• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radio: Demokratisasi suara publik

Kotak 1. Mengapa industri media mengakuisisi televisi lokal

5. Media Konvensional: Mencapai titik nadir?

5.2. Radio: Demokratisasi suara publik

Radio adalah salah satu bentuk media dengan sebaran yang paling luas di Indonesia. Di beberapa daerah terpencil, masyarakat mendirikan stasiun radio komunitas untuk melayani kebutuhan mereka. Perusahaan-perusahaan media besar biasanya juga memiliki radio sebagai salah satu kanal medianya. Beberapa kelompok bahkan memiliki lebih dari sepuluh stasiun radio yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti MNC Group dengan Jaringan Radio Sindo dan Kompas dengan Jaringan Radio Elshinta.

Jaringan radio publik pertama milik pemerintah, Radio Republik Indonesia (RRI) didirikan pada tahun 1945 dan merupakan suatu konsorsium dari delapan stasiun radio lokal yang sebelumnya berada di bawah jaringan kendali Jepang. Sebelumnya, pada masa penjajahan, radio merupakan alat yang penting bagi para pemuda untuk berkomunikasi dan melakukan konsolidasi perjuangan mereka melawan penjajah Belanda. Setelah kemerdekaan tahun 1945, RRI secara bertahap melakukan monopoli jaringan radio dan seringkali digunakan untuk propaganda politik. Setiap radio wajib untuk me-relay seluruh berita dan program-program khusus dari RRI Jakarta. Saat itu, RRI merupakan medium utama dan yang paling terpusat yang dimiliki oleh negara untuk memobilisasi opini publik. Pada tahun 1970, stasiun-stasiun radio swasta dilegalkan dengan syarat dan ketentuan tertentu. Pada tahun 1977, Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) dibentuk dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), puteri almarhum Presiden Soeharto, terpilih sebagai Ketua Umumnya hingga tahun 1998. Penempatan Tutut sebagai Ketua Umum adalah untuk memastikan self-censorship dalam industri media, terutama ketika terjadi krisis politik.

Berbeda dengan televisi, ijin siaran radio swasta dikeluarkan karena alasan komersil, tanpa intervensi politik yang terpusat. Terlepas dari adanya regulasi yang ditujukan untuk mencegah keterlibatan stasiun-stasiun radio non-pemerintah dengan bisnis media lain, pada awal tahun 1990-an, terdapat peningkatan jumlah jaringan radio dan kepemilikan silang-media. Beberapa dari kelompok tersebut diasosiasikan dengan lingkaran dekat keluarga presiden. Mulai dari titik ini, bisnis jaringan radio berkembang sangat cepat. Pada tahun 2005, hanya 831 stasiun radio yang terdaftar (Laksmi dan Haryanto, 2007) sementara di tahun 2010, angka ini telah meningkat menjadi 1.248 stasiun (Media Scene, 2011). Meskipun tidak semua radio swasta bergabung dalam PRSSNI, pertumbuhan jumlah anggotanya kurang lebih dapat mencerminkan dinamika radio swasta di Indonesia. Lihat Gambar 5.2. (disunting dari data PRSSNI25) berikut ini.

25

66 227 227 227 227 227 227 235 235 235 280 280 280 280 280 280 451 451 451 562589 630 661 699717 739 769 774 779795 816 827831 847 847 845 756 756774 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 5.2 Jumlah Anggota PRSSNI

Sumber: Penulis, disunting dari data PRSSNI.

Seperti yang ditunjukkan tabel tersebut, peningkatan yang signifikan pada keanggotaan PRSSNI terjadi selama 1989 hingga 1990 (dari 280 menjadi 451 anggota). Catatan sejarah menunjukkan bahwa tahun tersebut merupakan tahun di mana televisi swasa bermunculan dan putri Suharto, Tutut, terpilih sebagai ketua PRSSNI untuk memastikan dukungan bagi rejim ayahnya, meskipun tidak semua radio merupakan anggota dari PRSSNI.

Saat ini, seperti halnya di sektor-sektor media lain, terlihat beberapa kelompok yang mengendalikan industri radio di Indonesia. Kelompok-kelompok ini biasanya memiliki jaringan di seluruh Indonesia dan memiliki kanal-kanal media lain seperti televisi dan media cetak. Ada lima kelompok besar di industri radio seperti tertera dibawah ini.

No Group Jumlah stasiun radio

1 Kompas Gramedia Group 12 2 Media Nusantara Citra (MNC)

Group 18

3 MRA Media Group 10 4 Mahaka Media Group 15 10 CPP Radionet 40

Tabel 5.5 Kelompok utama pengendali industri media di Indonesia: 2011

Sumber: Penulis, dari berbagai sumber

MNC Group, kelompok media terkuat, memiliki 18 stasiun radio yang beroperasi di bawah nama Radio Sindo. CPP Radionet, sebuah kelompok yang memfokuskan diri pada penyiaran radio, mempunyai 40 stasiun radio yang tersebar di seluruh Indonesia, tetapi kelompok ini tidak mengekspansi bisnisnya ke sektor media lain. Lihat Gambar 5.3. untuk jejaring dari tiap kelompok radio ini.

67

Gambar 5.3 Jaringan 5 besar kelompok radio di Indonesia

Sumber: Penulis

Sejumlah stasiun radio swasta masih beroperasi secara ilegal. Pemerintah saat ini berusaha untuk mengatur mereka dengan cara melakukan ‘sweeping’ terhadap radio yang bersiaran secara ilegal. Tetapi karena sebagian besar dari mereka telah mengudara selama bertahun-tahun, proses penertiban penyiaran ini tidaklah mudah. Direktur Penyiaran dari Kementerian Komunikasi dan Informasi menjelaskannya kepada kami:

Intinya kita ingin semua lembaga penyiaran itu legal. Karena kan banyak, ribuan, radio yang ilegal. Dia main di antara dua frekuensi. Ada yang malah mengganggu frekuensi sebelahnya. Itu banyak. Nah ini sedang ditertibkan. Dalam prosesnya kan nggak bisa ujug-ujug [mendadak –red] gitu. Karena mereka itu sudah siaran sejak jaman sebelum ada Undang-Undang 32 [UU Penyiaran -red]. Nah itu kita mesti hati-hati betul. Bukan kita artinya pro illegal broadcast. Tetapi harus secara bijak mengaturnya. (A. Widiyanti, Direktur Penyiaran, Menkominfo, wawancara, 27/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Terlihat jelas bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk melindungi dan mengatur alokasi frekuensi. Ketika ijin siaran sudah kadaluwarsa, stasiun radio seharusnya mengembalikan alokasi siarannya kepada pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) no. 28/2008 mengenai Prosedur Ijin Frekuensi, satu frekuensi radio dapat digunakan unuk maksimum 10 tahun, dan dapat diperpanjang – satu kali saja – untuk 10 tahun berikutnya. Jika setelah perpanjangan itu sebuah perusahaan ingin menggunakan frekuensi yang sama, maka mereka harus mengajukan ijin baru.

68

Di satu titik, usaha untuk mengendalikan penggunaan frekuensi melalui pengawasan langsung memang baik untuk penegakan hukum. Tetapi terkadang, selain stasiun-stasiun radio swasta, Balai Monitoring (Balmon) pemerintah juga menjadikan stasiun-stasiun radio komunitas sebagai target, karena beberapa dari memang beroperasi tanpa ijin. Memang, seperti telah diketahui, sulit sekali bagi stasiun radio komunitas untuk mendapatkan ijin. Sebagian besar radio komunitas berada di daerah-daerah yang jauh dari kota, beberapa dari mereka bahkan berada di gunung-gunung, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan untuk memperoleh ijin. Contohnya, untuk mendapatkan Akte Notaris, mereka harus melakukan perjalanan berpuluh-puluh kilometer ke kota, belum termasuk biaya yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen-dokumen tersebut. Kami akan memaparkan mengenai radio komunitas ini di bagian lain dalam laporan ini.

5.3 Media Cetak: Dalam keadaan kritis?

Orang masih ingin di toilet baca koran, bukan lihat tablet gitu. Kalau kecemplung jadi berabe. Kalau koran kan bisa dijemur, atau beli lagi. Orang masih ingin [duduk] di kereta sambil baca koran. Orang masih mengkliping dokumennya … Jadi koran punya ikatan emosional dengan peradaban manusia. (DD. Laksono, WatchDoc, wawancara, 09/21/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Kebangkitan media penyiaran pernah dipandang sebagai sebuah ancaman bagi media cetak. Namun pada kenyataannya, media cetak masih berkembang dengan pesat. ‘Media cetak’ didefinisikan sebagai semua materi yang dicetak secara periodik seperti surat kabar dan majalah, dan secara kolektif dirujuk