut Tahri>r

Hidzbut tahri>r memandang bahwa dalil syara’ sebagai istidlal dalam menemukan hukum haruslah qath’i. sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara Hizbut tahri>r Indonesia bapak Ismail Yusanto :

“HT sebagai sebuah kelompok menyandarkan istinbath hukumnya dengan berdasarkan dalil syara’ yang qath’i tersebut ialah al-Qur’an, Hadis, Ijma’

Sahabat, dan Qiyas. Sedangkan selain dari keempat dalil tersebut Hizbut

Tahrir menganggap bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang dikira sebagai dalil syara’ sehingga seoorang mujtahid tidak dapat beristidlal dengannya, kecuali apabila hal tersebut ditunjuk oleh nash, diantaranya ialah syar’uman

qablana, mazhab sahabat, istishab, maslahah mursalah, dan ‘urf”.1

Dalam pandangan Hizbut Tahri>r tidaklah dikenal ‘urf selain pada 3 bagian yaitu Istilah, Taqdirat, dan ‘Urf. Ketika disebut 'urf, maka yang dimaksudkan di dalamnya adalah adat yang telah berlaku secara luas diantara suatu komunitas tertentu, dengan kata lain 'urf adalah aktifitas yang (dilakukan) berulang-ulang oleh individu dan dia puas dengan hal tersebut. Maka ketika adat ini telah berlaku secara luas diantara komunitas itu dan sebagian besar individu dalam komunitas tersebut telah mengerjakannya atau bahkan seluruhnya maka jadilah perbuatan tersebut sebagai 'urf. Jadi 'urf itu hakekatnya adalah adat kolektif. Oleh karena itu maka hukum atas sesuatu disebut berdasarkan 'urf apabila hukum tersebut berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh kebanyakan dari komunitas

1Wawancara dengan Juru bicara Hizbut Tahri>r Indonesia bapak Ismail Yusanto pada

tersebut. Dengan begitu maka 'urf itu adalah pada aktifitas, bukan pada lafaz-lafaz, juga bukan pada taqdirat atas sesuatu. Sedangkan istilah dalam pandangan hizbut tahrir adalah kesepakatan komunitas (tertentu) atas penggunaan nama tertentu untuk sesuatu yang tertentu, artinya menjadikan (suatu) tertentu untuk disebut dengan identitas tertentu. Antara lain adalah bahasa-bahasa serta istilah-istilah khusus. Seperti istilah-istilah ahli nahwu, ahli ilmu alam, atau istilah-istilah satu daerah atau wilayah dan sebagainya. Sedangkan at-taqdirat yang ditetapkan oleh manusia untuk mengungkapkannya, seperti harga, upah, kadar nafkah, mahar, dan sebagainya. Maka itu bukan bagian dari 'urf, karena bukan merupakan adat istiadat manusia, tapi at-taqdirat merupakan perkiraan tertentu untuk sesuatu yang telah diterima oleh pasar serta berlaku di masyarakat.2

Dan mereka berkata bahwa syara' telah memerintahkan agar kita mengambil 'urf. Berdasarkan asumsi mereka bahwa 'urf itu adalah dalil syara', mereka telah menghasilkan banyak hukum, antara lain3 :

1. Kalau seandainya seseorang telah bersumpah bahwa dia tidak akan meletakkan telapak kakinya pada satu rumah maka secara otomatis sumpah tersebut mengarah pada makna masuk rumah. Karena makna berdasarkan urfi

bukanlah sekedar menginjakkan telapak kaki. Maka kalau seandainya dia masuk dengan naik kendaraan yang telapak kakinya tidak menyentuh tanah rumah tersebut, secara syar’i dia tetap telah melanggar sumpahnya

2 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh) (Beirut :Dar

al-Ummah, 2005). Jilid III. Hlm. 462-463.

berdasarkan dalil 'urf, karena makna menginjakkan telapak kaki adalah masuk rumah.Jadi keputusan 'urf pada hukum inilah yang berlaku.

2. Kalau seandainya seseorang membeli buah sedangkan buah tersebut masih ada di pohon dengan lafaz penjaminan dan jaminan tidak dengan kata membeli maka itu dikategorikan sebagai membeli, karena 'urf telah berlangsung seperti itu. Maka jaminan terhadap zaitun, jeruk dan yang lain yang terjadi pada jual beli buah (yang masih) di pohon meski dengan kata menjamin maka sahlah jual beli tersebut dengan dalil 'urf, maka jadilah 'urf

sebagai dalil syara' atas suatu hukum syara'.

3. Boleh bagi seorang kawan ketika dia di rumah kawannya untuk makan apa saja yang ada di hadapan dia, serta memanfaatkan sebagaian sarana untuk minum dan yang sejenisnya, karena 'urf membolehkan hal tersebut. Maka

'urf-pun merupakan dalil atas suatu hukum syara’, dan contoh-contoh lainnya yang telah dikemukakan oleh ulama di dalam kitab-kitabnya.

Hizbut tahri>r memandang bahwa ‘urf dalam aplikasi kesehariannya seperti contoh diatas adalah pendapat yang fasid dan tidak ada dalil apapun yang bisa dikemukakan untuk 'urf tersebut, berdasarkan hal-hal berikut ini4 :

1. Hizbut tahri>r menganggap bahwa ayat yang digunakan oleh ulama dalam menjelaskan ‘urf tidak sesuai. Ayat tersebut adalah ayat Makiyyah, ayat tersebut terdapat dalam surat al-A'raf dan makna ayat tersebut adalah ambillah apa yang dimaafkan untuk kamu dari perbuatan-perbuatan manusia, akhlaq mereka dan apa yang datang dari mereka, agar menjadikan kamu mudah

bersama mereka tanpa ada yang memberatkan, dan jangan engkau menuntut mereka kesungguhan, dan jangan engkau memberatkan mereka agar tidak lari, sebagaimana sabda beliau SAW:

اوﺮﺴﻌﺗﻻو اوﺮﺴﻳ

5

Mudahkanlah dan jangan di persulit

Adapun pengertian perintahkanlah dengan 'urf adalah dengan perbuatan yang baik, karena 'urf yang diketahui itu adalah perbuatan yang terpuji. Sedangkan hadis yang mereka kemukakan itu adalah pernyataan Ibnu Mas'ud, bukan merupakan hadis. Maka perkataan tersebut tidak dibutuhkan, terlebih lagi bahwa urf tidak termasuk dalam pernyataan tersebut. Karena pernyataan Ibnu Mas’ud tersebut menegaskan bahwa apa yang dipandang oleh kaum Muslim baik dan bukan apa yang telah di'urfkan kaum muslim dan telah menjadi adat-istiadat mereka.

2. Bahwa 'urf itu adalah aktifitas-aktifitas yang berulang-ulang yang harus sesuai dengan syara' agar perbuatan-perbuatan manusia itu berjalan sesuai dengan hukum-hukum syara' baik apakah perbuatan-perbuatan yang berulang-ulang

5Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Suyuti, al-Dur al-Mantsur (Beirut:Dar al-Fikr,

1993). Juz VIII. Hlm. 465. Lihat juga di beberapa kitab yang mencantumkan hadis diantaranya : Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf al-Tsa’aalabi>, al-Jawa>hir al-Hasa>ni fi>Tafsi>r al-Qur’an (Beirut:Muassasatu al-‘Alami Lilmathbu>’a>ts, t.t). Juz IV. Hllm. 140. Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shohih al-Adab al-Mufrad li-Imam al-Bukhari (Beirut:Dar al-Shodiq, 1421 H). Juz I. Hlm. 193. Ali bin Hisamuddin al-Muttaqi al-H{indi, Kanzun al-Ama>l fi Sunan al-Aqwa>l wa al-Af’al (Beirut:Muassasa al-Risalah, 1989 M). Juz III. Hlm.71. Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahi al-Targhi>b wa al-Tarh}i>hib (Riyadh:Maktabah al-Ma’aarif, t.t). Juz III. Hlm. 12. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfawri Abu al-‘Ala, Tuhfatu al-Ahwazi Bisyarhi Ja>mi’

al-Turmuz}i(Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t). Juz X. Hlm. 552. Nuruddin bin AbdulHadi Abu al-H{asan al-Sanadi, Hasyiyah al-Sanadi ‘ala al-Nasa’I (Halib:Maktab al-Mathbuu’aats, 1406 H/1986 M). Juz VIII. Hlm. 49. Abu Zakariya Yah}ya bin Sharif bin Muri> al-Nawawi, al-Manhaj Syarah Shahih Muslim bin al-H{aja>j (Beirut:Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1392 H). Juz 18. Hlm. 41.

tersebut dari individu sebagaimana adat istiadat, atau berulang-ulang oleh komunitas sebagaimana 'urf, atau tidak berulang-ulang dari seorang saja dan perbuatan tersebut dikerjakan meski hanya sekali saja karena yang pasti adalah wajib bagi seorang muslim untuk menyelaraskan aktifitas-aktifitasnya dengan perintah-perintah Allah serta larangan-larangan-Nya baik itu berulang-ulang ataupun tidak.

3. Bahwa 'urf itu adakalanya bertentangan dengan syara' atau tidak. Jika menyalahi syara' maka syara' datang untuk mengoreksi 'urf dan menggantinya, karena termasuk bagian dari aktifitas syariat adalah merubah

'urf dan adat istiadat yang rusak. Tapi apabila 'urf tersebut tidak bertentangan dengan syara', hukum ditetapkan berdasarkan dalil syara', atau illat syar’iyyah

dan bukan dengan 'urf tersebut meski tidak menyalahi syara'.

4. Sesungguhnya pokok dari dalil-dalil syara' adalah al Kitab dan as Sunnah keduanyalah dalil yang pokok dan hal-hal yang ditetapkan oleh keduanya bahwa hal tersebut merupakan dalil syara' seperti ijma' dan qiyas maka dipandang sebagai dalil syara', sedangkan yang tidak ditetapkan oleh keduanya bahwa itu adalah dalil syara' maka tidak dianggap sebagai dalil

syara', dan dengan tidak didapatkannya dasar untuk 'urf baik dalam al-Kitab,

as-Sunnah maupun ijma' maka ‘urf tersebut sama sekali tidak dianggap (sebagai dalil syara').

5. Sesungguhnya 'urf dan adat istiadat itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, dan tidak diragukan lagi bahwa adat istiadat serta 'urf yang tercela secara

yang terpuji dan tercela, apakah akal atau syara'? Adapun akal maka tidak dipandang sebagai yang memilah antara yang terpuji dan tercela karena akal itu terbatas serta dipengaruhi oleh karakter dan situasi. Sungguh akal itu kadang-kadang melihat sesuatu itu terpuji hari ini, besok menjadi tercela. Maka apabila ketentuan 'urf yang terpuji dan tercela tersebut diserahkan pada akal maka itu akan mengantarkan pada kelabilan hukum Allah dan tentu hal ini tidak boleh. Oleh karena itu maka syara'lah satu-satunya yang harus diterima dalam menetapkan atas 'urf. Dengan begitu maka diperhatikan atau tidaknya 'urf tersebut tergantung pada adanya nash pada suatu kejadian itulah yang akan menjadikan apakah kejadian tersebut dianggap sebagai yang syar’i

dan diterima. Maka berarti dalilnya adalah nashsyara', bukan 'urf.

6. Adapun contoh-contoh yang mereka kemukakan secara keseluruhan bermuara pada dua hal: adakalanya benar dalam hukum tapi kesalahan terjadi pada penafsirannya atau terjadi pada hukum dan penafisirannya sekaligus. Maka apabila benar pada hukum maka kesalahan di dalamnya terjadi dengan menjadikan 'urf sebagai dalilnya karena memang ada dalil yang lain selain

'urf. Apabila kekeliruan tersebut terjadi pada hukum maka kesalahan datang dari sisi penyandaran hukum pada 'urf dan itu tentu tidak boleh.

Sedangkan yang berkaitan dengan

ﺔﻤﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا

Hizbut Tahrir tidak mengganggap hal tersebut sebagai dalil, sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia bahwa :

“ Adapun adat sebagai dalil itu kembali kepada nash atau wahyu, urf itu bisa sesuai atau tidak dengan nash, ketika dia sesuai dengan nash maka dia dibolehkan tapi kebolehan tersebut bukan karena ‘urf nya tapi karena dalil yang

membolehkannya sehingga tidak ada posisi urf sebagai dalil yang dapat dijadikan masdarul hukmi tapi yang dijadikan sebagai sandaran hukum itu ialah nash baik itu al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas”.6

Berangkat dari kesalahan dalam mempelajari Islam yang memisahkan antara

fikrah dan thariqah, maka berakibat pada kemustahilan penerapan fikrah karena

tidak disertai dengan thariqah-nya. Lebih parah lagi dengan munculnya kesalahan dalam memahami syariat Islam. Lebih jauh lagi mereka menginterpretasikan hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan kesalahan yang yang mereka lakukan sudah melampaui batas, baik dalam masalah umum maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah

kulliyat dan hukum-hukum yang terperinci sesuai dengan pandangan tersebut.7

B. Konsep ‘Urf dalam Pandangan Mazhab Fikih

Secara umum ‘urf atau adat diamalkan oleh semua ulama fikih terutama dikalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salahsatu bentuk istih}san ialah

istihsan al-‘urfi (Istihsan yang disandarkan kepada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyah,

‘urf itu didahulukan atas qiyas kha>fi dan didahulukan atas nash yang umum. Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Syafi’iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut :

6Wawancara dengan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia bapak Ismail Yusanto padahari/

tanggal Senin, 28 September 2015.

7 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahri>r (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia

َﻣ ﱡﻞُﻛ

ِفْﺮُﻌْﻟا ﻰَﻟإ ِﻪﻴِﻓ ُﻊَﺟْﺮُـﻳ ِﺔَﻐﱡﻠﻟا ْﻦِﻣ َﻻَو ُﻪْﻨِﻣ ُﻪَﻟ ٍﻂِﺑﺎَﺿ َﻼِﺑ ﺎًﻘَﻠْﻄُﻣ ُعْﺮﱠﺸﻟا ِﻪِﺑ َدَرَو ﺎ

8

Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya

dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.9

Para ulama beristidlal bahwasannya ‘urf merupakan hujjah dalam syariah dengan firman Allah :

















“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-‘Ara>f : 199)

serta dengan perkataan Ibn Mas’ud :

ﻩًأَر ﺎَﻣ

ٌﻦَﺴَﺣ ِﷲا َﺪْﻨِﻋ َﻮُﻬَـﻓ ،ﺎًﻨَﺴَﺣ َنﻮُﻤِﻠْﺴُﻤْﻟا

apa-apa yang dilihat umat Islam sebagai suatu kebaikan, maka hal itu juga baik menurut Allah, dan apa-apa yang dilihat umat Islam sebagai kejelekan, maka hal itu juga jelek menurut Allah. Apabila terdapat suatu ‘urf yang dianggap baik oleh umat Islam, maka diperhitungkan sebagai hukum di hadapan Allah. Seyogyanya, beristidlal dengan kata ‘urf pada ayat tersebut berpijak pada arti bahasanya, yaitu suatu perkara yang dianggap baik oleh keseluruhan, bukan berdasarkan makna terminologi fikih. Ini merupakan makna yang bersifat pemahaman, meskipun

8Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Naz}air (Beirut:Dar

al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H/1990 M). Hlm. 98. Muhammad Mustafa Zuhaili, al-Qawa>id al-Fiqhiyyah wa Tat}biqatuha fi al-Mazahib al-Arba’ah (Damsyiq:Dar al-Fikr, 1427 H/2006 M). Juz I. Hlm. 313. Sedangkan di beberapa kitab lain menggunakan kaidah yang berbeda yaitu :

ِفْﺮُﻌْﻟا ﻰَﻟإ ِﻪﻴِﻓ ُﻊَﺟْﺮُـﻳ ،ِﺔَﻐﱡﻠﻟا ﻲِﻓ َﻻَو ،ِعْﺮﱠﺸﻟا ﻲِﻓ ﱞﺪَﺣ ُﻪَﻟ َﺲْﻴَﻟ ﺎَﻣ

seperti dalam kitab karangan Abu Abdullah Badrudin bin Muhammad bin Abdullah bin Bahadur al-Zarkasi, al-Bah}rul Muhit} fi Usul al-Fiqh (Beirut:Dar al-Kutubi,1414 H/1994 M). Juz V. Hlm. 86.Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-‘At}ar al-Syafi’i, Hasyiyah al-‘At}ar ‘ala Syarhi al-Jalali al-Mah}alli ‘ala Jam’u al-Jawami’ (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t). Juz I. Hlm. 429.

bukan maksud dari ayat tersebut, namun terkadang disukai guna mendukung makna terminologi.10

Para ulama menyatakan bahwa ‘urf merupakan salahsatu sumber dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash dari kitab al-Qur’an dan sunnah (hadis). Apabila suatu ‘urf

bertentangan dengan nash seperti kebiasaan masyarakat di suatu zaman, melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal minum arak atau memakan riba, maka ‘urf mereka di tolak (mardud). Sebab diterimanya ‘urf

tersebut berarti mengesampingkan nash-nash yang pasti (qath’i), mengikuti hawa nafsu, dan membatalkan syariat.11

Dalam pembagiannya ‘urf ada yang shahih dan ada yang fasid. ‘Urf yang shahih itu wajib dipelihara untuk dijadikan sebagai dalil tashri’, mujtahid harus memelihara hukum tashri’ yang dihasilkan olehnya. Dan bagi hakim memelihara pada hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang dan apa yang dijalani oleh mereka dapat dijadikan sebagai hujjah, kesepakatan dan kemaslahatan bagi mereka. Selama tidak menyalahi syariat maka wajib memeliharanya. Imam Malik kebanyakan membina hukum-hukumnya itu terhadap perbuatan penduduk madinah. Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya berbeda pendapat atas hukum yang dibina atas ‘urf. Imam Syafi’i, ketika berada di Mesir mengubah hukum-hukum yang beliau bentuk di Bagdad yang berdasarkan ‘urf. Untuk itu beliau

10Wahbah Zuhaily, Us}ul Fikih al-Islami (Beirut : Dar al-Fikri, 2001). Hlm. 836.

11Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikri al-Arabi, 1958). Hlm.

memiliki dua pendapat yaitu pendapat yang lama dan pendapat yang baru. Di dalam fikih mazhab Hanafi kebanyakan hukum itu dibina berdasarkan ‘urf.12

Dalam mazhab Hanafi penggunaan urf sebagai sebuah hukum yang digali dari kaidah

ﺔﻤﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا

Maka harus sesuai dengan beberapa kriteria yaitu tidak bertentangan dengan syariat, tidak menimbulkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan, ‘urf (kebiasaan) tersebut telah berlaku umumnya bagi orang-orang muslim, ‘urf tersebut tidak berlaku pada ibadah mahdah yang telah terperinci dijelaskan oleh nash, ‘urf tersebut telah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya, dan tidak bertentangan dengan hukum yang diungkapkan dengan jelas di dalam nash.13

Dalam mazhab Maliki tidak dijumpai pembahasan ‘urf secara eksplisit, dari pengayaan yang dilakukan oleh penulis yang terbatas pemahamannya mendapatkan pembahasan tersebut dalam kitab al-Furuq yang di tulis oleh Imam al-Sonhaji yang menyatakan bahwa sebagian ulama kadang memandang adat dan urf sebagai dalil yang mu’tabar dan kadang tidak menganggap adat dan ‘urf itu sebagai dalil yang mu’tabar. Sebagaimana yang anda ketahui bahwa persoalan tersebut didasarkan pada tidak adanya penjelasan tentang perbedaan antara adat yang menjadi hukum dengan adat yang tidak menjadi hukum. Sedangkan pandangan kami tentang ‘urf sama dengan apa yang dibahas oleh Imam as-Syuyuti dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazair.14

12Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Us}ul Fiqh. Cet ke- II (Qahira : Dar at-Turats, 2010). Hlm.

85.

13Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad ibn Nujaim al-Mishri, al-Ashbah wa an-Naz}air

‘ala Mazhab Abi Hanifah an-Nu’man (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1419 H). Hlm. 79-80.

14Abi Qabas Ahmad bin Idris al-Sonhaji al-Qarafi, al-Furuq:Anwar al-Buruq fi Anwak

Sedangkan dalam mazhab Syafi’i mengungkapkan bahwa kaidah

ةدﺎﻌﻟا

ﺔﻤﻜﺤﻣ

mencakup beberapa persoalan fikih contohnya dalam permasalahan Haid, masa haid, baligh, usia dewasa, batasan haidh, nipas, dan lainnya.15 Kemudian

diterangkan bahwa kaidah tersebut dapat diberlakukan dengan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan diantaranya :

1. Dengan apa ‘urf tersebut dapat ditetapkan atau dapat dijadikan sebagai hujjah, terkait dengan hal ini ada dua yaitu :

a. ‘Urf tersebut telah dilakukan secara berulang-ulang contohnya, pertama Puasa dihari syak (hari yang meragukan untuk berpuasa)16, apabila

seseorang itu telah terbiasa berpuasa hari Senin dan hari Kamis kemudian diantara salah satu hari tersebut diragukan masuk satu Ramadhan maka apakah puasanya sah atau batal, dalam hal ini yang dijelaskan dalam kitab al-Khodim dikatakan bahwa apabila hal tersebut terjadi maka cukup sekali, dan puasa sunnahnya tersebut tetap sah. Kedua, memberikan hadiah kepada seorang qadhi, berapa kali batasannya sehingga ia dapat dikatakan sebagai urf. Menurut Imam as-Subki tidak ada hadis yang

15Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Ashbah wa an-Naz}air fi

al-Furu’ (Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah,t.t). Hlm. 63.

16Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

َةَﺮْـﻳَﺮُﻫ ﻲِﺑَأ ْﻦَﻋ

ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر

َلﺎَﻗ

:

ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

-ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ

:

»

ِمْﻮَﺼِﺑ َنﺎَﻀَﻣَر اﻮُﻣﱠﺪَﻘَـﺗ َﻻ

ِﻦْﻴَﻣْﻮَـﻳ َﻻَو ٍمْﻮَـﻳ

,

ﺎًﻣْﻮَﺻ ُمﻮُﺼَﻳ َنﺎَﻛ ٌﻞُﺟَر ﱠﻻِإ

,

ُﻪْﻤُﺼَﻴْﻠَـﻓ

«

.

ِﻪْﻴَﻠَﻋ ٌﻖَﻔﱠـﺘُﻣ

“Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah Saw bersabda Janganlah ada diantara kalian mendahului puasa ramadhan satu hari atau dua hari, Kecuali apabila seorang laki-laki yang telah terbiasa berpuasa, maka berpuasalah Ia” Muttafaqun Alaihi. Lihat : Abu al-Fadil Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Mara>m min Adillatu al-Ahkam

(Riyadh:Dar al-Falaq,1424 H). Juz 1. Hlm. 189. Muslim bin al-H{ajjaj Abu al-H{asan al-Qashiri an-Naisaburi, Shahih Muslim (Kairo:Dar al-Ihya’ al-Arabi,1374 H). Juz 7. Hlm. 53. Muhammad Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-S{ah}ih al-Mukhtas}ar (Beirut:Dar Ibn Katsir,1407 H). Juz 6. Hlm. 676. Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Ku>fi,

menjelaskan tentang hal tersebut. Namun, menurut ulama kami cukup satu kali.

2. ‘Urf/adat dapat dijadikan sebagai dalil bila hal tersebut terjadi berkali-kali sehingga dapat berhujjah dengannya. Contoh upah untuk menjahit, benangnya dari siapa (penjahit atau pemberi jahitan). Menurut Imam Rafi’ hal tersebut dikembalikan kepada adat bila belum ada adat yang menjelaskan hal tersebut maka harus dijelaskan.

a. Bagaimana apabila antara ‘urf bertentangan dengan nash. Dalam hal ini apabila persoalan tersebut dijelaskan oleh nash namun status hukumnya tidak dijelaskan oleh nash maka yang dikedepankan adalah ‘urfnya. Contoh apabila ada orang yang bersumpah “Saya tidak akan memakan daging” maka dia tidak perlu membayar kafarat atas sumpahnya tersebut apabila dia memakan ikan.17

b. Terdapat dalam nash dan status hukumnya di jelaskan oleh nash, maka yang dikedepankan adalah status hukum yang dijelaskan oleh nash. Contohnya, seseorang yang bersumpah bahwa dia tidak akan shalat, maka

17Hal tersebut sebagaimana dikatakan dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 14 :

ِﻪﻴِﻓ َﺮِﺧاَﻮَﻣ َﻚْﻠُﻔْﻟا ىَﺮَـﺗَو ﺎَﻬَـﻧﻮُﺴَﺒْﻠَـﺗ ًﺔَﻴْﻠ ِﺣ ُﻪْﻨِﻣ اﻮُﺟِﺮْﺨَﺘْﺴَﺗَو ﺎﻳِﺮَﻃ ﺎًﻤْﺤَﻟ ُﻪْﻨِﻣ اﻮُﻠُﻛْﺄَﺘِﻟ َﺮْﺤَﺒْﻟا َﺮﱠﺨَﺳ يِﺬﱠﻟا َﻮُﻫَو

َنوُﺮُﻜْﺸَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟَو ِﻪِﻠْﻀَﻓ ْﻦِﻣ اﻮُﻐَـﺘْﺒَﺘِﻟَو

Kata ﺎًّﯾِﺮَط ﺎًﻤْﺤَﻟ dalam ayat tersebut memiliki makna daging ikan. Sebagaimana dijelaskan dalam

tafsiral-Bayani lima fi surat an-Nahl min daqaiq al-ma’ani bahwa yang dimaksud makanlah oleh kalian daging yang lezat adalah ﺎﻤﺤﻟ ﻚﻤﺴﻟا (daging ikan), dia dikatakan daging karena bagian dari pada hewan-hewan. Ikan termasuk kedalam kata daging karena merupakan hewan laut yang memiliki karakter yang lunak. Sedangkan sebagian ahli tafsir lain mengatakan bahwa karakternya yang lunak dan mudah rusak. Hal ini sesuai dengan ungkapan “dan telah aku tundukkan untuk kalian lautan agar kalian dapat memakan daging ikan yang lunak dan cepat rusak, maka makanlah ketika ia masih segar dan sebelum rusak. Penjelasan ini dapat dilihat pada kitab, Sami Wadi’ Abdul Fattah, Tafsi>r al-Baya>ni Lima> fi> Surat an-Nahl min Daqa>iq al-Ma’a>ni (Aman : Dar

Dokumen terkait