• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media online dan media baru: Pentingnya Infrastruktur

Kotak 2. Bagaimana mengajukan ijin penyiaran?

6. Media Online: Dari zero ke hero?

6.4. Media online dan media baru: Pentingnya Infrastruktur

Infrastruktur dasar untuk semua media online adalah infrastruktur ICT yang meliputi perangkat keras, bandwidth atau frekuensi dan beberapa jenjang layanan. Infrastruktur ICT disediakan bersama oleh negara dan sektor swasta untuk memastikan jangkauan yang luas. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa infrastruktur ICT tidak tersedia secara merata.

Internet ini [seperti] take and give antara peminatnya: infrastuktur, konten, accessibility, affordability. Terkadang harganya murah di warnet, Rp 5.000 per jam tapi aksesnya lelet, [membuat] orang nggak terlalu tertarik gitu. Atau sebaliknya di daerah-daerah lain orang mau bayar berapa saja tapi barangnya ngga ada, Internetnya tidak ada. [Misalnya di] Kalimantan, Sulawesi, Papua gitu. Jadi [bisa jadi] infrastruktur jalan tapi terkadang orang yang memasang infrastukturpun juga ragu-ragu ini bakal laku atau nggak kalau nggak ada konten.(K. Hidayat, Anggota Masyarakat Telematika Indonesia, wawancara, , 13/12/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Infrastruktur untuk media online tidak tersebar secara merata. Ketika orang-orang yang tinggal di kota besar dapat mengakses Internet hampir dari mana saja, mereka yang tinggal di daerah pedesaan bahkan

99

masih mempunyai kesulitan untuk mengakses media konvensional seperti televisi, radio dan surat kabar. Kepadatan pengguna Internet di Indonesia masih di bawah rata-rata diantara negara ASEAN lainnya, dengan hanya 5,61% per 100 warga negara, di mana kebanyakan adalah konsumen Internet broadband (BPPT, 2008). Namun pada tahun 2010, Indonesia dilaporkan memiliki rasio tertinggi atas kepemilikan perlengkapan akses Internet, level yang tertinggi ada pada kepemilikan gadget dan penurunan yang paling tajam ada pada biaya jasa (termasuk paket data Internet) di Asia Tenggara; meskipun berada di tengah resesi ekonomi37.

Dengan keadaan geografis yang berbentuk kepulauan, ketersediaan infrastruktur kabel di Indonesia cukup mahal dan terbatas pada wilayah-wilayah perkotaan saja, terutama di pulau Jawa dan Bali. Konsekuensinya, meskipun jumlah koneksi Internet broadband meningkat dua kali lipat sejak tahun 2006, layanan broadband masih sangat mahal atau bahkan tidak tersedia bagi banyak warga negara lainnya (Freedom House, 2011)

Peran Pemerintah

Pemerintah membagi provider telekomunikasi menjadi tiga kategori (a) provider jaringan telekomunikasi; (b) provider jasa telekomunikasi; (c) provider telekomunikasi khusus. Pembagian ini dilakukan untuk mewujudkan lebih efektifnya kendali pemerintah pada partisipasi persaingan bisnis telekomunikasi global. Penyedia jaringan dan jasa harus mengalokasikan sumber-sumbernya untuk Universal Service Obligation (USO) atau Kewajiban Pelayanan Universal (KPU). Dengan KPU, penyedia jasa dan jaringan berkewajiban, sebagai bagian dari tanggung jawabnya, untuk menyediakan akses telekomunikasi bagi warga negara, khususnya warga negara di daerah terpencil, daerah kurang berkembang dan daerah miskin. Selanjutnya, ijin pemerintah juga dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur Internet dan membuka warung Internet.

Beberapa analis telah mengaitkan buruknya infrastruktur di banyak negara dengan regulasi yang tidak efektif dan kebijakan pemerintah yang terlalu ketat (Freedom House, 2011). Namun, menurut catatan APJII, jumlah ijin ISP yang dikeluarkan oleh Ditjen Postel Depkominfo telah meningkat sejak tahun 2000. 139 172 180 190 228 232 271 298 5 6 8 22 36 36 41 44 18 24 24 24 24 24 25 25 0 50 100 150 200 250 300 350 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 ISP NAP Multimedia 37

Artikel selengkapnya dapat diunduh dari

100

Gambar 6.4 Jumlah ijin yang diberikan di Indonesia (akumulatif): 2000-2007

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo, 2011)

Gambar 6.4. menunjukkan peningkatan signifikan jumlah ijin yang diberikan untuk ISP meskipun perkembangan NAP dan Multimedia tidak secepat ISP. Namun, tidak semua lisensi ISP yang diberikan oleh Kementrian Kominfo digunakan untuk ISP yang aktif saja. Beberapa digunakan untuk menjalankan bisnis berbasis-Internet lain seperti Penyedia Konten Internet, web-hosting, e-commerce dan Voice Over Internet Protocol (VoIP). Kotak 7 menjelaskan proses untuk mendapatkan ijin ISP.

Kotak 7. Proses mendapatkan ijin ISP di Indonesia

Pertama, pemohon mengirimkan permohonan kepada Kementrian Kominfo, dengan tembusan kepada Ditjen Postel. Dokumen yang perlu dilampirkan pada saat pengajuan adalah:

a. Akta pendirian perusahaan b. Nomor Pokok Wajib Pajak c. Profil Perusahaan

d. Rencana Bisnis Perusahaan e. Inventarisasi perlengkapan teknis f. Detil investasi

Semua persyaratan harus dilengkapi dalam 14 hari.

Kemudian, pemohon melakukan presentasi mengenai business plan mereka di Biro Postel. Pemohon yang lulus pada tahap ini dapat memperoleht Ijin Prinsip selama maksimal 1 tahun. Ijin Prinsip ini bisa diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 6 bulan. Dengan Ijin Prinsip, pemohon bisa mulai melakukan instalasi peralatan teknis dan menguji operasional penyediaannya. Pemohon kemudian mengajukan permohonan uji operasi ke Ditjen Postel. Hasil Uji operasi ada tiga kategori: (a) gagal, (b) berhasil, atau (c) perlu kajian infrastruktur. Pemohon yang berhasil dalam Uji Operasi kemudian diberikan ijin ISP, sementara yang perlu kajian diberi waktu 30 hari untuk memperbaiki infrastrukturnya dan mengajukan permohonan uji operasi lagi.

101

Menurut IDSIRTII, pada tahun 2009 terdapat 178 ISP, 39 NAP (turun dari jumlah pada tahun 2007 menurut data Ditjen Postel) dan 27 VoIP. Jumlah Point of Presence (POP) ISP sudah mencapai 1.707 dan ini tersebar ke seluruh Indonesia (Manggalanny, 2011). Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2009, jumlah ijin yang diberikan kepada penyedia jasa telekomuniasi (termasuk layanan jasa telepon, layanan seluler, layanan Internet dan penyedia akses jaringan) meningkat 7,69% dari tahun 2008 (BPS, 2010).

Proses untuk mendapatkan lisensi ISP ini tidak dipungut biaya, dan setelah pemohon diberikan lisensi yang sah, mereka wajib membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) kepada Ditjen Postel sebesar 1% dari pendapatan kotornya. Biaya ini dibayarkan oleh para penyedia untuk membiayai kegiatan-kegiatan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan Internet dan industri multimedia. Penelitian lebih dalam akan mengungkap bahwa jumlah lisensi yang diberikan untuk ISP dan penyedia jasa lainnya tidak menjamin ketersediaan infrastruktur Internet di seluruh Indonesia. Bahkan, infrastruktur ini masih terkonsentrasi secara tidak merata di kota-kota besar di Jawa – Bali serta sebagian dari Sumatra (Kominfo, 2010; 2011; Manggalany, 2010). Masih sulit bagi masyarakat yang tinggal di luar Jawa dan Bali untuk mengakses Internet. Tampaknya, pemerintah tidak menempatkan infrastruktur Internet sebagai suatu hal yang penting untuk dibangun.

Infrastruktur kan persoalannya antara chicken and the egg ya. Kan orang berbisnis mau masang infrastruktur takut kalau nggak laku. Demandnya itu kalau dalam bahasa bisnis …hidden, hidden demand. Karena dia tidak tahu gitu. Kalau kita ke daerah mau ditanya [penduduk lokalnya]: anda butuh Internet? Lah tanpa ada Internet juga kehidupan saya berjalan kan gitu. Tapi begitu ada Internet … ya sama saja dengan kita-kita semua dulu sebelum jaman Internet. Nah kan begitu ada Internet, begitu ada Twitter, begitu ada Facebook, wah, langsung [pakai]. Ngomong-ngomong pun kan kadang-kadang [jadi nomor dua]. Kalau pada ke café-cafe kan pada nunduk semua [sibuk dengan gadget]. (K. Hidayat, Member of Indonesian Telematics Society, wawancara, 13/12/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Gambar 6.5 Distribusi ISP di Indonesia: 2007

Sumber: BPPT (2008)

Gambar 6.5 di atas (terakhir diperbaharui tahun 2007) menunjukkan bahwa sebagian besar ISP berlokasi di Jawa dan telah tersebar untuk menjangkau kota-kota di Jawa. Namun, hal ini tidak terjadi di provinsi-provinsi lain. Ketidakmerataan infrastruktur ini menyulitkan warga yang tinggal di wilayah lain, dan kurang terlayani dengan baik (seperti Sulawesi, Maluku dan Papua) untuk terhubung dengan Internet dan media baru. Infrastruktur yang tidak seimbang juga dapat mengarah pada kesenjangan digital dan kesenjangan literasi media antara mereka yang tinggal di kota dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Pemerintah dapat memastikan pemenuhan hak warga negara dalam bermedia (terutama hak untuk mendapatkan akses pada infrastruktur media) dengan meminta sektor swasta

102

untuk membangun infrastruktur di wilayah terpencil dan memberikan insentif bagi mereka yang dapat melakukannya.

Jadi sebenarnya harus ada dobrakan, bottom up, dulu kepada pemerintah, baru barang tersebut akan dianggap legal. Yang paling gampang sih, coba suruh bikin insentif yang memungkinkan tumbuhnya industri lokal, industri dalam negeri. (DB. Utoyo, ICTWatch, wawancara, 26/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Gagasan Donny ini didukung oleh Kanaka:

Pemerintah memberi insentif. Orang industri simpel kok. Begitu ditawari di sana ada kue, di sana ada gula, mereka akan datang. Gula-gula itu ditaruh di tempat-tempat yang terpencil. [Sehingga] mungkin yang biasanya orang nggak tertarik, begitu ada gula-gula itu, orang mau kesana. Jadi ngebangun data center di Jayapura, atau di Ternate, atau di tengah-tengah kepulauan Riau gitu. Dan orang [mungkin bertanya] ngapain sih ngebuat data center di sana? Tapi karena dikasih insentif untuk buat itu, [misalnya bilang] “itu kalau anda buatin … anda boleh pakai juga.” Jadi untuk menghidupkan bisnis [mereka pasti mau]. (K. Hidayat, anggota Masyarakat Telematika Indonesia, wawancara, 13/12/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Kanaka melanjutkan bahwa meskipun pembangunan infrastruktur oleh pemerintah belum melembaga, Ia sudah melihat bahwa pemerintah sudah mengetahui pentingnya hal ini. Pemerintah telah mulai membangun infrastruktur dua tahun belakangan ini (K. Hidayat, wawancara, 13/12/2011). Tetapi hal ini saja tentu tidak akan berhasil. Partisipasi warga negara merupakan hal yang penting untuk memaksimalkan penggunaan infrastruktur telekomunikasi, termasuk infrastruktur Internet, untuk membuat hidup mereka lebih baik.