• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

B. Medan Prijaji, Pers yang Berpolitik

Sebagaimana telah sedikit diurai pada bagian sebelumnya, selaku salah satu sarana informasi, pers memainkan peranan penting. Peranan besar ini dapat mencakup berbagai aspek baik itu bidang pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, keagamaan, politik, dan lain sebagainya. Kiprah pers sebagai corong informasi ini bukan merupakan hal baru di Bumi Nusantara. Pada bagian sebelumnya telah disinggung bahwa Jauh hari sebelum tercetus kata “Indonesia”, pers di Nusantara sudah menggeliat memainkan perannya. Sejumlah nama tokoh dan Koran pun turut mewarnai geliat awal pers di era Hindia Belanda.

Seiring perjalanan panjangnya, pers mengalami perubahan fungsi dari sekadar alat advertentie blad yang berisi pengumuman perdagangan atau transaksi niaga lainnya seperti pelelangan, kepada fungsi lain yakni mesin pembangun

15

Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers....h. 61 16

kesadaran kebangsaan. Meskipun pada fase awal pers sudah terbagi setidaknya menjadi tiga genre utama yakni komersil, misionaris, dan idealis. Artinya sudah terdapat jenis pers “pergerakan” dalam hal ini misionaris dan idealis yang sejatinya dapat di “satu rumahkan”, namun genre tersebut belum dapat dikategorikan sebagai pers kebangsaan (baca: pembangkit kesadaran kebangsaan). Pasalnya, fokus pemberitaan pada terbitan berkala yang notabene idealis itu masih difungsikan sebagai sarana edukasi yang bercorak lokal dan sektarian pada hal tertentu.17 Kendati demikian, pada perkembangannya, kita bisa melihat bahwa pers genre tersebut merupakan suatu pondasi bagi pijakan jejak langkah pers kebangsaan yang menggeliat antara abad 19 hingga permulaan abad dua puluh.

Dari sejumlah nama tokoh maupun Koran yang ada pada kurun abad 19 hingga awal abad 20, ada satu nama yang akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan. Sosok itu bernama R.M. Tirto Adhi Soerjo. Sebagai seorang jurnalis muda, Tirto yang juga tercatat sebagai siswa Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) itu merupakan sosok penting dalam sejarah pers nasional. Tanpa bermaksud mengecilkan peran tokoh pers sebelum maupun setelahnya, sosok Tirto dan Medan Prijaji seolah merupakan titik tolak pers kebangsaan yang ‘berdikari’18 Sebab ditangannyalah pers berperan sebagai media yang berpolitik.

17

Terbitan semisal Biang Lala umpanyanya, kerap kali memuat artikel provokativ

tentang islam yang dikesankan “miring”, yang pada saat ini boleh dikategorikan sebagai penistaan agama. Lih.pembahasan seputar Biang Lala, dalam Ahmat Adam, Sejarah awal pers dan kebangkitan kesadaran keindonesiaan. (Jakarta: Hasta Mitra,2003).

18

Saya katakan demikian sebab banyak kritik menghujani kawan-kawan yang mengusung Tirto dan Medan Prijaji sebagai titik tolak pers kebangsaan. Kritik ini datang dari berbagai pihak, termasuk salah satunya Andreas Harsono, seorang kritikus media. Kritik tersebut, sebagaimana ia tulis pada blog pribadinya, sejatinya diarahkan pada rekan-rekan Indexpress perihal metodologi

penulisan buku “Tanah Air Bahasa” yang menggambarkan bahwa penokohan Tirto seolah berdasar pada rasisme. Menanggapi ini, saya akan berbagi sedikit yang saya paham. Namun sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan intelektual ini sebab saya hanya seorang pemula dalam kajian pers. Menanggapi penokohan Tirto dan dipilihnya Medan Prijaji sebagai tonggak pers kebangsaan adalah hal yang bukan tanpa dasar. Pertama, boleh jadi pada masa sebelumnya telah ada berkala yang terbit dan telah menggunakan bahasa Melayu pasar seperti pada Selompret

Berbagai nama koran baik harian maupun mingguan sempat berada di bawah pimpinannya, baik itu sebagai redaktur atau pemilik langsung. Sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula” sejumlah nama semisal Soenda Berita, Pembrita Betawi, Soeara BOW, Soeara Spoor dan traam, Medan Prijaji, dan Poetri Hindia pun digawangi Tirto sebagai sarana penyeru kepada bangsa jang terprentah menyangkut hak dan kedudukan mereka dari Bangsa jang memerentah.

Sebagai seorang yang sadar dan peduli pada keadaan bangsanya sebagai Bangsa yang “terprentah”, ia menggunakan media pers sebagai alat perjuangannya. Jika pada umumnya pahlawan dikenal sebagai orang yang berjuang dengan senjata, maka yang menjadi senjata dalam perjuangan beliau melawan kesewenangan Kolonial adalah pena tajamnya. Melalui berbagai Koran yang dipimpinnya tersebut ia lakukan pembelaan pada bangsanya atas perlakuan semena-mena para pejabat belanda ataupun pejabat pribumi yang menjadi kaki tangan penjajah.

Dari sejumlah Koran yang dipimpinnya itu, ada satu nama yang patut disoroti berkenaan dengan peranannya. Medan Prijaji (MP), adalah koran yang berpolitik pada zamannya. Melalui koran inilah Tirto menyebarkan kesadaran

Melajoe. Namun redaksi, penerbitan, atau kepemilikannya belum secara utuh digawangi oleh pribumi. Pada 1903, hadir Soenda Berita sebagai pers pribumi yang dikelola dan dimiliki oleh pribumi (Tirto), namun mengenai perannya, SB belum secara signifikan membangkitkan kesadaran kebangsaan. Sedangkan perihal Bintang Hindia yang juga digawangi Abdul Rivai, medan perjuangan Bintang Hindia tidak seperti apa yang dihadapi Medan Prijaji. Proses penerbitan Bitang Hindia berlangsung di negeri kincir angin yang tidak terlalu ketat perihal aturan press. Sedangkan MedanPrijaji harus berulang kali terseok ke meja hijau akibat persdelict atau

persreglement yang membatasi sedemikian rupa. Jadi atas berbagai parameter tersebut maka sekelompok orang sepakat Medan Prijaji sebagai pelopor pers kebangsaan yang murni pribumi

atau yang saya istilahkan dengan “kaffah” sebagai pers pribumi sekaligus pers kebangsaan.

Singkat kata, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, sebelum Medan Prijaji, surat kabar

masih bernada ‘dari mereka untuk pribumi’, lih. Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.24

kebangsaan. Sebagai media, Medan Prijaji memainkan peran penting pada masanya dengan menjadi media yang berpolitik, Medan Prijaji menggeliat sebagai alat propaganda yang menyebarkan kesadaran tentang konsep “bangsa”, sebuah konsep kebangsaan yang di paparkan Tirto menggunakan bahasa yang sederhana dengan membedakan antara bangsa yang “terprentah” dengan bangsa yang “memrentah”.

Dari namanya, maka akan tampak bahwa surat kabar ini ditujukan pada kelas terpelajar dan mereka yang mengabdi pada penguasa, yakni para prijaji.19 Secara umum, khalayak tahu bahwa apa yang disebut priyayi adalah seorang dengan darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya. Namun lain halnya ketika kata priyayi telah bergeser maknanya. Priyayi, menurut Tirto, telah bermakna pegawai negeri.20

Mengenai makna priyayi yang diartikan sebagai gelar administratur dan tidak melulu genetis ini juga tergambar dalam cerita bersambung Tirto dalam Medan Prijaji Busono’. Dalam kisah itu, Busono, yang merupakan alter-ego dari sang penulis berbincang dengan asisten Residen Bandung. Busono ditawari pekerjaan sebagai pegawai pajak dengan gaji f 40,- tiap bulan. Namun tawaran itu ditolaknya, “ia mengucapkan banyak terimakasih. Malah dijanjikan kepadanya akan diangkat menjadi priyayi segala. Tapi ia menolak”. Dari secuplik kisah tersebut, kita dapat melihat bahwa pada masa itu, priyayi tak lagi melulu berdasar darah, tapi bisa diberikan oleh ‘yang berwenang’ dengan cara menjadi hamba penguasa.21

19

Bandingkan Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia..., h. 77

20

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula... h.20, catatan kaki no.21 21

Pengertian senada juga datang dari Van Niel, menurutnya priyayi adalah administratur, pegawai pemerintah, dan orang berpendidikan yang berada di tempat lebih baik dan bisa pula disebut elit. 22 Dalam pada itulah Tirto memaksudkan Medan Prijaji sebagai penyeru anak negeri agar jangan mau menjual diri pada bangsa yang memerintah, sebab sejatinya mereka adalah anak-anak bangsa yang terperintah yang justeru harus membebaskan bangsanya dari belenggu kolonial.

Upaya penyadaran ini menjadi penting mengingat predikat priyayi dan semacamnya seolah senjata kolonial untuk memberikan kehormatan semu pada pribumi, yang sebelum masuk kolonial, tergiur dengan kehormatan bangsawan feodal. Maka ini diihat sebagai peluang, sehingga sebagaimana dikutip dari Fromberg, seorang Bupati berulah selayaknya pengeran feodal meskipun tetap harus tunduk pada Residen yang berkebangsaan Belanda.23

Mari kita tengok semmboyan dari surat kabar yang merepotkan kolonial ini. Pada tahun 1909 selagi masih berupa mingguan yang “terbit tiap-tiap hari Djemaat” Medan Prijaji mengidentifikasi diri selaku “Swara oentoeq sekalian radja-radja bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaum moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh Hindia Olanda”.24

Namun pada saat formatnya berganti menjadi harian, maka berganti pula semboyannya. Dalam catatan Pramoedya, dan beberapa tulisan lain juga senada, semboyan itu berbunyi “Soeara bagai sekalian radja-radja, bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan sudagar Boemipoetra dan officier-officier

22

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009) h.31 23

Goerge M.T Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan,1995) h. 14

24

serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda”.

Kendati terjadi perubahan, namun semboyan tersebut menunjukkan sikap tentang gagasan ‘bangsa’. Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial, kasta, terlebih ras. Sebab semua itu “dipersamakan” sebagai bangsa yang “terprentah”.25

Perubahan ini tak banyak diperhatikan sebab umumnya orang merujuk pada semboyan versi harian.

Menyangkut peran penting Medan Prijaji dalam membangun kesadaran kebangsaan, Pramoedya Ananta Toer yang juga seorang ‘Tirtois’ mengajukan sebuah pertanyaan bermakna mendalam. Pram mengandaikan jika kerja membangun kesadaran kebangsaan “...tidak melalui tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?”.26

Disamping itu, Medan Prijaji pun kerap tampil sebagai Koran dengan semangat jurnalisme advokatif dengan melakukan fungsi advokasi atas permasalahan yang dihadapi rakyat pribumi. Berbagai upaya dilakukan sebagai aksi pendampingan pada warga yang terjerat masalah, utamanya dalam perkara hukum. Ini dilakukan Tirto dengan begitu lihai sebab memang ia memiliki pemahaman yang lumayan baik seputar hukum. Melalui pengetahuannya itulah ia melakukan pembelaan atas bangsanya, bangsa yang “terprentah”.

Sikap Medan Prijaji ini tergambar pada delapan azas yang dijadikan garis pijakan bagi misinya; 1. Memberi informasi, 2. Menjadi penyuluh keadilan, 3. Memberikan bantuan hukum, 4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, 5.

25

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula, h.47 26

Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, 6. Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, 7. Membangunkan dan memajukan bangsanya, 8. Memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.27

Tak jarang akibat aksi pembelaan atas bangsanya itu, Tirto harus berhadapan dengan aksi kekerasan berupa pencambukan, pemukulan, atau jerat hukum kolonial. Berbagai tuduhan kerap diarahkan padanya. Persdelict, adalah satu dari sekian batu sandungan yang kerap menghalang-halangi jejak langkahnya. Buah akibat aksi kritisnya terhadap pejabat belanda bernama A. Simon ini tergambar dalam karyanya ‘persdelict: Umpatan’ yang dikutip Pramoedya dari Medan Prijaji.28 Contoh lain adalah penggerebegan kantor Medan Prijaji oleh sekelompok orang di bawah pimpinan seorang jurnalis muda yang kelak mendirikan kantor berita Aneta, Dominique Willem Beretty perihal kasus skandal Van Hulten yang diungkap Medan Prijaji.29

Di lain pihak, ia pun kerap kali harus berhadapan dengan aksi intrik busuk beberapa orang licik yang bermaksud membunuh karakternya. Semua ‘karma’ itu tentu buah akibat dari tajamnya anak panah surat kabar yang berawal sebagai mingguan berukuran 12,5 x 19,5 cm pada 1907 ini. Pada tahun 10 Desember 1908, tahun ke dua terbit, secara sah berdasarkan akta notaris, berdiri sebuah perusahaan yang menaungi penerbitannya, NV Javasche Boekhandel en Drukerij

27

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula, h.46

28Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909, h. 224.

Bandingkan, Pramoedya Ananta Toer, ‘ Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. dalam Sang Pemula ,h. 208. Artikel lain berjudul Persdelict dalam Medan Prijaji

tahun III, h.669 juga memuat hal serupa. 29

Schrijfbehoften Medan Prijaji.30 Pada tahun ke tiga, 1909, Medan Prijaji telah memberi pertolongan pada sedikitnya 225 orang. Mulai dari tukang ikan di pasar hingga sultan di luar pulau Jawa ditolongnya.31 Panah yang mengarah pada laku semena penguasa kulit putih maupun kulit berwarna itu mengubah diri pada 1910 menjadi harian ditambah terbitan ekstra pada hari Minggu dengan oplah mencapai dua ribu eksemplar.

Akhir hayat Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912 bukan disebabkan oleh rasa takut pada penguasa. Bukan pula oleh sebab kehabisan anak panah yang terkenal tajam. Melainkan sebaliknya, mereka yang pernah dibuat ‘muntah darah’ oleh panahan sang Jurnalis semakin banyak. Mulai dari pejabat kecil hingga sang penguasatama, Gubernur Jenderal Idenburg tak luput dari pantauannya. Idenburg diserang dengan sebuah artikel yang menyebutnya sebagai ‘kyaine’ yang menggunakan uang rakyat bukan untuk semestinya.32

Rupa-rupanya, serangan bertubi-tubi ini membuat para penguasa geram dan memulai suatu upaya merontokkan Medan Prijaji. Dengan cara yang serba misterius, Medan Prijaji dinyatakan pailit oleh sebuah operasi tersembunyi. Ini akibat berita yang keras membuat pelanggan takut pada penguasa dan menghentikan berlangganan. Sebagian dari mereka tidak membayar sehingga Medan Prijaji digerogoti hutang. Ini membuat Tirto disandera dan kemudian sekali lagi, dibuang.

Sedemikian beracun panah Medan Prijaji sehingga para penguasa menghelat suatu permufakatan jahat untuk menyudahi teriakan protesnya yang lantang. Betapa bahayanya surat kabar ini tampak dari pengakuan Rinkes dalam

30

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula, h.49 31

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula, h.64 32

surat rahasianya untuk Idenburg pada 1912 yang menyatakan bahwa “.. dalam mingguan yang kemudian jadi harian itu, di bawah pimpinan redaktur-kepala, direktur, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo... diserang dengan keras pemerintahan dan para pegawai pemerintah, peraturan-peraturan pemerintah dihaja”’.

Ia juga menekankan betapa Medan Prijaji ‘meracuni’ kepala kaum setengah terpelajar untuk mengupayakan perbaikan nasib. Dan “semua ditulis dengan berani, dan dengan tegas, sehingga mengesankan pada pembaca dan membuat mereka pertama-tama menyadari, harian itu sebagai pejuang untuk kepentingan mereka yang orang harus menunjang dan mengikuti”.33

Berbahayanya harian ini dikukuhkan Rinkes sekali lagi pada 1915 dengan suatu pengakuan tentang pengamatannya mengenai dunia surat kabar bahwa “pers pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius tertentu untuk mengeluh, (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih gawat).”34

Kekhawatiran serupa juga tampak dari suatu dokumen Kementerian Daerah Jajahan Belanda mengenai tinjauan ulang atas Drukpersreglement 1856 yang dilaksanakan pada 1906 dalam Staatsblad no. 770, di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Medan Prijaji termasuk berbahaya dengan “...bahasa yang menghasut.”35

Nampaknya Medan Prijaji telah benar-benar membuktikan diri sebagai ruang perlawanan. Mengutip Saleh Abdullah bahwa

33

Pramoedya Ananta Toer, SangPemula, h.67 34

Beginilah Tirto Adhi Soerjo dalam Majalah Seabad Pers Kebangsaan (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 17

35

Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, h. 303

perlawanan tidak sebatas ide. Melainkan ia memerlukan ruang aktualisasi diri untuk menunjukkan bahwa resistensi itu ada.36

Dari secuplik sejarah pers di ranah bumi Nusantara, kita dapat melihat suatu fenomena betapa pers memiliki kekuatan politik sebagai pembangun identitas bangsa yang sedang ”menjadi”. Dan dalam gerak sejarah yang demikian itu, meminjam istilah Taufik Rahzen, Medan Prijaji merupakan patok awal di mana nasionalisme untuk pertama kali dibangkitkan dengan jalan revolusi cetak.37

Dokumen terkait