• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medepleger (orang yang turut serta) a Pengertian :

Dalam dokumen Asas asas Hukum Pidana EBook (Halaman 115-128)

PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)

SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA 1 Pembagian penyertaan menurut KUHP

4. Medepleger (orang yang turut serta) a Pengertian :

1). Undang-undang tidak memberikan definisi

2). Menurut M.v.T : Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut

berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

3). Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada dua kemungkinan :

- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.

Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras, salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak.

Misal : dua orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu. - Tidak seorangpun memenuhi

unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu misalnya : dalam pencurian dengan merusak (pasal 363 ayat (1) ke- 5) salah seorang melakukan

penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan

mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada

kawannya yang menggangsir tadi.

b. Syarat adanya medepleger :

 Ada kerjasama secara sadar

(bewuste samenwerking).

Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar.

Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif.

 Ada pelaksanaan bersama

secara fisik (gezamenlijke

ultvoering/physieke samenwerking).

Persoalan kapan dikatakan ada

perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit

“percobaan”), namun secara singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik ybs. Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung. Batas antara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam masalah pembantuan.

c. Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ?

Mengenai hal ini ada dua penadapat : 1). Pendapat pertama : “harus”.

Medepleger adalah suatu bentuk daderschap (keadaan / sifat pelaku pembuat), orang turut serta melakukan adalah pembuat (dader) apabila ada beberapa orang bersama-sama melakukan delik, maka mereka timbal balik terhadap satu sama lain disebut pembuat peserta (mededader). Pembuat

peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan undang-undang diisyaratkan untuk

daderschap. Barang siapa tidak

dapat menjadi pembuatan tunggal

(alleendader) juga tidak dapat

dinamakan pembuat peserta

(mededader). Sifat-sifat atau

keadaan pribadi yang menentukan dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang mempunyai sifat-sifat tersebut. 2). Pendapat kedua : “tidak harus”.

Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5 Januari 1932 yang kasusnya sbb : A memegang gelang milik orang lain untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut untuk kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A dinyatakan salah melakukan penggelapan, sedang suaminya “turut serta melakukan penggelapan” meskipun suaminya tidak memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pasal 372.

Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum barang yang ada padanya bukan karena kejahatan “, sedang status suaminya terhadap barang itu ialah

menggadaikan barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari A dan tahu bahwa barang itu bukan milik A.

d. Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos ? pada turut serta, kesengajaannya ditujukan kepada :

1. Kerjasama dengan orang lain (ditujukan pada perbuatan).

2. Tercapainya hasil yangmerupakan delik (ditujukan pada akibat).

Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau kesenjangan orang turut serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan bersama, maka mungkin ada turut serta melakukan secara culpa. Misal :

A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan menimpa orang yang ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak

menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi mereka bersama- sama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun kurang berhati-hati serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu mereka dapat dituntut bersama-sama melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.

5. Uitlokker (penganjur)

a. Pengertian :

Pengajur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.

Jadi hamper sama dengan menyuruh-

lakukan (doen-pleger), pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil / auctor physicus. Adapun perbedaannya sbb : Penganjuran Menyuruh-lakukan Menggerakkannya dengan sarana- Sarana menggerakkannya

sarana tertentu (limitatif) tidak ditentukan (tidak limitatif) Pembuat materiil dapat dipertanggungjawa bkan (tidakmerupakan manus ministra) Pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawa bkan (merupakan manus ministra)

b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana :

Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana ialah :

 Ada kesenjangan untuk

menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.

 Menggerakkannya dengan

menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif).

 Putusan kehendak dari si

pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychise

causaliteit).

 Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.

 Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil).

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?

Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :

1. Tidak mungkin.

d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran atau pengajuran yang gagal ?

e. Pertanggungjawaban si penganjur.

c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?

(a). Tidak mungkin.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.

(b). Mungkin.

Simons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan oleh undang-undang. Misal :

Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan

mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya. Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu.

d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal ?

Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana. (catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1

dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti dikemukakan pada no. b diatas.

Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan :

1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).

Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.

Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.

2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap dapat

dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.

Catatan :

 Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid (sifat dapat dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat dipidananya orang (pertanggungjawaban pidana). Jadi lebih mendekati pandangan monistis.

 Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum perubahan tahun 1943), dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku).

Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater (si turut-serta melakukan / medepleger, anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu / medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung, yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat

materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan.  Pertanggungjawaban peserta tidak lagi

digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.

Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh) yang melihatnya dari dua sudut pandang :

1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan pelaku atau peserta lainnya.

2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya.

Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo

273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal ini berbunyi :

1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.

2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.

Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan

salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) merupakan alasan penghapus penuntutan.

Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba / berusaha menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan / doenplegen yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke- 2.

e. Pertanggungjawaban si penganjur.

Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :

A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan” (pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (pasal 55 jo 351 ayat (3)).

Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A. Namun demikian, A masih dapat dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan. Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan, kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3 bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi pasal 163 bis).

Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat dikenakan pada A.

Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya

sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis.

Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338). Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ?

Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan) antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju)” atau meliputi juga seluruh corak kesengajaan.

Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B (pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara normative oleh Hakim.

6. PEMBANTUAN (medeplichtige)

a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.

Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.

b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :

Jenis pertama :

 Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang

Jenis kedua :

 Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;  Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam

undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).

Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta

(medeplegen) perbedaannya sbb :

Pembantuan Turut Serta

Menurut ajaran penyertaan obyektif : perbuatannya hanya membantu / menunjang (ondersteuning

shanling)

Menurut ajaran obyektif : perbuatan merupakan perbuatan pelaksanaan (uitvoering shandelling)

Menurut ajaran subyektif :  Kesenjangan

merupakan animus socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain);

 Tidak harus ada

kerja sama yang disadari (beweste samenwerking)

 Tidak mempunyai

Menurut ajaran subyektif :  Kesenjangan

merupakan animus coauctores

(diarahkan untuk terwujudnya delik);

 Harus ada kerja

sama yang disadari (bewuste samenworking)  Mempunyai kepentingan / tujuan kepentingan / tujuan sendiri. sendiri. Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP).

Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat

dipidana. Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (pasal 57-1).

Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.

Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran

(uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut :

Penganjuran Pembantuan Kehendak untuk melakukan

kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si pengajur (ada kausalitas psikhis)

Kehendak jahat pada pembuat materiil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).

Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling

bertentangan menganai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :

A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,

Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang melakukan,

tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku.

Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan sama, maka batas antara bentuk- bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif.

Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.

B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan.

Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya), tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara

tegas. Adapun yang dijadikan batas antara masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin masing-masing peserta. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang subyektif.

Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter (penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan) dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain). Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran karena :

- Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “ dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyertaan ini (yang dapat disamakan dengan pembagian autors dan complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris, berarti menganut system yang pertama.

- Akan tetapi apabila dilhat perbedaan pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.

Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut system Code Penal (system pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system KUHP Jerman (system kedua), maka konsekuensinya ialah :

A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja.

Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh lakukan dan penganjur. Perbedaan antara keduanya jangan dicari dalam sikap batin masing-masing, tetapi cukup bahwa :

- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan

- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 dan si pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan.

B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil, sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.

c. Pertanggungjawaban pembantu.

1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);

- Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2). Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam : a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat

dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417). b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat

dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).

2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).

3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa

pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58.

4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak.

E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE

Dalam dokumen Asas asas Hukum Pidana EBook (Halaman 115-128)

Dokumen terkait