• Tidak ada hasil yang ditemukan

Moderasi Beragama

3. Media Dakwah

Secara umum pengertian media bisa dipahami sebagai alat-alat yang bisa mengantarkan atau menjelaskan isi pesan.22 Menurut Darwanto, sebagaimana dikutip Samsul Munir, media dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

pertama, Non Media Massa. Kelompok ini terdiri dari media manusia dan benda. Contoh dari media manusia ini antara lain menjadi kurir, utusan, guru, lepon, surat dan sebagainya. Sedangkan kelompok kedua adalah Media Massa.Kelompok ini terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Media massa manusia seperti pertemuan, rapat umum, seminar, dan sekolah; 2) Media massa benda seperti spanduk, buku, selebaran, poster, pamflet, baliho, stiker, dan kaos beriklan; dan 3) Media massa periodik baik cetak maupun elektronik; baik visual, audio maupun audio visual. Yang disebut terakhir ini adalah seperti: surat kabar (online maupun cetak), radio, televisi, internet, dan media sosial (face book, Twitter, WhatsAp Group, Instagram dan sebagainya).23

pesantren dan milenial sama-sama memakai media-media tersebut. Hal yang ih menekankan pada

21 Salah satunya adalah kelompok yang menamakan diri dengan al-Mustanir.

22 At-Tabsyir: Jurnal Komunikasi

Penyiaran Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2013,25-45.

pesantren.

Transformasi Strategi Dakwah PKPPN: Sebuah Upaya Alternalif

Kemudian, jika dikaitkan dengan visi-misi PKPPN sebagaimana fokus penelitian ini, maka maksud dari penyiaran agama di masyarakat tersebut adalah penyiaran pemahaman keagamaan ala peantren yang ramah dan toleran kepada masyarakat milenial.

Sebagai kumpulan alumni pondok pesantren dan akademisi, PKPPN menyadari tentang adanya gab atau kekosongan ruang antara pesantren dengan genersi milenial. Sehingga transformasi ajaran dan nilai pesantren yang terkenal toleran dan ramah tidak sampai kepada mereka. Ditambah lagi, PKPPN hidup di wilayah Solo, sebuah wilayah yang sangat beragam baik agama, organisasi keagamaan Islamnya (NU, Muhammadiyah, MTA, LDII, dan lainnya), maupun aliran Islamnya (tradisional, modernis, salafi hingga abangan), dan juga wilayah yang dinilai sebagai salah satu pusat pensebaran radikalisme Islam. Dengan ini, bagi PKPPN menghadirkan ajaran agama dan nilai-nilai pesantren kepada masyarakat, terutama generasi muda, mendapatkan momentum urgensinya.24 Kepada kaum muda? Menurut hasil kajian PKPPN dan juga para pakar radikalisme, kaum muda merupakan kelompok terbesar pelaku dan objek radikalisme serta perilaku intoleran di Indonesia, khususnya Solo. Usia remaja juga merupakan fase usia dalam pencarian jati diri.Namun karena situasi psikologisnya yang masih labil, mereka mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Lingkungan di sini bias berarti komunitas, apa yang dilihat atau yang dibaca di setiap harinya. Oleh Artinya, jika yang membentuk ad

akan berwarna demikian. Dengan begitu, menurut PKPPN pemuda merupakan objek dan subjek dakwah yang sesuai.25

Setelah melakukan kajian-kajian tentang strategi dan keberhasilan

selera

generasi muda milenial, PKPPN menentukan, menyusun serta menjalankan strategi dakwah yang ia nilai mampu mentransformasikan sikap moderat, toleran dan santun ala peantren kepada generasi muda milenial. Hal ini ia wujudkan dalam rangakaian kegiatan yang disebut dengan program Literasi Islam Santun dan Toleran (LISAN).

24Draf buku program PKPPN IAIN Surakarta.

Konsisten dalam Sumber Materi Dakwah

Mengenai materi dakwah santun, sebutan populer dakwahnya, PKPPN tetap menggunakan sumber sebagaimana yang digunakan oleh kalangan pesantren, yaitu kitabkuning. Kendatipun merujuk ayat-ayat Alquran dan hadis secara langsung, hanya digunakan sebagai pendukung kitabkuning, atau sebelum menggunakannya mereka akan melihat terlebih dahulu penjelasannya dari kitab tafsir karya ulama-ulama klasik.

Bagi kami yang alumni pesantren, kitabkuningadalah rujukan utama. Bagi kami, kami belum mampu memami ajaran agama langsung kepada Alquran dan hadis. Karena dalam memahaminya perlu banyak ilmu. Oleh karena itu kami memilih pendapat para ulama yang mereka tuangkan dalam karyanya itu. Toh, kitabkuningjuga bersumber pada Alquran dan hadis, namun melalui proses pemahaman panjang para pengarangnya. Oleh sebab itu, materi dakwah PKPPN diambil dari sumber kitabkuning.26

Dari hasil pengamatan peneliti pada daftar pustaka Buku Saku LISAN, kitabkuningyang dirujuk oleh PKPPN kitabkuningyang menjelaskan tentang akhlak. Kitab tersebut antara lain:kitab akhlak/tasawuf:Kitab

karya al-Ghazali, Kitab Idhah al- karya Musthofa al-Goyalini, Kitab

Nashaih al- karya Syaikh Nawawi al-Bantani, kitab Tanbih al-Ghafilin

karya Abu Lais as-Samarqandi, dan beberapa kitab kecil lainnya; kitab tafsir: Kitab Tafsir al-Qurtubi karya Abu Bakar al-Qurtubi damKitab Marah Labib

karya Syeikh Nawawi al-Bantani; kitab hadis: Kitab Riyad al-Shalihin karya Abu Zakariya al-Nawawi, Kitab Shahih karya al-Bukhari, Kitab Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani, dan beberapa kitab hadis lain yang lazim dikaji di pesantren. Selain itu, ada beberapa kitab yang tidak lazim dikaji di pesantren, diantaranya ialah Kitab karya Jalaludin Rumi, Kitab

al-karya al-Suyuti, dan Kitab Siyar al-Nubala karya al-Dzahabi. Dengan demikian bias dipahami bahwa meskipun PKPPN merujuk kepada kitabkuning,namun tidak murni kitabkuningyang sering dikaji di pesantren atau yang sering disebut dengan kitab tabarah. Jika dilihat dari jumlahnya yang sedikit, dibandingkan kitab yang lazim dikaji di pesantren, dan juga isi yang dikutip maka menunjukkan bahwa kitab tersebut hanya digunakan sebagai pendukung atau pemerkaya saja.

Jik diamati dari jenis kitab dan juga tema tema yang dirujuk, menunjukkan bahwa tujuan dakwah PKKPN hanya difokuskan pada akhlak, terutama yang berkaitan dengan sikap toleran, moderat, dan kasih saying

26Wawancara dengan Abdul Halim, coordinator penyusunan Buku Saku LISAN, pada tanggal 22 September 2018.

kepada sesame. Dan hal ini memang yang menjadi tujuan dari program-program PKPPN. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Zaenal Anwar berikut:

PKPPN hadir untuk menebarkan nilai-nilai toleran dan kasih saying kepada masyarakat. Kerja atau program-program yang dijalankannya ditujukan untuk tujuan tersebut.27

Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa arah metode yang digunakan

terbatas santri, alumni, atau masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan yang telah mengamini paham keagamaan dan nilai-nilai kepesantrenan. Atas dasar ini, supaya dakwahnya mampu menyentuh dan mendapatkan

beberapa santri, mahasiswa, dan siswa yang ada di Solo Raya, kemudian mengumpulkannya di satu tempat, meng-gembleng-nya, dan membekalinya dengan keahlian literasi dan media (membuat video pendek, narasi untuk medsos, meme, tagline,dan hastag)yang disebutnya dengan Santri Camp.

Dalam kegiatan peng-gembleng-an yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut, PKPPN mengikutsertakan para pengasuh pondok pesantren, wartawan, penulis, dan ahli media. Hal ini maksudkan supaya hasil dari kegiatan ini benar-benar maksimal dan berhasil melahirkan agent-agent yang handal yang nantinya akan ikut serta dalam mendakwahkan nilai-nilai pesantren kepada khalayak yang lebih luas. Memang, tujuan dari Santri Camp tidak hanya menginternalisasikan nilai-nilai pesantren, namun juga mencetak kader dakwah LISAN yang diberi nama Duta LISAN.

PKPPN mengumpulkan siswa, mahasiswa, dan santri di PP ALPANSA Klaten ini untuk di-gembleng nilai-nilai toleran dan santun ala

pesantren. Tidak hanya itu saja, mereka juga diberikan keahlian dalam menulis, membuat video, meme, dan lain-lain. Ini karena santri camp ini tidak hanya bertujuan mendidik mereka mengeni nilai-nilai tersebut, namun juga melahirkan agen-agen lanjutan.28

27Wawancara dengan Zaenal Anwar tanggal 24 September 2018.

Menurut hasil pengamatan peneliti, di akhir program Santri Camp para Duta LISAN membuat group di WhatsApp, dan berselang beberapa bulan, Duta LISAN mengadakan program pelatihan yang serupa di sekolahan mereka, tepatnya di MAN 1 Boyolali. Selain itu, dibeberapa status Duta LISAN peneliti lihat terdapat meme yang isinya diambil dari Buku Saku LISAN. Hal ini menunjukkan bahwa dakwah PKPPN bias memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan. Hal ini diperkuat lagi dengan terbitnya buku kumpulan tulisan para siswa hasil didikan Lisan Camp yang diberi judul

Menitip Ilmu di Keranjang Cucian: Seri Literasi Santun.29

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa PKPPN juga telah menggunakan metode dakwah system sel sebagaimana yang dilakukan gerakan gerakan kajian milenial. Kendatipun tidak sama persis bentuknya, namun memiliki pola yang sama, yaitu: mengadakan sutu kegiatan pengkaderan, kemudian kader yang dihasilkan membuat kegiatan yang sama guna menciptakan kader-kader baru. Kesamaan lainnya ialah menggunakan Hanya saja jika dalam gerakan-gerakan kajian buku tersebut sebagai panduan pengkajian, namun di kader-kader PKPPN dijadikan sebagai contoh atau sumber nilai-nilai yang akan di dakwahkan.

Transformasi Media: dari Selera Santri ke Selera Milenial

Selain melakukan transformasi metode, PKPPN juga melakukan transformasi dalam media. Jika pesantren lebih menekankan pada penggunaan media non Media Massa seperti manusia dan buku, PKPPN lebih menekankan pada penggunaan Media Massa (cetak dan online) dan media Sosial.

Hal yang sangat mencolok perbedaannya dengan kalangan pesantren dalam media adalah cara pengemasannya. Misalnya dalam penyusunan buku, PKPPN tidak menyusunnya dalam bentuk deskripsi, berat, dan tebal sebagaimana banyak dilakukan oleh kalangan pesantren, namun menyusunnya dalam bentuk buku saku yang berisi kumpulan quote. Hal ini PKPPN lakukan untuk menyesuaikan selera kaum muda milenial. Meskipun demikian, selain sumbernya tetap kitabkuning, PKPPN tetap mencantumkan sumber rujukannya secara lengkap. Inilah yang membedakan PKPPN dengan

cara-metode, PKPPN juga melakukan inovasi.

Selain mengemasnya dalam bentuk buku saku tersebut, PKPPN juga mengemasnya dalam bentuk video, narasi pendek, meme, tagline, hastag,

29Mutimmatun Nadhifah dan Qibtiyatul Maisaroh (ed), Menitip Ilmu di Keranjang Cucian, (Surakarta: PKPPN dan Bilik Literasi, 2018).

flayer, Tagline

hastag populernya diantaranya

Penutup

Berdasarkan uraian-uraian di atas, menunjukkan bahwa strategi transformasi yang dilakukan oleh PKPPN, jika dilihat dalam perspektif pada metode dan media-media yang digunakannya. Dalam metode PKPPN

diantaranya ialah buku saku, radio, internet, media massa, dan media social. melalui meme, tagline, hastag, narasi pendek, video pendek, dan lain sebagainya.

mempertahankan dalam pengambilan sumber materi dakwah (kitabkuning). Selain itu, PKPPN juga melakukan inovasi dari bentuk yang dipinjamnya. Hal ini mungkin karena dipengaruhi oleh prinsip pesantren dalam menanggapi

al- -qadim al-shalih wa al-akhdzu

bi al-jadid al-ashlah. Daftar Pustaka

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009.

Bruinessen, Martin Van.Kitabkuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.

Dhofier, Zamakhsyari.Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1982.

Fealy, Greg dan Sally White.Ustadz Seleb: Bisnis Moral dan Fatwa Online, Ragam Ekspresi Islam indonesia Kontemporer. terj. Ahmad muhajir. Depok: Komunitas Bambu, 2012.

Farihah, At-Tabsyir: Jurnal Komunikasi

Penyiaran Islam -Desember 2013),25-45.

Farida,

Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol.10, No.1 (Februari 2015),145-163.

Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Masykhur, Anis.Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren. Depok: Barnea Pustaka, 2010.

Nadhifah, Mutimmatun dan Qibtiyatul Maisaroh (ed). Menitip Ilmu di Keranjang Cucian. Surakarta: PKPPN dan Bilik Literasi, 2018.

Najoan,

Media Matrasain, vol. 8, No.2 (Agustus 2011),117-130. Sunarwoto (ed), Islam: Antara Teks, Kuasa, dan Identitasi. Yogyakarta: Arti

Bumi Intaran, 2018. Wahid,

Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988. Survei Indonesia (LSI) dalam rentang waktu 1 7 bulan Agustus 2018

COUNTERING RADICAISM PONDOK PESANTREN MAHASISWA ASWAJA NUSANTARA MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL-INKLUSIV SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT MODERASI ISLAMDAN

KEINDONESIAAN

Desy Putri Ratnasari

Pondok Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Komplek 4A desyputrir@gmail.com

Abstrak

Saat ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan pemahaman keagamaan yang ekstrim kanan dan kiri. Upaya penguatan moderasi Islam pada pondok pesantren dilakukan untuk

meng-counter kekeliruan pemahaman sebagian masyarakat yang meyakini pesantren sebagai lembaga yang mencetak kader-kader teroris. Pesantren mahasiswa memiliki tantangan tersendiri bagi mahasiswa yang ingin belajar agama lebih mendalam, salahsatunya diperlukan sebuah ikhtiar belajar yang lebih terstruktur, santun dan penuh dengan nilai-nilai budaya ketimuran yakni melalui internalisasi nilai-nilai multukulturalisme-inklusivisme untuk menangkal radikalisme. PPM Aswaja Nusantara Yogyakarta telah mengembangkan dan menginternalisasikan model kurikulum agama berbasis multikultural-inklusiv untuk menangkal gerakan radikalisme agama di kampus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model, proses, serta efektivitas kurikulum reading club berbasis multikultural-inklusiv sebagai upaya menangkal gerakan radikalisme terutama di kampus. Salah satu metode dakwah yang dikembangkan tersebut yaitu dengan menumbuhkan minat literasi, terampil berdiskusi serta sharing ilmu antar mahasantri. Model internalisasi nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menajdi bekal oleh para mahasantri untuk dapat saling memahami perbedaan di tengah ragam perbedaan di masyarakat (teaching diversity).

Kata Kunci: Countering radicalism, Multikultural-Inklusiv, Pesantren Mahasiswa.

Pendahuluan

Fenomena radikalisme Islam di Indonesia hingga hari ini masih menjadi perbincangan yang menarik. Radikalisme masih menjadi masalah serius bagi banyak kalangan. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potesi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oelh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal ini, mulai dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, islam kanan, fundamentalisme sampai terorisme.1

Maraknya aksi radikalisme dan terorisme atas nama Islam di Indonesia sendiri sedikit banyak telah menempatkan umat Islam sebagai pihak yang dipersalahkan. Ajaran jihad dalam Islam seringkali dijadikan sasaran tuduhan sebagai sumber utama terjadinya kekerasan atas nama agama oleh umat Islam. Lembaga pendidikan islam di Indonesia semisal madrasah atau pondok pesantren juga tidak terlepas dari tuduhan yang memojokkan tersebut.2

Radikalisme agama merupakan diskursus sekaligus fenomena aktual. Kajian radikalisme agama sudah banyak dilakukan berbagai pihak, khususnya pasca kejadian tindak kekerasan atas nama agama seperti bom bunuh diri. Kajian radikalisme agama menyangkut dua hal. Pertama penafsiran atas teks-teks suci keagamaan secara teks-tekstualis-formalistik yang melahirkan pemahaman dan sikap keberagamaan yang eksklusif, cenderung merasa paling benar (truth claim) dan semangat menggebu untuk melakukan perubahan melalui tindakan sporadis. Hal ini melahirkan radikalisme agama yang dalam tataran tertentu melahirkan aksi terror sebagai salah satu implementasi konsep jihad. Perilaku ini muncul karena pendukung radikalisme agama tampaknya tidak punya modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan yang ada dalam konsepsi mereka. Oleh sebab itu, mereka menempuh jalan pintas, berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama.3 Kedua, penafsiran teks-teks suci keagamaan secara kontekstual-substantif yang melahirkan sikap keberagamaan yang moderat, inklusif, dialogis, dan mengedepankan semangat rahmatan lil

. Kelompok kedua ini lebih bersikap iklusif dan menghargai

1 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), 270.

2Nurul Aini, "Pesantren, Organisasi Modern Islam di Masa Penjajahan", dalam

Darussalamlumal Ilmiah Islam dan Sosial (Martapura: Sekolah linggi Agama Islam Darussalam), Vol. 8, No.1,09, hal. 47-64.

3

Hassan, Muhammad Hanif. 2007 Teroris MembajakIslam; Meluruskan Jihad Sesat ImamSamudra dan Kelompok Islam Radikal. Jakarta: Grafindo.

keberagamaan. Dua kutub ini sering menjadi pembahasan yang tidak ada habis-habisnya, mulai dari sisi postulat dasar, metodologi, tokoh pemikir dan turunannya, hingga contoh nyata masing-masing kelompok dan model gerakannya.4

Di dalam kampus terdapat suatu organisasi resmi yaitu Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang setiap kajiannya berpusat di masjid kampus. Sejumlah gerakan atau harokah ini masing-masing memiliki ciri khas dan peta pergerakannya dan yang paling menonjol yaitu gerakan Tarbiyah di bawah naungan partai PKS, Salafi (wahabi), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemikiran dan sikap keberagamaan yang berkembang di tengah gerakan keagamaan ini cenderung multikulturalisme. Salah satu sikap anti-multikulturalisme adalah adanya klaim kebenaran (truth claim).5

Countering radicalism kemudian muncul ke permukaan sebagai upaya membendung paham radikalisme dan terorisme berlatar bekang agama di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Kementrian Agama dan pengelola pendidikan tinggi serta lembaga swadaya masyarkat lainnya untuk mengkampanyekan gerakan countering radicalism ini. Beragam kegiatan mulai dari seminar dan workshop hingga kegiatan budaya pun dilakukan.6

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakuakn kajian penelitian terkait peran pondok pesantren mahasiswa dalam countering radicalism untuk mengurangi pengaruh radikalisme dan terorisme di kampus Yogyakarta dalam rangka memperkuat moderasi islam dan keindonesiaan.

Radikalisasi Agama dalam Konteks Indonesia

Secara umum gerakan radikal Islam sebagai bagian dari gerakan Islamisme global yang dapat ditelusuri akar keberadaannya dari pemikiran pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Bana (1906-1949) di Mesir dan pendiri -1978) di India.7Ideologi Islamis ini makin mengental di bawah penajaman pemikiran yang digagas Sayyid Quthb melalui beberapa karyanya. Tawarannya tentang jihad sebagai upaya menegakkan berlakunya Hakimiyyat Allah (tegaknya Hukum Allah sebagai satu-satunya pengatur kehidupan) menjadi basis dari hampirsemua

4Ibid.

5 Sabirin, Rahimi. Islam dan Radikalisme. Yogyakarta: Ar-Rasyid, 2004

6Ibid.

7Oliver Roy, L'ichec de l'lslam politique. Carol Volk (terj.), The Failure of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1994), hal. 1-2.

ideologi jihadis di dunia.8Ideologi ini kemudian melahirkan sejumlah gerakan sempalan yang beraliran keras (Hizbut Tahrir, Jihad Islam, Jamaah Islamiyyah, Jamaah al-Takfir, dan sebagainya) yang berkembang secara internasional termasuk ke sejumlah Negara seperti Indonesia.9

Dalam konteks kesejarahan Indonesia, gerakan radikal Islam biasa dikaitkan dengan DI/TII pimpinan R.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat maupun KaharMuzakkar di Sulawesi Selatan. Benih-benih ideologi ini bersama dengan euphoria kebebasan di Era Reformasi yang membawa dengan mudah aneka pemikiran baru, termasuk ideologi radikal Timur Tengah, melahirkan sejumlah gerakan Islam di tanah air, baik yang masih mengambil nama asli gerakannya, maupun yang sebatas ideologinya. Gerakan yang ada pun beragam sifat dan jangkauannya, baik levellokal maupun nasional.10

Perkembangan gerakan Islam transnasional ini kemudian bersama-sama denganberagam faktor lokal Indonesia membangkitkan sejumlah gerakan radikalisme danmengarah terorisme yang belakangan ini terjadi. Kepala Badan NasionalPenanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, melihat sejumlah alasan munculnya gerakan radikalisasi Islam di Indonesia, yaitu kemiskinan, korupsi,globalisasi, dan sejarah.11Pandangan serupa disampaikan Muhammad Tholhah Hasan, yang menilai munculnya gerakan radikalisme di Indonesia terutama setelah reformasi disebabkan variabel ajaran dan pemahaman, peranan media internet (IT), kondisi sosial domestik, dan konstalasi politik internasional.12

8Bassam Tibi, "Religious Extremism or Religionization of Politics? The Ideological Foundations of Political Islam", dalam Hillel Frisch dan Efraim Inbar (eds.), Radical Islam andInternational Security: Challenges and Responses (New York: Routledge, 2008), hal. 13; Ahmad Asroni, "Radikalisme Islam di Indonesia: Tawaran Solusi untuk Mengatasinya"

dalam Religi J umal Studi Agama-agama, Vol. VII, No. 1, Januari 2008, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), hal. 15-34, dan Noorhaidi Hasan, "Ideologi, Identitas, dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia", Makalah dalam Simposium Nasional: Memutus Rantai Radikalisme dan Terorisme, Jakarta, Le Meredian Hotel, 27-28 Juli 2010.

9Haedar Nashir, "Gerakan Islam Syari'at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di

dalam Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol. 1, No.2, November 2006, hal. 25-120.

10Christopher S. Bond dan Lewis M. Simons, The Next Front: Soutf:.::ast Asia and the Road to Global Peace with Islam (New Jersey: John Wiley &Sons, Inc., 2009), hal. 94-5.

11Ibid.

12Muhammad Tholhah Hasan, "Mozaik Islam Indonesia-Nusantara: Dialektika Keislaman dan Keindonesiaan", makalah disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies 2010, Banjarmasin 1-4 November 2010.

Masuknya Paham Radikal di Lingkungan Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang memiliki banyak keanekaragam potensi yang dimiliki setiap perorangannya. Baik itu bakat, keahlian, pengetahuan, kepemimpinan, dan intelektual. Disamping itu sebenarnya mahasiswa masih mencari kearah mana orientasi masa depan yang akan ditempuh. Sehingga mereka masih memerlukan beberapa pengaruh yang dapat menunjang dan memfasilitasi prinsip dan jati diri yang sedang dicari.Oleh sebab itulah, ada beberapa kelompok radikal yang memanfaatkan kondisi mahasiswa yang masih labil untuk dipengaruhi dengan konsep radikalisme yang mereka bawakan. Padahal sejatinya konsep radikalisme tidak sepenuhnya mengarah pada kekerasan, pemaksaan, ataupun menjurus hal-hal yang negatif.13

Generasi muda yang masih penuh gairah dalam menuntut ilmu tentulah sangat membanggakan. Apalagi jika dapat meraih suatu prestasi atau aktif dalam berbagai organisasi yang nasionalis yang barang kali bisa memfasilitasi rasa nasionalisme pada bangsa ini.Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia berpandangan kritis, terbuka dan intelek, ternyata tidak kebal terhadap pengaruh ideologi radikalisme. Radikalisme menyeruak menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. 14

Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum khususnya bidang

Dokumen terkait