• Tidak ada hasil yang ditemukan

R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan

BAB III. NASIONALISME YANG LAHIR DARI PERS

C. R.M Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Kebangsaan

Dalam sebuah ungkapan indah yang dicatat pada kisaran 1904 di mana wartawan hidup dalam semangat patriotisme, Joseph Pulitzer memberikan gambaran mengenai siapa seorang jurnalis. Dalam pandangan Pulitzer, wartawan adalah seorang yang berdiri di anjungan kapal, senantiasa melakukan pengamatan. Ia mencatat laju pelayaran, menggambarkan keadaan cakrawala yang cerah. Membuat laporan mengenai yang terdampar agar kapal selamat. Berteman dengan badai dan kabut agar dapat segera kirimkan kabar bahaya. Seorang yang tidak memikirkan gaji. Ia berada di sana demi kesejahteraan rakyat atau siapapun yang mempercayainya.38

Sepak terjangnya dituangkan Pramoedya Ananta Toer dalam bentuk fiksi berjudul Jejak Langkah.39 Jurnalis kita, Tirto Adhi soerjo, seorang yang disebut

36

Saleh Abdullah, Melawan Arus, Menguasai Ruang dalam Jurnal Wacana (Jogjakarta: Insist Press, 2008) h. 7

37

BataviaseNouvelles, no.04 Februari (Jakarta: Indexpress, 2007) h. 36 38

Pawito, Komunikasi Politik (Yogyakarta: Jalasutera, 2009) h. 127-128 39

Dakhideae memiliki pandangan jauh menembus zaman.40 Ia digambarkan S. De Vries sebagai seorang dengan daya kerja luarbiasa yang digambarkan dengan “setiap saat ia bekerja untuk kemajuan bangsanya, namun semua hasilnya dipersembahkannya pada umum, sehingga ia tidak mengenal kekayaan...” tirto juga disebut sebagai jurnalis yang “memberikan bantuan paada semua orang yang membutuhkan...”41

Seorang seperti beliau dan para pengikut jejak langkahnya bukan sekadar pencari berita “mereka itu bukan news getter, tapi pahlawan perdjuangan nasional, pelopor tjita-tjita persatuan dan kesatuan. Mulai daripada jang tertua seperti Tirtohadisurjo dengan Medan Prijaji-nja...”42

dalam kalimat singkat, Max Lane menyebutnya sebagai “seorang pribumi pertama yang menerbitkan koran harian dan menggunakannya untuk mendorong perjuangan menentang kolonialisme...”43

Namun demikian, kerapkali ia kerjakan tugas jurnalistiknya itu dari pembuangan. Tirto memang tidak dipenjara sebab kebangsawanannya memberinya suatu forum previlegiatum. Tapi seebuah kalimat agaknya bisa digunakan menggambarkan betapa ia bekerja dengan sebelah kaki di pembuangan. Sebagaimana hampir rata-rata nasib para jurnalis dan redaktur di daerah jajahan yang kritis akan menjadi seorang yang “...selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara”.44

40

Daniel Dakhideae, Sang Perintis.

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2007/04/17/1298/ pena. tajam. Tirto. Adhi. Soerjo. hari. pers. nasional.

41

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 6-7 42

Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia,h. 355

43

Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai (Jakarta: Reform Institut,2007) h.xxv 44

Beberapa kali pembuangan dihadapinya tak lain sebagai buah yang harus ia petik dari ketajaman penanya. Sebagai seorang bangsawan keturunan Pangeran Sambernyowo, Tirto termasuk orang yang ‘menabrak garis’. Sebab ia terbilang anti terhadap watak feodal. Dalam pandangannya, boleh jadi satu-satunya sisi positif dari kolonialisme adalah mendobrak feodalisme, tapi lebih dari itu ia memusuhinya sebagai sistem yang menindas.45

Sebagai siswa STOVIA, tentu ia memiliki modal intelektual. Namun ketajamannya menjadi kian terasah ketika ia bertemu dengan Karel Wijbrands di dapur berita surat kabar Pembrita Betawi, seorang jurnalis senior yang mengajarkannya cara mengelola usaha surat kabar serta ilmu hukum agar tepat dalam melangkah.46 Dalam pengamatan Pramoedya, ketajaman kritik Tirto atas kolonial dalam tulisan-tulisannya kian menjadi setelah ia kembali dari pembuangan di Maluku. Sebab di sana ia mendengar pengakuan tentang kekejaman kolonial.47

Sejak di awal-awal karirnya di Pembrita Betawi, ia sudah disoroti akibat keberaniannya mengungkap skandal J.J Donner, residen Madiun, dalam perkara upaya perebutan posisi. Donner menghadapkan Bupati ke hadapan hukum dan mengalahkan Bupati Madiun, Brotodiningrat yang kemudian dibuang ke Padang. Hal ini terus diungkap Tirto dalam Pembrita Betawi, dan karenanya ia harus berhadapan dengan penguasa kolonial.48

45

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 14 46

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 25 47

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 45 48

Sebagai seorang penggerak perlawanan atas kolonialisme, Tirto memiliki anomalinya sendiri. Jika umumnya orang menganggap agak janggal bagi seorang aktivis perlawanan berdekat-dekat dengan penguasa. Lain halnya dengan Tirto, ia terbilang dekat dengan Gubernur Jenderal Van Heustz. Agaknya kedekatannya ini sebagai salah satu faktor begitu beraninya ia mengangkat suatu berita yang tak berani dibicarakan orang. Namun setelah Van Heutsz digantikan oleh Idenburg, malapetaka dimulai. Gubernur Jenderal yang baru itu segera mengendus jejak perlawanan dan mengambil tindakan atasnya. Kesempatan ini dibaca dengan jeli oleh lawan sang jurnalis, A.Simon. baginya ini adalah kesempatan baik untuk balas dendam. Tirto didakwa atas tulisan-tulisannya yang memojokkan pemerintahan kolonial sebagai aparat yang mementingkan bangsa yang memerintah yang tidak menghargai hak bangsa yang diperintah. Ia juga didakwa atas tulisan yang menyebutkan bahwa pemerintah kolonial tidak memberikan kebebasan bersuara dalam pers serta pembiaran korupsi resmi.49

Akibat dakwaan itu, ia dikenakan hukuman. Bukan penjara atau gantung, berkat previlese yang dimilikinya ia beroleh pembuangan ke Teluk Betung.50 Kendati mulai dibuntungi perlahan, jejak langkahnya masih mendapat simpati. Seorang yang entah siapa, mengiriminya surat puitis dari Eropa. Dalam surat itu dikatakan bahwa “penghukuman tuan menyedihkan saya, kesedihan yang mendalam....” dan untunglah ada satu pepatah Perancis yang menghibur perihal tuduhan yang ditimpakan atas Tirto, “C’est le crime, qui fait la honte et non pas l’hafaud.. ”, “kejahatanlah yang telah membikin aib, dan bukan tiang gantungan” . Sang pengagum melihat sosok jurnalis kita sebagai seorang juru selamat,

49

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 62 50

seorang Mahdi bagi bangsanya. Ini terlukis puitis dalam surat yang sama seolah ingin mengatakan bahwa ia dihukum bukan karena salah “orang telah menyalib Mahdi-ku namun tetaplah dia Juruselamat-ku. Hari-hari pembuangan untunglah bagi tuan bukan hari-hari penebus dosa... tuan bukanlah penjahat. Di mata mereka yang berpikiran waras, tuan tetap keturunan terhormat seorang Ario Jipang dan seorang Pangeran Sambernyowo”.51

Dari pembuangan di Teluk Betung, alih-alih patah, pena Sang Pemula malah kian runcing. Dalam pembuangan itu ia memberikan pada pembacanya suatu “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan” yang mengatakan bahwa watak “berbuat sesuka sendiri dan pilih kasih adalah penyakit kebanyakan orang yang berkuasa di Hindia ini”. Setiap hari ia mendengar pengaduan betapa masyarakat jauh dari kebebasan dan perlakuan adil. Ini membuatnya berang hingga “...darah kita sedang mendidih, gigi kita menggigit bibir, dan hati berdebar-debar karena murka sudah menggunakan pena...”.52

Begitu dendamnya ia pada kolonial terlukiskan dalam penuturan seorang yang pernah berjumpa pada pembuangan di Ambon. Menurutnya, Tirto pernah berkata “jika interniran saya dicabut, saya akan pergi ke Japan. Dan ajak Japan pukul atau runtuhkan Hindia Belanda”.53

Sedemikian berbahayanya tokoh kita, sehingga dibikin tak banyak orang mengenalnya. Tentu bukan suatu kebetulan, melainkan suatu upaya yang terencana. Kita akan lihat bagaimana Tirto dilukiskan

51

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 56-57. Lihat juga BataviaseNouvelles no.04 Februari 2007, h. 37

52

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 246 53

dalam syair yang ditulis Priatman berjudul ‘Siapa Pelopor Djurnalistik di Indonesia- 1875-1917’ sebagai berikut:

“Raden Mas Tirtoadisoerjo

Nama kecilnja Djokomono Keturunan Tirtonoto Bupati Bodjonegoro

Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta Penulis pembela Bangsa

Membasmi sifat pendjajah Belanda Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja Membuka sedjarah djurnalistiknja

‘Medan Prijai’ warta hariannja

Suluh keadilan dan Putri Hindia Ada dalam pegangan Redaksinja Tiap perbuatan dari pendjadjah Jang akan membuat lemah Terhadap Nusa dan Bangsa kita

Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja Pendjadjah dengan kekuasaannja

Mendjatuhkan hukumannja

Marhum Tirtoadisurjo diasingkan dari tempat kediamannja Lampung adalah tempat tudjuannja

Setibanja di pengasingan terus berdjuang Tak ada tempo jang terluang

‘ntuk membela Nusa dan Bangsanja

Pelopor Djurnalistik Indonesia Tahun 1875 adalah tahun lahirnja Pada tahun 1917 wafatnja

Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja ”54

Dalam sang Pemula, Pramoedya memberi catatan mengenai syair ini. Menurutnya terdapat ketidakakuratan mengenai tahun lahir dan wafat Tirto yang seharusnya 1880-1918.55 Kini makamnya pun telah dipindah di sebidang tanah berpagar yang dijadikan makam keluarga di tengah pemakaman umum di daerah Blender, Bogor.

54

Priatman, Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah (Bogor: Badan Penerbiit Patani,1950) h.89

55

Mengingat jejak langkahnya sebagai jurnalis yang ‘berbahaya’, bukan mustahil bahwa kiprahnya dihilangkan dari sejarah nasional. Bahkan upaya menghapus kiprah Tirto ini sudah dimulai sejak ia masih hidup. Mengenai hal ini, sedikitnya kita bisa menyebut tiga nama agen rahasia Belanda yang membuntuti dan mencatat tindak-tanduknya, Dr. C. Snouck Hurgronje, Dr. G.A.J. Hazeu, dan Dr. D.A. Rinkes yang melakukan upaya sistematis untuk mencitrakan Tirto sebagai sosok yang bermasalah.56 Muhidin M Dahlan menyebutnya sebagai operasi arsivaris yang bertujuan menghabisi jejak perjuangan Sang Pemula.57 Singkat kata, Tirto dikriminalisasi karena kerja jurnalistiknya dianggap berbahaya bagi kolonial, sebagaimana diakui sendiri oleh Tirto bahwa “dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa dan menggugah mereka yang masih tidur nyenyak agar mulai menyadari kewajibannya ”.58

56

Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 4 57

Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam BASIS Januari-Februari 2009, h.6

58

Iswara N Raditya, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo; Pers Pergerakan dan Kebangsaan (Jakarta: I;BOEKOE, 2008) h.7

65 BAB IV

NASIONALISME CETAK, PERLAWANAN PERS TERHADAP

PENJAJAHAN KOLONIALISME

Bahasa menunjukkan bangsa, demikian bunyi sebuah adegium yang kerap menyambangi daun telinga. Kalau memang benar demikian adanya, lantas sejauh mana bahasa berpengaruh dalam upaya komunal mengidentifikasi dirinya sebagai satu kesatuan bangsa dengan kriteria tertentu. Berikut akan saya paparkan mengenai bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang memainkan peran melalui suratkabar.

A. Linguafranca sebagai Identitas Bangsa

Setelah pada bab kedua kita telah membahas teori mengenai bagaimana pers mengkonstruksi realitas bernama bangsa, maka Pada bagian ini kita akan sedikit memberikan penekanan mengenai bagaimana bahasa bukan hanya sebagai pelengkap identitas, namun lebih dari itu menjadi sarana pembentukan sebuah bangsa. Tentu masih dalam rangka menjelaskan peran pers, dalam hal ini Medan Prijaji, untuk memainkan sepak terjangnya di alam penghisapan kolonial untuk pada akhirnya memberi tempat pada bahasa untuk menegaskan dirinya sebagai sebuah bagian yang menjadi instrumen penting dari pembentukan sebuah bangsa.

Sebagaimana Loomba mengutip Ben Anderson bahwa di tengah proses menjalin ikatan-ikatan antara komunitas yaang tak pernah saling tatap, suratkabar memainkan peran menciptakan budaya, kepentingan, dan kosa kata bersama yang

menciptakan ‘bahasa cetak’ tertentu.1

Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan ‘bahasa cetak ‘ itu adalah linguafranca yang dirumahkan suratkabar.

Sebagaimana dikatakan Perry Anderson dalam “Modernity and Revolution”, kebudayaan adalah kesadaran yang dirumuskan dengan aktivitas bahasa. Bahasa adalah praktik kesadaran, sebagaimana kesadaran, hanya muncul dari kebutuhan; kebutuhan terhadap pergaulan dengan manusia lain. Dengan kata lain, kesadaran tertentu merupakan produk dari hubungan sosial tertentu.2 Kita tentu masih ingat betapa bangsa juga diandaikan sebagai suatu ‘hubungan sosial tertentu’.

Sekarang bagaimana halnya dengan bahasa dan bangsa dalam kaitannya dengan topik pembahasan kita. Dalam kasus Medan Prijaji, tentu kita bisa melihat sekilas mata bahwa bahasa lingua franca yang digunakan sebagai bahasa operasional media cetak tersebut. Namun, ternyata lingua franca yang semula ‘berkeliaran’ di pasar-pasar sebagai bahasa perdagangan itu bertransformasi menjadi suatu yang tak sekadar transmisi antara penjual dan pembeli. Dalam ‘asuhan’ Medan Prijaji, bahasa yang pada akhirnya menjadi bahasa Nasional kita ini, bermetamorfosa menjadi identitas budaya sekaligus politik, yang menarik garis tegas antara “kami” dan “kalian”.

Dalam hal ini, “kami” dan “kalian” yang saya maksud tentu tidak lain adalah “bangsa jang terprentah” dan “bangsa jang memerentah”. Dan ini merupakan suatu instrumen penting bagi Bangsa yang berawal sebagai sebuah

1

Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Jogjakarta: Bentang, 2003) h.241 2

Perry Anderson, Modernity and Revolution, Newleft Review. No. 144, Maret-April 1984. Dalam Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik Pada Zaman Pergerakan. (Geocities) h.8 catatan kaki no.10

kumpulan terpisah komunitas etni yang sedang mangalami demam kesadaran akan suatu di luar dirinya. Realitas yang dipungut dan terkonstruk dalam pengandaian akan sebuah entitas bangsa. Dan pada akhirnya, dalam suratkabar yang diasuh Tirto ini, bahasa benar-benar menarik garis pembatas antara sebuah Bangsa yang tertindas dan dicitrakan terbelakang dengan Barbarian yang dicitrakan ‘beradab’, atau meminjam istilah Lenin ”Civilized Barbarism”,3 dalam menggambarkan betapa di balik gemerlap glamor kehidupan ‘beradab’ dua kota, London dan Paris ternyata tersimpan wajah menakutkan dari monster Kapitalisme. Dan dalam konteks Nusantara, monster itu adalah sekelompok penghisap yang mengeksploitasi habis harta benda milik bumi Nusantara di bawah panji kolonialisme.

Mengenai bagaimana bahasa bekerja mengkonstuk bangsa. Ini merupakan pembahasan menarik. Pertama, kita kembali mengingat bahwa bangsa kita terbentuk dari sekumpulan komunitas etni. Ini berarti bahwa keduanya, yakni bangsa dan suku bangsa, merupakan kelompok fenomena yang sama, dengan kesadaran berbeda. Kesadaran yang pada awalnya hanya berupa ke ‘kita’an dalam batasan kesukuan bertransformasi dengan memperluas jangkauan ke ‘kita’an menjadi tidak hanya berdasar pada gen 4 dan etnisitas, tapi lebih terbuka dan menjadi kesadaran kolektif. Ini dapat terjadi salah satunya berkat media massa yang mampu ‘melipat jarak’ sehingga proses pembagian kesadaran ke ‘kita’an menjadi lebih massif dan efektif.

3

V.I. Lenin, Civilized Barbarism dalam V.I. Lenin on Britain (Moscow: Foreign Languages Publishing House) h. 187

4

Dalam pandangan De Fleur dan Ball- Rokeach, ada berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa, di antaranya dengan menciptakan istilah baru. Pada gugusan sejarah di masa pendudukan kolonial, kita bisa melihat betapa tradisi pendidikan modern mengenalkan istilah baru yang berkaitan erat dan berpengaruh dengan pergerakan semisal vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju), vakbonden (serikat buruh), communisme,Islamisme, dan tentunya nasionalisme. Takashi Shiraishi menyebutkan bahwa istilah baru ini merupakan penanda bentuk baru politik pergerakan yang menancapkan akarnya pada bahasa melayu. Dan menurut Shiraishi “ Untuk memahami persoalan ini kita cukup mengingat kembali Tirtoadhisoerjo”.5

Dalam kaitannya dengan Medan Prijaji, istilah baru yang diciptakan adalah terminologi ‘bangsa’, yakni ‘bangsa jang terprentah’ dan ‘bangsa jang memerentah’. Kita tahu bahwa pada masa itu, kata bangsa biasanya identik dengan etnisitas, misalnya bangsa Jawa, bangsa batak, dan semacamnya.

Namun Medan Prijaji melahirkan istilah dengan pengertian yang juga baru. Bangsa tidak lagi dipahami sebagai Jawa, Madura, Batak, Ambon dan lain-lain. Tapi sebagai ke’kita’an yang merupakan hasil relasi sosial yang dibangun diatas pondasi kesadaran kolektif. Sebagaimana dikatakan Saussure bahwa pandangan kita tentang realitas dikonstruksi oleh kata-kata6, maka di titik inilah bahasa, melalui suratkabar, tidak hanya memantulkan realitas dalam sebuah cerminan apa adanya, tapi lebih dari itu, sebagai sarana konseptualisasi, ia mengkonstruk realitas7 tentang bangsa dengan pengertian yang sama sekali baru.

5

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti,2005) h.470

6

Alex Sobur, Analisis Teks Media....h.87 7

Pandangan konstruktivisme seperti Peter Berger maupun yang datang dari kaum Marxis juga berpandangan senada, bahwa penggunaan bahasa dalam suatu proses sosial ditujukan bukan hanya mendefinisikan, tapi juga mengkonstruksi realitas dalam relasi kuasa tertentu.8 Tentu kita tidak dalam porsi membahas politik bahasa secara mendalam, namun demikian, penggunaan linguafranca menjadi pilihan strategis dalam upaya penyebaran kesadaran kolektif mengingat bahasa tersebut digunakan oleh lapisan penduduk yang lebih banyak. Tentu pilihan ini menjadi efektif mengingat apa yang dilakukan Medan Prijaji sejatinya adalah counter-hegemony terhadap wacana yang disebarkan penguasa kolonial baik menyangkut kolonialisme sebagai praktik ekonomi politik maupun budaya yang disusupkan di antaranya. Berikut akan kita lihat bagaimana Medan Prijaji menentukan sikap perihal bahasa pilihannya itu:

“... dalam tempat tempat pesisir itoe dimana bahasa kita soeda bertempat moela moela, dalam bahagian berbanjak dalam koempoelan Hindia pada raajat negrinja di dapet penggoenannja lingua franca, jani Melajoe rendah jani Melajoe jang sederhana ditjampoer dengan roepa-roepa tjampoeran dari itoe bahasa Melajoe rendah sahaja tida maoe kata djahat. Itoe ada bahoea jang berfaedah dan kerna sederhana rangkaianja gampang dipeladjari olih dan antara berdjenis djenis raajat itoe...”9

Dalam tulisan yang cukup panjang ini, sikap Medan Prijaji menyangkut bahasa pilihannya sebagai identitas sebuah bangsa sangat jelas bahkan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Meminjam kacamata Taufik Rahzen, Seorang pemerhati sejarah media yang juga mengidolakan Tirtoadhisoerjo, bahwa perjuangan surat kabar inilah yang disebut sebagai nasionalisme cetak atau print-nationalism, yakni nasionalisme yang bukan hanya memfungsikan pers sebagai sarana propaganda

8

Dedy N Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru dalam Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP, 1999) h.47

9

T.A.S, Behasa Olanda di Hindia Olanda dalam Medan Prijaji th.III ( NV. Medan Prijaji, 1909). h. 446-447

tapi lebih dari itu, merumahkan bahasa sebagai identitas budaya dan politik bangsa, sebab pada bahasa tersirat gugusan politik identitas yang dirajut dalam surat kabar.10

B. Kritisisme MedanPrijaji Terhadap Penguasa

Sebagaimana telah saya tuliskan pada bab kedua, dalam karya berjudul Pers dan Massa, Njoto mengatakan bahwa“suratkabar tidak mungkin mengambil jalan tengah atau tidak berpihak”. Pandangan ini kembali saya kutipkan sebagai sebuah penekanan bahwa pada keadaan sebagaimana Medan Prijaji tumbuh dan berkembang, yakni dalam nuansa penghisapan kolonial atas bangsa tanah koloni, atau meminjam istilah Medan Prijaji penjajahan ‘bangsa jang memerentah’ atas ‘bangsa jang terprentah’, mustahil bagi sebuah surat kabar untuk tidak berpihak atau bersikap netral mengingat watak dasar Medan Prijaji sebagai pers yang berpolitik.

Ini sekaligus menjelaskan bahwa sejak dari jargon, koran berlambang kesatria memanah yang sempat mencapai oplah dua ribu eksemplar ini sudah menentukan ke arah mana keberpihakannya ditujukan. Keberpihakan pada rakyat tertindas yang diidentifikasi dengan nama ‘bangsa jang terprentah’ ini diartikulasikan dalam tulisan-tulisan yang menggigit. Baik fiksi maupun non fiksi, keduanya memiliki daya tonjok yang telak mendarat di pelipis kekuasaan. Oleh sebab gaya penulisan yang menyerang sekaligus sinis, surat kabar yang ngeh politik ini kerap mendapat serangan balik dari pihak-pihak yang merasa aibnya dibongkar.

10

Taufik Rahzen, Seratus yang Membangun Rumah Bahasa dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (Jakarta: I:BOEKOE, 2007) h.420-424

Karena konsistensinya mengawal kaum tertindas, Medan Prijaji juga diberi predikat sebagai koran pengusung jurnalisme advokasi. Keadaan Medan Prijaji yang demikian itu adalah suatu tanda betapa surat kabar memiliki daya advokasi dan oleh karenanya ia tidak hanya hadir, tapi dirindukan oleh rakyat kecil. Suatu keadaan di mana ‘teekenend dat de kleine man in den journalist zijn verdendiger ziet...’, bahwa orang kecil memandang jurnalis sebagai pembela mereka.11

Tema dari artikel kritis suratkabar yang kerap merongrong penguasa ini beragam. Namun dua diantaranya yang mencolok dan senafas dengan tema kita adalah tema seputar kritik terhadap penguasa di satu sisi dan ‘sentimen kebangsaan’ di lain sisi. Namun sebenarnya kedua sisi tersebut memiliki satu sasaran yang sama dan kadang kedua tema tersebut termuat dalam satu artikel, kritik terhadap ‘bangsa jang memerrentah’ yang kelak melahirkan konsekuensi berupa lahirnya rasa ke’kita’an. Bahwa ‘kita’ yakni ‘bangsa jang terprentah’ berbeda, dan harus mengatakan tidak terhadap ‘mereka’ yang tak lain ‘bangsa jang memerentah’.

Berkenaan dengan itu, tidak satu dua permasalahan yang dicuatkan oleh suratkabar pembangkit bumiputra dari tidurnya ini. Tidak sedikit pula kasus yang disorotinya berkenaan dengan laku semena para penguasa, baik itu dari bangsa Eropa maupun bangsa pribumi yang bersatu dengan bangsa jang memerentah. Boleh jadi watak konfrontatif dalam mengawal kasus kaum lemah dan kritik atas penguasa ini yang membuat Medan Prijaji kerap berurusan dengan hukum. Berikut kita akan melihat sebuah berita yang dimuat Medan Prjiaji berkenaan

11

dengan kritik-kritiknya terhadap penguasa, salah satunya adalah kritisisme Medan Prijaji dalam upaya menolong orang-orang desa Bapangan atas laku kuasa Aspirant Controleur Purworedjo, A. Simon yang berbuntut panjang.

Gambaran dari peristiwa saat itu kira-kira sebagai berikut; “.... kita didakwa soeda mengoepat saakan akan kita ada toedoeh Asp. Controleur itu terima smeer, tetapi toedoehan ini tida di terima olih en Raad van justitie en olih Hof besar sehingga kita terlepas dari.... toedoehan itoe; akan hal ini soerat-soerat kabar melaijoe jang ternama soeda menjatakan kegirangannja”.12

Dalam artikel yang sama, Tirto yang menulis dengan nama pena berupa inisial T.A.S, mengutipkan suatu keadaan perkembangan kritisisme media yang diberitakan ulang Medan Prijaji dari Java Bode No.226 bahwa pers bumiputera

Dokumen terkait