CHAPTER I:
Pesantren dan
Moderasi Beragama
KONTRIBUSI KIAI SHOLEH DARAT (1830-1903)
DALAM MENEGUHKAN ISLAM WASATHIYAH ISLAM DI NUSANTARA Abdul Mustaqim
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstrak
Kiai Sholeh Darat merupakan simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara yang telah melakukan proses transmisi dan tranformasi pengetahuan Islam wasathiyah di Indonesia. Kontribusi pemikirannyasangat signifikan dalam meneguhkan Islam wasathiyah . Hal ini dapat dilacak dari beberapa karya beliau, seperti kitab Sabîl al-`Abid fi Jauhar al-Tauhid,
al- -Kâfiah lil `Awamm, Asrar al-Shalah, Terjemah
Matan Hikam, dan Faid al-Rahman. Namunsayangnya,
pemikiran Islam wasathiyah tersebut belum banyak diungkap oleh para peneliti. Di tengah-tengah fenomena radikalisasi agama yang semakin menggurita, maka menjadi penting meneguhkan kembali konsep Islam wasathiyah tersebut, sebagai bagian dari upaya kontra radikalisasi agama, khususnya di Indonesia. Melalui pendekatan historis-filosofis dan sosiologi pengetahuan, riset ini beragumen bahwa Kiai Sholeh Darat telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam menyemai gagasan Islam wasathiyah di Nusantara di antaranya terdapat dalam beberapa point penting pemikiran beliau, yaitu 1) konsep teologi, 2) relasi wahyu dan akal, 3) relasi syariat dan hakikat, 4) relasi Islam dan budaya serta 5) relasi antara makna zhahir dan makna batin dalam penafsiran Alquran. Lima point tersebut penting diaktualisasikan kembali dalam rangka meneguhkan kembali gagasan Islam wasathiyah di Nusantara, sebab model-model pemikiran Islam radikal (baca:ekstrem) di Indonesia dewasa ini disamping tidak memiliki cantholan epistemologi yang kuat dari turâts pemikiran Islam Nusantara, juga tidak sejalan dengan karakter dasar Islam selalu memilih prinsip moderasi (wasathiyah ), seimbang (tawâzun) dan toleran (tasâmuh).
Pendahuluan
Gagasan Islam moderat (wasathiyah ) yang dipopulerkan kalangan NU (Nahdlatul Ulama) di Indonesia sesungguhnya memiliki akar genealogi yang kuat dengan pemikiran Kiai Sholeh Darat al-Samarani. Sebab beliau Gagasan Islam wasathiyah tersebut juga dapat dilacak dari beberapa karya beliau, seperti Sabîl al-`Abîd fi Jauhar al-Tauhid, (bidang Teologi), kitab
- -Kâfiyah lil `Awamm dan Asrâr al-Shalah (bidang
Fiqih), Matan Hikam (bidang Tawasuf) dan Faid al-Rahmân (bidang Tafsir), serta Kitabal-Mursyidul Wajîz
para santri dan kiai di Jawa.
Secara historis, Kiai Shaleh Darat merupakan salah seorang guru dari dua pendiri organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia yang menjadi tiang penyangga Islam moderat di Indonesia, yakni
pendiri organisasi NU (1926) dan KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah (1911).1 Namun, belum banyak riset yang secara tegas
menunjukkan kontribusi Kiai Sholeh Darat terkait dengan gagasan Islam
wasathiyah.2 Pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan
Islam wasathiyah dalam pemikiran Kiai Sholeh Darat? Bagaimana kontribusi pemikiran wasathiyah KH Shaleh Darat dalam konteks keindonesiaan dan pada aspek apa saja beliau menunjukkan pemikiran Islam wasathiyah nya?.
KH Shaleh Darat memang tidak pernah menggunakan istilah Islam
wasathiyah tayyarat al-Islam al-wasathiyah aliran
Islam moderat) sebagaimana Yusuf Qardhawi, seorang cendikiawan muslim terkenal asal Mesir.3 Namun demikian, secara substansial-filosofis gagasan
pemikiran keislaman Kiai Sholeh Darat sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam meneguhkan Islam wasathiyah di Nusantara. Beliau telah mentransmisi dan transformasikan gagasan Islam
wasathiyah tersebut melalui karya-karyanya yang kebanyakan ditulis
1Abu Malikus Salih Dzahir, Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat
Semarang (Semarang: Panitia Khaul Kyai Sholeh Darat Semarang, 2012).
2Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Alquran Bahasa Jawa Abad 19-20 M
(Surakarta: FUD Press, 2015). Beberapa riset terdahulu misalnya H.M. Muchoyyar HS., Tafsir Faidl Al-Rahman Fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik Al-Dayyan Karya K.H.M. Shalih Al-Samarani(Suntingan Teks, Terjemahan dan Analisis Metodologi) Disertasi IAIN Walisongo Semarang 19 Juni 2002. Ghazali Munir, Sholat Jumat Bergantian (Semarang: Syiar Media Publishing, 2002)), hlm. 14-15, Abdullah Salim -Syariat Kayfiyat Awam Karya Muhammad Shaleh Ibn Umar al-Samarani: Suatu Kajian terhadap Fikih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19.
3 Al-Qaradlawi menyebutnya dengan istilah al-tayyar al-wasathiy (aliran Islam
moderat) sebagai pembanding terhadap fenomena al-tayyar al- f (aliran Islam radikal). Lihat Yusuf Al-Qardhawi, Fil Fikih al-Awlawiyât: Dirâsah Jadidah fi
menggunakan bahwa Jawa dengan tulisan Arab-Pegon dan sudah tersebar, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Singapura dan Bombay4.
Riset ini ingin menunjukkan bukti-bukti pemikiran Islam wasathiyah
yang terdapat dalam karya-karya Kiai Sholeh Darat. Adapun yang dimaksud Islam wasathiyah di sini sebenarnya adalah Islam ala Ahlus Sunnah wal
, sebuah aliran berpikir yang mencerminkan aspek-aspek moderasi. Golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah, dalam konteks aqidah mengikuti pemikiran Abul Hasan al- -Maturidi, dalam bidang Fikih mengikuti salah satu madzab
dan Hanbali, sedangkan dalam bidang tasawuf mengikuti pemikiran Imam al-Ghzali dan Syeikh Junaid al-Baghdadi.
Dengan teori sosiology of knowledge,5 melalui penelusuran sejarah dan
konteks pemikiran Kiai Sholeh Darat, penulis mencoba merekonstruksi pemikiran Kiai Sholeh Darat, terkait dengan pemikiran Islam wasathiyah
tersebut. Ini dapat ditelusuri dari pemikiran para ulama sebelumnya melalui proses transmisi dan transformasi pengetahuan.Interaksi dan dialektika KH Sholeh Darat dengan para guru beliau, yang kemudian ditransformasikan dalam situasi geo-sosial-politik di Indonesia saat itu jelas telah memberikan kontribusi signifikan bagi model keislaman di Indonesia yang mencerminkan karakter dasar Islam yaitu moderasi. Beliau memang banyak belajar ilmu-ilmu agama di negeri Arab (baca Mekah), tetapi beliau tidak ke-arab-abên), melainkan tetap menjadi Muslim Indonesia yang baik, terutamadalam mentransmisikan dan mentransformasikan pengetahuan yang dipelajari dari kitab para ulama sebelumnya.
Argumentasi bahwa pemikiran Islam wasathiyah KH Shaleh Darat
adalah Islam ` adalah bahwa beliau sendiri
menegaskan bahwa pandangan keislamannya memang Islam Ahl Sunnah wal
. Misalnya, ketika beliau merumuskan konsep keimanan. Beliau merumuskan konsep keimanan dengan menyebut dua tokoh pendiri Ahlus Imam al- -Maturidi. Intinya bahwa iman itu adalah tashdiq bil qalbi (membenarkan dengan hati) terhadap seluruh ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw di sertai dengan
4Terbukti banyak karya KH Shaleh Darat ada diterbitkan di Singapura, salah
satunya adalah Tafsir Faid al-Rahman, bahkan ada yang telah diterbitkan di Bombay, seperti kitab Manasik al-Hajj wal Umrah
5 Teori sociology of knowledge menyatakan bahwa tidak ada sebuah produk
pengetahuan yang bebas dari ruang, kognisi sosial dan konteks sosio kultural keagamaan, bahkan juga ideologi yang mengitarinya saat pengetahuan itu diproduksi. Lihat Peter Beger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Doubleday, 1966). published by: The University of Chicago Press on behalf of The History of Science Society.
sungguh melaksanakan tuntunan agama yang bersifat dlaruri (wajib dan pasti, seperti shalat, puasa, zakat haji dan lainnya).
Ingkang aran iman mungguh kersane madzhab
al-Asyariah lan Madzhab al-Maturidiyah iku tashdiq al-Qalb, tegese ngestoaken ati ingdalem sekabehanebarang kang den gowo dene gusti kanjeng Nabi Muhammad Saw, sartane mituruti ati kelawan temen-temen sangking piro-piro ilmune agama ingkan wus dloruri.6
Dalam banyak hal pemikiran keislaman beliau secara umum mencerminkan nilai-nilai ajaran moderasi (tawassut), lurus ( ) seimbang (tawâzun) dan toleran (tasamuh); sebuah prinsip dasar yang akhlak-tasawuf. Basis teologi-filosofinya adalah firman Allah Swt Q.S al-Baqarah [2]: 143; bahwa umat Islam itu dijadikan sebagai ummatan wasatha, umat yang tengah-tengah, moderat dan seimbang.KH Shaleh Darat menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
Wus andadeake Ingsun ing agomo nira ya Muhamma7d iku agomo ingkang pertengahan antarane Yahudi dan Nashrani, ora abot-abot banget lan ora entheng-entheng
banget.Moko, dadi andadeake Ingsun ing siro ya
Ummata Muhmmad, sun dadeake ummat kang pilihan, -nas. Supoyo ono siro kabeh ya Umat Muhammad, supoyo dadi saksine umat-umat kang dhihin
8
Dari kutipan di atas jelas bahwa ummat wasathiyah adalah umat yang tengah-tengah moderat, tidak terlalu berat sebagaimana model Yahudi, tetapi juga tidak terlalu ringan sebagaimana model Nasrani. Itulah model keislaman ideal, sehingga umat Islam akan menjadi khaira ummah (umat terbaik) (Q.S Ali Imrah [3]:110). Yang menarik adalah bahwa hampir semua ahli tafsir sepakat bahwa
wasathiyah mengandung makna yang terbaik (khiyar), moderat,
6KH Shaleh Darat, Tarjmah Sabil al-`Abid ala Jauharat al-Tauhid (Cirebon:
Al-Misriah, 1896).
7Syeikh Abul Fadl bin Abdur Syakur Al-Senori, Kawâkib
al-(Semarang: Krrya Tahah Putra, n.d.). Dan lihat juga Ahmad Baso, Islam Nusantara, 1 ed. (Jakarta: Pustaka Afid, 2015).ah
seimbang dan proposional.9Islam wasathiyah ini menjadi pilihan
terbaik bagi keberagamaan kita, karena Alquran dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, (QS.Al-Baqarah [2]: 143), yakni umat yang memiliki sikap moderat, umat terbaik, sehingga ajarannya akan menjadi teladan bagi banyak orang. Sedemikian Allah ingin meneguhkan aspek wasathiyah ini, letak ayat ini persis di tengah-tengah Surat al-Baqarah yakni ayat 143, yang merupakan separoh (tengah-tengah) dari jumlah keseluruhan ayat surat al-Baqarah, yaitu 286. Inilah yang dalam bahasa Dr. Rasyad Khalifah dan Dr. Abdur Razzaq Naufal disebut sebagai
(mukjizat bilangan).10
Ayat Q.S. (al-Baqarah [2]: 143) tersebut juga berbicara tentang konteks perpindahan arah Kiblat, dari Baitul Maqdis di Palestina ke -tengah planet bumi. Hal ini semakin meneguhkan keyakinan penulis bahwa sikap moderasi (wasathiyah) adalah sikap yang ideal dan terbaik, bukan saja dalam konteks kehidupan kita sebagai makhluk individual, namun juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, sikap moderasi menyebabkan seseorang dapat lebih fleksibel dalam mengatasi konflik-konflik batin yang ada dalam dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhuk sosial, sikap moderasi akan memudahkan seseorang dalam berinteraksi dengan komunitas lain yang berbeda,terlebih dalam konteks masyarakat multi agama. Sikap moderasi akan dapat menjadi salah satu solusi terhadap radikalisasi agama.
Genealogi Pemikiran Kiai Sholeh Darat
Genealogi Islam wasathiyah Kiai Sholeh Darat dapat dilacak dari kitab yang dipelajari beliau melalui guru-gurunya. Mulai dari belajar
kitab-qiyâs (analogi)11 dalam menyelesaikan isu-isu aktual sosial-keagamaan yang
9Lihat Ibn Jarir al-Thabari, dalam -Bayan, Jilid II, hlm. 627,
Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz 1, hlm. 198, Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, Juz 6, hlm, 487, Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Juz 1, hlm. 135. Ibn Asyûr, dalam Tahrir wa Tanwir, Juz II, hlm 18, ketika mereka menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]:143.
10 Misalnya di dalam Alquran kata malaikat dan syaitan sebanyak 68 kali,
al-Maut dan al-hayah terulang 71 kali. Lihat Abdurrazzaq Naufal, al-Ijaz al-Adadi lil -Karim (Beirut: Dar al-Kitub al-Arabi, 1987).
11 Qiyas adalah metode penggalian hukum dengan cara melakukan analogi
tidak ada nash yang tegas (sharih)
tidak diragukan lagi, sebagaimana disebut dalam mukadimah Tafsir Faidl al-Rahman :
-Allamah bahrul fahhamah, Abu Ibrahim Muhammad Shaleh ibn Umar al-Samarani baladan maulidan, al-syafii madzhaban, al-Jawi al-Mariki...ora wenang nafsiri Alquran kelawan tafsir isyari utawi asrare yen durung weruh kelawan
Statemen di atas tegas menyebut bahwa KH Shaleh Darat adalah
al- diperkuat dengan pernyataan KH Sholeh Darat sendiri ketika ingin meneguhkan pentingnya belajar dan mencari pernyataan berikut ini:
Angendik utawi ketungkul kelawan
ngaji
agung-ngaweruhi halal haram....12
model Fikih Hanbali yang cenderung literalis-tekstualis-skriptualis,13 sehingga dalam
banyak hal tidak akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal, sebagaimana yang juga tampak dalam ajaran Wahhabi-Salafi yang banyak dianut di Arab Saudi. Sebagai konsekuensinya, model berpikir kelompok ini cenderung mudah melakukan tadhlîl (menganggap sesat), bahkan
takfîr (mengkafirkan) terhadap kelompok lain yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi mereka14. Memang jargon mereka selalu merujuk kepada
Alquran dan Sunnah. Seolah kemudian kelompok lain yang tidak sejalan
jelas ketentuannya dalam nash Alquran atau hadis, karena ada kesamaan `illat hukum. Lihat Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih (Mesir: Dar al-Ilm, 1978). Lihat pula Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam (Beirut: Dar al-Fikr, 1996).Dan lihat juga A Halil Thahir, Ijtihad Maqashidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah (Yogyakarta: LKiS, 2015).
12Shaleh Darat, hlm. 2-3
13Muhammad Imarah, Tayyarat al-Fikr al-Islami (Mesir: dar al-syuruq, 2018).
Lihat pula Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Memebela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (Bandung: Mizan, 2018).a
14Lihat beberapa fatwa dan karya ulama Salafi-Wahhabi, seperti Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, al-Utsaimin, Abdurrahman al-
dengan pikiran mereka di nilai tidak merujuk kepada Alquran dan Sunnah. hanya berbeda dalam memahami teks Alquran dan Sunnah. Bagi penganut Islam wasathiyah
kafir kepada kelompok lain yang berbeda, jika wilayahnya adalah wilayah
khilafiah- Mereka memilih sikap moderasi dengan jargon lanâ
dalam rangka menghargai pendapat dan amaliah orang lain. Atau meminjam pernyataan Imam
al-benar, tapi ada kemungkinan salah, pendapat orang lain salah, tapi juga ada Lebih lanjut, KH Shaleh Darat belajar ilmu fikih dengan Syeikh Muhammad Sulaiman Hasballah, khususnya kitab Fathul Wahhab dan Syarah al-Khatib, serta gramatika bahasa Arab, dengan menggunakan Kitab Alfiah Ibn Malik karya Ibnu Malik. Diantara
fikih-Sholeh Darat adalah Fathul Qarib, karya Syihabuddin Ahmad Ibnul Husain Ibn Ahmad, yang lebih dikenal dengan Imam Fathul
karya Syeikh Zainuddin al-Malibari (w.987 H,) al-Minhaj Al-Qawim,
karya Muhmamad Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 h), dan Tuhfah al-Habib `ala Syarh al-Khatib atau Syarh al- , karya Syeikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi (w.1221). Menurut informasi Prof. Abdul Djamil Beliau belajar kitab-kitab tersebut dengan KH Syahid Waturejo.15
Kitab-kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang biasa dijadikan kurikulum dan dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Kemudian dengan Kyai Zahid, beliau belajar fikih, menggunakan Kitâb Fath al-Wahhâb. Selain itu, dengan Syaikh Umar al-Syami, beliau belajar ilmu fikih dengan menggunakan Fathul Wahhâb. Kepada Syaikh Yusuf al-Sunbuwali al-Mishri, beliau belajar fikih dengan kitab Syarah Tahrîr karya Zakariyya al-Anshori dan Syaikh Jamal Mufti madzab Hanafi di Mekkah, darinya beliau belajar Tafsir Alquran.16
Genealogi pemikiran teologi KH Sholeh Darat dapat dirunut dari guru-guru beliau, yaitu Syaikh Muhammad al-Muqri al-Mashri al-Makki, kepadanya beliau belajar ilmu akidah, khususnya kitab Ummul Barâhin karya Imam Sanusi. Akidah yang dianut KH Sholeh Darat adalah Akidah Ahlu Sunnah wal
; sebuah pandangan teologis yang juga mederat dalam mendudukkan akal dan wahyu. Namun dalam hal ini sebagai seorang penyambung lidah
rendah dari pada
15Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam
Muhammad Shalih as-Samarani (Semarang: Walisongo Press, 2002).
Asyari, bahwa kewajiban beriman atau (mengetahui Allah) bagi menurut akal, itu madzab sesat, sebagai pernyataan berikut ini:
Setuhune wajibe mukallaf
mungguh akal ora. Mengkono mungguh kersane madzab
al-sasar...17
Dalam hal ini penulis memberikan catatan, bahwa sikap moderasi KH Sholeh Darat dalam hal ini rupanya tidak mengurangi ketegasan beliau untuk menyatakan sesat terhadap aliran
moderasi akan lebih tegas jika mendudukkan wahyu untuk memandu menalar terhadap wahyu, sehingga Islam menjadi doktrin memiliki dimensi rasionalitas yang logik, meski tidak semua doktrin dapat dijelaskan secara logis. Dalam konteks menjelaskan doktrin akidah KH Shaleh Darat juga mengakui konsep takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, Ayat-ayat yang mengandung informasi keserupaan antara dzat Allah dengan makhlukNya.Pemikiran moderasi Islam Kiai Sholeh Darat dapat dilacak dari sikap beliau terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Dengan mengutip karya Syeikh Ibrahim al-Laqqani;
Wa kullu nash-sh awhama al-tasybiha ** Awwil aw fawwidl warum tanziha.18
Artinya: Dan setiap ayat yangdapat membawa kesan keserupaan antara Allah dengan maskhlukNya, maka takwilkanlah atau serahkan maksudnya sepenuhnya kepada Allah Swt dengan tetap niatkan mensucikan-Nya (dari segala bentuk keserupaan dengan makhlukNya).
Misalnya dalam Alquran digambarkan Allah Swt punya wajah, (Q.S. ar-Rahman: 27), tangan (Q.S. al-Fath: 10), dan bersemayam di
-sebagai majaz representasi Dzat Allah, tangan Allah adalah simbol kekuasaan Allah, demikian halnya dengan makna
17Syaikh Ibrahim Al-Liqani, Tarjamah sabil al- -Tauhid,
trans. oleh Muhammad Salih ibn Samarani, n.d.
-Nya. Pandangan seperti ini juga dapat dilacak dalam pemikiran teologi al-Ghazali.19
Selanjutnya, di bidang tasawuf, KH Shaleh Darat berguru kepada Syaikh Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk belajar tasawuf dengan menggunakan kitab Ihyâ`Ulum al-Dîn karya Imam al-Ghazali. Kemudian, kepada Syaikh Ahmad al-Nahawi al-Mishri al-Makki, beliau belajar tasawuf dengan menggunakan kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah al-Sakandari.20 Selanjutnya, dengan Syeikh Muhammad
Shalih al-Zawawi al-Makki, beliau belajar tasawuf dengan menggunakan kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, Juz I dan II.
Dimensi Islam Wasathiyah dalam Pemikirian KH Shaleh Darat
Betapapun pemikiran Kiai Sholeh Darat banyak mengambil dari pemikiran para ulama sebelumnya, namun kontribusi pemikiran tafsir Kiai Sholeh Darat terkait dengan gagasan Islam wasathiyah cukup signifikan. Banyak karya yang ditulis beliau, dalam berbagai disiplin ilmu Islam, mulai dari Teologi (Kalam), Fikih, Akhlak Tasawuf, hingga Tafsir Alquran. Berikut ini penulis mencoba mendeskrisipkan beberapa kontribusi beliau dalam meneguhkan Islam wasathiyah, antara lain yaitu:
1. Wasthiah Bidang Teologi
Wasathiyah dalam berteologi ditunjukkan dalam sikap tauhid, yaitu sikap monoteistik sejati (mengakui satu Tuhan). Sikap ini adalah tengah-tengah antara atheisme yang anti Tuhan dan polytheisme yang kebanyakan Tuhan. KH Sholeh Darat tegas menolak konsep paham pantheisme Syeikh Siti Jenar. Bagi KH Sholeh DaratTauhid artinya hanya mengakui Tuhan yang Esa, sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Tauhid juga berarti meyakini bahwa Allah itu Dzat-Nya tunggal, tidak ada yang menyamai dengan-Nya, baik dalam dzat maupun sifat-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dalam hal ini
KH Shaleh Darat dalm - menyatakan:
19Ahmad Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996).
20 Nama lengkapnya, Imam Tajuddin Abul Fadl Ahmad bi Muhammad Ibn Abdul
-Sakandari (W. 709 H). Beliau dikenal sebagai Ahli Shufi, dikenal banyak memiliki
Tajuddin Subki, Thabaqat Syafiiyyah al-Kubra, 5 ed. (Mesir: al-Babil Halabi, 1964).
Utawi artine ngimanake ing Allah iku arep neqadaken setuhune Allah iku suwiji, kang ora ono ingkang madani ingdalem dzate lan sifate lan
ing dalem keluruhane.21
Sementara itu, secara sufistik, konsep tauhid dipahami lebih dalam lagi, yakni semata-mata hanya bergantung kepada Allah Swt. Seseorang tidak boleh mengandalkan ilmu dan amal ibadahnya, apalagi menyangka bahwa hal itu yang akan memasukkan surga dan menyelamatkan dirinya dari apai neraka. KH Shaleh Darat menyatakan sebagai berikut:
Setuhune kelakuan wajib ingatase wong mukmin ingkang shadiq arep gegeyongan gandulan marang Allah Swt belaka, tegese ojo pisan siro cecekelan marang liyane Allah Swt, ngilmuniro utowo ngibadah iri iku ora keno kok andelaken. Tegese ojo niqodake siro setuhune ngamal iro iku dadi manjengake marang suwargo lan nyelametake neroko iku ora....22
Mengapa konsep tauhid dikatakan sebagai pandangan wasthiyah? Itu karena tauhid berarti monotheisme (paham mengakui Tuhan yang Esa). Ini berarti sikap moderasi (wasathiyah) antara paham atheisme (paham anti Tuhan) dan polytheisme (paham yang menyembah banyak Tuhan). Maka, konsep trinitas jelas ditolak dalam Alquran (Q.S.
al-konsep ketuhanan yang mengakui adanya banyak tuhan dinilai sebagai
ghuluw (berlebihan, tidak
wasathiyah ). Sedangkan konsep tauhid itulah yang dinilai sangat rasional dalam berteologi dan sekaligus cerminan sikap wasathiyah .
Itu sebabnya, pesan pokok Alquran yang pertama adalah menanamkan akidah tauhid kepada manusia, terutama waktu di Makkah selama kurang lebih 13 tahun . Ini karena ketika Alquran turun, masyarakat Arab Jahiliah saat itu umumnya menganut paham polytheisme-paganisme, yakni menyembah berhala-berhala yang banyak (Q.S.
al-perintah pertama (bacalah, amatilah dan telitilah), maka Alquran dengan tegas kemudian mendeklarasikan bahwa Allah itu Esa, Dia tempat bergantung satu-satunya, tidak melahirkan, sebab yang melahirkan hanya ibu, sedang Allah bukan ibu, Allah Swt tidak pula dilahirkan, sebab yang dilahirkan hanya anak (bayi), sedangkan Allah bukan anak (Q.S.al-Ikhlâsh: 1-5 ).
21KH Shaleh Darat, - -Kafiyah lil Awamm (Semarang:
Karya Toha Putra, n.d.).
22KH Shaleh Darat, Terjemah Matan al-Hikam (Semarang: Karya Toha Putra,
Sikapwasathiyah dalam berteologi meniscayakan hanya Allah semata yang layak untuk menjadi Tuhan, yang hanya kepada-Nya kita menyembah, hanya kepadaNya kita memohon pertolongan. Sedang manusia, setinggi apapun derajat spiritualnya dan sehebat apapun inteletualitasnya, tetap saja ia manusia. Ia tidak boleh dipertuhankan. Itu sebabnya, Nabi Muhammad Saw, dalam pandangan Islam, meski beliau diyakni sebagai orang yang paling mulia, orang yang paling tinggi derajat spiritualitasnya, tidak pernah diklaim sebagai Tuhan. Bahkan Alquran menegaskan,
(Muhammad) hanyalah seorang basyar manusia (sebagaimana kalian), hanya bedanya saya (Muhammad) ini diberi wahyu... (Q.S al-Kahfi: 110). Nabi Muhammad Saw, tetap kita hormati, kita puji, namun pujiannya juga tidak sampai merubah status beliau dari basyar (manusia) menjadi ilâh (Tuhan). Inilah kekuatan konsep tauhid dalam Islam, bahwa Nabi Muhammad yang membawa ajaran agama Islam, tetap berposisi sebagai manusia. Beliau itu memang manusia, tetapi tidak seperti umumnya manusia (basyar walaisa kal basyar).
Umat Islam diperintahkan untuk menghormatinya, tapi bukan untuk menyembahnya, maka tidak wajar jika kita memanggil hanya dengan nama ucapan, Sayyidina Muhammad atau Nabiyyina Muhammad dan sebagainya. Sebab Allah Swt sendiri memberi contoh dengan tidak pernah menyebutnya dengan namanya langsung, melainkan dengan gelarnya, yâ ayyuhan nabiy
(Q.S Anfal 64-65, dan 70, Taubah: 73, Ahzab: 1, 28, 45, 50, 59, al-Mumtahanah: 12, al-Thalaq: 1, al-Tahrim: 1 dan 9), atau yâ ayyuharrasûl.
(QS Al-Maidah 41 dan 67 ).
2.Wasathiyah dalam Relasi Wahyu dan Akal
Padangan wasathiyah juga ditunjukkan oleh KH Shaleh Darat dalam hal relasi akal dan wahyu. Akal (baca ijithad) tetap difungsikan untuk memahami Alquran (wahyu). Sebagai konsekuensi dari pentingnya menafsirkan Alquran, beliau disamping menggunakan riwayat, beliau juga kaedah-kaedah tafsir dan logika qiyas dalam menafsirkan Alquran. Beliau juga merupakan salah seorang kiai yang mencoba menafsirkan Alquran dengan bahasa Jawa, sehingga Alquran dapat dipahami dangan nalar masyarakat Jawa, sebab penggunaan bahasa Jawa, bukan sekadar sebagai alat komunikasi, melainkan juga epistem (cara berpikir).
Relasi antara wahyu dan akal dalam konteks ini idealya bersifat fungsional, tidak lagi semata-mata struktural. Sebab hubungan struktural dinilai akan mensubordinasi yang dibawah dan menggambarkan supremasi pada struktur atas. Padahal dialog waktu dan realitas tidak akan terjadi jika
salah satunya mensubordinasi yang lainnya. Dengan kata lain, hubungan struktural antara wahyu dan akal akan membawa kesulitan bagi munculnya dinamika fungsional keduanya, untuk melahirkan ide-ide kreatif-inpsiratif dalam menghadapi berbagai masalah aktual yang dihadapi manusia. Hal ini berbeda ketika wahyu dan akal dipandang secara fungsional. Sebab jika akal tidak berfungsi secara kreatif untuk memaknai Alquran, maka Alquran tidak bisa diaktualkan.
Hal ini tampaknya akan menjadi sintesa kreatif terhadap polemik yang
pernah ah yang
keduanya saling berseteru karena sama-sama melihat hubungan wahyu dan
wahyu di atas akal. Hubungan wahyu dan akal yang bersifat fungsional hemat penulis memang akan mengantarkan dialektika yang lebih dinamis dan kreatif dalam membaca teks kitab Suci Alquran. Pembacaan dan penafsiran Alquran itu bisa bersifat min al-nash-sh ila al-wâqi, wa min al- â al-nâsh, yakni dari teks ke realitas dan juga dari realitas ke teks).
Penulis sendiri melihat bahwa pemikiran tentang wasathiyah dalam konteks relasi akal dan wahyu (Alquran) dalam konteks penafsiran Alquran dapat dilihat dalam paradigma fungsional sebagai berikut:
PARADIGMA FUNGSIONAL Teks /Wahyu
Akal Realitas ( )
Hal ini berbeda dengan model paradigma tafsir klasik-tradisional pada umumnya yang cenderung bersifat structuraldalam memosisikan teks kitab suci. Sebagai perbandingan, maka hubungan teks, akal dan konteks dalam paradigma tafsir klasik-tradisional dapat digambarkan sebagai berikut:
PARADIGMA STRUKTURAL Teks /wahyu
Akal Realitas (waqâ`i)
Paradigma struktural cenderung bersifat deduktif, berbeda dengan paradigma fungsional yang cenderung dialektik yang mengasumsikan bahwa sebuah penafsiran harus terus-menerus dilakukandan tidak pernah mengenal titik final.23
3.Wasathiyah dalam relasi Syariah dan Hakikat
Pemikiran wasathiyah KH Sholeh Darat juga dapat dilacak dalam konteks relasi
saling terkait tidak dapat dipisah-pisahkan.Syariat dipahami sebagai aturan-aturan Allah Swt yang bersifat lahir dan formal, seperti perintah melakukan shalat, puasa, zakat dan haji, sebagaimana yang diajarkan dalam kitab-kitab fikih. Orang yang mengingkari
dapat dinilai kufur. KH Sholeh Darat dengan tegas menyatakan
Lan Kufur malih wongkang ngucap ngamal sholat, zakat lan
puwoso, haji, moco iku ora ono faedahe. Ingkang den
wilang-wilang iku ngamal ati lan ngamal sirr. Lan kufur maleh wongkang ngucap gugur taklif (beban syariah), sebab wus wushul maring Allah , utowo ngucap tatkalane zhahir rububiah moko ilang `ubudiah, utowo ngucap wus salin ingsun kelawan sifate Haq...
Kalau ada ucapan dari sebagian para salik di kalangan wali yang
tetapi yang dimaksud secara ilmu hakikat adalah bahwa jangan sekali sekali anda merasa punya amal shalat dan jangan pula sekali sekali merasa bahwa gerakan kamu dengan shalat itu dari mu semata, melainkan sesungguhnya itu dengan Allah Rabb al-Alamin. Orang Islam wajib melaksanakan sholat sebelum sholat danpuasa sebelum puasa.Itu maknanya secara syariah adalah bahwa seorang muslim itu harus punya azam
menyengaja akan melakukan shalat sebelum waktu shalat tiba, dan begitu waktu shalat tiba, maka ia harus segera melaksanakan shalat secara syariat, sebagaimana yang diajarkan dalam kitab-kitab fikih.
4.Wasathiyah Bidang Pemikiran Tafsir
Setidaknya pemikiran KH Sholeh di bidang penafsiran terlihat terhadap ayat-ayat Mutasyabihat. Hal ini sebagaimana disebut dalam Tarjamah Sabil al-`Abid ala Ajuhar al-Tauhid hlm 129-30 Pemikiran moderasi Islam Kiai Sholeh Darat dapat dilacak dari sikap beliau terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Dengan mengutip karya Syeikh Ibrahim al-Laqqani:
Wa kullu nash-sh awhama al-tasybiha ** Awwil aw fawwidl warum tanziha.24
Setiap nash (ayat-ayat Al-Quran atau hadis)yang memberi kesan tasybih (bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya) maka hendaklah ditakwilkan. Sebab Allah Swt itu mustahil menyerupai dengan makhluk-Nya, maka berilah takwil. Artinya berikan makna yang patut yang layak untuknya. Itulah pendapat yang diikuti ulama khalaf. Ulama khalaf menurut KH Sholeh Darat ,yaitu setelah 500 tahun Hijriah. Atau bersikap tafwidl menyerahkan pengertian ayat sesuai dengan zhahirnya ayat. Inilah pendapat ulama salaf, Ulama yaitu generasi Shahabat, ta in dan ).
Dengan melihat proses transmisi keilmuan di atas, tampak bahwa KH Shaleh Darat memang menekuni ilmu fikih sekaligus ilmu melalui kitab Tuhfat al-Thullâb: Syarah Tahri dan Fath al-Wahhâb: Syarah Minhajul Thullâb. karya Syeikh Abu Yahya Zakariyya al-Anshari (w. 925 H) dan tasawuf sunni melalui kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
kitab al-Hikam -Sakandari (w.707 H). Bisa
dimengerti jika karya tafsir beliau Faidl al-Rahmân yang bernuansa tafsir shûfi isyâri banyak diilhami oleh kitab-kitab sufi tersebut; sebuah sintesa kreatif telah dilakukan KH Sholeh Darat dalam meretas kebuntuan dominasi epistemologi bayani yang terlalu rigid dalam memahami teks Alquran.
Selain itu, sikap moderasi (wasathiyah) KH Sholeh dapat dilihat dalam kemampuan menjelaskan makna zahir dan makan isyari dalam menafsirkan Alquran. Asumsinya, bahwa sebuah teks itu terdiri dua aspek, yaitu yaitu lafadz dan . Tidak ada lafadz tanpa makna, tidak ada makna yang tidak di bingkai dengan lafadz. Ia persis seperti
wadah dan isinya. Namun, bagi kaum sufi menafsirkan Alquran yang hanya terpaku pada relasi kata dan makna --sebagaimana dalam nalar
bayâni.25tidak cukup, karena nalar bayâni hanya menekankan pada
penggalian makna zhahir dengan menggunakan analisis struktur linguistik. Sementara dalam nalar sufistik, makna itu sendiri setidaknya terbagi dua kategori, yaitu makna zhahir (exoteric meaning) dan makna batin (esoteric meaning) di mana relasi antara keduanya, seperti relasi ruh dan tubuh. Dengan ruh, tubuh akan hidup, sebaliknya tanpa ruh, tubuh akan mati. Maka, dengan nalar seperti
menjadi lebih kaya dan lebih dalam.
Nalar sufistik, terutama pada tafsir shûfi isyâri berusaha menelisik dimensi lapis makna yang lebih dalam, dan tidak sekedar makna zhahir. Hal itu ditempuh melalui pengembaraan spiritual (riyadlah ruhiyah), sehingga memperoleh kasyf dan dapat menangkap
isyarât khâfiyah (isyarat yang samar) dari teks ayat yang ditafsirkan. Akan tetapi, makna isyari tersebut tidak boleh bertentanngan dengan makna zhahir.Seseorang penafsir yang baru menangkap dimensi makna zhahir, diibaratkan seperti orang yang baru memperoleh isi buah kelapa. Padahal di balik isi buah kelapa terdapat santan, yang menjadi dimensi terdalam dari buah kelapa itu sendiri. Memang, tidak semua pengkaji al-Quran setuju terhadap model nalar tafsir shufi. Muhammad al-Ghazali misalnya, pemikir Muslim kontemporer Mesir menganggap bahwa metode tafsir sufistik hanya berpegang pada apa yang terlintas di hati kaum shufi, jauh dari
kaedah-dan bahasa ( tamadat `ala khattharât al-
-26
Pandangan tersebut, menurut hemat penulis tidak sepenuhnya tepat, sebab sebenanya dalam tafsir sufi ada dua macam model. Beliau tidak memilah antara model nalar shûfi bâthini yang hanya terpaku pada makna batin dan shûfi isyâri yang tetap masih memperhatikan makna zhahir terlebih dahulu, baru kemudian masuk ke dalam upaya menangkap makna isyari. Nalar shufi isyâri menurut hemat penulis merupakan bentuk sikap moderat (tawassuth), sebab masih memperhatikan relasi semantis antara makna-makna isyari dengan makna zhahir. Nalar tafsir shûfi isyâri juga tetap
25 -Jabiri, Bun-yah `Aql al-`Arabi: Dirâsah Tahliliyah
Naqdiyah l Nuzhum al- (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabi, 1991).
26Muhammad Al-Ghazali, -Qur (Mesir: Nahdlah Misr,
dalam contoh-contoh tafsir shufi isyari, baik yang pernah muncul pada generasi awal para sahabat, para mufassir shufi, maupun yang ada pada contoh tafsir yang dijelaskan dalam karya Kiai Sholeh Darat al-Samarani.
5.Relasi Alquran dan Budaya.
Indonesia adalah masyarakat yang kaya berbagai kultur dan budaya .Nilai-nilai universal ajaran Islam: Shalih li kulli zaman wa makan. (compatible) dengan untuk setiap waktu dan tempat. Harus penulis katakan bahwa Islam is not culture, but Islam can not be executed without culture. Nah, pandangan wasathiyah KH Shaleh Darat terkait dengan hubungan Alquran dan budaya dapat dilihat dalam kitab al-Mursyid al-Wajiz fi Ilmil al-Aziz. Ada beberapa poin pertama terkait pentingnya melakukan transmisi pengetahuan Islam, termasuk tafsir dan ilmu tafsir menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal di mana KH Shaleh Darat berinteraksi dengan komunitas masyarakat Jawa.Itu sebabnya beliau menyusun kitab bahasa Jawa supaya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Jawa. Menurutnya, kemanfaatan sebuah ilmu bukan diukur dengan bahasa Arab, melainkan ilmu yang dapat mengantarkan kedekatan dengan Allah Swt.
Kerono hashile ilmu ingkang dadi sebab al-qurbah ila allah lan dadi sebabe olehe ridlane Allah Swt iku ora syarat kudu kalam Arab. 27
Untuk bisa memperoleh ilmu yang menjadi sebab kedekatan kapada Allah dan menjadi sebab memperoleh ridla Allah itu tidak harus dengan bahasa Arab.Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh KH Shaleh Darat. Penyebaran ilmu itu harus memperhatikan pesertanya, jika pesertanya orang Jawa maka sebaiknya bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Para rasul diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya sesuai dengan bahasa kaumnya. Allah Swt berfirman: wa mâ arsalnâ min rasûlin Illâ bilisani qaumih... (QS. Ibrahim: 4).
Keberanian menerjemahkan dan menafsirkan Alquran dengan bahasa Jawa dan tulisan arab-pegon yang dilakukan oleh KH Sholah Darat adalah mencerminkan sebuah kreatifitas dan kearifan lokal. Dalam bahasa A.H. John, KH Shaleh Darat telah melakukan Secara historis Tafsir Faidl Rahman juga merupakan tafsir pertama kali di
Jawa pada akhir abad 19 M28 yang ditulis dengan huruf Arab
Pegon.29Penulisan tafsir lokal dengan menggunakan bahasa Jawa dan
huruf Arab Pegon tergolong unik di tengah-tengah para ulama di Jawa ketika itu umumnya menulis kitab-kitab agama menggunakan bahasa Arab. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa KH Sholeh Darat sebenarnya telah melakukan transmisi dan tranformasi pengetahuan yang menurut istilah A.H. John hal itu dapat disebut sebagai vernakularisasi Alquran dalam konteks masyarakat Jawa.30 Selain itu,
penggunaan bahasa Jawa dan tulisan Arab pegon menunjukkan kearifan lokal KH Sholeh Darat, sebab bahasa sesungguhnya bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga merupakan cara berpikir sekaligus sarana bagi seorang mufasir untuk menuangkan ide-idenya dan melestarikan budaya tertentu.31Bahkan di balik penggunaan
bahasa Jawa dan tulisan Arab pegon tersebut terkandung pesan
ideology
hendak menerapkan politik etis untuk kepentingan birokrasi, Belanda menganjurkan masyarakat Indonesia, agar menggunakan bahasa Belanda dan huruf latin dalam surat-menyurat dan tulis-menulis.32
28 Tafsir Faidl al-Rahman
2012. Memang sebenarnya sejak kedatangan Islam di Jawa memang sudah ada resepsi hermeneutis atas Alquran. Ini ditandai dengan temuan makhtuthât (manuskrip) Tafsir Sunan Bonang, abad 14 M yang dinisbatkan kepada Sunan Bonang tersimpan di museum Masjid Demak Jawa Tengah. Replika manuskrip tersebut ada di tangan penulis, yang berisi Tafsir Jalâlain mulai surat al-Fatihah sampai Surat al-Kahfidenganterjemah gandul bahasa Jawa. Data tersebut memberi isyarat bahwa sudah ada tradisi pengajaran tafsir Alquran abad ke 14 M dalam proses transmisi pengetahuan Islam di Jawa dengan meresepsi kitab Tafsir Jalâlain karya Imam al-Mahalli dan Imam al-Suyuthi.
29Arab pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa
Jawa pegon pégo yang berarti menyimpang, sebab
bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim. Penggunaan Arab pegon sebenarnya bukan hanya untuk menuliskan bahasa Jawa, tetapi juga untuk menuliskan bahasa-bahasa lokal lainnya, seperti Sunda, Melayu dan Madura. Lihat Muhamad Irfan Shofwani, Mengenal Tulisan Melayu (Yogyakarta: BKPBM, 2015). Contohnya dapat dilihat dalam sebagian kutipan pada paper ini yang penulis ambil dari Tafsir Faidl al-Rahman.
30Vernakularisasi adalah upaya membahasakan Alquran yang berbahasa Arab
ke dalam bahasa lokal, seperti Jawa, Sunda Bugis dan lain sebagainya. Lihat Farid Alquran di Indon Jurnal Studi Alquran 1, no. 3 (2006).
31Karl Buhler, Theory of Language: The Representational Function of
Language, trans. oleh Donald Fraser (Amsterdam: John Benjamens Publishing, 2011).
32Sejak permulaan abad 20 M bahasa Belanda semakin menyebar melalui
pengembangan sistem pendidikan kolonial, ketika itu setelah 40 tahun dilakukan politik etnis baru sekitar 40 persen bangsa Indonesia mampu membaca abjad latin.
Penutup
Kiai Sholeh Darat telah memberikan sumbangan pemikiran Islam wasathiyah yang sangat signifikan dalam konteks Islam Nusantara-Indonesia, baik di bidang Teologi/Kalam, Fikih, Tasawuf maupun Pemikiran Tafsir. Yang menarik adalah bahwa pemikiran beliau bukan hanya diceramahkan melalui pengajian-pengajian, melainkan juga ditulis dalam bentuk karya kitab, baik yang saduran maupun terjemahan dengan menggunakan Bahasa Jawan tulisan Arab-Pegon. Model pemikiran dan keberislaman ala KH Shaleh yang moderat, kontekstual, dengan tetap memiliki jiwa nationalisme yang tinggi, tentu sangat penting untuk dikembangkan oleh generasi Islam dewasa ini dalam konteks keindoensia-an. Sehingga, fenomena radikalisasi agama setidaknya mendapatkan perlawanan secara epistemik yang hal ini tentu sangat penting dilakukan. Sebab dengan merubah epistem (cara berpikir) dari yang radikal ke yang moderat diharapkan perilaku umat Islam Indonesia juga akan lebih moderat dan toleransi serta tetap mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin.
Daftar Pustaka
Al-Amidi, Saifuddin. Al-Ihkam. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Ghazali, Muhammad. - . Mesir: Nahdlah
Misr, 2010.
Al- Bun-yah `Aql al-`Arabi: Dirâsah Tahliliyah
Naqdiyah l Nuzhum al- . Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-`Arabi, 1991.
Al-Liqani, Syaikh Ibrahim. Tarjamah sabil al- -Tauhid. Diterjemahkan oleh Muhammad Salih ibn Samarani, n.d.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fil Fikih al- Alquran
wa Sunnah. Mesir: Maktabah Wahbah, 2005.
Al-Senori, Syeikh Abul Fadl bin Abdur Syakur. al-Kawâkib al- . Semarang: Krrya Tahah Putra, n.d.
Baso, Ahmad. Islam Nusantara. 1 ed. Jakarta: Pustaka Afid, 2015.
Beger, Peter, dan Thomas Luckmann. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Doubleday, 1966. Buhler, Karl. Theory of Language: The Representational Function of
Language. Diterjemahkan oleh Donald Fraser. Amsterdam: John Benjamens Publishing, 2011.
Darat, KH Shaleh. - -Kafiyah lil Awamm. Semarang:
Sementara itu, sejak abad 17 M, tulisan dan bahasa arab telah banyak dipakai sebagai jembatan komunikasi dengan kebudayaan luar negeri. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3S, 1994).
Karya Toha Putra, n.d.
. Tarjmah Sabil al-`Abid ala Jauharat al-Tauhid. Cirebon: Al-Misriah, 1896.
. Terjemah Matan al-Hikam. Semarang: Karya Toha Putra, n.d.
Dzahir, Abu Malikus Salih. Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang. Semarang: Panitia Khaul Kyai Sholeh Darat Semarang, 2012.
Gusmian, Islah. Dinamika Tafsir al- -20 M.
Surakarta: FUD Press, 2015.
Imarah, Muhammad. Tayyarat al-Fikr al-Islami. Mesir: dar al-syuruq, 2018. Jahya, Ahmad Zurkani. Teologi al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Mesir: Dar al-Ilm, 1978.
Munir, Ghazali. Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-Samarani. Semarang: Walisongo Press, 2002. Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, n.d. Naufal, Abdurrazzaq. al-Ijaz al- -Karim. Beirut: Dar al-Kitub
al-Arabi, 1987.
Tafsir Alquran Jurnal Studi Alquran 1, no. 3 (2006).
Shofwani, Muhamad Irfan. Mengenal Tulisan Melayu. Yogyakarta: BKPBM, 2015.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3S, 1994. Subki, Tajuddin al-. Thabaqat al-Syafiiyyah al-Kubra. 5 ed. Mesir: al-Babil
Halabi, 1964.
Thahir, A Halil. Ijtihad Maqashidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta: LKiS, 2015.
Wijaya, Aksin. Dari Membela Tuhan ke Memebela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan. Bandung: Mizan, 2018.
-INTERNATIONAL PESANTREN BASED ON ISLAMIC MODERATION: A CASE STUDY OF
THE PESANTREN SULAIMANIYAH TURKI Ade Gunawan
Santri of Pondok Pesantren Sulaimaniyah Jakarta adegunnn@gmail.com
Abstract
Religious moderation must begin in the field of education, namely Islamic Education. Religious moderation will work well if there is a good system in the field of education. Moreover in the curriculum of an education that is directly related to implementing the subject matter in real action, in this case I discuss the hidden curriculum. This study aims to First, Knowing how to Islamic Moderation through the hidden curriculum of Trans-International Pesantren (Pondok Pesantren Sulaimaniyah Turki), Secondly, expressing the moderation values contained in the pesantren's hidden curriculum and offering an Islamic moderation-based education model in pesantren with an education management approach . Third, models of Islamic Education comprehensively in the Trans-International pesantren by developing a hidden curriculum development with a field study approach. The method used is a qualitative research method by collecting data through field observations, documentation, literature studies, and interviews. This study concludes that the Religious Moderation through the hidden curriculum of the Trans-International Pesantren (Pondok Pesantren Sulaimaniyah Turki) refers to the moderating values contained in the pesantren's hidden curriculum which focuses on the study of the Qur'an with the slogan "Mewarnai Dunia dengan ers to the model of Islamic education in the last period of the glory of Islam, namely Turki Utsmani, which was assembled very conceptually starting from the book Alif Juzu, a book directly written by the founder of this pesantren, Syeikh Sulaiman Hilmi Tunahan, to other books, which is applied from the class of the Qur'an , Izhari,
, to Takamul or refinement
Keywords: Hidden Curriculum, Islamic Moderation, Pondok Pesantren Sulaimaniyah Turki
INTRODUCTION
Understanding of Islamic moderation is a good idea if it starts first through the field of education, namely education that teaches Islamic moderation. Likewise, the importance of the education curriculum is directly related to the implementation of subject matter in real action.1
According to National Education System Law No.20 of 2003, Education is a conscious and planned effort to realize learning facilities and learning processes so that students actively develop their potential to have religious spiritual strength, self-control, personality, intelligence, morality, and the skills needed by themselves, society, nation and country.2
Through education, someone will get a lot of experience. Education does not only occur in schools, anywhere education can also be obtained. But, when talking about education, surely what is in mind is education in school. Talking about education, of course, can not be separated from how the results or output of the education. One element of education that plays a role in determining the quality of graduates is the curriculum.
The curriculum is an important component in education.3 According to
Beaucham quoted by Muhammad Nurhalim, the curriculum is written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school.4
The curriculum is a written plan about the abilities that must be possessed based on national standards, material that needs to be learned and learning experiences that must be undertaken to achieve these abilities, and evaluations that need to be done to determine the level of student achievement abilities, as well as a set of rules relating to participants' learning experiences. learners in developing their potential in certain education units.5
An educational institution, including pesantren, certainly has a curriculum in its teaching and learning process. He hopes that his students will be faithful and fearful people with competitive and comparative advantages. They are expected to have a balance between physical and
1Mohammad Takdir, Modernisasi Kurikulum Pesantren (Ircisod, Yogyakarta,
2018).
2Veithzal Rival Zainal and Fauzi Bahar, Islamic Education Management,
Cetakan Pertama (Rajawali Pers, Jakarta, 2013),80.
3 Sistem Pendidikan Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purw Jurnal Kependidikan,
Vol. 1 No. 1 (November, 2013):123-149.
4 Kurikulum Aktual dan Kurikulum
Tersembunyi dalam Insania, Vol. 19, No. 1 (Januari Juni, 2014):
115-132.
5Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan kurikulum (Bandung:PT Remaja
spiritual strength and high sensitivity or in other words, it is expected that they will be cognitively intelligent students who must also have an adult attitude in society, especially in addressing differences in religion, always trying to be a true human being but not easy to blame others. In order to achieve this goal, some pesantren create curriculum that is not owned by pesantren in general, more precisely Hidden Curriculum, which is an additional curriculum that is not contained in the formal curriculum, whose existence is an extension of the curriculum contained in the formal curriculum. It is expected that with the implementation of the Hidden Curriculum in Education regarding Islamic Moderation which which emphasizes students to their social attitudes towards the surrounding environment by maintaining an attitude of mutual tolerance towards differences in race, religion, school or the other which is a furuiyyah attitude. Thus, it is hoped that students who are of good morality can be realized and always include tolerant attitudes in their actions.
Research Methodology
This research includes qualitative research. Data collected from interview scripts, personal documents, memo notes, field notes and other official documents. The purpose of this study is to describe the empirical reality behind the phenomenon in depth, detail and complete. Sources of data from this study come from primary data and secondary data. Primary data uses data in the form of observations, interviews and questionnaires to obtain direct information about the Hidden Curriculum Model 'of Trans-International Pesantren based on Islamic Moderation. Secondary data used to strengthen the findings and supplement the information collected through direct interviews with the pesantren came from reading sources and various other sources consisting of books, journals and official documents from various agencies. In addition, attachments from official bodies such as ministry data, results of studies, theses, dissertations, historical studies and so forth.
Data collection techniques used in the form of direct observation, interviews, documentation and data analysis. This observation is used for research that has been planned systematically on the Hidden Curriculum Model 'of Trans-International Pesantren based on Islamic Moderation. Next is the interview that was asked directly to residents (Ustadz, Santri, Abi and the surrounding community) at the pesantren. Then the author's written record documents from the results of observations, photographs and recordings of activities and supporting facilities and infrastructure at the Islamic Boarding School. Data analysis that is done after using the data collection technique
above is processing and analyzing the data using descriptive-qualitative analysis.
Profil of Pondok Pesantren Trans-Internasional Sulaimaniyah Turkey The history of the Pondok Pesantren Trans-International Sulaimaniyah Turkey located in East Jakarta originated from the establishment of the Tahfidz Institute UICCI (United Islamic Cultural Center of Indonesia) on March 24, 2005 by Turkish and Indonesian volunteers engaged in social and education, to provide scholarships to students Tahfidz schools, students and students in the form of complete facilities, and religious and language education (Arabic, Turkish and English) for free with funds donated from good Muslim communities throughout the world, especially in Turkey and Europe. In addition to Indonesia, Turkey's Trans-International Sulaimaniyah Islamic Boarding School has thousands of branches in various countries in Europe, Australia, Africa, Asia and America based in Istanbul, Turkey.
The name Sulaimaniyah was taken from the name of the founder of this boarding school, Syekh Sulaiman Hilmi Tunahan, who fought for the Qur'an in the period of secularism in Turkey. The presence of the Pondok Pesantren Trans-International Sulaimaniyah Turkey is expected to give birth to generations of Qur'ani who are noble and virtuous at the same time can internalize Islamic values in everyday life so as to be able to introduce washatiyyah or moderate Islamic models, able to respond to differences between races , tribes, schools and others throughout the world.6
The Turki Utsmani method which is the method of memorizing the Koran at the Trans-International Sulaimaniyah Islamic Boarding School in Turkey is very efficient. At the same time, through active collaboration with the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia since 2010, the Pondok Pesantren Trans-International Sulaimaniyah Turkey has printed hundreds of Qur'anic memorizers and provided scholarships to students to continue their studies in Turkey.
Uniquely, at the Trans-International Sulaimaniyah Islamic Boarding School located in East Jakarta, it has been very mature in responding to differences, once upon a time, Indonesian students who practiced Shafi'i teachings of the Qur'an by Ağabey (a term for teaching staff) come from Turkey, also with Ağabey Maliki who came from Germany. This implies that
6Interview with Mukrim Abi, Teacher, Daily Routines of Pondok Pesantren
the difference between race, ethnicity, school and others is not difficult to address Islamic moderation.
Education Curriculuum Tahfidz and Tadris Santri Levels
The Education Curriculum held at Turkey's Trans-International Sulaimaniyah Islamic Boarding School spread throughout the world has the same educational curriculum as the one in its central branch in Turkey. The education system is divided into two. The first was the time when the students were in Indonesia and the second time when the students were in Turkey. Among these levels are the Tahfidz Program and the Tadris Program. The
tadris program is divided into several branches including; , Izhari, Takammul Throne, and Takammul level.
1. Tahfizh Program
The Tahfizh program is the initial phase of learning carried out at Turkey's Trans-International Sulaimaniyah Islamic Boarding School. This program begins with Pra Tahfizh, where students who have just entered are required to attend the pre-graduation ceremony. The material taught in this phase is that the santri are taught about the recitation of Tajweed by using their own book called Tajwid Qarabasyi. In this phase of the pre-Tahfizh crew the students will be guided by Ağabey for three months to study the science of recitation and equate the reading of the students to be the same in their pronunciation. As for those students who have passed, they can continue to the next stage, which is to start the Tahfizh program.
In this Tahfizh program, the Alquran memorizing students will memorize using the Ottoman Turkish method which is required to memorize the Qur'an from the final page of each juz, starting from juz one to the last juz, thirty juz. Every single page in the same order from each juz one to the last juz is thirty juz called one round, so if the santri has completed twenty rounds of deposit then the santri is declared to have finished memorizing the Qur'an. Furthermore, the mentor or Muhaffidz will test the memorization of students who have completed every five rounds of rounds. Then at the next stage of the tahfizh level, the next step is Hatim / which is also called khatmil quran. There are two stages, the first is Ottoman Utopia and Hatim Kubro. After carrying out the heart of Kubri, the students can continue the next stage, the tadris program.
Tadris Program
One year time span Source : Author 2. Tadris Program
The tadris program is a continuation of the Tahfizh program, where later in this tadris program there will be several levels, including; First, the level program, this program is for students who have just completed the tahfizh program, in this level program students will begin to be given Islamic material, but there are still one day deposit obligations as much as one juz. Second, the Izhari Program. This program is a program that students get usually for students who have just arrived in Turkey. Third, the Takammul Throne Program. After the students graduate on the izhari program, the students will be placed on the takammul throne program. And finally the fourth, students will be in the Takammul program, students will study in Turkey in the past years before being assigned to serve in various regions in Indonesia and in various countries that have established the Pondok Pesantren Trans-International Sulaimaniyah Turkey. This last program is a combat program, related to morals, knowledge, and understanding of Islamic moderation. Pre Tahfizh Kitab of Tajwid Qarabasyi Tahfizh Turki Utsmani Method Khatmil Hatim Utsmani and Kubro
Source : Author
The Qur'an Introduction and Understanding of Tafsir: Nasafi's Tafsir
Understanding the principles of Fiqh: Fathul Muiin and Durer - Hanafi
Understanding of ushul fiqih rules: Miratat Ushul Suluk and Sufism scholars: Mektupler Risaleri Nahwu: Molla Jami '
Deepening of Science Mantiq: Syamsiyah Ottoman Turkish Writing Rules: Rik'a Defteri Science Faraidh: Faraidh
Ulumul Hadits: Hadith Usulu Islamic Law: Qaidah Majalla Text / book translations in Turkish
Takam mul
, Introduction, Rules, Practice of Tajwid Science: Tajwid Qarabasyi
Understanding Lafadz and the Meanings of Hadith: Selected Hadith
Introduction to Tasawwuf: Ihya Ulumuddin Moral Development: Tanbihul Ghafilin
Qolbu Management: Maktubah Imam Rabbani Tahta
Takammu l
The Qur'an Introduction and Understanding of Tafsir : Jalalain Tafsir
Understanding the principles of Fiqh: Fathul Qarib and Quduri - Hanafi
Understanding of ushul fiqih rules: Talkhis Qawaid Kulliyah Nahwu Sharaf: Kaafiyah, Amtsilah, Bina and Maqsud Arabic Literature: Talkhis Al Miftah
Ilmu Mantiq: Isa Guji
Izhari
The Qur'an Introduction and Understanding of Tafsir: Jalalain Tafsir
Understanding Lafadz and Meanings of Hadith: Mukhtrul Hadith Introduction and Knowledge of Aqidah: Syahrul Amali
Introduction and Rules of Fiqh: Syafinatunnajah and Fiqh Syafi'i Introduction and Principles of Islamic Law: Manar
Islamic Date: Qishashi Anbiya
Nahwu Sharaf: Awamil, Izhar, Amtsilah, Bina and Maqsud Introduction and Rules of the Parrot Science: Alaaqah Practice Writing letters hijaiyah: Rik'a defteri
-International Pesantren Based on Islamic Moderation
The implementation of education in formal schools and Islamic boarding schools requires planning. Educational planning is arranged in a curriculum. In general, the curriculum is defined as a set of plans and arrangements regarding the content and learning materials and the methods used as guidelines for the implementation of teaching and learning activities.7
Actual curriculum is the implementation of the curriculum in the classroom.8
While the hidden curriculum becomes an implementation of the formation of scientific attitudes outside the classroom. Hidden Curriuculum has an element of accident because the hidden curriculum is accidentally present at the same time the actual curriculum is implemented.9 Discussing the formation of
character with education, the right curriculum is a hidden curriculum.
The term "Hidden Curriculum" was introduced by Philip Jackson. This type of curriculum can communicate social values implicitly through formal school policies and the informal school community.10
There are several components in the hidden curriculum. Here are the hidden curriculum components:
Figure 1. Components of the Hidden Curriculum. Source: (Kurniawan, 2018)
7
ISSN : 2548-6896.
8AdlanFauziLubis, Tesis: Hidden Curriculum danPembentukanKarakter,
(Jakarta: UIN Jakarta, 2015) :26.
9Binti Nasukah, Loc.Cit., 10
MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 23, No. 1, (Januari 2018): 1-30
From the discussion above, it can be concluded that the hidden curriculum in its implementation focuses more on habitus in educational institutions. The hidden curriculum is carried out outside of the lesson, the implementation can be as a habit in the pesantren, school rules to the behavior exemplified by the teacher / cleric. Habitus is carried out continuously during the education period so that it will form habits in individuals. In other words, habitus can shape the attitude of santri in Islamic moderation. Islamic religion is the last divine religion revealed by Allah through the Prophet Muhammad SAW, Islam is perceived to contain moderate teachings in it. It is mentioned in the Al-Quran verse that Muslims are referred to as umatan wasthan, namely moderate people who are not extreme right or extreme left11 which read:
ََ ِ
ل ٰذَكَو
َ
َُْكٰنْلَعَج
َ ةَّمُا
َ
ا ط َسَّو
َ
اْوُنْوُكَتِل
َ
َ َلَعَءاَدَه ُش
َ
َ ِساَّنلا
َ
ََن ْوُكَيَو
َ
َُلْو ُسَّرلا
َ
َُكْيَلَع
َْ
َ اَدْيِه َش
...
"Likewise, I created you as a moderate people to be a witness to humanity and that the Apostle be a witness for you all"QS. Al Baqarah:143
The Wasathiyyah has a middle way or balance between two different or opposite things, such as the balance between spirit and body, between the world and the hereafter, between individuals and society, between ideality and reality, between new and old, between 'aql and naql, between science and charity, 12between usûl and furû, between means and goals, between
optimistic and pessimistic and so on. Middle way between two different things, for example between A and B contains two senses. First, it means not A and not B, for example the Islamic concept of understanding is a middle ground between liberalism and conservativeism. This means that Islam is not conservative and not liberal. Second, it means not only A and not only B, for example Islam is between spiritual and physical. The meaning, Islam is not only taking care of problems that are spiritual or physical, but taking care of both together.
Thus, what is meant by moderation is every pattern of thinking, acting, and behaving that has the characteristics of tawassuth, tawazun, and taadul. The Wasathiyyah character is attached to Islam since this religion was born, and in this way Allah will continue to stick until the Day of Judgment.13
Planting the values of Islamic moderation carried out in the Sulaimaniyah Trans-International Pesantren in Turkey through the hidden curriculum in general has in common, namely through the process of daily
11Abu Yasid, Islam Moderat, (Jakarta:Erlangga, 2014), 7.
12Afifudin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat Kajian Metodologis
(Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018), 4-7.
activities ranging from worship to other activities that are applied in interacting in Islamic boarding schools, from a number of Islamic religious studies what is most emphasized is the material of jurisprudence which discusses the differences regarding furuiyyah
Syekh Sulaiman Hilmi Tunahan as the founder of the pesantren also taught his students to always respect others and be united, not divided. The following are the efforts made by the Sulaimaniyah Trans-International Islamic Boarding School in Turkey so that the implementation of Islamic moderation for students in Islamic boarding schools can be carried out as expected: 1) Linking the subject matter of religion in which there are various differences in the daily life of students for example how to behave with other students or even clerics who are racially, ethnically, country and even madzhab, provide an understanding which furuiyyah and not by using language that is easily accepted, become an example of daily life for students in interpreting Islamic moderation.
-International Pesantren Based On Islamic Moderation
The application of Moderation-based Hidden Curriculum in the Pondok Pesantren Trans-International Sulaimaniyah Turkey is expected to be a shield for the people santri and can facilitate changes in the attitude of the students where extremism or intolerant acts that refer to acts of violence in religion can be slightly overcome. In this day and age, children already familiar with various social media that can have an impact negative to students if they use social wrong the media. They also easily access all kinds of information what is needed, even information about everything provoking distractions and fights from the values of peaceful Islamic religious teachings, for example, to consider themselves the best, do not accept differences in furuiyyah and others. To avoid these things, hence the application of Hidden Curriculum -International Pesantren Based On Islamic Moderation so students always have high tolerance and social14 The implications are
expected from the Hidden Curriculum is: 1. Studying Fiqh 4 Madzhab
It is expected that the behavior and thoughts of students can be maintained, they become more tolerant and easy to accept differences so that what is taught is to guard against extremism.
14Interview with Mukrim Abi, Teacher, Daily Routines of Pondok Pesantren