• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas asas Hukum Pidana EBook

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asas asas Hukum Pidana EBook"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.

(2)

pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.

II. DESKRIPSI SINGKAT

Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat

(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum,

kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

III. TUJUAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Intruksional Umum

Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana.

B. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

IV. POKOK BAHASAN

a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.

b. Tindak Pidana.

c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).

d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht,

wederrechtelijk, onrechmatig).

e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).

g. Kealpaan (culpa).

h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.

i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).

j. Percobaan (poging, attempt).

k. Penyertaan.

l. Penggabungan tindak pidana (samenloop /

(3)

m. Alasan / dasar penghapus pidana

(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)

n. Gugurnya kewenangan menuntut dan

menjalankan pidana.

V. FASILITAS / MEDIA

Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain :

a) Modul asas-asas hukum pidana; b) Internet;

c) Peraturan perundang-undangan; d) Literatur yang terkait.

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA

HUKUM PIDANA

A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

Penerapan hukum pidana atau suatu

perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan

tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya

hukum pidana menurut waktu menyangkut

penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal

seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana

sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau

belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,

maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali

tidak dapat dipidana.

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat

(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali

(4)

aturan perundang-undangan yang telah ada

terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD

1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku

surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar

1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas

hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan

dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula

dinyatakan sebagai asas konstitusional.

Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh

Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom

psychologishen zwang (paksaan psikologis)”

dimana adagium : nullum delictum nulla poena

sine praevia lege poenali yang mengandung tiga

prinsip dasar :

- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa

undang-undang)

- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa

perbuatan pidana)

- Nullum crimen sine poena legali (tiada

perbuatan pidana tanpa undang-undang

pidana yang terlebih dulu ada)

Adagium ini menganjurkan supaya :

1) Dalam menentukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam

peraturan bukan saja tentang

macamnya perbuatan yang

harusdirumuskan dengan jelas, tetapi

juga macamnya pidana yang

diancamkan;

2) Dengan cara demikian maka orang

yang akan melakukan perbuatanyang

(5)

dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan

kepadanya jika nanti betul-betul

melakukan perbuatan;

3) Dengan demikian dalam batin orang itu

akan mendapat tekanan untuk tidak

berbuat. Andaikata dia ternyata

melakukan juga perbuatan yang

dilarang, maka dinpandang dia

menyetujui pidana yang akan

dijatuhkan kepadanya.

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang

dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana kalau hal itu

terlebih dahulu belum dinyatakan dalam

suatu aturan undang-undang. Hal ini

dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP.

2) Untuk menentukan adanya perbuatan

pidana tidak boleh digunakan analogi,

akan tetapi diperbolehkan penggunaan

penafsiran ekstensif.

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak

berlaku surut.

Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam

pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

a) Tidak dapat dipidana kecuali ada

ketentuan pidana berdasar peraturan

perundang-undangan (formil).

b) Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).

c) Tidak dapat dipidana hanya

berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak

tertulis).

d) Tidak boleh ada perumusan delik yang

kurang jelas (lex Certa).

e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)

f) Tidak boleh ada ketentuan pidana

(6)

g) Penuntutan hanya dilakukan

berdasarkan atau dengan cara yang

ditentukan undang-undang.

B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)

Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum

pidana nasional menurut tempat terjadinya.

Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),

apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)

pendapat yaitu :

a. Perundang-undangan hukum pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang

terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan

oleh warga negaranya sendiri maupun oleh

orang lain (asas territorial).

b. Perundang-undangan hukum pidana

berlaku bagi semua perbuatan pidana yang

dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,

juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan

diluar wilayah Negara. Pandangan ini

disebut menganut asas personal atau

prinsip nasional aktif.

Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya

hukum pidana menurut ruang tempat dan

berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam

hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

I. Asas Teritorial.

II. Asas Personal (nasional aktif).

III. Asas Perlindungan (nasional pasif)

IV. Asas Universal.

Ad. I. Asas Teritorial

Asas ini diatur juga dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam

pasal 2 KUHP yang menyatakan :

“Ketentuan pidana dalam

(7)

orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.

Pasal ini dengan tegas menyatakan asas

territorial, dan ketentuan ini sudah

sewajarnya berlaku bagi Negara yang

berdaulat. Asas territorial lebih menitik

beratkan pada terjadinya perbuatan

pidana di dalam wilayah Negara tidak

mempermasalahkan siapa pelakunya,

warga Negara atau orang asing. Sedang

dalam asas kedua (asas personal atau

asas nasional yang aktif) menitik

beratkan pada orang yang melakukan

perbuatan pidana, tidak

mempermasalahkan tempat terjadinya

perbuatan pidana. Asas territorial yang

pada saat ini banyak diikuti oleh

Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal

ini adalah wajar karena tiap-tiap orang

yang berada dalam wilayah suatu Negara

harus tunduk dan patuh kepada

peraturan-peraturan hukum Negara

dimana yang bersangkutan berada.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur

dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :

“Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang

di luar wilayah Indonesia melakukan

tindak pidana didalan kendaraan air atau

pesawat udara Indonesia”.

Ketentuan ini memperluas berlakunya

pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa

perahu (kendaraan air) dan pesawat

terbang lalu dianggap bagian wilayah

Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah

supaya perbuatan pidana yang terjadi di

dalam kapal atau pesawat terbang yang

berada di perairan bebas atau berada di

wilayah udara bebas, tidak termasuk

wilayah territorial suatu Negara, sehingga

ada yang mengadili apabila terjadi suatu

(8)

Setiap orang yang melakukan perbuatan

pidana diatas alat pelayaran Indonesia

diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran

pengertian lebih luas dari kapal. Kapal

merupakan bentuk khusus dari alat

pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut

bebas dan laut wilayah Negara lain.

Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan

dan hak-hak Istimewa (Immunity and

Previlege).

 Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.

 Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.

 Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus

diplomatik yang dalam perjalanan

melalui Negara-negara lain atau

menuju Negara lain.

 Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.

 Pejabat-pejabat badan

Internasional.

 Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal

maupun di luar kapal.

Ad. II. Asas Personal

Asas Personal atau Asas Nasional yang

aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya

terhadap warga Negara yang sedang

berada dalam wilayah Negara lain yang

kedudukannya sama-sama berdaulat.

Apabila ada warga Negara asing yang

berada dalam suatu wilayah Negara telah

melakukan tindak pidana dan tindak

pidana dan tidak diadili menurut hukum

Negara tersebut maka berarti

bertentangan dengan kedaulatan Negara

tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana

Indonesia berlaku bagi warga Negara

Indonesa di luar Indonesia yang

(9)

Kejahatan terhadap keamanan Negara,

martabat kepala Negara, penghasutan, dll.

Pasal 5 KUHP menyatakan :

“(1). Ketetentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia

diterapkan bagi warga Negara

yang di luar Indonesia melakukan :

salah satu kejahatan yang

tersebut dalam Bab I dan Bab II

Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,

161, 240, 279, 450 dan 451. Salah

satu perbuatan yang oleh suatu

ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia

dipandang sebagai kejahatan,

sedangkan menurut

perundang-undangan Negara dimana

perbuatan itu dilakukan diancam

dengan pidana.

(2). Penuntutan perkara sebagaimana

dimaksud dalam butir 2 dapat

dilakukan juga jika terdakwa

menjadi warga Negara sesudah

melakukan perbuatan”.

Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat

perkataan “diterapkan bagi warga Negara

Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,

sehingga seolah-olah mengandung asas

personal, akan tetapi sesungguhnya pasal

5 KUHP memuat asas melindungi

kepentingan nasional (asas nasional pasif)

karena :

Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi

warga Negara diluar wilayah territorial

wilyah Indonesia tersebut hanya

pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting

sebagai perlindungan terhadap

kepentingan nasional. Sedangkan untuk

asas personal, harus diberlakukan seluruh

perundang-undangan hukum pidana bagi

warga Negara yang melakukan kejahatan

(10)

Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk

mencegah agar supaya warga Negara

asing yang berbuat kejahatan di Negara

asing tersebut, dengan jalan menjadi

warga Negara Indonesia (naturalisasi).

Bagi Jaksa maupun hakim Tindak

Pidana yang dilakukan di negara asing

tersebut, apakah menurut undang-undang

disana merupakan kejahatan atau

pelanggaran, tidak menjadi permasalahan,

karena mungkin pembagian tindak

pidananya berbeda dengan di Indonesia,

yang penting adalah bahwa tindak pidana

tersebut di Negara asing tempat perbuatan

dilakukan diancam dengan pidana,

sedangkan menurut KUHP Indonesia

merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.

Ketentuan pasal 6 KUHP :

“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2

dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut

perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.

Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat

(1) butir 2 KUHP adalah untuk

melindungi kepentingan nasional timbal

balik (mutual legal assistance). Oleh

karena itu menurut Moeljatno, sudah

sewajarnya pula diadakan imbangan

pulu terhadap maksimum pidana yang

mungkin dijatuhkan menurut KUHP

Negara asing tadi.

Ad. III. Asas Perlindungan

Sekalipun asas personal tidak lagi

digunakan sepenuhnya tetapi ada asas

lain yang memungkinkan diberlakukannya

hukum pidana nasional terhadap

perbuatan pidana yang terjadi di luar

(11)

Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan

ditambah berdasarkan Undang-undang

No. 4 Tahun 1976)

“Ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi

setiap orang yang melakukan di luar

Indonesia :

1. Salah satu kejahatan berdasarkan

pasal-pasal 104, 106, 107,

108 dan 131;

2. Suatu kejahatan mengenai mata

uang atau uang kertas yang

dikeluarkan oleh Negara atau bank,

ataupun mengenai materai yang

dikeluarkan dan merek yang

digunakan oleh Pemerintah

Indonesia;

3. Pemalsuan surat hutang atau

sertifikat hutang atas tanggungan

suatu daerah atau bagian daerah

Indonesia, termasuk pula pemalsuan

talon, tanda deviden atau tanda

bunga yang mengikuti surat atau

sertifikat itu, dan tanda yang

dikeluarkan sebagai pengganti surat

tersebut atau menggunakan

surat-surat tersebut di atas, yang palsu

atau dipalsukan, seolah-olah asli dan

tidak palsu;

4. Salah satu kejahatan yang disebut

dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai

dengan 446 tentang pembajakan laut

dan pasal 447 tentang penyerahan

kendaraan air kepada kekuasaan

bajak laut dan pasal 479 huruf j

tentang penguasaan pesawat udara

secara melawan hukum, pasal 479 l,

m, n dan o tentang kejahatan yang

mengancam keselamatan

penerbangan sipil.

Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas

melindungi kepentingan yaitu melindungi

(12)

kepentingan internasional (universal).

Pasal ini menentukan berlakunya hukum

pidana nasional bagi setiap orang (baik

warga Negara Indonesia maupun warga

negara asing) yang di luar Indonesia

melakukan kejahatan yang disebutkan

dalam pasal tersebut.

Dikatakan melindungi kepentingan

nasional karena pasal 4 KUHP ini

memberlakukan perundang-undangan

pidana Indonesia bagi setiap orang yang di

luar wilayah Negara Indonesia melakukan

perbuatan-perbuatan yang merugikan

kepentingan nasional, yaitu :

1) Kejahatan terhadap keamanan

Negara dan kejahatan terhadap

martabat / kehormatan Presiden

Republik Indonesia dan Wakil

Presiden Republik Indonesia (pasal 4

ke-1)

2) Kejahatan mengenai pemalsuan

mata uang atau uang kertas

Indonesia atau segel / materai dan

merek yang digunakan oleh

pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)

3) Kejahatan mengenai pemalsuan

surat-surat hutang atau

sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan

oleh Negara Indonesia atau

bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)

4) Kejahatan mengenai pembajakan

kapal laut Indonesia dan pembajakan

pesawat udara Indonesia (pasal 4

ke-4)

Ad. IV. Asas Universal

Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi

oleh pengecualian-pengecualian dalam

hukum internasional. Bahwa asas

melindungi kepentingan internasional (asas

universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa

setiap Negara di dunia wajib turut

melaksanakan tata hukum sedunia (hukum

(13)

Dikatakan melindungi kepentingan

internasional (kepentingan universal) karena

rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai

kejahatan pemalsuan mata uang atau uang

kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai

pembajakan kapal laut dan pembajakan

pesawat udara) tidak menyebutkan mata

uang atau uang kertas Negara mana yang

dipalsukan atau kapal laut dan pesawat

terbang negara mana yan dibajak.

Pemalsuan mata uang atau uang kertas

yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP

menyangkut mata uang atau uang kertas

Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin

menyangkut mata uang atau uang kertas

Negara asing. Pembajakan kapal laut atau

pesawat terbang yang dimaksud dalam

pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal

laut Indonesia atau pesawat terbang

Indonesia, dan mungkin juga menyangkut

kapal laut atau pesawat terbang Negara

asing.

Jika pemalsuan mata uang atau uang

kertas, pembajakan kapal, laut atau

pesawat terbang adalah mengenai

kepemilikan Indonesia, maka asas yang

berlaku diterapkan adalah asas melindungi

kepentingan nasional (asas nasional pasif).

Jika pemalsuan mata uang atau uang

kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat

terbang adalah mengenai kepemilikan

Negara asing, maka asas yang berlaku

adalah asas melindungi kepentingan

internasional (asas universal).

Pasal 7 KUHP

“Ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap

pejabat yang di luar Indonsia melakukan

salah satu tindak pidana sebagaimana

dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku

(14)

Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang

sebagian besar sudah diserap menjadi tindak

pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal

tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,

417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah

dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun

2001 tentang perubahan atas UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri

sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang

terdapat dalam masing-masing pasal KUHP

yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal

7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk

masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16

UU No. 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara

republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”

Pasal 8 KUHP

“Ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan

penumpang perahu Indonesia, yang di luar

Indonesia, sekalipun di luar perahu,

melakukan salah satu tindak pidana

sebagaimana dimaksudkan dalam Bab

XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku

ketiga, begitu pula yang tersebut dalam

peraturan mengenai surat laut dan pas

kapal di Indonesia, maupun dalam

ordonansi perkapalan”.

Dengan telah diundangkannya tindak

pidana tentang kejahatan penerbangan

dan kejahatan terhadap sarana /

prasarana penerbangan berdasarkan UU

No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam

KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.

(15)

XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8

KUHP adalah juga menjadi kenyataan

bahwa kejahatan penerbangan sudah

digunakan sebagai bagian dari kegiatan

terorisme yang dilakukan oleh kelompok

terorganisir pasal 9 KUHP.

Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8

dibatasi oleh pengecualian-pengecualian

yang diakui dalam hukum-hukum

internasional.

Menurut Moeljatno, pada umumnya

pengecualian yang diakui meliputi :

1) Kepala Negara beserta keluarga dari

Negara sahabat, dimana mereka

mempunyai hak eksteritorial. Hukum

nasional suatu Negara tidak berlaku

bagi mereka

2) Duta besar Negara asing beserta

keluarganya meeka juga mempunyai

hak eksteritorial.

3) Anak buah kapal perang asing yang

berkunjung di suatu Negara,

sekalipun ada di luar kapal. Menurut

hukum internasional kapal peran

adalah teritoir Negara yang

mempunyainya

4) Tentara Negara asing yang ada di

dalam wilayah Negara dengan

(16)

BAB III

TINDAK PIDANA

a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Hingga saat ini belum ada kesepakatan para

sarjana tentang pengertian Tindak pidana

(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H.,

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa yang melanggar aturan

tersebut.

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :  Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh

suatu aturan hukum dilarang dan diancam

pidana.

 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang),

sedangkan ancaman pidana ditujukan

kepada orang yang menimbulkan kejadian

itu.

 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara

kejadian dan orang yang menimbulkan

kejadian itu ada hubungan erat pula. “

Kejadian tidak dapat dilarang jika yang

menimbulkan bukan orang, dan orang tidak

dapat diancam pidana jika tidak karena

kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas

dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid

van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu

memisahkan pengertian perbuatan pidana

(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut

pandangan dualistis yang sering dihadapkan

dengan pandangan monistis yang tidak

membedakan keduanya.

b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Dalam suatu peraturan perundang-undangan

(17)

Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk

mengetahui adanya tindak pidana, maka pada

umumnya dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan pidana tentang

perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan

sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan

beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau

sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas

dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak

dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat

perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan

ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana

(strafbaar feit) adalah :

 Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)  Melawan hukum (onrechtmatig)

 Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

 Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif

dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar

feit).

Unsur Obyektif :

 Perbuatan orang

 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.  Mungkin ada keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal

281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka

umum”.

Unsur Subyektif :

 Orang yang mampu bertanggung jawab  Adanya kesalahan (dollus atau culpa).

Perbuatan harus dilakukan dengan

(18)

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan

akibat dari perbuatan atau dengan keadaan

mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur

perbuatan pidana :

 Perbuatan (manusia)

 Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

 Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno

terdiri dari :

1) Kelakuan dan akibat

2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang

menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :

a. Unsur subyektif atau pribadi

Yaitu mengenai diri orang yang

melakukan perbuatan, misalnya unsur

pegawai negeri yang diperlukan dalam

delik jabatan seperti dalam perkara

tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP

jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3

Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31

Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

tentang pegawai negeri yang menerima

hadiah. Kalau yang menerima hadiah

bukan pegawai negeri maka tidak

mungkin diterapka pasal tersebut

b. Unsur obyektif atau non pribadi

Yaitu mengenai keadaan di luar si

pembuat, misalnya pasal 160 KUHP

tentang penghasutan di muka umum

(supaya melakukan perbuatan pidana

atau melakukan kekerasan terhadap

penguasa umum). Apabila penghasutan

tidak dilakukan di muka umum maka

tidak mungkin diterapkan pasal ini

Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang

menentukan, memperingan atau memperberat

pidana yang dijatuhkan.

(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya

dalam pasal 164, 165, 531 KUHP

Pasal 164 KUHP : barang siapa

(19)

melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Kewajiban untuk melapor kepada yang

berwenang, apabila mengetahui akan

terjadinya suatu kejahatan. Orang yang

tidak melapor baru dapat dikatakan

melakukan perbuatan pidana, jika

kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi.

Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu

adalah merupakan unsur tambahan.

Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika

menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan

kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Keharusan memberi pertolongan pada

orang yang sedang menghadapi bahaya

maut jika tidak memberi pertolongan,

orang tadi baru melakukan perbuatan

pidana, kalau orang yang dalam keadaan

bahaya tadi kemudian lalu meninggal

dunia. Syarat tambahan tersebut tidak

dipandang sebagai unsur delik (perbuatan

pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.

(2) Keadaan tambahan yang memberatkan

pidana

Misalnya penganiayaan biasa pasal 351

ayat (1) KUHP diancam dengan pidana

penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

Apabila penganiayaan tersebut

menimbulkan luka berat; ancaman pidana

(20)

2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati

ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal

351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati

adalah merupakan keadaan tambahan

yang memberatkan pidana

(3) Unsur melawan hukum

Dalam perumusan delik unsur ini tidak

selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.

Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan

secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat

melawan hukum atau sifat pantang

dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah

atau rumusan kata yang disebut. Misalnya

pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh di luar perkawinan”.

Tanpa ditambahkan kata melawan hukum

setiap orang mengerti bahwa memaksa

dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan adalah pantang dilakukan atau

sudah mengandung sifat melawan hukum.

Apabila dicantumkan maka jaksa harus

mencantumkan dalam dakwaannya dan

oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila

tidak dicantumkan maka apabila perbuatan

yang didakwakan dapat dibuktikan maka

secara diam-diam unsure itu dianggap

ada.

Unsur melawan hukum yang dinyatakan

sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362

KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu

pengambilan barang orang lain dengan

maksud untuk memilikinya secara

melawan hukum.

Pentingnya pemahaman terhadap

pengertian unsur-unsur tindak pidana.

Sekalipun permasalahan tentang

“pengertian” unsur-unsur tindak pidana

bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini

sangat penting dan menentukan bagi

keberhasilan pembuktian perkara pidana.

Pengertian unsur-unsur tindak pidana

dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)

ataupun dari yurisprudensi yan

(21)

undang-undang yang semula tidak jelas

atau terjadi perubahan makna karena

perkembangan jaman, akan diberikan

pengertian dan penjelasan sehingga

memudahkan aparat penegak hukum

menerapkan peraturan hukum.

Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian

unsur-unsur tindak pidana adalah :

1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar

dengan jelas;

2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa

yang menggambarkan uraian unsur tindak

pidana yang didakwakan sesuai dengan

pengertian / penafsiran yang dianut oleh

doktrin maupun yurisprudensi;

3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan

kepada saksi atau ahli atau terdakwa

untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan;

4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk

membuktikan unsur tindak pidana. Biasa

terjadi bahwa suatu alat bukti hanya

berguna untuk menentukan pembuktian

satu unsur tindak pidana, tidak seluruh

unsur tindak pidana;

5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau

pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan

secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan

dalam pembuktian akan dapat

dipertanggungjawabkan secara obyektif

karena berlandaskan teori dan bersifat

ilmiah;

6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian

penerapan fakta perbuatan kepada

unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, atau

biasa diulas dalam analisa hukum, maka

pengertian-pengertian unsur tindak pidana

yang dianut dalam doktrin atau

yurisprudensi atau dengan cara penafsiran

hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya

karena ini menjadi dasar atau dalil untuk

(22)

c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian

jenis delik.

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan

pelanggaran ini disebut oleh undang-undang.

KUHP buku ke II memuat delik-delik yang

disebut : pelanggaran criterium apakah yang

dipergunakan untuk membedakan kedua jenis

delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban

tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau

memasukkan dalam kelompok pertama

kejahatan dan dalam kelompok kedua

pelanggaran.

Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara

intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan

kedua jenis delik itu.

Ada dua pendapat :

a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua

jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat

kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2

jenis delik, ialah :

1. Rechtdelicten

Ialah yang perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan, terlepas apakah

perbuatan itu diancam pidana dalam

suatu undang-undang atau tidak, jadi

yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai bertentangan

dengan keadilan misal : pembunuhan,

pencurian. Delik-delik semacam ini

disebut “kejahatan” (mala perse).

2. Wetsdelicten

Ialah perbuatan yang oleh umum baru

disadari sebagai tindak pidana karena

undang-undang menyebutnya sebagai

delik, jadi karena ada undang-undang

mengancamnya dengan pidana. Misal :

memarkir mobil di sebelah kanan jalan

(mala quia prohibita). Delik-delik

semacam ini disebut “pelanggaran”.

Perbedaan secara kwalitatif ini tidak

dapat diterima, sebab ada kejahatan

yang baru disadari sebagai delik karena

(23)

pidana, jadi sebenarnya tidak segera

dirasakan sebagai bertentangan dengan

rasa keadilan. Dan sebaliknya ada

“pelanggaran”, yang benar-benar

dirasakan bertentangan dengan rasa

keadilan. Oleh karena perbedaan secara

demikian itu tidak memuaskan maka

dicari ukuran lain.

b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua

jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat

kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan

kriterium pada perbedaan yang dilihat dari

segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu

lebih ringan dari pada “kejahatan”.

Mengenai pembagian delik dalam kejahatan

dan pelanggaran itu terdapat suara-suara

yang menentang. Seminar Hukum Nasional

1963 tersebut di atas juga berpendapat,

bahwa penggolongan-penggolongan dalam

dua macam delik itu harus ditiadakan.

Kejahatan ringan :

Dalam KUHP juga terdapat delik yang

digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan

misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,

352, 302 (1), 315, 407.

2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan

perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)

a. Delik formil itu adalah delik yang

perumusannya dititikberatkan kepada

perbuatan yang dilarang. Delik tersebut

telah selesai dengan dilakukannya

perbuatan seperti tercantum dalam

rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal

160 KUHP), di muka umum menyatakan

perasaan kebencian, permusuhan atau

penghinaan kepada salah satu atau lebih

golongan rakyat di Indonesia (pasal 156

KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);

sumpah palsu (pasal 242 KUHP);

pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);

pencurian (pasal 362 KUHP).

b. Delik materiil adalah delik yang

perumusannya dititikberatkan kepada akibat

(24)

baru selesai apabila akibat yang tidak

dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum

maka paling banyak hanya ada percobaan.

Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),

penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan

(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil

dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3. Delik commisionis, delik ommisionis dan

delik commisionis per ommisionen commissa

a. Delik commisionis : delik yang berupa

pelanggaran terhadap larangan, ialah

berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

penggelapan, penipuan.

b. Delik ommisionis : delik yang berupa

pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak

melakukan sesuatu yang diperintahkan /

yang diharuskan, misal : tidak menghadap

sebagai saksi di muka pengadilan (pasal

522 KUHP), tidak menolong orang yang

memerlukan pertolongan (pasal 531

KUHP).

c. Delik commisionis per ommisionen

commissa : delik yang berupa pelanggaan

larangan (dus delik commissionis), akan

tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak

berbuat. Misal : seorang ibu yang

membunuh anaknya dengan tidak memberi

air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang

penjaga wissel yang menyebabkan

kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak

memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur

kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,

245, 263, 310, 338 KUHP

b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan

sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,

197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,

360 KUHP.

(25)

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan

dengan perbuatan satu kali.

b. Delik berangkai : delik yang baru

merupakan delik, apabila dilakukan

beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481

(penadahan sebagai kebiasaan)

6. Delik yang berlangsung terus dan delik

selesai (voordurende en aflopende delicten) Delik yang berlangsung terus : delik yang

mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu

berlangsung terus, misal : merampas

kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).

7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)

Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya

dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak

yang terkena (gelaedeerde partij) misal :

penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)

perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage

(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.

335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan

dibedakan menurut sifatnya, sebagai :

a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal

284, 310, 332. Delik-delik ini menurut

sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan

pengaduan.

b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal

367, disebut relatif karena dalam delik-delik

ini ada hubungan istimewa antara si

pembuat dan orang yang terkena.

Catatan : perlu dibedakan antara aduan den

gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam

acara perdata, misal : A menggugat B di muka

pengadilan, karena B tidak membayar

hutangnya kepada A. Laporan hanya

pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu

tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.

8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)

Delik yang ada pemberatannya, misal :

penganiayaan yang menyebabkan luka berat

atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3

(26)

(pasal 363). Ada delik yang ancaman

pidananya diperingan karena dilakukan dalam

keadaan tertentu, misal : pembunuhan

kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut

“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :

penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian

(pasal 362 KUHP).

9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak

pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu

terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun

1955, UU darurat tentang tindak pidana

ekonomi.

d. SUBYEK TINDAK PIDANA

Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur

pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang,

pada dasarnya yang dapat melakukan tindak

pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat

disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim

dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang

…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat

diartikan lain dari pada “orang”.

b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis

pidana yang dapat dikenakan kepada tindak

pidana, yaitu :

1. pidana pokok :

a. pidana mati

b. pidana penjara

c. pidana kurungan

d. pidana denda, yang dapat diganti

dengan pidana kurungan

2. pidana tambahan :

a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu

c. dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah

sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya

hanya dapat dikenakan pada manusia.

c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari

hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya

kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk

bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu

(27)

d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa

kesengajaan dan kealpaan itu merupakan

sikap dalam batin manusia.

Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia

tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak

pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP

terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung

soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke

arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu

perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut

pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang

melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu

korporasi. Seorang anggota pengurus dapat

membebaskan diri, apabila dapat membuktikan

bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut

campurnya.

Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut

“pembalikan beban pembuktian” (omkering van

bewijslast).

Dalam KUHP juga ada pasal lain yang

kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai

subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam

pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide

pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang

terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai

pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan

sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan

perseroannya.

Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana

itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan

(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :

“suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh

manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah

ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,

misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang

diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi

pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat

ketentuan yang mengatur apabila suatu badan

(hukum) melakuka tindak pidana yang disebut

dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat

bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau

dalam UU Darurat tentang pengusutan,

penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi

(UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana

(28)

bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum

pidana.

Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan

ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan

dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus

menemukan sendiri penyelesaian untuk problem

dalam materi baru ini”.

Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk

menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak

lebih luas dari pada biasanya dalam buku

pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum

kiranya akan menduduki tempat yang penting

dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai

penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan

kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.

Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa

menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan

tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang

korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,

bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan

bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan

tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam

hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)

…………. sebaiknya pembentuk undang-undang

membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal

suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu

(29)

BAB IV

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT

(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)

A. Kausalitas

Didalam delik-delik yang dirumuskan secara

materiil (selanjutnya disebut delik materiil),

terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang

dilarang dan merupakan unsur yang menentukan

(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan

dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya

merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia,

sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang

dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada,

paling banyak ada percobaan.

Misalnya :

Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja

merampas nyawa orang lain dihukum karena

pembunuhan.

Keadaan yang menentukan di sini adalah

terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya

si A.

Oleh karenanya untuk dapat menuntut

seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan

suatu perbuatan yang menyebabkan matinya

seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa

karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya

A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu

keadaan” dimana dapat berupa suatu

pembahayaan atau perkosaan terhadap

kepentingan hukum.

Hubungan sebab akibat

(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik

materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada

delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door

het gevolg gequafili ceerde delicten) misal

pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal-pasal 333

ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,

355 ayat 2 dan 3 KUHP.

Persoalan kausalias ini terjadi karena

kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi

(30)

persoalan ini tidak hanya terdapat dalam

lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga

dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum

perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam

hukum dagang misalnya dalam persoalan

asuransi.

Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan

ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.

Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap

sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah

beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak

menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan

(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh

undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa

ditelusuri sampai ke sebab.

Akan tetapi sebenarnya tidak boleh

dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat

terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang

terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu

disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non

propter hoc).

B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas) B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau

Bedingungstheorie atau teori condition sine qua

non dari von Buri

Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah

sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab

kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan

lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif

untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan

mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat

dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat

kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut

waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat

yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht

hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)

tanpa menyebabkan berubahnya akibat.

Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa

ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,

lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga

merupakan sebab dari matinya A.

Teori ekivalensi ini memakai pengertian

“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai

(31)

dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain,

John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya :

Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu

adalah “the whole of antecedents” (1843).

Van Hamel, seorang penganut teori

ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum

pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki

dan diatur oleh teori kesalahan yang harus

diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini

dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara

hubungan kausal dan pertanggung jawaban

pidana.

Kritik / keberatan terhadap teori ini :

hubungan kausal membentang ke belakang tanpa

akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya

merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi

sebelumnya.

Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati.

Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,

tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan

penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada

pembuatan pisau.

Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan

begitu seterusnya. Berhubungan dengan

keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang

hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang

akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari

sekian faktor yang menimbulkan akibat itu

beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang

faktor lainnya dipisahkan sebagai

faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).

Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,

sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,

dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali

dalam membatasi lingkungan berlakunya

pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini

dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori

lain.

B.2. Teori-teori Individualisasi

Teori-teori ini memilih secara post actum

(inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit

terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif

dipilih sebab yang paling menentukan dari

(32)

hanya merupakan syarat belaka.

Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :

1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab

adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist

die wirksamste Bedingung)

2. Binding. Teorinya disebut

“Ubergewichtstheorie)”

Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan

adalah identik dengan perubahan dalam

keseimbangan antara faktor yang menahan

(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor

yang positif itu lebih unggul. Yang disebut

“sebab” adalah syarat-syarat positif dalam

keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot

yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang

negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau

syarat terakhir yang menghilangkan

keseimbangan dan memenangkan faktor

positif itu.

B.3. Teori-teori generalisasi

Teori-teori ini melihat secara ante factum

(sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara

serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang

pada umumnya dapat menimbulkan akibat

semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup

biasa, atau menurut perhitungan yang layak,

mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini

dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat

yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat

sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori

adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).

Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya

hubungan sebab akibat yang adequat :

a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya

dapat mengakibatkan hidung keluar darah.

Akan tetapi apabila orang yang pukul itu

menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.

Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak

biasa.

b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa

mengerem sekonyong-konyong, oleh karena

(33)

jalan yang membelok, sedang ini tidak

disangka-sangka oleh pengendara mobil.

Pengendara mobil ini mendapat penyakit

trauma karena menekan urat. Dianipun dapat

dikatakan bahwa perbuatan pengendara

sepeda itu tidak merupakan penyebab yang

adequate untuk timbulnya penyakit trauma

tersebut.

c. Seorang petani membakar tumpukan rumput

kering (hooi), dimana secara kebetulan

bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga

ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang

adequate ? Jawabannya tergantung dari

keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman

sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu

maka perbuatan petani itu bukanlah sebab.

Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan

kebiasaan orang untuk bersembunyi atau

menginap dalam tumpukan rumput, maka

perbuatan petani itu benar-benar mempunyai

kadar untuk matinya seseorang.

Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini

ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu

sebab itu pada umumnya cocok untuk

menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini

ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :

1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche

Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah

apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /

diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu

pada umumnya dapat menimbulkan akibat

semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau

pengetahuan si pembuatlah yang

menentukan).

2. Penentuan obyektif.

Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu

dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau

hal-hal yang secara obyektif kemudian

diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi

bukan yang diketahui atau yang dapat

diketahui oleh sipembuat, melainkan

(34)

Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini

disebut “objektive nachtragliche Prognose”

(Rumelin).

Sebenarnya dalam teori kausal adequat

subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur

penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif

dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang

murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap

sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat

dapat mengira-ngirakan atau membayangkan

(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang

umumnya membayangkan terjadinya akibat itu;

jadi sipembuat dapat membayangkan dan

seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena

dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan,

maka ia juga menentukan pertanggunganjawab

(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti

yang sesungguhnya.

Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci

pekerjanya, tetapi tidak berani

melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu

mati. Pada waktu hujan yang disertai

petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke

suatu tempat dengan harapan agar

orang itu disambar petir. Harapan itu

terkabul dan pekerjanya itu mati

disambar petir.

Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya

pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka

ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya

dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih

memuaskan apabila dipakai teori adequate.

Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke

tempat lain pada umumnya tidak mempunyai

kadar untuk kematian seseorang karena disambar

petir. Penyambaran petir adalah hal yang

kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan

kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.

Beberapa penganut teori adequat yang lain :

1. Simons :

Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat

disebut sebagai sebab dari suatu akibat,

apabila menuntut pengalaman manusia pada

(35)

bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi

akibat itu”.

2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)

berpendirian senada dengan Simons. Beliau

katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan

hukum itu terdiri atas persangkaan,

(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini

ada biasa dan normal. Ini kesimpulan

pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang

pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti

hal ikhwal yang berada dan menurut

pengalaman kita, dengan kadarnya memadai

sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai

suatu sebab”.

3. Pompe : yang disebut sebab ialah

perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu

mempunyai strekking untuk menimbulkan

akibat yang bersangkutan.

Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas

tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan

teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi

suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan

penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada

sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup

memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu

merupakan sebab dari sesuatu akibat yang

dimaksudkan dalam rumusan delik yang

bersangkutan.

Mengenai teori adequat dari von Kries, itu

dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai

dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu

mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan

hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang

membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut

maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap

perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan

kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat

menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan

tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam

kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak

terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman

manusia pada umumnya dan sebagainya.

Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang

sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,

(36)

dengan nyata teori mana yang dipakai.

Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan

tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan

pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan,

bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada

hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk

en rechtsreeks)

a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (.

147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda

motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas

rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.

Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh

kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai

akibat langsung dan segera dari penabrakan

sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban

dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si

terdakwa (pengendara mobil).

b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933

Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang

berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.

Anak tersebut menabrak orang. Disini memang

perbuatan si ayah dapat disebut syarat

(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak

boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena

antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada

hubungan kausal yang langsung.

c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember

1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari

1937.

Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang

pengemudi mobil yang sembrono dari tempat

kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi

tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai

sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena

antara perbuatan terdakwa dan terjadinya

kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang

langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan

pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang

sebagai suatu syarat dan bukan sebab.

d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei

1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta

Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas

tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh

terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan

7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa

(37)

barang-barang angkutan dalam kapal in casu tidak

mempedulikan peringatan-peringatan dari

berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan

pada waktu kapal akan berangkat.

Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa

perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat”

dengan “kecelakaan itu”.

C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat

Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi

dan dalam delik comisionis per ommisionem

commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya).

Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang

dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik

omissi persoalannya mudah, karena delik omissi

itu adalah delik formil, sehingga tidak ada

persoalan tentang kausalitas.

Yang ada persoalan ialah pada delik

commisionis per omission commissa. Pada delik

ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak

berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa

pendirian :

a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa

menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan

kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang

berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak

mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini

tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan

alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu

pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana

ini).

b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang

positif yang dilakukan oleh sipembuat pada

saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang

ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi

susu, yang disebut sebagai sebab ialah

“sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia

tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.

Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori

inipun tidak dapat diterima, karena kepergian

ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan

dengan akibat itu.

c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan

yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini

(38)

seorang penjaga wesel yang menyebabkan

kecelakaan kereta api karena tidak

memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang

menjadi sebab ialah apa yang dilakukan

penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,

sebab sulit dilihat hubungannya antara

penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.

d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan

sebab dari sesuatu akibat, apabila ia

mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.

Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya

yang nyata-nyata tertulis dalam suatu

peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan

yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang

berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di

bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada

kewajiban berbuat atau tidak :

1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya

mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat

apa-apa. Apakah orang tua bertanggung

jawab sebagai ikut berbuat dalam

pembunuhan ?

Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober

1883): tidak, tetapi memang sikap

semacam itu sangat tercela (laakbaar)

dan tidak patut.

2) Seorang penjaga gudang membiarkan

pencuri melakukan aksinya, ia dapat

dipertanggungjawabkan, sebab sebagai

penjaga ia berkewajiban untuk menjaga

dan berbuat sesuatu.

Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal

tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,

bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari

suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga

merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis

per omissionem commissa (delik omissi yang tidak

sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak

berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat

sesuatu”, yang diharapkan untuk

diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini

hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan

“berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat

untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut

(39)

dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya

akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.

Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal

hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif

(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan

syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari

persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab

pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah

yang menyangkut orangnya.

BAB IV

SIFAT MELAWAN HUKUM

(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,

Onrechmatig)

A. Istilah dan Pengertian

KUHP memakai istilah bermacam-macam :

a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,

(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),

522;

b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai

hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin”

(zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan

melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa

mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh

(40)

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan

unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam

sesuatu rumusan delik karena pembentuk

undang-undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak

dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau

berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,

mungkin dipidana pula.

Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga

pendirian:

1. bertentangan dengan hukum (Simons)

2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang

lain (Noyon)

3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak

perlu bertentangan dengan hukum (H.R).

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah

unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan

suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan

bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu

perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang

akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam

rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut

“tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti

sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana

dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand

dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,

ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.

Pengecualian atas tasbestand mer male,

dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi

rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak

senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin

ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya

perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan

perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :

1) regu penembak, yang menembak mati seorang

terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati,

memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338

KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.

2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah

melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan

Referensi

Dokumen terkait

Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “ Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu

Pelaku tindak pidana merupakan orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang. oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak

Adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar aturan mengenai larangan melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang adalah sebagai ciri dari suatu tindak

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang

hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan, sebab apa yang dilakukan oleh ankum atau atasan ankum oknum polisi yang melakukan tindak pidana

- Pasal 47 : korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan atas nama atau untuk korporasi, kecuali jika secara

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan pidana dipertanggungjawabkan atas